Anda di halaman 1dari 13

PENGENDALIAN PENYAKIT TUMBUHAN

Oleh:
Afifah Nur Shobah B1J007026
Tri Wulandari B1J007069
Toni Irawan Wibisono B1J007188
Anisaturohmah B1J008107
Afni Hajayanti B1J008166
Meilita Lestyaninggar B1J008172
Kelompok : 6
Asisten : Fuady Hasan

LAPORAN PRAKTIKUM FITOPATOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JNDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2010
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengendalian penyakit yang selama ini umumnya dilakukan secara kimiawi,

ternyata menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan

masyarakat serta mikroorganisme non target. Oleh sebab itu, perlu alternatif lain

yang lebih aman, misalnya konsep pengendalian penyakit secara terpadu, yang salah

satu komponennya adalah pengendalian hayati. Pengendalian hayati merupakan

alternatif pilihan dalam pengendalian penyakit karena aman bagi lingkungan dan

dapat diterima oleh masyarakat (Yulianti et al., 1998).

Biofungisida merupakan pestisida yang berbahan aktif mikroorganisme dan

berasal dari alam. Biofungisida mempunyai sifat yang ramah terhadap lingkungan

karena introduksinya ke tanah tidak menimbulkan pencemaran atau berdampak

negatif terhadap lingkungan. Biofungisida bukan bahan beracun, melainkan dapat

mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah (Anonim, 2002).

Trichoderma harzianum merupakan jamur antagonis yang mampu

menurunkan serangan penyakit bibit. T. harzianum telah diketahui merupakan jamur

antagonis bagi kebanyakan patogen tanaman dan mempunyai potensi yang baik

sebagai agen pengendali hayati (Yulianti et al., 1998). Wells et al. (1972) dalam

Yulianti et al. (1998) melaporkan bahwa T. harzianum berhasil mengendalikan

Sclerotium rolfsii di lapang melalui investasi buatan ke dalam tanah.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efektifitas fungisida uji

dala mengendalikan penyakit dan mengetahui konsentrasi fungisida uji yang paling

efektif dalam mengendalikan penyakit.


II. MATERI DAN METODE

A. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, blender, cawan petri, tabung

Erlenmeyer, pipet ukur, pinset, jarum ose, gelas ukur, bor gabus, hemocytometer,

cover glass, beaker glass, pipet tetes, mortar dan pestle, ayakan, spatula, kertas

tissue, kapas, aluminium foil, magnetic stirrer, Laminar Air Flow (LAF), autoklaf,

lampu spiritus, desikator bersilika gel, timbangan analitik dan oven.

Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung ketan putih, tepung bawang

putih, isolat T. harzianum, media PDA, wrapper, akuades, alkohol 70 %, dan spiritus.

B. Cara Kerja

1. Peremajaan Isolat T. harzianum

Isolat T. harzianum dipindah pada media cawan yang baru kemudian

diinkubasi pada suhu ruangan.

2. Pembuatan inokulum

a. T. harziznum dibiakan pada media miring, diinkubasi pada suhu ruang

sampai pertumbuhannya memenuhi media ± 1 minggu.

b. 10 ml akuades steril dimasukan ke dalam (langkah a), kemudian tabung

tersebut goyang-goyang hingga konidia terlepas dan tercampur ke dalam

akuades (terbentuk suspense konidia T. harzianum).

c. 1 ml suspensi konidia tersebut diambil kemudian dimasukan ke dalam

tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril (pengenceran).

d. Pengenceran dilakukan hingga diperoleh konsentrasi konidia 108 konidia/ml.

e. Jumlah konidia pada pengenceran dihitung mengunakan haemocytometer

dengan bantuan mikroskop cahaya. Penghitungan jumlah konidia dengan

mengunakan rumus menurut Hadioetomo (1994) sebagai berikut:


∑ konidia = ∑ konidia × 1 × 4 × 106

∑ kotak Fp(108)

Keterangan:

∑ konidia = jumlah konidia dalam 5 kotak sedang

∑ kotak = jumlah 5 kotak sedang

Fp = faktor pengenceran

2,5 x 105 = konstanta

f. Semua tahapan dalam pembuatan inokulum T. harzianum dilakukan secara

aseptis.

3. Pembuatan dan Penyiapan Pelet

a. Tepung beras ketan putih 100 gram dicampur tepung bawang putih 5 gram

sebagai antibiotis kemudian dibungkus aluminum foil, selanjutnya di oven

pada suhu 80oC selama 24 jam.

b. Setelah suhu tepung menurun, sebanyak 100 gr dimasukan ke dalam cawan

petri besar berdiameter 14 cm, kemudian ditambahkan 60 ml akuades steril

sampai terbentuk adonan tepung yang tidak lengket di tangan.

c. Suspensi konidia T. harzianum dengan konsentrasi 108 konidia/ml sebanyak

20 ml dicampurkan dengan tepung kemudian dihomogenkan agar konidia

tersebar merata dalam media.

d. Setelah homogen, tepung dipadatkan sampai ketebalan 1 cm

e. Media tepung yang telah padat kemudian dibor (dibentuk dengan bor

gabus) hingga membentuk pelet berdiameter 1 cm. Butiran pelet kemudian

dikeringkan di dalam oven dengan suhu 40 0C selama 24 jam.

f. Semua tahapan dalam pembuatan dan penyimpanan pelet biofungisida T.

harzianum dilakukan secara aseptis.


4. Uji Viabilitas Pelet Biofungisida T. harzianum.

a. Satu gram pelet biofungisida T. harzianum dengan lama waktu

penyimpanan yang diuji dihaluskan dengan menggunakan mortar dan pestle

secara perlahan.

b. Satu gram pelet yang telah dihaluskan kemudian diencerkan dengan akuades

steril 9 ml sampai 2 atau 3 kali dengan menggunakan prinsip pengenceran.

c. Pada pengenceran terakhir dihitung jumlah konidia per ml suspensi dengan

menggunakan haemocytometer dan bantuan mikroskop cahaya.

d. Penghitungan jumlah konidia awal dengan mengunakan rumus menurut

Hadioetomo (1994) sebagai berikut:

∑ konidia awal = ∑ konidia × 1 × 4 × 106

∑ kotak Fp

Keterangan:

∑ konidia = jumlah konidia dalam 5 kotak sedang

∑ kotak = jumlah 5 kotak sedang

Fp = faktor pengenceran

2,5 x 105 = konstanta.

e. Setelah diketahui jumlah konidia per ml suspensi (jumlah konidia awal)

kemudian diinokulasikan 1 ml suspensi konidia kedalam media PDA.

Inkubasi dilakukan di ruang terbuka pada suhu ± 280C selama 5 hari atau

dihentikan apabila salah satu koloni cendawan telah memenuhi cawan petri.

f. Penghitungan jumlah konidia akhir dengan mengunakan rumus menurut

Hadioetomo (1994) sebagai berikut:

∑ konidia akhir = ∑ konidia × 1 × 4 × 106

∑ kotak Fp
Keterangan:

∑ konidia = jumlah konidia dalam 5 kotak sedang

∑ kotak = jumlah 5 kotak sedang

Fp = faktor pengenceran

2,5 x 105 = konstanta.

g. Semua tahapan dalm uji viabilitas pelet biofungisida T. harzianum

dilakukan secara aseptis.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Jumlah konidia pada pembuatan inokulum

∑ konidia = ∑ konidia × 1 × 4 × 106

∑ kotak Fp(10-8)

= 6/4 x 1/10-8 x 4 x106

= 6 x 1014 sel/ml

2. Jumlah konidia awal

∑ konidia awal = ∑ konidia × 1 × 4 × 106

∑ kotak Fp(10-6)

= 8/4 x 1/10-6 x 4 x106

= 8 x 1012 sel/ml

3. Jumlah konidia akhir

∑ konidia awal = ∑ konidia × 1 × 4 × 106

∑ kotak Fp(10-3)

= 12/4 x 1/10-3 x 4 x106

= 1,2 x 1010

p
Tabel 3.1. Inokulasi Pelet Trichoderma harzianum

Dosis Hari ke-


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 12 13 14
Kel (gram Perlakua
1
) n
0 - - V
5 - - V
1
10 - - V
15 9 hari - - - v
2
20 Sebelum - - - v
25 - - - - v
3 tanam
4 0 - - - v
5 - - - - - - -
5 10 - v
15 - v
6 20 2 hr stlh - - - - - - -
25 - - - - - - -
tanam

v = mulai menunjukan penyakit

B. Pembahasan

Kelebihan pengendalian hayati dibandingkan dengan pengendalian

menggunakan fungisida yaitu Trichoderma harzianum mengandung bahan aktif dari

makhluk hidup berupa konidia jamur Trichoderma harzianum. Selain itu

keunggulannya sebagai pengendali hayati (biokontrol) penyakit jamur patogen

(fitopatogen) yang menyerang tanaman palawija, sayuran, buah-buahan, dan dapat

digunakan pula sebagai bioprotektan bagi perkebunan. Pengendalian hayati yang

digunakan biasanya Biofungisida Trichoderma harzianum yang berupa produk

berbentuk granula, hasil campuran antara bahan matriks padat dan konidia biomassa

jamur. Beberapa keuntungan dan keunggulannya adalah mudah dimonitor dan dapat

berkembang biak, sehingga keberadaannya di lingkungan dapat bertahan lama serta

aman bagi lingkungan, hewan dan manusia lantaran tidak menimbulkan residu kimia
berbahaya yang persisten di dalam tanah. Kelebihan lain yaitu Trichoderma

harzianum mampu mengoloni rhizosfer (daerah perakaran tanaman) dengan cepat

dan melindungi akar dari serangan jamur penyakit, mempercepat pertumbuhan

tanaman, dan meningkatkan hasil produksi tanaman. Secara ekonomi penggunaan

Biofungisida Trichoderma harzianum lebih murah dibandingkan dengan fungisida

kimiawi (Anonim, 2002).

Jamur antagonis yang digunakan yaitu Trichoderma harzianum. Karakteristik

jamur ini adalah koloninya berwarna hijau muda sampai hijau tua yang memproduksi

konidia aseksual berbentuk globus dengan konidia tersusun seperti buah anggur dan

pertumbuhannya cepat (fast grower) . Jamur tersebut merupakan salah satu jenis

jamur mikroparasitik, artinya bersifat parasit terhadap jenis jamur lain dan sifat itulah

yang dimanfaatkan sebagai agen biokontrol terhadap jenis-jenis jamur fitopatogen

(Purwantisari, 2008).

Trichoderma harzianum bersifat antagonis bagi jamur pathogen.

Mekanismenya adalah sebagai berikut (Anonim, 2010):

a. Terjadinya kompetisi bahan makanan antara jamur patogen dengan T.

harzianum. Adanya pertumbuhan yang berjalan begitu cepat dari T.

harzianum akan mendesak pertumbuhan jamur patogen.

b. Mikoparasitisme

T. harzianum merupakan jamur yang mempunyai sifat mikoparasitik, artinya

jamur T. harzianum tergolong dalam kelompok jamur yang menghambat

pertumbuhan jamur lain melalui mekanisme parasitisme. Mekanisme yang

terjadi adalah bahwa selama pertumbuhan jamur ini di tanah yang berjalan

begitu cepat, jamur ini akan melilit hifa jamur patogen. Bersama dengan

pelilitan hifa tersebut, dia mengeluarkan enzim yang mampu merombak


dinding sel hifa jamur patogen, sehingga jamur patogen mati. Beberapa jenis

enzim pelisis yang telah diketahui dihasilkan adalah enzim kitinase dan b -1,3

glucanase.

c. Antibiosis.

T. harzianum selain menghasilkan enzim pelisis dinding sel jamur juga

menghasilkan senyawa antibiotik yang termasuk kelompok furanon dapat

menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur patogen, diidentifikasikan

dengan rumus kimia 3-(2-hydroxypropyl-4-2-hexadienyl ) -2-(5H)-furanon.

Jamur pathogen yang digunakan dalam praktikum ini adalah Sclerotium

rolfsii. Karakteristik jamur Sclerotium rolfsii adalah mempunyai miselium yang

terdiri dari benang-benang, berwarna putih, tersusun seperti bulu atau kipas. Jamur

ini tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk mempertahanakan diri,

jamur membentuk sejumlah Sclerotia yang semula berwarna putih, kelak menjadi

cokelat, dengan garis tengah kurang lebih 1 mm. Butir-butir ini mudah sekali lepas

dan terangkat oleh air (Semangun, 1993). Pada dasarnya ada dua jenis hifa yang

dihasilkan yaitu kasar dan lurus dengan ukuran sel (2-9 µm x 150-250 µm). Sclerotia

mempunyai ukuran diameter (0,5 mm – 2,0 mm) yang mulai berkembang setelah 4-7

hari dari pertumbuhan miselium. Pada umumnya tampak berwarna putih, Sclerotia

dengan cepat berkembang menjadi cokelat gelap (Fichtner, 2006 dalam Tindaon,

2008).

Agen pembawa Sclerotium rolfsii adalah penyakit yang terbawa oleh tanah

(soil borne) dan aktif dalam tanah dengan bentuk tubuh spora yang disebut sclerotia.

Patogen ini pada umumnya ditemukan di daerah tropic dan subtropik yang beriklim

panas yang lembab yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan pathogen.
Pertumbuhan Sclerotium rolfsii yang optimal pada 27-30°C (Punja dan Rahe, 2001

dalam Tindaon, 2008).

Menurut Ferreira dan Boley (2006) dalam Tindaon (2008), gejala penyakit

yang timbul akibat infeksi dari Sclerotium rolfsii adalah proses penguningan dan

kelayuan pada daun. Gejala berikutnya terlihat jamur lapisan putihatau benang

miselium pada jaringan yang terinfeksi dalam tanah. Selanjutnya pangkal batang

membusuk, sehingga penyakit ini sering juga disebut sebagai busuk pangkal batang

atau busuk Sclerotium. Berdasarkan hasil praktikum, tingkat pengendalian oleh pellet

biofungisida yang paling baik adalah dengan menggunakan pellet dengan berat 20

dan 25 gram dengan perlakuan 2 hari setelah tanam.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pengendalian

hayati terhadapa Sclerotium rolfsii dapat diatasi dengan pemberian pellet

biofungisida Trichoderma harzianum dan tingkat pengendalian oleh pellet

biofungisida Trichoderma harzianum yang paling baik adalah dengan menggunakan

pellet dengan berat 20 dan 25 gram dengan perlakuan 2 hari setelah tanam.
DAFTAR REFERENSI

Anonim. 2002. Trichoderma Harzianum Biofungisida yang Ramah Lingkungan .


http://irwantoshut.webs.com/biofungisida.html

Anonim. 2010. Penggunaan Biofungisida Pada Usaha Perkebunan.


http://www.kamusilmiah.com/teknologi/penggunaan-biofungisida-pada-
usaha-perkebunan/

Purwantisari, S. 2008. Biofungisida ramah lingkungan.


http://www.wawasandigital.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=18020&Itemid=62

Semangun, H. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Universitas


Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tindaon, H. 2008. Pengaruh JamurAntagonis Trichoderma harzianum dan Pupuk


Organik untuk Mengendalikan Pathogen Tular Tanah Sclerotium rolfsii Sacc.
Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Yulianti, T., N. Ibrahim dan S. Rahayuningsih. 1998. Ekobiologi Mikroorganisme


Antagonis Sclerotium rolfsii pada Kapas. JURNAL LITTRI. IV : I (1-5).

Anda mungkin juga menyukai