Anda di halaman 1dari 13

.

PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS

a. Saraf Olfaktorius (N. I)


Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa
pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai adanya
penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis. Pemeriksaan saraf cranialis I bertujuan untuk
mendeteksi adanya gangguan penghidu, selain itu juga untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh
gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang
seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa
hidung (nervus V) seperti mentol, amoniak, alkohol, dan cuka. Cara pemeriksaannya yaitu letakkan salah satu bahan-
bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan
pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan
kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu. Interpretasi dari hasil pemeriksaan ini yaitu normosmia,
hiposmia, hiperosmia, parosmia (tidak dapat mengenali bau-bauan, salah hidu), kakosmia (mempersepsi adanya bau
busuk, padahal tidak ada), dan halusinasi penciuman. Normosmia yaitu kemampuan penghidu normal, tidak terganggu.
Hiposmia yaitu kemampuan menghidu menurun. Hiperosmia : meningkatnya kemampuan menghidu, dapat dijumpai
pada penderita hiperemis gravidarum atau pada migren. Halusinasi penciuman : biasanya terbentuk bau yang tidak
sedap, dapat dijumpai pada serangan epilepsi yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal, dan sering
disertai gerak mengecap-ngecap (epilepsi jenis parsial kompleks). Penyebab gangguan penghidu disebabkan karena
penyebab gangguan penghidu yang sering dijumpai dan penyebab gangguan menghidu yang jarang dijumpai. Penyebab
yang sering dijumpai meliputi penyakit inflamasi akut atau kronis di hidung perokok berat dan trauma kepala.
Penyebab gangguan menghidu yang jarang dijumpai meliputi tumor intrakranial yang menekan bulbus atau traktus
olfaktorius dan inflamasi selaput otak yang kronik.

b. Saraf Optikus (N. II)


Pemeriksaan nervus kranialis II bertujuan untuk :
1. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah kelainan pada visus disebabkan oleh kelainan
okuler lokal atau oleh kelainan saraf.
2. Mempelajari lapangan pandang
3. Memeriksa keadaan papil optik
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil,
pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
• Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang
cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6
dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6)
• Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya
adalah kurang lebih 2/60.
• Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya
kurang lebih 1/300.
ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai
dari mata hingga korteks oksipitalis.
Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri.
• Tes Konfrontasi
- Jarak antara pemeriksa – pasien : 60 – 100 cm
- Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut.
- Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan kiri (lateral dan
medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lurus
kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.
- Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.
• Perimetri / kompimetri/pemeriksaan lapangan pandang, pada pemeriksaan ini menentukan batas perifer dari
penglihatan, yaitu batas sampai mana benda dapat dilihat, jika mata difiksasi pada satu titik. Sinar yang datang dari
tempat tempat fiksasi jatuh di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang datang dari sekitarnya
jatuh dibagian perifer retina. Lapangan pandang yang normal mempunyai bentuk tertentu, dan tidak sama ke semua
jurusan, misalnya ke lateral kita dapat melihat sampai sudut 90-100 derajat dari titik fiksasi, ke medial 60 derajat,
ke atas 50-60 derajat dan kebawah 60-75 derajat. Pemeriksaan lapang pandang dapat dilakukan dengan
menggunakan kampimeter dan perimeter. Kampimeter yaitu papan hitam yang diletakan di depan penderita pada
jarak 1-2meter, dan sebagai benda pengui (test objek) digunakan bundaran kecil berdiameter 1-3 mm. Mata pasien
difiksasi ditengah dan benda penguji di gerakan dari perifer ke tengah dari segala jurusan . Perimeter adalah
setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya pada bidang meridianya. Cara pemakaiannya serta cara
melaporkan keadaan sewaktu pemeriksaan serupa dengan kampimeter.
- Lebih teliti dari tes konfrontasi
- Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
iii. Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius.
Ada dua macam refleks pupil.
• Respon cahaya langsung
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak
berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi
prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.
• Respon cahaya konsensual
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan
lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus
optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini
keluar dari diskus optikus.
v. Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
c. Saraf okulomotoris (N. III)
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
1. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik
yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata
yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau
mengangkat alis mata secara kronik pula.

2. Gerakan bola mata.


Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekaligus
ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan
bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
i. Bentuk dan ukuran pupil
ii. Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaan Æ pupil sebesar 1mm masih dianggap normal
iii. Refleks pupil
Meliputi pemeriksaan :
1. Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
2. Refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II)
3. Refleks pupil akomodatif atau konvergensi

Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan
berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka
kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh
memfokuskan matanya pada suatu objek diletakkan pada jarak ± 15 cm didepan mata pasien dalam keadaan normal
terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.

d. Saraf Troklearis (N. IV)


Pemeriksaan meliputi
1. gerak mata ke lateral bawah
2. strabismus konvergen
3. diplopia

e. Saraf Trigeminus (N. V)


Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks
1. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf
tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari
sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien
ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah
yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa
tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa
tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus
terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali
mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien
tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama.
Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
2. Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh
mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh
membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha
menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang
terkena).
3. Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi
- Refleks kornea
a. Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal
pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada
mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal
dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII.
b. Tak langsung (konsensual)
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan
pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana
yang rusak (aferen atau eferen).
- Refleks bersin (nasal refleks)
- Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar)
kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif
yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan
terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.

f. Saraf abdusens (N. VI)


Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal
bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.

g. Saraf fasialis (N. VII)


Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien diam
diperhatikan :
• Asimetri wajah
Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta
lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik
• Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan seterusnya ).
• Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng)
- Tes kekuatan otot
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudian pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut
bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
3. Memperlihatkan gigi (asimetri)
4. Bersiul dan mencucu (asimetri / deviasi ujung bibir)
5. Meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-masing.
6. Menarik sudut mulut ke bawah.
- Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah)
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
- Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien
menjadi lebih keras intensitasnya.

h. Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)


Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler
1) Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus ekternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana
timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan
gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi
dipakai tes Rinne dan tes Weber.
- Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila
bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan
normal anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus
akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.

- Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian
tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi terdengar lebih keras
pada telinga yang abnormal.
2) Pemeriksaan Fungsi Vestibuler
Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt
test (Nylen – Baranny, dixxon – Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus.

i. Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X)


Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama,
anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung /
bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran
uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya
kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah
komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada
pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi
kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan
kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus
laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior
lidah (N. IX).

j. Saraf Asesorius (N. XI)


Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot
trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan
melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.

k. Saraf Hipoglosus (N. XII)


Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi
dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral. Pasien
diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower
motorneuron unilateral.

KELAINAN YANG DAPAT MENIMBULKAN GANGGUAN PADA NERVUS CRANIALIS.

1) Saraf Olfaktorius. (N.I)


Kelainan pada nervus olfaktorius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa gangguan penciuman sering dan disebut
anosmia, dan dapat bersifat unilateral maupun bilateral. Pada anosmia unilateral sering pasien tidak mengetahui
adanya gangguan penciuman. Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya menembus
bagian kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dan mencapai pusat penciuman lesi atau kerusakan
sepanjang perjalanan impuls penciuman akan mengakibatkan anosmia.
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa:
• Agenesis traktus olfaktorius
• Penyakit mukosa olfaktorius bro rhinitis dan tumor nasal
Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik, dimana mukosa ruang hidung
menjadi atrofik penciuman dapat hilang untuk seterusnya.
• Destruksi filum olfaktorius karena fraktur lamina feribrosa.
• Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi “countre coup”, biasanya disebabkan karena jatuh pada
belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilateral mungkin merupakan satu-satunya bukti neurologis dari trauma
vegio orbital.
• Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya.
• Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus olfaktorius (fossa etmoidalis), yang
dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr foster kennedy, dan gangguan kepribadian jenis lobus orbitalis.
Adenoma hipofise yang meluas ke rostral juga dapat merusak penciuman.
• Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik atau ekstrinsik).
Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia mungkin mengeluh tentang rasa
pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk merasakan aroma, suatu sarana yang penting untuk pengecapan
menjadi hilang.
2) Saraf Optikus (N.II)
Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan dapat dibagi menjadi
gangguan visus dan gangguan lapangan pandang. Kerusakan atau terputusnya jaras penglitan dapat mengakibatkan
gangguan penglihatan kelainan dapat terjadi langsung pada nevrus optikus itu sendiri atau sepanjang jaras
penglihatan yaitu kiasma optikum, traktus optikus, radiatio optika, kortek penglihatan. Bila terjadi kelainan berat
makan dapat berakhir dengan kebutaan.
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah anopia atau anopsia. Apabila
lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta semacam itu dinamakan hemiopropia.Berbagai macam perubahan
pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada susunan saraf optikus.
Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh:
1. Trauma Kepala
2. Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
3. Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut tersumbat jug. Gambaran
kliniknya berupa buta ipsilateral.
4. Infeksi.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:
a. Papiledema (khususnya stadium dini)
Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada tekanan intrakkranial yang meninggi, dapat
disebabkan oleh lesi desak ruang, antara lain hidrocefalus, hipertensi intakranial benigna, hipertensi stadium IV.
Trombosis vena sentralis retina.
b. Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia, famitral, misal: retinitis pigmentosa,
penyakit leber, ataksia friedrich.
c. Neuritis optik.

3) Saraf Okulomotorius (N.III)


Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke medial, ke atas dan
lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi,
sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga
kalau lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis)
Kelumpuhan okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini:
1. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan dari kerja otot orbikularis
okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
2. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya perlawanan dari kerja otot rektus
lateral dan oblikus superior.
3. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di perifer, paralisis otot tunggal
menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus okulomotorius.
Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis, karsinoma
nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.

4) Saraf Troklearis (N. IV)


Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak kebawah dan kemedial.
Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata yang lain. Jika
pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi diplopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang
terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada dahi
atau verteks.

5) Saraf Abdusens (N. VI)


Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral, ketika pasien
melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke
arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya otot oblikus inferior.
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak dapat
digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis
bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering dari paralisis nukleus adalah
ensefelitis, neurosifilis, mutiple sklerosis, perdarahan dan tumor.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis, sinusistis, trombosis sinus
kavernosus, aneurisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes posterior, fraktur basis kranialis.

6) Saraf Trigeminus (N. V)


Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus trigeminus antara lain : Tumor pada bagian fosa posterior
dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan rasa baal pada wajah sebagai tanda-tanda dini. Gangguan nervus
trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux yang menyebabkan nyeri singkat dan
hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan
bahwa penyebab tersering dari neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling sering oleh arteri
serebelaris superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal yang masih tak bermielin. Kelainan berapa lesi
ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan berupa trismus, yaitu spasme tonik dari otot-otot pengunyah.
Karena tegangan abnormal yang kuat pada otot ini mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.

7) Saraf Fasialis (N. VII)


Kelainan yang dapat menyebabkan paralis nervus fasialis antara lain:
• Lesi UMN (supranuklear) : tumor dan lesi vaskuler.
• Lesi LMN :
- Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia.
- Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
- Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay Hunt, dan otitis media.
• Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis multipleks, dan keganasan
parotis bilateral.
• Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi telinga tengah yang meliputi
Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.
Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, kelopak mata tidak bisa ditutup,
gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap di bagian belakang lidah serta gangguan pendengaran
(hiperakusis). Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi tidak berfungsi,
ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan
mengalami kesulitan mengunyah dan menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak
bisa menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah (epifora). Refleks kornea pada
sisi sakit tidak ada.

Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
• Gangguan pendengaran, berupa :
a. Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal presbiaksis. Trauma, misal
fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal, sindv rubella
kongenital dan sifilis kongenital.
b. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan penyakit Paget.
• Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
a. Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan, intoksikasi streptomisin.
b. Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
c. Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV demielinisasi.
d. Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.

9) Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)


Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat mengakibatkan hilangnya refleks menelan
yang berisiko terjadinya aspirasi paru. Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi,
sepsis dan adult respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada kematian. Gangguan
nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan
tidak dapat ditelan ke esofagus melainkan bisa masuk ke trachea langsung ke paru-paru.
Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain :
• Lesi batang otak (Lesi N IX dan N. X)
• Syringobulbig (cairan berkumpul di medulla oblongata)
• Pasca operasi trepansi serebelum
• Pasca operasi di daerah kranioservikal

10) Saraf Asesorius (N. XI)


Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot sterokleidomastoideus).
Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat leher berputar ke sisi kontralateral. Kelainan
pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan iskemia akibatnya persarafan ke otot
trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu.

11) Saraf Hipoglossus (N. XII)


Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh darah, tumor dan
syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan
menelan dan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan bicara (disatria)
jalan nafas dapat terganggu apabila lidah tertarik ke belakang. Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat
menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya. Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat
dijulurkan. Saat istirahat lidah membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.(12)

Berikut akan disampaikan reflek yang terkait dengan reflek patologik dan reflek primitif.
1. Reflek hoffmann tromer
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain
disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi
jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal,
sedangkan unilateral hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .
2. Grasping reflek
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk penderita. Maka
timbul genggaman dari jari penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderita tidak
dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak kecil. Jika positif ada pada
dewasa, maka kemungkinan terdapat lesi di area premotorik cortex.
3. Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek
patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
4. Reflek snouting / menyusu
a. Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularos oris, maka akan menimbulkan reflek menyusu.
b. Menggaruk bibir dengan tingue spatel maka akan timbul reflek menyusu.
Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.

5. Mayer reflek
Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara firmly normal akan timbul adduksi dan aposisi
dari ibu jari. Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.
6. Reflek Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral, orang normal akan
memberikan respon fleksi jari-jari kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon
jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka.
Normal pada bayi masih ada.
7. Reflek Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk
dan tengah., jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
8. Reflek gordon
Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius, jika posistif maka akan timbul reflek seperti
babinski
9. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski
10. Reflek chaddock
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika
posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
11. Reflek Rossolimo
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari kaki.
12. Reflek Mendel-Bacctrerew
Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki (9)

EMERIKSAAN SENSORIK DAN POSISI :


A. Anamnesis
a. Apa yang dikeluhkan.
Keluhan dapat berupa:
• kesemutan atau baal (parestesi)
• rangsang yang tidak nyeri dirasakan sebagai nyeri (disestesi/painful parestesi)
• kurang peka (hipestesi)
• terlalu peka (hiperestesi)
• gangguan keseimbangan dan gait (gaya berjalan)
• modalitas sensorik normal tetapi tidak bias mengenal benda pada perabaan tangan (astereognosis)
• lain-lain keluhan
b. Kapan timbulnya keluhan.
c. Lokasi keluhan.
Keluhan positif semacam parestesi, disestesi dan nyeri biasanya dapat dilokalisir, tetapi gejala-gejala
negative seperti hipestesi dan anogsia sulit dilokalisir.
d. Sifat keluhan.
Penderita diminta menggambarkan sifat keluhan. Pada keluhan nyeri perlu juga diketahui derajat rasa
nyeri yang timbul.
e. Kejadian-kejadian tertentu yang berkaitan.
Apakah ada kejadian-kejadian yang memicu terjadinya keluhan. Misalnya pada HNP, penderita
merasakan ischialgia pada waktu mengangkat benda berat, dan nyeri meningkat pada keadaan-keadaan
yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, misalnya batuk, mengejan, bersin), dan lain-lain.
f. Kelainan neurologis yang menyertai.
Dapat berupa kelemahan/gangguan motorik, gangguan bahasa, kejang, gangguan defekasi dan miksi, dan
gangguan saraf otonom.
B. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan modalitas
Modalitas primer dari sensasi somatik (seperti rasa nyeri, raba, posisi, getar dan suhu) diperiksa lebih
dulu sebelum memeriksa fungsi sensorik diskriminatif/kortikal.
• Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial
Nyeri merupakan sensasi yang paling baik untuk menentukan batas gangguan sensorik. Alat yang
digunakan adalah jarum berujung tajam dan tumpul.
Cara pemeriksaan:
a. Mata penderita ditutup
b. Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum pada dirinya sendiri.
c. Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai menimbulkan perlukaan.
d. Rangsangan terhadap terhadap kulit dilakukan dengan ujung runcing dan ujung tumpul secara
bergantian. Penderita diminta menyatakan sensasinya sesuai yang dirasakan. Penderita jangan ditanya:
apakah anda merasakan ini atau apakah ini runcing?
e. Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal yang kontralateral tetapi sama (misalnya:
lengan bawah volar kanan dengan kiri)
f. Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas ketajaman rangsang di
daerah yang berlainan.
g. Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi maka rangsangan dimulai dari daerah
tadi ke arah yang normal.
• Pemeriksaan sensasi nyeri tekan dalam
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekan tendo Achilles, fascia antara jari tangan IV dan V atau
testis.
• Pemeriksaan sensasi taktil/raba
Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus, dan lain-lain. Cara pemeriksaan :
a. Mata penderita ditutup
b. Pemeriksa terlebih dahulu mencoba alat pada dirinya sendiri.
c. Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan terhadap jaringan subkutan.
Tekanan dapat ditambah sedikit bila memeriksa telapak tangan atau telapak kaki yang kulitnya lebih
tebal.
d. Mulailah dari daerah yang dicurigai abnormal menuju daerah yang normal. Bandingkan daerah yang
abnormal dengan daerah normal yang kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan
dengan kiri)
e. Penderita diminta untuk mengatakan “ya” atau “tidak” apabila merasakan adanya rangsang, dan
sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang.
• Pemeriksaan sensasi getar/vibrasi
Alat yang digunakan adalah garpu tala berfrekuensi 128 atau 256 Hz.
Cara pemeriksaan:
a. Garpu tala digetarkan dengan memukulkan pada benda padat/keras.
b. Kemudian pangkal garpu tala diletakkan pada daerah dengan tulang yang menonjol seperti ibu jari
kaki, pergelangan tangan, maleolus lateralis/medialis, procc. spinosus vertebrae, siku, bagian lateral
clavicula, lutut, tibia, sendi-sendi jari dan lainnya. (Gambar 1)
c. Bandingkan antara kanan dan kiri.
d. Catat intensitas dan lamanya vibrasi.
e. Untuk penentuan lebih cermat, garpu tala kemudian dipindahkan pada bagian tubuh yang sama pada
pemeriksa. Apabila pemeriksa masih merasakan getaran, berarti rasa getar penderita sudah menurun.

Gambar 1
• Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi
Tujuannya adalah memperoleh kesan penderita terhadap gerakan dan pengenalan terhadap arah
gerakan, kekuatan, lebar atau luas gerakan (range of movement) sudut minimal yang penderita sudah
mengenali adanya gerakan pasif, dan kemampuan penderita untuk menentukan posisi jari dalam ruangan.
Tidak diperlukan alat khusus.

Cara pemeriksaan:
a. Mata penderita ditutup.
b. Penderita diminta mengangkat kedua lengan di depan penderita menghadap ke atas.
c. Penderita diminta mempertahankan posisi tersebut. Pada kelemahan otot satu sisi atau gangguan
proprioseptik maka lengan akan turun dan menuju ke arah dalam.
Modifikasi dari tes ini adalah dengan menaik turunkan kedua tangan dan penderita diminta menanyakan
tangan mana yang posisinya lebih tinggi.
Kedua tes di atas dapat dikombinasi dengan modifikasi tes Romberg. Caranya: penderita diminta berdiri
dengan tumit kanan dan jari-jari kaki kiri berada pada satu garis lurus dan kedua lengan ekstensi ke
depan. Kemudian penderita diminta menutup matanya. Bila ada gangguan proprioseptik pada kaki maka
penderita akan jatuh pada satu sisi.
Untuk tes posisi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Penderita dapat duduk atau berbaring, mata penderita ditutup.
b. Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan terpisah satu sama lain sehingga
tidak bersentuhan.
c. Jari penderita digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin sehingga
tekanan terhadap jari-jari tersebut dapat dihindari, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh
melakukan gerakan aktif seringan apapun.
d. Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari atau adakah gerakan pada
jarinya.
Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu penderita pada posisi tertentu dan meminta
penderita diminta menirukan posisi tersebut pada jari yang lain.
• Pemeriksaan sensasi suhu
Alat yang dipakai adalah tabung berisi air bersuhu 5-10ºC untuk sensasi dingin dan air 40-45ºC untuk
sensasi panas.
Cara pemeriksaan:
a. Penderita lebih baik pada posisi berbaring. Mata penderita ditutup.
b. Tabung panas/dingin lebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
c. Tabung ditempelkan pada kulit penderita dan penderita diminta menyatakan apakah terasa dingin
atau panas.
2. Pemeriksaan sensorik diskriminatif/kortikal
Syarat pemeriksaan ini adalah fungsi sensorik primer (raba, posisi) harus baik dan tidak ada gangguan
tingkat kesadaran, kadang-kadang ditambah dengan syarat harus mampu memanipulasi objek atau tidak
ada kelemahan otot-otot tangan (pada tes barognosis)
Macam-macam gangguan fungsi sensorik kortikal:
a. gangguan two point tactile discrimination
Gangguan ini diperiksa dengan dua rangsangan tumpul pada dua titik di anggota gerak secara serempak,
bisa memakai jangka atau calibrated two point esthesiometer. Pada anggota gerak atas biasanya
diperiksa pada ujung jari. Orang normal bisa membedakan dua rangsangan pada ujung jari bila jarak
kedua rangsangan tersebut lebih besar dari 3 mm. Ketajaman menentukan dua rangsangan tersebut
sangat bergantung pada bagian tubuh yang diperiksa, yang penting adalah membandingkan kedua sisi
tubuh. (Gambar 2)

Gambar 2
b. gangguan graphesthesia
Pemeriksaan graphesthesia dilakukan dengan cara menulis beberapa angka pada bagian tubuh yang
berbeda-beda dari kulit penderita. Pasien diminta mengenal angka yang digoreskan pada bagian tubuh
tersebut sementara mata penderita ditutup. Besar tulisan tergantung luas daerah yang diperiksa. Alat
yang digunakan adalah pensil atau jarum tumpul. Bandingkan kanan dengan kiri. (Gambar 3)

Gambar 3

Gambar 4
c. gangguan stereognosis = astereognosis
Diperiksa pada tangan. Pasien menutup mata kemudian diminta mengenal sebuah benda berbentuk yang
ditempatkan pada masing-masing tangan dan merasakan dengan jari-jarinya. Ketidakmampuan mengenal
benda dengan rabaan disebut sebagai tactile anogsia atau astereognosis. Syarat pemeriksaan, sensasi
proprioseptik harus baik. (Gambar 4)
d. gangguan topografi/topesthesia = topognosia
Kemampuan pasien untuk melokalisasi rangsangan raba pada bagian tubuh tertentu. Syarat
pemeriksaan, rasa raba harus baik.
e. gangguan barognosis = abarognosis
Membedakan berat antara dua benda, sebaiknya diusahakan bentuk dan besar bendanya kurang lebih
sama tetapi beratnta berbeda. Syarat pemeriksaan, rasa gerak dan posisi sendi harus baik.
f. sindroma Anton-Babinsky = anosognosia
Anosognosia adalah penolakan atau tidak adanya keasadaran terhadap bagian tubuh yang lumpuh atau
hemiplegia. Bila berat, pasien akan menolak adanya kelumpuhan tersebut dan percaya bahwa dia dapat
menggerakkan bagian-bagian tubuh yang lupuh tersebut.

g. sensory inattention = extinction phenomenon


Alat yang digunakan adalah kapas, kepala jarum atau ujung jari. Cara pemeriksaan adalah dengan
merangsang secara serentak pada kedua titik di anggota gerak kanan dan kiri yang letaknya setangkup,
sementara itu mata ditutup. Mula-mula diraba punggung tangan pasien dan pasien diminta menggenal
tempat yang diraba. Kemudian rabalah pada titik yang satangkup pada sisi tubuh yang berlawanan dan
ulangi perintah yang sama. Setelah itu dilakukan perabaan pada kedua tempat tersebut dengan tekanan
yang sama secara serentak. Bila ada extinction phenomen maka pasien hanya akan merasakan
rangsangan pada sisi tubuh yang sehat saja.

3. Pemeriksaan sensorik khusus


• Tinel’s sign
Umumnya digunakan untuk tes saraf medianus pada sindroma Carpal-Tunnel. Tepukan ujung jari pada
saraf medianus di tengah-tengah terowongan carpal akan menimbulkan disesthesi (rasa paresthesi dan
nyeri yang menjalar mulai dari tempat rangsang ke jari-jari telunjuk, tengah dan manis yang mirip aliran
listrik).
• Perspiration test
Prinsip: adanya keringat akan bereaksi dengan amilum/tepung yang diberi yosium, sehingga memberikan
warna biru.
Cara pemeriksaan :
a. Bagian depan tubuh (leher ke bawah) disapu dengan tepung yang mengandung yodium.
b. Kemudian tubuh penderita ditutup dengan semacam sungkup supaya cepat berkeringat (bila perlu
diberi obat antipiretik).
c. Setelah 1-2 jam sungkup dibuka dan dicatat bagian tubuh yang tetap putih (tidak ada produksi
keringat).
Tes ini adalah tes yang obyektif dan digunakan pada kasus-kasus paraplegia untuk menentukan batas
lesinya. Koordinasi adalah penggunaan normal dari faktor-faktor motorik, sensorik dan sinergik dalam
melakukan gerakan. Pusat koordinasi adalah cerebellum.
Gangguan koordinasi dibagi menjadi:
1. Gangguan equlibratory coordination (mempertahankan keseimbangan, khususnya pada posisi berdiri),
diperiksa dengan:
a. Tes Romberg
Penderita diminta berdiri dengan kedua tumit saling merapat. Pertama kali dengan mata terbuka
kemudian penderita diminta menutup matanya. Pemeriksa menjaga jangan sampai penderita jatuh tanpa
menyentuh penderita. Hasil positif didapatkan apabila penderita jatuh pada satu sisi.
b. Tes tandem walking
Penderita diminta berjaln pada satu garis lurus di atas lantai, dengan cara menempatkan satu tumit
langsung di depan ujung jari kaki yang berlawanan, baik dengan mata terbuka atau tertutup. (Gambar 5)

Gambar 5

Gambar 6
2. Gangguan non equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak, terutama
gerakan halus), diperiksa dengan:
a. Finger-to-nose test.
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi abduksi dan ektensi
secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari
telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata
terbuka dan tertutup.
b. Nose-finger-nose-test
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien diminta menyentuh
ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya. Jari pemeriksa dapat diubah-ubah baik
dalam jarak maupun bidang gerakan. (Gambar 6)
c. Finger-to-finger test
Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta untuk menggerakkan
kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah bidang horizontal tersebut.
Pertama dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.
d. Diadokokinesis
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya bergantian pronasi dan supinasi dengan posisi
siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin dengan mata terbuka atau mata tertutup.
Diadokokinesis pada lidah dapat dikerjakan dengan meminta penderita menjulurkan dan menarik lidah
atau menggerakkan ke sisi kanan dan kiri secepat mungkin. (Gambar 7)
Tapping test merupakan variasi test diadokokinesis, dilakukan dengan menepuk pinggiran meja/paha
dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal tangan dengan cepat atau dengan
tepukan cepat jari-jari tangan ke jempol. (Gambar

Gambar 7
Gambar 8
e. Heel-to-knee-to-toe test
Penderita diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutut kontralateral, kemudian diteruskan
dengan mendorong tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya. (Gambar 9) Variasi dari test ini adalah
toe-finger test, yaitu penderita diminta untuk menunjuk jari penderita dengan jari-jari kakinya atau
dengan cara membuat lingkaran di udara dengan kakinya. (Gambar 10)

Gambar 9

Gambar 10

f. Rebound test
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah, siku
difiksasi/diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik lengan bawah tersebut
dan penderita diminta menahannya, kemudian dengan mendadak pemeriksa melepaskan tarikan tersebut
tetapi sebelumnya lengan lain harus menjaga muka dan badan pemeriksa supaya tidak terpukul oleh
lengan penderita sendiri bila ada lesi cerebellum.

Anda mungkin juga menyukai

  • Hi Sprung
    Hi Sprung
    Dokumen9 halaman
    Hi Sprung
    Hengky Sinnerclass
    Belum ada peringkat
  • Askep Luka Bakar Sam
    Askep Luka Bakar Sam
    Dokumen27 halaman
    Askep Luka Bakar Sam
    Hengky Sinnerclass
    Belum ada peringkat
  • Diare
    Diare
    Dokumen9 halaman
    Diare
    Hengky Sinnerclass
    Belum ada peringkat
  • Alzheimer
    Alzheimer
    Dokumen8 halaman
    Alzheimer
    Hengky Sinnerclass
    Belum ada peringkat
  • Nervous
    Nervous
    Dokumen6 halaman
    Nervous
    Hengky Sinnerclass
    Belum ada peringkat
  • Askep As Atau Alergi
    Askep As Atau Alergi
    Dokumen6 halaman
    Askep As Atau Alergi
    Hengky Sinnerclass
    Belum ada peringkat