Anda di halaman 1dari 4

Selasa, 5 Februari 2008

Paku Buwono X dan Presiden Suharto


Oleh : Leo Sutrisno

BEBERAPA hari telah berlalu, Presiden Soeharto wafat. Namun, berita di media massa
baik media cetak maupun media elektronik belum reda. Omong-omong di warung kopi
pun belum surut. Presiden Soeharto disebut-sebut sebagai negarawan besar. Dikabarkan
bahwa sesaat setelah anak cucunya meninggalkan Astana Giri bangun hujan lebat
mengguyur kawasan makam Giri Bangun, Karang Anyar, ini.

Selama tiga hari itu juga ada kesempatan membuka-buka buku karangan Profesor
Kuntowijoyo yang berjudul “Raja, Priyayi dan Kawula”, terbitan Ombak (Yogyakarta,
2004). Buku ini memuat analisis sejarah kejiwaan Susuhunan Paku Buwono X (PB X),
Raja Surakarta selama periode 1900-1915. PB X dianggap sebagai raja besar. Dikabarkan
bahwa hujan mengiringi kereta yang membawa jenazahnya menuju Imogiri, Yogyakarta,
makam raja-raja Mataram.

Membandingkan antara dua orang besar ini sesungguhnya amat aneh. PB X dilahirkan
pada tanggal 29 November 1866, menjadi raja pada tahun 1893, dalam usia 27 tahun, dan
wafat pada tanggal 4 Oktober 1939, dalam usia 76 tahun. PB X menjadi raja Surakarta
pada masa penjajahan Belanda. Presiden Soeharto dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1921,
menjadi presiden pada tahun 1967, dalam usia 44 tahun dan wafat pada tanggal 26
Januari 2007, dalam usia 86 tahun. Presiden Soeharto menjadi presiden Indonesia setelah
kemerdekaan direbut dari tangan Belanda.

Namun, dengan menggunakan kerangka pikir Kuntowijoyo, kedua orang ini Emotional
intelligence (EI)-kecerdasan emosional- yang tinggi. EI ini dikenalkan oleh Peter Salovey
pada tahun 1990. Ciri-ciri EI adalah kemampuan mengenal emosi sendiri sehingga orang
dapat mengendalikan emosinya serta kemampuan mengenal emosi orang lain sehingga
seseorang mempunyai ketrampilan bergaul dan membina hubungan dengan orang lain.

EI telah menjadikan PB X sebagai raja besar (baca: raja agung dengan 15 gelar
kehormatannya) dan menjadikan Presiden Soeharto menjadi negarawan besar (baca:
Bapak Pembangunan beserta 56 gelar kehormatan yang lain). Keduanya diyakini, paling
tidak bagi sebagian masyarakat Jawa, menjadi peminpin karena menerima ‘wahyu’ (tanda
supranatural) yang meliputi wahyu nurbuwah, wahyu khukumah dan wahyu wilayah.

PB X dan Presiden Soeharto, masing-masing menjadi simbol publik. PB X adalah symbol


tradisi Islam dan Jawa. Tradisi Islam dipelihara. Setiap bulan Maulud, Sunan memberikan
hadiah pada orang Arab, Benggali, Koja, Banjar dan para haji yang berdzikir di mesjid
agung. Setiap orang menerima dua gulden. Selain itu, diselenggarakan juga grebeg
(perayaan resmi) mulud, besar, puasa dan hari raya yang lain. Tradisi Jawa juga
dipelihara. Mitos juga dipelihara. Ada upacara mengambil air untuk menanak nasi dalam
acara grebeg mulud dari umbul Pengging oleh para abdi dalem dengan membawa 12
tempayan berjalan kaki sejauh 20 km. Ada upacara Mehasalawung. Ada upacara labuhan.
Presiden Soeharto juga mengembangkan tradisi Islam, tetapi juga tradisi Jawa,
sungkeman, tumpengan, dan kabarnya juga melakukan semedi di dalam ruang
khususnya. Orang menganggap, tradisi Jawa Presiden Soeharto sangat kental.

Keduanya juga mengobarkan jiwa nasionalisme. PB X melakukan banyak perjalanan dan


mendapat sambutan meriah banyak orang. PB X pada tahun 1903 melakukan perjalanan
ke Maos yang diteruskan ke Batavia. Pada tahun itu juga pergi ke Semarang. Pada tahun
1904 PB X memberi hadiah sebuah gambar pada sebuah perkumpulan Societet di
Semarang. Tahun 1905 pergi ke Surabaya dilanjutkan menunjuk utusan khusus agar
mengunjungi makam PB VI yang dibuang ke Ambon oleh pemerintah Belanda.
Demikian, tiap tahun ia pergi mengunjungi daerah-daerah, yang juga ‘di luar’ kerajaan
Surakarta. Perjalanan ini oleh penguasa Belanda dianggap mengobarkan semangat
nasionalisme. Sudah barang tentu Presiden Soeharto juga sangat mengembangkan
semangat ini. Salah satu bukti saja kiranya sudah cukup yaitu betapa kukuhnya untuk
tidak berobat ke luar negeri sampai akhir hayatnya.

Keduanya juga bergerak dalam bidang religius. PB X mengambil posisi sebagai


Pakubuwono Senopati ing Ngalogo Ngabdurachman Sajidin Panotogomo X. Banyak
aktivitas yang dilakukan PB X sebagai panotogomo. Misalnya, PB X mendirikan sekolah
Islam yang jauh berbeda dengan pondok pesantren. Presiden Soeharto juga tidak
disangsikan akan keterlibatannya dalam bidang religius ini. Salah satunya adalah model
mesjid yang dibuat mirip dengan mesjid Demak, dengan tiga tingkat atap tanpa kubah.
Orang banyak memberi nama mesjid ‘inpres’ dan tersebar di seluruh Indonesia.

Keduanya juga menggunakan ‘proses’ kaderisasi yang ketat dan bertahap untuk meniti
karir seseorang, yaitu menggunakan jalur organisasi. PB X mengembangkan organisasi
‘priyayi’ yang disebut ‘Abipaya’. Dikatakan, Abipaya merupakan organisasi priyayi yang
bertindak sebagai ekspresi identitas dan cultural. Saat itu ‘priyayi’ adalah orang yang
bekerja pada raja dan orang yang bekerja pada kerajaan. Ada juga kelompok priyayi yang
terpelajar di luar kedua kelompok itu. Mereka ini, kelak menjadi kelompok tandingan.
Pendek kata, paguyuban abipaya ini mirip dengan ‘Golkar’ di era Presiden Soeharto. Para
Bupati juga wajib menjadi anggota Abiyasa. Diceritakan bahwa ada seorang karyawan
swasta yang bergaji 20 gulden ‘ngotot’ menjadi pegawai raja dengan gaji 10 gulden
karena merasa lebih bergengsi.

Keduanya juga melakukan mistisisme politik. Ideologi priyayi merupakan salah satu
mistisisme politik yang ditunjukkan dengan simbolisme literer dan seremonial. Buku
Wedhamadya yang terbit tahun 1898, syarat dengan puji-pujian tarhadap PB X. Kita juga
melihat buku-buku yang ditulis para Fungsionaris Golkar masa itu penuh puja-pjian
terhadap Presiden Soeharto.

Keduanya juga menggunakan pakaian sebagai pencerminan identitas. PB X menciptakan


aturan tentang pakaian yang harus dikenakan raja, sentana, abdi dalem, dan rakyat biasa.
Kita pun pada era Presiden Soeharto melihat pakaian seragam yang dijadikan sebagai
indentitas. Lihat saja seragam sekolah SD, SMP, SMA berbeda. Demikian juga kita lihat
seragam KORPRI, seragam Bupati, dsb. Juga kuningisasi pohon-pohon di jalur Pantura
Jawa.

Keduanya juga membuat cara untuk menciptakan stratifikasi sosial yang ketat.
Diantaranya dengan membuat aturan cara menghormat orang dengan bahasa khusus dan
pakaian khusus. Ada hirarki dalam bahasa. Bahkan, kita dapat menghapal di luar kepala
ucapan pidato seseorang karena formatnya sama persis dengan yang telah ‘dibakukan’.
Perilaku seorang priyayi sudah dibakukan. Demikian juga perilaku seorang pegawai
pemerintah sudah dibakukan di era Presiden Soeharto dengan mengharuskan mengikuti
penataran P4. Cara berpakaian yang seragam antara Pak Harto dan Bu Tien pada upacara-
pacara tertentu, kini diwarisi oleh pasangan yang sedang mengikuti undangan pengantin.

Keduanya juga menggunakan anugerah-anugerah sebagai ikatan loyaitas. PB X


memberikan payung Srinugraha kepada Patih atau Bupati. Pemberian hadiahnya pun
sangat protokoler, agar terasa magis dan sakral. Keduanya, oleh sebagian orang juga
dikultuskan. Mereka dilepaskan dari kenyataan bahwa beliau berdua itu juga ‘manusia
biasa’. Di era kepemimpinannya, tidak ada orang yang berani menyentuh daerah
kekurangan dan kelemahannya. Mereka ditempatkan sebagai manusia yang tanpa cela.

Namun, selepas era kepemimpinannya, muncullah aktivitas ‘budaya tandingan’ yang


sebelumnya bergerak di bawah tanah. Zaman PB X dikenal ada Dhemit gajahan yang
menunjukkan gambar hidup di dalam sebuah sumur seorang penduduk Gajahan Budaya
tandingan ini muncul sebagai alternatif dari pengaruh kekuasaan dan dominasi budaya
yang sudah mengakar dalam. Tandingan itu tampak pada bentuk kepercayaan-
kepercayaan aneh yang berkembang, tidak saja di kalangan wong cilik, tetapi juga pada
para priyayi terpelajar.

Budaya tandingan di era PB X dapat dilihat pada beberapa peristiwa. Mitos akan
kekeramatan ratu Pembayun (Kakak PB X) ditandingi dengan kekeramatan Gus Wayang.
Mitos tentang Ratu Kidul (dunia gaib yang berpihak pada raja) ditandingi oleh mitos
tentang sunan Seda Lepen. Bahkan simbol modernitas raja (1908 PB X sudah punya
otomobil) ditandingi oleh Dhemit Gajahan yang sanggup mempertunjukkan gambar
hidup.

Yang berbeda antara kedua orang besar ini adalah IQ-nya. Disebutkan dalam buku ‘Raja,
Priyayi dan Kawula’, IQ PB X rendah sehingga sering menyampaikan pertanyaan-
pertanyaan yang sangat sederhana kepada patihnya. Misalnya: ‘Sekarang musim apa?’,
‘Para petani sedang menanam apa?” atau ‘Bagaimana air sungai?” . Sebaliknya, IQ
Presiden Soeharto tidak diragukan lagi dengan pengakuan masyarakat dunia sebagai ahli
strategi.

Akhiranya, sampailah tulisan ini pada tingkat kawula, wong cilik. Dalam pemerintahan
PB X para kawula adalah kagungan Dalem ingkang Sinuwun. Kawula tidak menjadi
milik siapa-siapa kecuali raja. Bagaimana dengan wong cilik di era presiden Soeharto?
Semua tahu, partai hanya sampai pada daerah tingat dua - Kabupaten dan Kota.
Selebihnya adalah wilayah yang mengambang, karena itulah menjadi ‘milik’ penguasa.
Pak Harto sendiri berasal dari wong cilik di desa Kemusu pinggir kali Progo, DIY. Inilah
kemiripan dan sedikit perbedaan antara PB X dan Pak Harto. Terima kasih. **

Anda mungkin juga menyukai