Anda di halaman 1dari 3

[quote author=emilhussein link=topic=4.

msg4#msg4 date=1288115593]
[color=maroon][b]Bahaya Televisi pada Anak-Anak[/b][/color]

Kedengarannya ekstrem. Tapi ini salah satu saran seorang dokter spesialis anak asal Amerika kepada para orang
tua agar perkembangan otak dan kemampuan anak berkembang dengan baik. Kalau anak-anak dibiarkan bebas
sebebas-bebasnya menonton TV, video, dan main game di komputer, apa yang terjadi terhadap pertumbuhan
dan kemampuan belajar mereka? Itulah pertanyaan yang mengusik benak Susan R. Johnson, M.D., dokter
spesialis anak asal San Francisco dan pernah mendalami ilmu kesehatan anak yang berkaitan dengan perilaku
dan perkembangan. "Ratusan anak mengalami kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan, dan melakukan gerakan
motorik kasar maupun halus. Kebanyakan mereka memenemui kesulitan dalam berhubungan dengan orang
dewasa dan kelompok seusianya," paparnya.

Semula ia menduga, itu melulu akibat tayangan di televisi yang sering menampilkan kekerasan (terutama film
kartun) dan semua iklan ditujukan pada mereka. Tetapi, baru semenjak kelahiran anaknya enam tahun lalu ia
berhadapan dengan dampak yang sesungguhnya. Saat bermain di luar, jelas Susan, anaknya bisa asyik
mengamati binatang kecil atau serangga, bikin mainan dari ranting dan batu, atau main air dan pasir. Ia tampak
begitu damai dengan dirinya, tubuhnya, dan lingkungannya. Tetapi begitu di depan TV, ia begitu cuek dengan si
ibu maupun lingkungannya. "Waktu saya matikan TV-nya, ia gelisah, senewen, dan selalu berteriak minta
dinyalakan lagi. Tingkah polahnya kacau dan gerakan-gerakannya impulsif. Boro-boro bikin kreasi sendiri, ia
justru meniru saja apa yang dilihatnya di TV dengan gerakan yang tidak kreatif, kaku, dan diulang-ulang".

Saat berusia 3,5 tahun, dia ajak anaknya mengunjungi sepupunya naik pesawat. Di pesawat diputar film
Mission: Impossible. Kebetulan mereka tidak kebagian earphone sehingga yang tertangkap hanya gambarnya.
Tapi justru karena itulah, "Ia mendapat mimpi buruk dan takut pada api atau bunyi ledakan selama enam bulan
setelahnya, dan perilakunya berubah." Setahun kemudian ia meneliti enam orang anak berusia 8 - 11 tahun yang
semuanya memiliki kesulitan membaca di Pusat Kesehatan Sekolah. Menurut Susan, "Kalau saya tunjukkan
sejumlah huruf lalu saya minta mengenali huruf tertentu, mereka dapat melakukannya. Tapi kalau saya tidak
menunjukkan apa-apa - berarti tanpa masukan visual - lalu saya suruh menuliskan huruf tertentu, mereka tidak
bisa."

Timbul pertanyaan:
A) Apa yang terjadi pada anak yang sedang tumbuh dan berkembang jika mereka dipapari rangsangan audio
dan visual pada saat bersamaan?
B) Berapa banyak kemampuan otak yang hilang atau bahkan tidak berkembang akibat kebiasaan itu?

Tiga tahap perkembangan otak


Kemampuan anak ibarat benih yang perlu dipelihara dan dipupuk agar tumbuh dengan baik. Kalau lingkungan
tidak memberikan pemeliharaan dan perlindungan terhadap rangsangan yang berlebihan, maka potensi serta
kemampuan-kemampuan tertentu tidak dapat terwujud. Anak dilahirkan dengan 10 miliar neuron (sel syaraf) di
otaknya. Tiga tahun pertama sejak lahir merupakan periode di mana miliaran sel glial terus bertambah untuk
memupuk neuron. Sel-sel syaraf ini dapat membentuk ribuan sambungan antarneuron yang disebut dendrite
yang mirip sarang laba-laba, dan axon yang berbentuk memanjang.

Otak anak usia 6 - 7 tahun besarnya dua pertiga otak orang dewasa, tapi memiliki 5 - 7 kali lebih banyak
sambungan antarneuron daripada otak anak usia 18 bulan atau orang dewasa. Otak mereka memang punya
kemampuan besar untuk menyusun ribuan sambungan antarneuron. Namun, kemampuan itu berhenti pada umur
10 - 11 tahun jika tidak dikembangkan atau digunakan. Saat itu enzim tertentu dilepaskan dalam otak dan
melarutkan semua jalur atau "urat" syaraf (pathways) yang tidak termielinasi dengan baik (mielinasi adalah
proses pembungkusan jalur syaraf dengan myelin yang berujud protein-lemak). Perkembangan otak anak yang
sedang tumbuh melalui tiga tahapan, mulai dari otak primitif (action brain), otak limbik (feeling brain), dan
akhirnya ke neocortex (atau disebut juga thought brain, otak pikir).

Meski saling berkaitan, ketiganya punya fungsi sendiri-sendiri. Otak primitif mengatur fisik kita untuk bertahan
hidup, mengelola gerak refleks, mengendalikan gerak motorik, memantau fungsi tubuh, dan memproses
informasi yang masuk dari pancaindera. Saat menghadapi ancaman atau keadaan bahaya, bersama dengan otak
limbik, otak primitif menyiapkan reaksi "hadapi atau lari" (fight or flight response) bagi tubuh. "Kita akan
bereaksi secara fisik dan emosi lebih dulu sebelum otak pikir sempat memproses informasi," papar dr. Susan.
Otak limbik memproses emosi seperti rasa suka dan tidak suka, cinta dan benci. Otak ini sebagai penghubung
otak pikir dan otak primitif.

Maksudnya, otak primitif dapat diperintah mengikuti kehendak otak pikir, disaat lain otak pikir dapat "dikunci"
untuk tidak melayani otak limbik dan primitif selama keadaan darurat, yang nyata maupun yang tidak.
Sedangkan otak pikir, yang merupakan bentuk daya pikir tertinggi dan bagian otak yang paling objektif,
menerima masukan dari otak primitif dan otak limbik. Namun, ia butuh waktu lebih banyak untuk memproses
informasi, termasuk image, dari otak primitif dan otak limbik. Otak pikir juga merupakan tempat bergabungnya
pengalaman, ingatan, perasaan, dan kemampuan berpikir untuk melahirkan gagasan dan tindakan. Mielinasi
saraf otak berlangsung secara berurutan, mulai dari otak primitif, otak limbik, dan otak pikir. Jalur syaraf yang
makin sering digunakan membuat mielin makin menebal. Makin tebal mielin, makin cepat impuls syaraf atau
perjalanan sinyal sepanjang "urat" syaraf. Karena itu, anak yang sedang tumbuh dianjurkan menerima masukan
dari lingkungannya sesuai dengan perkembangannya.

Di samping itu, anak juga membutuhkan pengalaman yang merangsang pancaindera. Namun, indera mereka
perlu dilindungi dari rangsangan yang berlebihan karena anak-anak itu ibarat sepon. "Mereka menyerap apa saja
yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan disentuh dari lingkungan mereka. Kemampuan otak mereka untuk
memilah atau menyaring pengalaman rasa yang tidak menyenangkan dan berbahaya belum berkembang," papar
Susan. Rangsangan dan perkembangan indera itu pada gilirannya akan mengembangkan bagian tertentu dari
otak primitif yang disebut reticular activating system (RAS). RAS ini pintu masuk di mana kesan yang
ditangkap setiap indera saling berkoordinasi sebelum diteruskan ke otak pikir.

RAS merupakan wilayah di otak yang membuat kita mampu memusatkan perhatian. Kurangnya stimulasi, atau
sebaliknya stimulasi yang berlebihan, ditambah lagi dengan gerakan motorik kasar dan halus yang tidak
berkembang secara baik, bisa menyebabkan rusaknya perhatian terhadap lingkungan. Sebelum anak berusia
empat tahun, otak primitif dan otak limbik sudah 80% termielinasi. Setelah umur 6 - 7 tahun mielinasi bergeser
ke otak pikir. Awalnya dari belahan otak kanan yang antara lain bertugas merespons citra visual. Ketika
menonton TV, belahan otak kanan inilah yang paling dominan kerjanya.

Sedangkan ketika membaca, menulis, dan berbicara, belahan otak kiri yang dominan. Tugas utama otak kiri
ialah berpikir secara analitis dan menyusun argumen logis langkah demi langkah. Ia menganalisis suara dan
makna bahasa (misalnya, kemampuan mencocokkan suara dengan alfabet), juga mengelola keterampilan otot
halus.

Pentingnya aktivitas motorik kasar


Kedua belahan otak itu dijembatani oleh bundel "urat" syaraf yang disebut corpus collosum. Sisi kanan dan kiri
tubuh saling berkoordinasi melalui jembatan ini. Aktivitas motorik kasar seperti lompat tali, memanjat, lari,
serta aktivitas motorik halus macam menggambar, merenda, membuat origami, dan bikin kue merupakan
akitivitas penting bagi proses mielinasi C. collosum. Jalur ini memungkinkan kemampuan berpikir analitis (otak
kiri) dan intuitif (otak kanan) untuk saling mempengaruhi. Sejumlah ahli neuropsikologi percaya, buruknya
perkembangan jembatan ini mempengaruhi komunikasi efektif antara belahan otak kanan dan kiri. Diduga,
inilah penyebab timbulnya kesulitan perhatian dan belajar pada anak. Pertanyaannya kemudian, apa kerugian
otak dengan menonton televisi? televisi sesungguhnya hanya memberikan informasi kepada dua indera: mata
dan telinga. Padahal ketajaman visual dan pandangan tiga dimensional pada anak belum berkembang
sepenuhnya sampai usia empat tahun. Gambar yang dihasilkan layar televisi itu gambar dua dimensi, tidak
fokus dan kabur karena tersusun dari titik-titik sinar. Itu membuat mata anak-anak harus memaksa diri agar
gambar menjadi jelas. Televisi, juga barang elektronik lain, memancarkan gelombang elektromagnetik. Maka
disarankan, posisi menonton setidaknya 120 cm dari TV dan 45 cm dari layar komputer.

Sistem visual yang meliputi kemampuan mencari (search out), memindai scan), memfokus, dan
mengidentifikasi apa yang masuk ke bidang pandang, terganggu oleh kegiatan menonton TV. Padahal
keterampilan visual ini perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan membaca efektif. Saat menonton, pupil
mata anak tidak melebar, dan nyaris tidak ada gerakan mata yang justru penting dalam kegiatan membaca. Mata
dituntut terus bergerak dari kiri ke kanan halaman saat membaca. Kemampuan untuk memusatkan perhatian
juga mengandalkan sistem visual ini. Sementara itu gambar-gambar televisi yang berubah secara cepat tiap 5 – 6
detik pada kebanyakan tayangan acara dan 2 - 3 detik pada iklan, membuat otak pikir tidak punya kesempatan
memproses image. Padahal otak pikir perlu 5 - 6 detik untuk memproses gambar begitu mendapat stimulus.
Sebabkan kecemasan kronis
Membaca buku, berjalan-jalan di alam, atau bercakap dengan orang lain di mana anak punya kesempatan untuk
merenung dan berpikir - jauh lebih mendidik daripada menonton TV. Kegiatan ini meniadakan pengalaman
berharga itu. Menonton TV merupakan pekerjaan tanpa akhir, tanpa tujuan, dan tak bikin "kenyang". Tidak
seperti makan dan tidur yang bisa bikin perut kenyang dan badan tidak capek lagi, menonton TV tidak ada
ujungnya. "TV membuat anak ingin terus menonton tanpa pernah merasa puas," ungkap Susan. Bagaimana
dengan Sesame Steet, misalnya? Bukankah acara itu mendidik dan di sana anak diajari cara membaca?

Sesame Street dan kebanyakan acara televisi untuk anak, papar Susan, meletakkan belahan otak kiri dan
sebagian belahan otak kanan ke dalam gelombang alfa (slow wave of inactivity). Televisi membius fungsi-
fungsi otak pikir dan merusak keseimbangan serta interaksi antara belahan otak kiri dan kanan.

Secara umum, membaca menghasilkan gelombang beta cepat dan aktif, sedangkan menonton televisi
meningkatkan gelombang alfa lambat di belahan otak kiri dan kanan. Belahan kiri merupakan pusat penting
dalam kegiatan membaca, menulis, dan berbicara. Otak kiri merupakan tempat di mana simbol-simbol abstrak
(misalnya huruf-huruf alfabet) dikaitkan dengan bunyi. Sumber cahaya televisi yang berpendar dan bergetar
diduga ada kaitannya dengan meningkatnya aktivitas gelombang lambat itu. Otak primitif tidak dapat
membedakan mana gambar riil dan mana gambar di TV karena penglihatan merupakan tanggung jawab otak
pikir. Karena itu, ketika TV menayangkan gambar-gambar close-up dan gambar-gambar bercahaya secara tiba-
tiba, otak primitif bersama otak limbik segera menyiapkan respons "hadapi atau lari" dengan melepaskan
hormon dan bahan kimia ke seluruh tubuh. Degup jantung dan tekanan darah naik. Darah yang mengalir ke otot-
otot anggota badan meningkat, bersiap-siap menghadapi keadaan bahaya.

Karena itu terjadi dalam tubuh tanpa diikuti gerakan-gerakan yang sesuai dari anggota badan, maka acara-acara
TV tertentu sesungguhnya meletakkan kita ke dalam suatu keadaan stres atau kecemasan kronis. Berbagai studi
menunjukkan, pada orang dewasa yang mengalami stres kronis pertumbuhan belahan otak kirinya terhenti
(atrophy). Ketika otak anak dipapari rangsangan visual sekaligus suara, yang diserap hanyalah visualnya.
Ilustrasi tentang fenomena ini dapat dilihat pada sekelompok anak (6 - 7 tahun) yang disuguhi tontonan video
yang suaranya tidak sesuai dengan gerakan visualnya. Begitu ditanya, mereka tidak ngeh kalau suara dan
gambarnya tidak klop. Itu artinya, mereka tidak menyerap isi tontonannya. Begitu pula dengan Sesame Street.
Intelligent hati

Namun, masih ada yang berkilah, "Apa salah memanfaatkan televisi sekadar untuk hiburan? Saya suka
menonton film-film Disney macam Snow White." Televisi memiliki efek begitu dalam terhadap kehidupan
perasaan atau jiwa kita. Menonton televisi membuat kita terlepas dari kehidupan nyata. Di kursi yang nyaman di
ruang yang sejuk dengan banyak makanan, kita duduk menonton para tunawisma, orang kelaparan atau
menderita di layar kaca. Kita tersentuh melihat nasib mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa. Orang boleh bilang,
membaca buku pun dapat membangkitkan perasaan serupa tanpa berbuat apa-apa. Namun, menurut dr. Susan,
saat sedang membaca buku (yang tidak banyak gambarnya), pikiran bisa berimajinasi dan punya kesempatan
memikirkannya. Pikiran itu dapat menggiring anak kepada gagasan yang menimbulkan inspirasi untuk
melakukan sesuatu. Televisi tidak begitu."

"Kita tidak akan lupa dengan apa yang pernah kita lihat. Otak limbik dihubungkan dengan memori, dan gambar
di TV kita ingat entah secara sadar, tanpa sadar, atau bawah sadar. Maka, kita hampir tidak mungkin
menciptakan imajinasi tentang Snow White dari buku cerita jika kita sudah pernah menonton filmnya.
Sebaliknya, orang sering kecewa ketika menonton film setelah membaca bukunya. Imajinasi kita itu jauh lebih
kaya daripada apa yang dapat ditunjukkan di layar film," papar dr. Susan. Ketika menonton televisi, anak-anak
tidak menggunakan imajinasi sama sekali. Itu berarti bagian tertentu di otak pikir untuk menciptakan gambaran
(yang merupakan fondasi bagi angan-angan, intuisi, inspirasi, dan imajinasi), kurang dilatih. Kita dibekali
kemampuan yang disebut heart intelligence yang perlu dikembangkan antara lain dengan berinteraksi dengan
orang lain. "Kita mengalami bahasa nonverbal mereka, misalnya bagaimana ia bergerak, bagaimana nada
suaranya, apakah ia menatap ke arah lain saat bicara. Inilah cara kita belajar melihat konsistensi antara isyarat
verbal dan nonverbal untuk menemukan kebenaran," jelas dr. Susan. Televisi tidak bisa mengembangkan
kemampuan itu.

Sumber : intisari

Anda mungkin juga menyukai