Anda di halaman 1dari 18

BLITAR JATIM INDONESIA

Nama Candi Penataran kiranya tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita terutama bagi
masyarakat Jawa Timur. Nama tersebut sudah begitu lekat dan akrab sehingga tidak jarang
digunakan orang sebagai mana jalan, toko, depot, dan nama badan - badan usaha lainnya.
Orang mempergunakan nama “ Candi Penataran” (yang kadang tanpa kata “candi” di
depannya) barangkali di dorong oleh rasa kagum akan masa gemilang yang pernah dicapai
oleh nenk moyang kita di masa lalu, sisa-sisa bekas kegemilangan itu masih dapat kita
saksikan peninggalannya sampai sekarang. Dengan menggunakan nama ini diharapkan dapat
membawa sukses besar pada pemakainya disamping untuk melestarikan nama yang
mempunya nilai historis itu. Penggunaan nama Candi Penataran itu memang tidak salah pilih
walaupun bagi Shakespeare tidak pernah ambil peduli apakah arti sebuah nama.

Candi Penataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian
terluas di kawasan Jawa Timur, hampir sepanjang hari tidak pernah sepi pengunjung. Menurut
catatan jumlah pengunjung umum rata-rata dalam satu bulan sekitar 20.000 sampai 25.000
orang, suatu jumlah yang tidak dapat dikatakan kecil sementara jumlah pengunjung candi-
candi yang lain rata-rata dalam satu bulan sekitar 5.000 orang saja.
Wisatawan - wisatawan asing yang datang di Jawa Timur dalam kunjungannya ke Blitartidak
lupa menyempatkan diri berkunjung ke Candi Penataran. Kekunaan ini paling banyak di tulis
orang, sumber inspirasi bagi para seniman, lahan yang lumayan bagi para penjaja makanan
dan barang - barang cindera manta.

Sebagai suaka budaya yang dilundungi undang-undang, Candi Penataran tergolong dalam
monumen mati (dead monument) artinya tidak ada kaitannya lagi dengan agama atau
kepercayaan yang hidup dewasa ini. Bangunan percandiaan tidak lagi berfungsi sebagaimana
sewaktu dibangun semula. Kontak yang terjadi antara pengunjung dan kekunaan adalah dalam
rangka penikmatan seni dan budaya serta ilmu pengetahuaan. Candi tidak lagi sebagai tempat
untuk ibadah dan bukan tempat semedi atau meditasi. Pemugaran-pemugaran candi yang telah
memdapat perhatian pemerintah sejak Pelita II adalah dalam Rangka menyelamatkan
bangunan dari kerusakan yang lebih fatal bukan untuk menghidupkan kembali tradisi lama.
Apabila karena sesuatu hal sebuah candi atau monument runtuh berarti kita telah kehilangan
bukti sejarah yang autentik, kehilangan tersebut tidak akan dapat diganti oleh yang lain untuk
selama-lamanya. Kini 500 tahun lebih telah berlalu, komplek percandian Penataran masih
tegak berdiri di tempat semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan siap menanti
kunjungan anda setiap saat .
1
LOKASI CANDI

Candi Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 - 1915 nomor
2045 dan catatan Verbeek nomor 563. Bangunan kekunaan terdiri atas beberapa
gugusan sehingga lebih tepat kalau disebut komplek percandian. Lokasi bangunan
terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas
permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan Nglegok,
Blitar.

Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh dari pusat kota Blitar ke arah utara
yaitu kejurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota sampai lokasi
diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis
kendaraan. Apabila di tempuh dari kota Blitar, setelah perjalanan mencapai 10 km,
sampailah kita di pasar Nglegok, kemudian di teruskan sampai pasar desa Panataran.
Disini jalan bercabang dua, yaitu belok ke kanan menuju desa Modangan sedangkan
yang belok kekiri menuju yakni jalan menuju ke barat adalah langsung menuju ke
percandian. Dari pertigaan pasar Panataran sampai ke lokasi hanya tinggal 300 m.

Bagi pengunjung yang datang dari malang tidak perlu masuk sampai kota, sebab dapat
ditempuh dari pertigaan desa Garum belok kanan sejauh ± 5 km sudah sampai lokasi.
Hanya fasilitas jalan nya tidak terlalu lebar.

KECAMATAN NGLEGOK KAB. BLITAR JATIM

2
RIWAYAT PENEMUAN
Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya
agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha
begitu saja di tinggalkan oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-
bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di lupakan orang-orang karena
masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut
menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran
tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di
sana sini.
Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah
lagi. Batu - batu candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas
bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk
dijadikan semen merah. Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca di ambil oleh
sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang menyedihkan ini berlangsung cukup lama,
sampai datangnya para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Dengan keahlian
yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan pemugaran.
Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu. Candi Penataran
di temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal.
Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur
jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara kita pada waktu itu.

Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan
ke Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang cukup
terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di
ikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta,
selanjutnya van meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan
N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di komplek
percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte bersama dengan J. Knebel
seorang asisten residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan hasil
penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit 1900 yang berjudul “De ruines van
Panataran
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama
Oudheidkundige Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka
penanganan atas candi Penataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan
peninggalan kuno yang lainyang berada di Jawa Timur, Pemeliharaan, Perlindungan,
Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.

3
SUSUNAN UMUM KOMPLEK
PERCANDIAN
Dalam garis besarnya susunan umum komplek percandian Penataran dapat diuraikan
sebagai di bawah ini.

Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar
dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman
komplek percandian kecuali halaman yang berada di bagian tenggara di bagi-bagi
(disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari arah utara ke selatan sehingga
membagi halaman komplek percandian menjadi tiga bagian yang untuk mudahnya
yang berturut-turut akan di sebut sebagai: halaman A untuk halaman I, halaman B
untuk halaman II, dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek
percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang
kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh
dinding yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B menjadi dua
bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum di ketahui
dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi - pondasinya saja. Begitu juga
tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh, yang nampak sekarang
adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling
kekunaan. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah,
sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang
satu dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya
agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang
ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang
adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan
induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling
belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur perwujudan
dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan
makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman
komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di
bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa undak-undakan sampailah
kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan diri sebelum masuk halaman
komplek percandian. disini terdapat dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) yang di
kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Bodo” yang menarik dari
kedua arca penjaga ini bukan karena ukurannya yang besar dan wajahnya yang
menakutkan (daemonis) tetapi pahatan angka tahun tertulis dalam huruf Jawa Kuno:
tahun 1242 Saka atau kalau di jadikan mesehi (ditambah 78 Tahun) menjadi 1320
Masehi.

4
Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut
para sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran)
di resmikan menjadi kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegaradari
Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 - 1328 AD.

Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat
sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-
sebut Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848.
Dengan melalui bekas pintu gerbang ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A.
Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan yang hanya tinggal
pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah. Melihat banyaknya umpak -
umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan -
bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali.
Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang - tiang kayu belum dapat diketahui
dengan pasti.

Bangunan - bangunan penting yang terletak di halaman A adalah sebuah bangunan


yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama “Bale Agung”, kemudian
bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja,
sebuah bangunan berbentuk persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari
bangunan bale agung yang di sebut dengan nama “pendopo teras” atau “batur
pendopo” dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang di sebut candi
Angka tahun. Bangunan - bangunan tersebut seluruhnya terbuat dari batu andesit.

Menurut halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang bagian
depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua
arca dwarapala ini pada lapik arca nya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214
Saka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angkat tahun ini belum
diketahui. Di Halaman B masih dapat di saksikan sekitar 7 buah bekas bangunan, ada
bangunan yang terbuat dari bahan bata merah dan ada juga bangunan yang terbuat dari
bahan batu andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut enam buah diantaranya
sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu satunya bangunan yang cukup di kenal
adalah Candi Naga, di sebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan tersebut di
lilit ular Naga. Bangunan Candi Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Halaman terakhir adalah halaman C, di situ juga terdapat bekas pintu gerbang yang
bagian depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala. Ada sekitar 9 buah bekas
bangunan, dua buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk, tujuh

5
bangunan yang lain sementara ini belum terungkapkan.

Disebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu
bertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu tersebut
masih berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119
Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena
isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan
Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud Palah
tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah
Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran
memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada

jaman kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir
semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan
raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri)
telah lama runtuh.

Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya
masih ada hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan.
Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi
yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang
agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut komplek percandian.

>>>o0o<<<

6
Uraian Bangunan - Bangunan
Yang Penting Dan Menarik
Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas kiranya perlu diuraikan beberapa
bangunan yang di anggap penting dan menarik.

Uruatan-urutan uraian sengaja dari bangunan-bangunan yang terdapat di halaman A


terus ke halaman B, C dan seterusnya mengingat pada umumnya pengunjung melihat-
lihat bangun an bangunan kekunoan dari bagian depan terus ke belakang. Uraian
bersifat deskriptif dengan mencantumkan ukuran-ukuran supaya dapat memberikan
gambaran secara dimensional apabila kita sudah tidak berada di lokasi percandian.
Bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai berikut:

Bale Agung
Lokasi bangunan terletak di bagian barat laut halaman A, posisinya sedikit menjorok
ke depan. Bangunan seluruhnya terbuat dari batu dindingnya masih dalam keadan
Polos. Pada dinding sisi selatan dan sisi utara terdapat tangga masuk yang berupa
undak-undakan sehingga membagi dinding sisi utara maupun sisi selatan menjadi dua
bagian. Begitu pula pada dinding sisi timur ini menjadi tiga bagian. Sekeliling tubuh
bangunan bale agung dililiti oleh ular atau naga, kepala ular tersembul pada bagian
sudut bangunan.
Di sebelah kiri dan kanan masing-masing tangga naik terdapat arca penjaga yang
berupa arca mahakala.
Arca-arca Mahakala yang teletak di sebelah kiri dan kanan tangga masuk dinding sisi
timur nampaknya tidak lengkap lagi.
Bangunan Bale Agung berukuran panjang 37 meter, lebar 18,84 meter dan tinggi 1,44
meter.
Sejumlah umpak batu yang berada di lantai atas diperkirakan dahulu sebagai penumpu
tiang-tiang kayu untuk keperluan atap bangunan. Fungsi bangunan Bale Agung
menurut N.J Krom seperti juga di Bali dipergunakan untuk tempat musyawarah para
pendeta atau Pedanda.

Pendopo Teras
Juga di sebut Batur Pendopo, lokasi bangunan berada di sebelah tenggara bangunan
Bale Agung. Berbeda dengan bangunan Bale Agung yang polos bangunan pendopo
teras ini dinding nya dikelilingi oleh relief-relief cerita. Pada dinding sisi barat
terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan, tangga ini tidak berlanjut
di dinding bagian utara. Pada masing-masing sudut tangga masuk di sebelah kiri dan
kanan pipi tangga terdapat arca raksasa kecil bersayap dengan lutut di tekuk pada satu
kakinya dan salah satu tangannya memegang Gada Pipi tangga yang pada bagian yang

7
berbentuk ukel besar berhias umpal yang indah. Bangunan pendopo teras berangka
tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi.
Letak pahatan angka tahun ini agak sulit mencarinya karena berbaur dengan hiasan
yang berupa sulur daun-daunan, lokasi berada di pelipit bagian atas dinding sisi timur,
seperti pada bangunan bale agung, sekeliling tubuh bangunan pendopo teras juga
dililiti ular yang ekornya saling berbelitan, kepalanya tersembul diatas di antara pilar-
pilar bangunan. Kepala ular sedikit mendongak ke atas, memakai kalung dan
berjambul.

Bangunan tersebut seluruhnya dari batu, berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran panjang 29,05 meter, lebar 9,22 meter dan tinggi 1,5 meter. Diduga bangunan
pendopo teras ini berfungsi sebagain tempat untuk menaruh sesaji dalam rangka
upacara keagamaan.

Candi Angka Tahun


Disebut demikian karena di atas ambang pintu masuk bangunan terdapat angka tahun:
1291 Saka (=1369 Masehi). Lokasi bangunan berada di sebelah timur bangunan
pendopo teras dalam jarak sekitar 20 meteran.

Di kalangan masyarakat lebih di kenal dengan nama Candi Browijoyo karena model
bangunan ini dipergunakan sebagai lambang kodam V Brawijaya. Kadang-kadang ada
yang menyebut Candi Ganesa karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca
ganesa. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya berakhir pada
bentuk ukel besar (voluta) dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-bungaan dalam
susunan segitiga sama kaki.

Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain terdiri dari
bagian - bagian yang disebut: Kaki candi yaitu bagian candi yang bawah, kemudian
tubuh candi dimana terdapat bilik atau kamar candi (gerbagerha) dan kemudian
mahkota bangunan yang berbentuk kubus. Pada bagian mahkota nampak hiasan yang
meriah. Pada masing-masing dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk
yang berupa pintu semu yang dibagian atasnya terdapat kepala makhluk yang
bentuknya menakutkan. Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kalayang di Jawa
Timur sering disebut banaspati yang berarti raja hutan yang bisa berupa singa atau
harimau. Penempatan kepala kala diatas relung candi dimaksudkan untuk menakut-
nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke komplek percandian. Bangunan candi
Angka Tahun cukup terkenal seakan-akan bangunan inilah yang mewakili komplek
percandian Panataran.

8
Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief “Surya
Majapahit” yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar yang berupa garis-
garis lurus dalam susunan beberapa buah segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit
juga ditemukan di beberapa candi yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang
sedikit berbeda.
Candi Naga
Berbeda dengan bangunan-bangunan yang telah diterangkan di atas, Candi Naga
berada di halaman B. Bangunan terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83
meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Seperti Candi Angka Tahun pintu
masuk bilik candi terletak di bagian barat dengan pipi tangga berhiasan tumpal. Fisik
bangunan hanya tinggal bagian yang disebut kaki dan tubuh candi, bagian atapnya
yang kemudian dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh. Bangunan yang
kita saksikan pada saat ini adalah hasil pemugaran tahun 1917 - 1918. Disebut Candi
Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan figur-figur atau tokoh-tokoh seperti
raja sebanyak sembilan buah masing-masing berada di sudut-sudut bangunan bagian
tengah ketiga dinding dan disebelah kiri dan kanan pintu masuk. Kesembilan tokoh ini
digambarkan dalam pakaian mewah dengan prabha di bagian belakangnya, salah satu
tangannya memegang genta (bel upacara) sedang tangan yang lain mendukung tubuh
naga yang melingkar bagian atas bangunan.

Kesembilan tokoh tersebut dalam keadaan berdiri dan menjadi pilaster bangunan. Pada
masing-masing dinding tubuh candi masih dihias dengan model-model bulatan yang
disebut dengan “Motif Medallion”. Di dalam bulatan terdapat relief yang
menggambarkan kombinasi antara daun-daunan atau bunga-bungaan dengan berbagai
jenis biantang atau burung. Di antara motif-motif medallion terdapat relief cerita
binatang dalam ukuran yang lebih kecil, sayang cerita yang digambarkan dalam relief-
relief ini belum dapat diungkapkan.
Menurut orang-orang Bali yang pernah mengunjungi komplek percandian Panataran
fungsi Candi Naga adalah sama dengan Pura Kehen di Bali sebagai tempat untuk
menyimpan milik dewa-dewa. Pura Kehen itu terletak di daerah Bangli, usianya belum
terlalu tua di dalamnya terdapat arca-arca yang diduga berasal dari abad XIV. Jadi
yang tua adalah koleksi-koleksinya bukan bangunannya. Barangkali lebih tepat kalau
Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten
Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat
dengan kerajaan Majapahit. Pura ini kecuali berfungsi sebagai pemujaan kerajaan
Klungkung juga dipergunakan sebagai tempat pemasupatian (pemberian kesaktian)
senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini

9
dapat dibenarkan maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-
benda upacara milik para dewa tetapi lebih tepat kalau untuk pemasupatihan benda-
benda milik kerajaan Majapahit. Untuk keperluan pemasupatihan tidak perlu dibawa
ke Bali.

Candi Induk
Bangunan Candi Induk sebagaimana telah diuraikan dimuka adalah satu-satunya
bangunan candi yang paling besar diantara bangunan-bangunan kekunaan yang
terdapat di halaman komplek percandian. Lokasi bangunan terletak dibagian yang
paling belakang yakni bagian yang dianggap suci. Bangunan Candi Induk terdiri dari
tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter.
Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur
barat. Pada keempat sisinya kira-kira di bagian tengah masing-masing dinding terdapat
bagian yang menjorok keluar sekitar 3 meteran. Pada teras pertama dinding sisi barat
terdapat dua buah tangga naik yang berupa undak-undakan.

Teras kedua bentuknya berbeda dengan teras pertama bagian-bagian yang menjorok
bukan ke luar tetapi ke dalam untuk ukuran yang lebih kecil. Adanya perbedaan
ukuran antara teras pertama dan teras kedua menyebabkan terjadinya halaman kosong
di lantai teras pertama sehingga orang dapat berjalan-jalan mengelilingi bangunan
sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief. Tempat kosong
ini namanya selasar. Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya
hampir di tengah-tengah dinding, tangga naik bersambung dengan tangga yang berada
di teras ketiga.

Teras ketiga bentuknya hampir bujur sangkar, dinding-dindingnya berpahatkan arca


singa bersayap dan naga bersayap. Naga bersayap kepalanya sedikit mendongak ke
depan sedangkan singa bersayap kaki belakangnya dakam posisi berjongkok dan kaki
depannya diangkat keatas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga selain untuk
mengisi bidang yang kosong juga menjadi pilaster bangunan. Yang menarik dari lantai
teras ketiga ini adalah sewaktu diadakan pembukaan lantai dalam rangka pemugaran
ternyata bagian tengah lantai teras terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah
bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok ke
depan. Berdasarkan data-data tersebut timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi
Penataran dibuat dari batu merah. Dalam kurun waktu berikutnya diperluas dengan

10
menutupinya memakai batu andesit. Perluasan itu terjadi pada jaman Majapahit.
Apakah bangunan yang lama yang dibuat dari bahan bata merah ini yang dimaksudkan
dalm prasasti Palah kiranya perlu penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.

Dengan sampainya di lantai teras ketiga candi induk sampailah kita pada dasar kaki
candi. Disinilah seharusnya berdiri tubuh candi. Sebagian dari tubuh candi induk ini
telah di susun dalam susunan percobaan di lapangan percandian. Karena bagian-
bagian percandian belum dapat di temukan semuanya maka sampai saat ini bangunan
tubuh candi induk belumdapat diselesaikan.

Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca dwarapala,
pada alas arca terdapat tahun angka 1269 Saka atau 1347 Masehi. Di bagian arca
dwaraphala ini terdapat relief cerita, relief-relief cerita juga terdapat pada
dindingdinding teras pertama dan kedua bangunan candi induk yang nanti akan
diceritakan tersendiri.

>>>o0o<<<

CERITA - CERITA SINGKAT RELIEF – RELIEF

Sejumlah bangunan purbakala di Jawa Timur dindingnya berpahatkan relief-relief


cerita dalam kombinasi berbagai ragam hias yang indah dan menarik. Relief-relief
tersebut dipahatkan pada bangunan-bangunan yang dibuat dari bahan batu keras dan
juga dipahatkan pada bangunan-bangunan yang di buat dari bahan bata merah
walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak.

Pada umumnya relief-relief gaya Jawa Timur berbentuk agak pipih (gepeng) seperti
wayang, berbeda dengan relief-relief gaya Jawa Tengah yang berbentuk naturalis atau
realistik dalam arti mendekati bentuk model yang sebenarnya. Dengan melalui
visualisasi relief-relief ininenek moyang kita atau seniman ingin menyampaikan
informasi atau pesan kepada masyarakat. Informasi atau pesan tersebut dapat berupa
cerita yang didalamnya terkandung tentang ajaran-ajaran agama, tentang
kepahlawanan, tentang cinta kasih dan sebagainya.
11
Juga berupa tutur yakni dongengan yang bersifat mendidik. Dan tidak mustahil bila di
antara sekian banyak relief ada yang menggambarkan semacam protes sosial yang
terjadi pada zamannya. Studi tentang relief memang menarik sebab dari sinilah kita
dapat melihat gambaran sebagian dari kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu,
tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, tentang model-model bangunan, tentang

berbagai pola ragam hias, tentang filsafat dan kepercayaan nenek moyang pada waktu
itu. Untuk pembacaan suatu adegan dalam relief dapat mengikuti arah jarum jam yang
juga di sebut pradaksina dan juga dapat kebalikannnya yakni berlawanan dengan arah
jarum jam yang di sebut prasawnya.

Jadi ada yang berurutan dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Di komplek percandian
penataran relief-relief yang terdapat di dinding-dinding pendopo teras pada bidang
atau panil-panil tertentu di bagian atasnya terdapat tulisan singkat dalam huruf jawa
kuno yang diduga merupakan petunjuk bagi para pemahat cerita apa yang harus
digambarkan. Beberapa tulisan singkat yang telah berhasil dibaca memang sesuai
dengan adegan yang dilukiskan dalam relief tersebut. Tulisan-tulisan singkat seperti
ini juga terdapat di candi Borobudur. Adapun relief-relief di komplek percandian
Penataran yang telah diketahui jalan ceritanya seperti di bawah ini.

 Sang Setyawan
Relief : Sang Setyawan
Lokasi : dinding sisi timur bangunan pendopo teras
Urutan adegan : Prasawya, dari kiri ke kanan dimulai dari sudut tenggara terdiri
dari sekitar 18 panil

Cerita singkat :
Adalah seorang penduduk khayangan bernama Sang Setyawan seseorang yang
dikisahkan mempunyai sifat-sifat patuh dan setia sehingga bersedia mengerjakan
segala pekerjaan sampai pekerjaan yang dipandang hina sekalipun. Pada suatu ketika
Sang Setyawan menghadap di kerajaan Pus - pa Tan Alum, rajanya bernama Jayati
dari negeri Kertanirmala. Sang raja terpikat oleh sifat-sifat Sang Setyawan sehingga
dengan senang hati ia menjodohkan dengan putrinya yang bernama Suwistri.
Tibalah saatnya Sang Setyawan meninggalkan istrinya untuk pergi bertapa. Suwistri
bersama abdinya yang bernama Sucita mencarinya ke hutan. Begitu melihat istrinya
datang dari kejauhan, Sang Setyawan tiba-tiba mengubah dirinya menjadi ular dan

12
harimau untuk membuat Suwistri takut.Ternyata Suwistri tenang-tenang saja. Begitu
juga sewaktu digoda oleh pertapa-pertapa yang sedang mengerjakan sawah mereka
jatuh cinta pada Suwistri dan saling berkelahi. Sang Setyawan kemudian menciptakan
sebuah pertapaan yang indah dan kemudian mengganti namanya dengan Cilimurti.
Suwistri kemudian dijadikan pertapa dan diberi pelajaran hal ihwal yang menyangkut
kebiaraan. Setelah selesai menuntut pelajaran tersebut kemudian ia menjadi satu
dengan Cilimurti yang ternyata adalah Sang Hyang Wenang.Tersebutlah kemudian
orang tua Suwistri bersama istrinya yang bernama Dewayani kemudian pergi untuk
mencari anaknya. Akhirnya diketahui bahwa anaknya telah bersatu dengan Sang
Hyang Wenang. Raja Jayanti bersama istrinya kemudian mengikuti jejak anaknya
untuk menjadi pertapa. Atas perintah Sang Hyang Wenang mereka diperintahkan
untuk menuju ke gunung Meru, raja Jayanti di bagian Timur sedangkan Dewayanti di
bagian barat.

 Sri Tanjung
Relief : Sri Tanjung
Lokasi : dinding sisi barat kemudian terus berlanjut pada dinding sisi
selatan pada
bangunan pendopo teras.
Urutan Adegan : prasawya, dimulai dari dinding sebelah kanan tangga masuk
sebelah selatan.
Cerita Singkat :
Dikisahkan, adalah Pangeran Sidapaksa salah seorang turunan Pandawa yang
mengabdi pada prabu Sulakarma di negeri Sindurejo. Pada suatu ketika Sidopaksa
diutus sang prabu untuk mencari obat ke tempat seorang begawan yang bernama
Tambapetra di desa Prangalas.Obat pesanan sang prabu memang tidak diperoleh
malah Sidapaksa jatuh cinta pada putri sang begawan yang bernama Sri Tanjung.
Sidapaksa berhasil mempersunting Sri Tanjung yang memang cantik rupawan.
Kecantikan Sri Tanjung terdengar pula oleh sang prabu dan berminat untuk berbuat
yang tidak senonoh. Dicarinya akal untuk memperdaya Sidapaksa dengan diutus
kekhayangan dengan maksud supaya dibunuh para dewa sesuai dengan bunyi surat
yang dibawakannya. Memang dikhayangan Sidapaksa sempat dihajar oleh para dewa
dan hampir saja dibunuhnya. Pada saat-saat kritis Sidapaksa menyebut-nyebut nama
Pandawa, akibatnya ia tidak jadi dibunuh karena sebenarnya ia adalah keluarga
sendiri. Sidapaksa kembali dari khayangan dengan selamat. Sementara Sidapaksa
berangkat ke khayangan, prabu Sulakrama berusaha menggoda Sri Tanjung akan
tetapi tidak berhasil.

13
Merasa malu kemudian sang prabu menempuh jalan lain dengan memfitnah
Sidapaksa. Dikatakannya bahwa selama ia pergi kekhayangan istrinya telah berbuat
serong. Fitnah ternyata berhasil membuat Sidapaksa kalap dan sebagai puncak
kemarahannya istrinya kemudian dibunuh.

Diceritakan dalam perjalanan ke alam roh Sri Tanjung naik ikan (dalam versi lain
diceritakan naik buaya putih) menyeberangi sebuah sungai yang maha luas. Di sana ia
bertemu dengan Betari Durga, karena belum waktunya meninggal maka sang betari ia
dihidupkan kembali. Sri Tanjung kemudian kembali ke Desa Prangalas.

Tersebutlah Sidapaksa yang mengetahui bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah


sebagaimana diucapkan sesaat sebelum merenggang nyawa, menjadi sakit saraf dan
hampir-hampir saja bunuh diri. Kemudian datanglah Betari Durga yang menyuruh
Sidapaksa ke Desa Prangalas untuk menemui Sri Tanjung. Terjadi kesepakatan, Sri
Tanjung bersedia kembali asal Sidapaksa dapat memenggal kepala Prabu Sulakrama.
Permintaan tersebut dapat dipenuhi bahkan kepala sang prabu dijadikan alas kaki
(keset = bahasa Jawa) Sri Tanjung. Mereka kemudian hidup bahagia.

 Bubuksah - Gagang Aking


Relief : Bubuksah-Gagang Aking
Lokasi : Dinding pendopo teras sisi timur
Urutan Adegan : Prasawya, dari kiri ke kanan

Cerita Singkat :
Adalah dua orang bersaudara masing-masing dikenali dengan nama Bubuksah dan
Gagang Aking. Kedua bersaudara tersebut bertapa untuk mencapai tingkat
kesempurnaan hidup. Caranya memang berbeda dalam melaksanakan “laku”,
Bubuksah makan segala makanan sehingga badannya gemuk sedangkan Gagang
Aking menjauhi makan minum sehingga menjadi kurus kering.

Pada suatu ketika Betara Guru mengutus Kalawijaya yang sebenarnya juga seorang
dewa yang menyamar sebagai harimau putih untuk menguji kakak beradik tersebut.
Kalawijaya mengatakan menginginkan daging manusia, ketika permintaan ini
disampaikan ke Gagang Aking serta merta ditolaknya dengan alasan tak ada gunanya
memakan dirinya yang kurus itu.

14
Sedangkan Bubuksah menyediakan diri sepenuhnya untuk dimakan harimau putih
karena dirinya dalam menjalankan laku juga memakan segala jenis makanan dan juga
binatang-binatang. Harimau putih kemudian menjelma kembali menjadi Kalawijaya,
Bubuksah dinyatakan lulus dalam ujian.
Setelah meninggal roh Bubuksah didukung di atas tubuh harimau tersebut sementara
Gagang Aking hanya bergelantung di ekornya saja.

Relief Bubuksah-Gagang Akih dapat kita saksikan di candi-candi yang lain misalnya
di Candi Surowono yang terletak di daerah Pare, Kediri dan di Candi Gambar Wetan
yang terletak di perkebunan Gambar, Nglegok, Blitar.

 Ramayana (Hanoman Duto)


Relief : Ramayana (Hanoman Duto)
Lokasi : Dinding teras pertama candi induk, mengelilingi dinding teras.
Urutan Adegan : Prasawnya, dimulai dari dinding sisi utara yang menghadap ke
barat
terus melingkar kembali ke dinding utara yang menghadap ke
utara
jumlahnya sekitar 91 panil.

Cerita Singkat :
Hanoman salah satu pimpinan kera kepercayaan sugriwa pada suatu ketika diutus ke
alengka tempat istana Rahwana untuk mencari sinta. Dengan jalan mendaki gunung
kemudian menyebrangi lautan sampailah ia di istana Rahwana. Sementara Hanoman
bersembunyi di atas pohon, kemudian setelah keadaan memungkinkan ia menyelinap
kedalam istana untuk menyerahkan cincin titipan Rama.
Sewaktu keluar istana Hanoman kepergok penjaga istana hingga terjadilah
perkelahian. Hanoman mengamuk merusak taman, kejadian ini dilaporkan kepada
Rahwana. Bala bantuan di kirim, pertempuran sengit terjadi. Banyak korban
berjatuhan bahkan Aksa anak rahwana sampai patah tulang tangannnya. Pasukan
berikutnya di pimpin oleh Indrajid yang mempergunakan panah ular (panah berantai).
Dengan panah ini hanoman berhasil di belenggu, ekornya di bungkus kain kemudian
dilumuri minyak terus dibakar. Tentu saja membuat Hanoman meronta-ronta, dengan
bergulung-gulung belenggu dapat dilepaskan. Dalam keadaan terbakar ekornya ia
melompat kian kemari, melompat ke atas hubungan rumah sehingga seluruh istana
terbakar. Suasana istana menjadi gempar, sebelum meninggalkan tempat, Hanoman
sempat pamitan kepada Sinta. Hanoman kemudian lapor kepada Rama dan Laksmana.
Sugriwa diperintah untuk mengerahkan pasukan kera.

15
Dengan menembok samudra pasukan kera berhasil membangun jembatan yang
menuju ke alengka. Setelah persiapan selesai bala tentara kera dipimpin oleh sugriwa,
Laksmana dan Rama menyerang alengka. Korban banyak berjatuhan diantara dua
pihak. Dalam pertempuran ini Laksmana berhasil memanah Kumbokarno hingga mati
seketika. Pertempuran masih terus berlangsung untuk menumpas sisa-sisa pasukan.

 Kresnayana
Relief : Kresnayana (Noroyono Maling)
Lokasi : Dinding teras kedua candi induk
Urutan Adegan : Pradaksina, dari kanan terus ke kiri
Cerita Singkat :
Dewi Rukmini putri dari Raja Bismaka dari negeri Kundina sudah dipertunangkan
dengan Suniti raja dari negeri Cedi. Pertunangan ini tidak disetujui oleh ibu Rukmini
yang menginginkan putrinya dapat dijodohkan dengan Kresna. Ibu Rukmini berusaha
untuk menggagalkan perkawinan ini. Sewaktu perkawinan akan berlangsung ibu
Rukmini menghubungi Kresna. Rukmini keluar istana menuju pintu gerbang Sri
Manganti, kemudian disambut oleh Kresna utnuk dibawa lari. Suasana istana gempar,
terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini Rukma adik
Rukmini terkena panah Kresna kemudian terjungkal jatuh. Rukmini minta kepada
Kresna supaya adiknya tidak dibunuh. Kresna dan Rukmini kemudian pergi ke
Dwarawati, mereka hidup bahagia.

 Pemburu yang tertipu


Relief : Pemburu yang tertipu
Lokasi : Dinding sisi utara kolam berangka tahun dan juga di bagian
belakang
arca penjaga sebelah kiri tangga utara candi induk.
Urutan Adegan : Prasawya, dari kiri terus ke kanan, yang dibagian belakang arca
Dwaraphala candi induk hanya suatu adegan.

Cerita Singkat :
Seorang pemburu hampir menjelang senja pulang dari hutan dengan membawa hasil
tangkapannya yang berupa seekor kura-kura. Seekor kancil yang konon merupakan
sahabat akrab kura-kura berusaha untuk menolongnya dengan memalingkan perhatian
pemburu kepadanya.

16
Karena penasaran pemburu itu kemudian meletakkan hasil buruannya ketanah dan
beralih mengejar kancil. Kura-kura berhasil meloloskan diri masuk semak-semak
belukar. Kancil larinya semakin kencang dan menghilang dalam hutan. Pemburu yang
terkecoh oleh ulah kancil terpaksa pulang dengan tangan hampa.

 Kura-kura yang sombong


Relief : Kura-kura yang sombong
Lokasi : Dinding kolam berangka tahun, dinding sisi barat
Urutan Adegan : Dari kanan terus ke kiri, letak panil hampir di bagian tengah
dinding

Cerita Singkat :
Adalah dua ekor kura-kura di sebuah sungai yang hampir-hampir kering. Maklumlah
sedang musimnya kemarau panjang. Seekor burung belibis berusaha untuk
menolongnya dengan menerbangkan kedua kura-kura itu ke sebuah telaga. Dengan
bergantung pada masing-masing ujung cabang kayu yang digigit oleh burung belibis
kedua kura-kura itu berhasil dibawa terbang. Sebelum diterbangkan burung belibis
berpesan kepada kedua kura-kura itu untuk tidak berkata-kata sepanjang perjalanan.
Namun amanat burung belibis itu dilanggar gara-gara tidak kuat menahan ejekan
sekelompok serigala sewaktu melewati sebuah hutan. Akibat menjawab ejekan mulut
kedua kura-kura ini lepas dari cabang kayu yang digigitnya, jatuh ketanah dan menjadi
santapan lezat kawanan srigala.
 Lembu dan Buaya
Relief : Lembu dan Buaya
Lokasi : Dinding kolam berangka tahun pada dinding bagian barat, juga
terdapat
pada bagian belakang arca dwarapala bertahun 1269 Saka yang
terletak
di sebelah kanan tangga masuk bangunan candi induk sisi utara
Urutan Adegan : Dari kiri terus kanan

Cerita Singkat :
Seekor buaya tiba-tiba kerobohan sebatang pohon, untung berada di suatu tempat yang
berlubang sehingga masih sempat menyelamatkan diri tidak sampai mati. Seekor
lembu jantan lewat didepannya kemudian dimintainya pertolongan. Lembu jantan
tidak keberatan dan berhasil mengangkat pohon yang tumbang tersebut

17
Karena tempat buaya di lautan maka lembu jantan dimintanya untuk mengantar
kannya. Setelah perjalanan sampai di tengah laut punuk (ponok, bonggol punggung)
lembu digigitnya. Terasa sakit terjadilah perekelahian. Lembu jantan hampir kalah
karena laut bukan alamnya. Datanglah kemudian kancil yang bertindak sebagai wasit
perkara (tidak digambarkan dalam relief). Buaya dikembalikan ke tempat semula
sewaktu kerobohan pohon dan kemudian ditinggal sendirian. Buaya tinggal menuju
ajalnya saja.

GALERI FOTO CANDI PENATARAN

18

Anda mungkin juga menyukai