Oleh:
Afifah Nur Shobah B1J007026
Tri Wulandari B1J007069
Toni Irawan Wibisono B1J007188
Anisaturohmah B1J008107
Afni Hajayanti B1J008166
Meilita Lestyaninggar B1J008172
Kelompok : 6
Asisten : Fuady Hasan
A. Latar Belakang
masyarakat serta mikroorganisme non target. Oleh sebab itu, perlu alternatif lain
yang lebih aman, misalnya konsep pengendalian penyakit secara terpadu, yang salah
alternatif pilihan dalam pengendalian penyakit karena aman bagi lingkungan dan
berasal dari alam. Biofungisida mempunyai sifat yang ramah terhadap lingkungan
antagonis bagi kebanyakan patogen tanaman dan mempunyai potensi yang baik
sebagai agen pengendali hayati (Yulianti et al., 1998). Wells et al. (1972) dalam
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efektifitas fungisida uji
dala mengendalikan penyakit dan mengetahui konsentrasi fungisida uji yang paling
Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, blender, cawan petri, tabung
Erlenmeyer, pipet ukur, pinset, jarum ose, gelas ukur, bor gabus, hemocytometer,
cover glass, beaker glass, pipet tetes, mortar dan pestle, ayakan, spatula, kertas
tissue, kapas, aluminium foil, magnetic stirrer, Laminar Air Flow (LAF), autoklaf,
putih, isolat T. harzianum, media PDA, wrapper, akuades, alkohol 70 %, dan spiritus.
B. Cara Kerja
2. Pembuatan inokulum
∑ kotak Fp(108)
Keterangan:
Fp = faktor pengenceran
aseptis.
a. Tepung beras ketan putih 100 gram dicampur tepung bawang putih 5 gram
e. Media tepung yang telah padat kemudian dibor (dibentuk dengan bor
secara perlahan.
b. Satu gram pelet yang telah dihaluskan kemudian diencerkan dengan akuades
∑ kotak Fp
Keterangan:
Fp = faktor pengenceran
Inkubasi dilakukan di ruang terbuka pada suhu ± 280C selama 5 hari atau
dihentikan apabila salah satu koloni cendawan telah memenuhi cawan petri.
∑ kotak Fp
Keterangan:
Fp = faktor pengenceran
A. Hasil
∑ kotak Fp(10-8)
= 6 x 1014 sel/ml
∑ kotak Fp(10-6)
= 8 x 1012 sel/ml
∑ kotak Fp(10-3)
= 1,2 x 1010
p
Tabel 3.1. Inokulasi Pelet Trichoderma harzianum
B. Pembahasan
berbentuk granula, hasil campuran antara bahan matriks padat dan konidia biomassa
jamur. Beberapa keuntungan dan keunggulannya adalah mudah dimonitor dan dapat
aman bagi lingkungan, hewan dan manusia lantaran tidak menimbulkan residu kimia
berbahaya yang persisten di dalam tanah. Kelebihan lain yaitu Trichoderma
jamur ini adalah koloninya berwarna hijau muda sampai hijau tua yang memproduksi
konidia aseksual berbentuk globus dengan konidia tersusun seperti buah anggur dan
pertumbuhannya cepat (fast grower) . Jamur tersebut merupakan salah satu jenis
jamur mikroparasitik, artinya bersifat parasit terhadap jenis jamur lain dan sifat itulah
(Purwantisari, 2008).
b. Mikoparasitisme
terjadi adalah bahwa selama pertumbuhan jamur ini di tanah yang berjalan
begitu cepat, jamur ini akan melilit hifa jamur patogen. Bersama dengan
enzim pelisis yang telah diketahui dihasilkan adalah enzim kitinase dan b -1,3
glucanase.
c. Antibiosis.
terdiri dari benang-benang, berwarna putih, tersusun seperti bulu atau kipas. Jamur
ini tidak membentuk spora. Untuk pemencaran dan untuk mempertahanakan diri,
jamur membentuk sejumlah Sclerotia yang semula berwarna putih, kelak menjadi
cokelat, dengan garis tengah kurang lebih 1 mm. Butir-butir ini mudah sekali lepas
dan terangkat oleh air (Semangun, 1993). Pada dasarnya ada dua jenis hifa yang
dihasilkan yaitu kasar dan lurus dengan ukuran sel (2-9 µm x 150-250 µm). Sclerotia
mempunyai ukuran diameter (0,5 mm – 2,0 mm) yang mulai berkembang setelah 4-7
hari dari pertumbuhan miselium. Pada umumnya tampak berwarna putih, Sclerotia
dengan cepat berkembang menjadi cokelat gelap (Fichtner, 2006 dalam Tindaon,
2008).
Agen pembawa Sclerotium rolfsii adalah penyakit yang terbawa oleh tanah
(soil borne) dan aktif dalam tanah dengan bentuk tubuh spora yang disebut sclerotia.
Patogen ini pada umumnya ditemukan di daerah tropic dan subtropik yang beriklim
panas yang lembab yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan pathogen.
Pertumbuhan Sclerotium rolfsii yang optimal pada 27-30°C (Punja dan Rahe, 2001
Menurut Ferreira dan Boley (2006) dalam Tindaon (2008), gejala penyakit
yang timbul akibat infeksi dari Sclerotium rolfsii adalah proses penguningan dan
kelayuan pada daun. Gejala berikutnya terlihat jamur lapisan putihatau benang
miselium pada jaringan yang terinfeksi dalam tanah. Selanjutnya pangkal batang
membusuk, sehingga penyakit ini sering juga disebut sebagai busuk pangkal batang
atau busuk Sclerotium. Berdasarkan hasil praktikum, tingkat pengendalian oleh pellet
biofungisida yang paling baik adalah dengan menggunakan pellet dengan berat 20
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pengendalian
pellet dengan berat 20 dan 25 gram dengan perlakuan 2 hari setelah tanam.
DAFTAR REFERENSI