BEBERAPA hari telah berlalu, Presiden Soeharto wafat. Namun, berita di media massa
baik media cetak maupun media elektronik belum reda. Omong-omong di warung kopi
pun belum surut. Presiden Soeharto disebut-sebut sebagai negarawan besar. Dikabarkan
bahwa sesaat setelah anak cucunya meninggalkan Astana Giri bangun hujan lebat
mengguyur kawasan makam Giri Bangun, Karang Anyar, ini.
Selama tiga hari itu juga ada kesempatan membuka-buka buku karangan Profesor
Kuntowijoyo yang berjudul “Raja, Priyayi dan Kawula”, terbitan Ombak (Yogyakarta,
2004). Buku ini memuat analisis sejarah kejiwaan Susuhunan Paku Buwono X (PB X),
Raja Surakarta selama periode 1900-1915. PB X dianggap sebagai raja besar. Dikabarkan
bahwa hujan mengiringi kereta yang membawa jenazahnya menuju Imogiri, Yogyakarta,
makam raja-raja Mataram.
Membandingkan antara dua orang besar ini sesungguhnya amat aneh. PB X dilahirkan
pada tanggal 29 November 1866, menjadi raja pada tahun 1893, dalam usia 27 tahun, dan
wafat pada tanggal 4 Oktober 1939, dalam usia 76 tahun. PB X menjadi raja Surakarta
pada masa penjajahan Belanda. Presiden Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1921,
menjadi presiden pada tahun 1967, dalam usia 44 tahun dan wafat pada tanggal 26
Januari 2007, dalam usia 86 tahun. Presiden Soeharto menjadi presiden Indonesia setelah
kemerdekaan direbut dari tangan Belanda.
Namun, dengan menggunakan kerangka pikir Kuntowijoyo, kedua orang ini Emotional
intelligence (EI)-kecerdasan emosional- yang tinggi. EI ini dikenalkan oleh Peter Salovey
pada tahun 1990. Ciri-ciri EI adalah kemampuan mengenal emosi sendiri sehingga orang
dapat mengendalikan emosinya serta kemampuan mengenal emosi orang lain sehingga
seseorang mempunyai ketrampilan bergaul dan membina hubungan dengan orang lain.
EI telah menjadikan PB X sebagai raja besar (baca: raja agung dengan 15 gelar
kehormatannya) dan menjadikan Presiden Soeharto menjadi negarawan besar (baca:
Bapak Pembangunan beserta 56 gelar kehormatan yang lain). Keduanya diyakini, paling
tidak bagi sebagian masyarakat Jawa, menjadi peminpin karena menerima ‘wahyu’ (tanda
supranatural) yang meliputi wahyu nurbuwah, wahyu khukumah dan wahyu wilayah.
Keduanya juga menggunakan ‘proses’ kaderisasi yang ketat dan bertahap untuk meniti
karir seseorang, yaitu menggunakan jalur organisasi. PB X mengembangkan organisasi
‘priyayi’ yang disebut ‘Abipaya’. Dikatakan, Abipaya merupakan organisasi priyayi yang
bertindak sebagai ekspresi identitas dan cultural. Saat itu ‘priyayi’ adalah orang yang
bekerja pada raja dan orang yang bekerja pada kerajaan. Ada juga kelompok priyayi yang
terpelajar di luar kedua kelompok itu. Mereka ini, kelak menjadi kelompok tandingan.
Pendek kata, paguyuban abipaya ini mirip dengan ‘Golkar’ di era Presiden Soeharto. Para
Bupati juga wajib menjadi anggota Abiyasa. Diceritakan bahwa ada seorang karyawan
swasta yang bergaji 20 gulden ‘ngotot’ menjadi pegawai raja dengan gaji 10 gulden
karena merasa lebih bergengsi.
Keduanya juga melakukan mistisisme politik. Ideologi priyayi merupakan salah satu
mistisisme politik yang ditunjukkan dengan simbolisme literer dan seremonial. Buku
Wedhamadya yang terbit tahun 1898, syarat dengan puji-pujian tarhadap PB X. Kita juga
melihat buku-buku yang ditulis para Fungsionaris Golkar masa itu penuh puja-pjian
terhadap Presiden Soeharto.
Keduanya juga membuat cara untuk menciptakan stratifikasi sosial yang ketat.
Diantaranya dengan membuat aturan cara menghormat orang dengan bahasa khusus dan
pakaian khusus. Ada hirarki dalam bahasa. Bahkan, kita dapat menghapal di luar kepala
ucapan pidato seseorang karena formatnya sama persis dengan yang telah ‘dibakukan’.
Perilaku seorang priyayi sudah dibakukan. Demikian juga perilaku seorang pegawai
pemerintah sudah dibakukan di era Presiden Soeharto dengan mengharuskan mengikuti
penataran P4. Cara berpakaian yang seragam antara Pak Harto dan Bu Tien pada upacara-
pacara tertentu, kini diwarisi oleh pasangan yang sedang mengikuti undangan pengantin.
Budaya tandingan di era PB X dapat dilihat pada beberapa peristiwa. Mitos akan
kekeramatan ratu Pembayun (Kakak PB X) ditandingi dengan kekeramatan Gus Wayang.
Mitos tentang Ratu Kidul (dunia gaib yang berpihak pada raja) ditandingi oleh mitos
tentang sunan Seda Lepen. Bahkan simbol modernitas raja (1908 PB X sudah punya
otomobil) ditandingi oleh Dhemit Gajahan yang sanggup mempertunjukkan gambar
hidup.
Yang berbeda antara kedua orang besar ini adalah IQ-nya. Disebutkan dalam buku ‘Raja,
Priyayi dan Kawula’, IQ PB X rendah sehingga sering menyampaikan pertanyaan-
pertanyaan yang sangat sederhana kepada patihnya. Misalnya: ‘Sekarang musim apa?’,
‘Para petani sedang menanam apa?” atau ‘Bagaimana air sungai?” . Sebaliknya, IQ
Presiden Soeharto tidak diragukan lagi dengan pengakuan masyarakat dunia sebagai ahli
strategi.
Akhiranya, sampailah tulisan ini pada tingkat kawula, wong cilik. Dalam pemerintahan
PB X para kawula adalah kagungan Dalem ingkang Sinuwun. Kawula tidak menjadi
milik siapa-siapa kecuali raja. Bagaimana dengan wong cilik di era presiden Soeharto?
Semua tahu, partai hanya sampai pada daerah tingat dua - Kabupaten dan Kota.
Selebihnya adalah wilayah yang mengambang, karena itulah menjadi ‘milik’ penguasa.
Pak Harto sendiri berasal dari wong cilik di desa Kemusu pinggir kali Progo, DIY. Inilah
kemiripan dan sedikit perbedaan antara PB X dan Pak Harto. Terima kasih. **