Anda di halaman 1dari 14

KEANEKARAGAMAN BIOTA TANAH PADA

AGROEKOSISTEM
TANPA OLAH TANAH (TOT)
Afra D.N. Makalew
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Tanah,
Sub Program Studi Genesis & Klasifikasi Tanah
E-mail: adonatha@yahoo.com

ABSTRAK
Agroekosistem tanpa olah tanah (TOT) dicirikan oleh persiapan lahan yang tidak
melalui pengolahan tanah, tanah yang terganggu tidak lebih dari 10% dari
permukaan, dan residu tanaman sebelumnya berada di atas permukaan sebagai
pelindung tanah.
Dengan tidak adanya pengolahan yang biasanya berfungsi untuk antara lain
penghilangan gulma, maka pada TOT herbisida digunakan sebagai pengontrol
gulma serta pestisida untuk pemberantasan hama dan penyakit. Pada paper ini
bahasan ditinjau dari beberapa segi ilmu filsafat (Ontologi, Epistomologi, Aksiologi,
dan Teleologi) yang dikemas sedemikian rupa khususnya dalam melihat pengaruh
berbagai aktivitas agroekosistem TOT terhadap keanekaragaman biota tanah tertentu
yang dibandingkan dengan agroekosistem lahan yang diolah.
Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih
banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibanding
dengan pengolahan tanah.
Sistem pertanaman seperti rotasi tanaman dan konversi vegetasi alami menjadi lahan
pertanaman, ataupun pastura berpengaruh terhadap keanekaragaman biota tanah,
pengaruh negatif lebih banyak disebabkan oleh pertanaman dan perkebunan
dibanding pastura dan hutan alami. Penggunaan pupuk berpengaruh pada aktivitas
biota terutama dikaitkan terhadap dinamika C dan N dalam tanah.Penggunaan
herbisida dan pestisida memiliki efek positif maupun negatif terhadap aktivitas biota
tanah terutama untuk pestisida.

I. PENDAHULUAN

Agroekosistem tanpa olah tanah (TOT) dicirikan oleh persiapan lahan yang tidak
melalui pengolahan tanah, tanah yang terganggu tidak lebih dari 10 % dari
permukaan, dan residu pertanaman sebelumnya berada di atas permukaan tanah
sebagai pelindung tanah. Dengan tidak adanya pengolahan yang biasanya berfungsi
untuk antara lain penghilangan gulma, maka pada TOT herbisida digunakan sebagai
pengontrol gulma serta pestisida untuk pemberantasan hama dan penyakit.
Berbagai aktivitas pengelolaan pertanian dapat berpengaruh pada komunitas
perombak dalam tanah, dengan sistem TOT akan menguntungkan fungi
dibandingkan dengan sistem olah tanah (Guggenberger et al., 1999). Sistem
pertanaman merupakan sumber bahan organik yang berasal dari tanaman yang
berada di bagian atas maupun bawah tanah yang didekomposisikan oleh
mikroorganisme menjadi bahan yang mudah tersedia.
Potensi yang menguntungkan dari TOT adalah tidak terganggunya C-organik,
pengkayaan atmosfer CO2 yang kurang berbahaya, dan meningkatnya kualitas tanah
(Cole et al., 1995 dalam Six et al., 1999). Peningkatan C-organik dalam tanah
sistem TOT oleh Paustian et.al, (1997) dalam Six et al., (1999) dikatakan sebagai
akibat meningkatnya kombinasi antara kurangnya laju dekomposisi sisa-sisa
tanaman dan kurangnya gangguan terhadap tanah. Berkurangnya laju dekomposisi
sisa-sisa tanaman dapat diakibatkan oleh iklim mikro yang kurang kondusif terhadap
aktivitas mikrobia di lapisan permukaan residu.
Sebaliknya agroekosistem lahan dengan pengolahan tanah yang secara fisik
mempengaruhi agregasi tanah juga mempengaruhi dinamika organisma dalam tanah.
Pengaruh penghancuran agregat tanah dalam pengolahan berkaitan erat dengan
peningkatan laju dekomposisi bahan organik tanah yang akhirnya berkaitan dengan
aktivitas biota tanah yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu sumber
bahan makan dan energi.
Perbedaan pengaruh yang ditimbulkan agroekosistem lahan TOT dan agroekosistem
lahan dengan pengolahan tanah memberikan dampak yang positif dan negatif pada
keanekaragaman biota tanah. Paper ini akan membahas tentang berbagai aktivitas
agroekosistem lahan TOT yang mempengaruhi keanekaragaman (aktivitas dan
populasi) beberapa biota tanah tertentu yang dibandingkan dengan agroekosistem
lahan yang diolah.

II. BIOTA TANAH DAN FAKTOR LINGKUNGAN TANAH


YANG MEMPENGARUHINYA

2.1 Biota Tanah


Komponen dari biota tanah adalah akar tanaman, mikrobia (bakteri, aktinomycetes,
fungi, dan alga), mikrofauna (protozoa), meso dan makrofauna (Metting, 1993;
Killham,1994). Pada Tabel 1 disajikan perkiraan biomassa komponen biota tanah
yang utama di tanah dengan vegetasi rumput di daerah temperate.

2.2. Faktor Lingkungan Tanah yang Mempengaruhi


2.2.1. Ketersediaan Hara dalam Tanah
Tanah merupakan sumber energi dan hara bagi biota tanah. Sumber hara tersebut
berasal dari semua komponen tanah yakni mineral tanah, bahan organik tanah,
udara, dan air dalam tanah. Aktivitas dan populasi mikrobia dalam tanah tentu akan
dibatasi oleh sumberdaya tanah. Salah satu faktor adalah ketersediaan karbon. Smith
dan Paul (1990) dalam Holmes and Zak (1994), menyebutkan bahwa aktivitas
mikrobia di dalam tanah sangat dibatasi oleh masukan C yang berasal dari produksi
bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa ketersediaan bahan makanan yang meningkat, akan meningkatkan populasi
mikrobia tanah.
Ketersediaan bahan makanan tersebut tentu tidak lepas dari interaksi faktor
lingkungan tanah lainnya seperti potensi air dan temperatur tanah. Follet dan
Schimel (1989) dalam Kolberg et al. (1999) mendapatkan bahwa, pengaruh
pengolahan tanah dapat meningkatkan potensi mineralisasi C dan N. Populasi
mikrobia tanah rendah pada kondisi C terbatas (terjadi pada tanah yang diolah
intensif). Penggunaan TOT sangat disarankan dalam kaitannya peningkatan bahan
organik tanah Wander dan Bollero (1999) yang merupakan salah satu sumber utama
ketersediaan bahan makanan bagi biota tanah.

2.2.2 Air Tanah


Tingkat pengisian air pada pori tanah merupakan hal yang paling mendasar dalam
menentukan aktivitas mikrobia tanah. Bakteri dan protozoa cenderung hidup dalam
air tanah. Sedangkan fungi dalam tanah hidup disepanjang daerah pori yang terisi
oleh air (Killham, 1994). Selanjutnya dikatakan pula bahwa air tanah tidak hanya
secara langsung mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan biota tanah, tapi juga
merupakan media yang mempengaruhi ketersediaan bahan makanan.
Kelembaban dan temperatur tanah merupakan faktor yang menentukan mineralisasi
N dalam tanah. Hal tersebut berkaitan dengan bahan organik tanah, yakni dengan
meningkatnya air dan temperatur dalam tanah akan meningkatkan dekomposisi
bahan organik (Kolberg et. al., 1999).

2.2.3 Atmosfer Tanah


Tingkat pengisian air dalam pori tanah akan mempengaruhi komposisi gas dan udara
dalam tanah (aerase tanah). Pada tanah yang beraerase baik, konsentrasi oksigen
tidak akan kurang dari 20%, dan konsentrasi CO2 jarang melebihi 1%. Seperti
diketahui aktivitas mikrobia tanah berada di dekat permukaan tanah terutama di
daerak rizosfer, sehingga kondisi atmosfer pada daerah ini yang paling
mempengaruhi (Killham, 1994).

2.2.4 Potensi Redoks Tanah


Potensi redoks merupakan kecenderungan dari senyawa menerima atau melepas
elektron pada kondisi tertentu. Di dalam tanah, jumlah dari berbagai reaksi redoks
dikuantifikasikan sebagai electrical potential(Eh) dengan satuan Volt atau mVolt.
Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan tentang sekuen terminal akseptor elektron yang
digunakan dalam lingkungan tanah, serta biota tanah yang ikut berperan.
2.2.5. Kemasaman (pH) Tanah
Kemasaman tanah merupakan sifat fisik-kimia yang paling banyak diteliti
pengaruhnya terhada ekologi mikrobia. Salah satu konsekuensi yang sangat penting
dari pH tanah adalah pengaruhnya terhadap kelarutan hara (keracunan dan
kekurangan), seperti unsur Fe, Mn, dan Zn akan berkurang ketersediaannya pada pH
melampaui netral, dan akan bersifat racun bila pH di bawah 5. Hara P kurang
tersedia pada pH rendah maupun tinggi. Pada pH rendah umumnya dijumpai
dominasi fungi sedangkan bakteri (termasuk aktinomycetes) umumnya dominan
pada pH 6-8. Permukaan koloid tanah biasanya memiliki pH yang lebih rendah 2
unit atau lebih dari pH larutan.
Kemasaman (pH) daerah rizosfer sebagian dikontrol oleh sumber hara nitrogen bagi
tanaman. Dekomposisi bahan organik oleh mikrobia cenderung meningkatkan
kemasaman tanah akibat asam organik yang dihasilkan (Killman, 1994).

2.2.6. Temperatur Tanah


Temperatur memiliki efek langsung maupun tidak langsung pada aktivitas biologi
dalam tanah. Efek langsung yaitu terhadap laju reaksi fisik dalam tanah dan efek
tidak langsung adalah mempengaruhi aktivitas mikrobia tanah melalui aspek lain
seperti laju pelapukan mineral, laju difusi, potensi redoks, aktivitas air, dan lain-lain.
Perlu diperhatikan bahwa temperatur tanah juga dapat berinteraksi dengan faktor
lain dalam mengatur aktivitas mikrobia tanah (Killman, 1994).

2.2.7. Cahaya dalam Tanah


Cahaya juga mempengaruhi kegiatan biota tanah, yakni mempengaruhi distribusi
dan aktivitas organisma yang berada di permukaan tanah dimana alga yang
dominan, pada tanah tanpa penutup tanah, serta di permukaan batuan. Efek tidak
langsung oleh cahaya terhadap mikrobia tanah adalah lebih penting. Cahaya
merupakan sumber energi pada komponen fotoautotropik biota tanah. Sekitar 5%
total radiasi matahari digunakan untuk reaksi fotosintesis mikrobia tanah (tanaman,
alga, dan bakteri fotoautotropik), Killman (1994).

III. AGROEKOSISTEM LAHAN TOT VS. LAHAN DENGAN


OLAH TANAH
TERHADAP KEANEKARAGAMAN BEBERAPA BIOTA
TANAH

3.1. Pengaruh Penyiapan Lahan

Aktivitas dalam pengolahan tanah pertanian telah sangat mempengaruhi ukuran dan
komposisi komunitas mikrobia dalam tanah dilaporkan pula dalam Beare et al.,
1992; Frey et al., 1999; Guggenberger et al., 1999. Beare
(1997) dalam Guggenberger et al., (1999) menunjukkan bahwa penempatan sisa-
sisa tanaman memperkuat pengaruh awal pada komposisi dari komunitas perombak
bahan organik. Dalam sistem pengolahan tanah konvensional, dimana sisa-sisa
tanaman dibenamkan, menguntungkan komunitas yang didominasi oleh bakteri,
sementara pada sistem TOT, lingkungan tanah dimana sisa-sisa tanaman berada di
permukaan tanah maka fungi yang relatif lebih banyak. Pada Tabel 3 berikut ini
disajikan biomassa bakteri dan fungi pada sistem pengolahan tanah konvensional
dan pada sistem TOT.
Pada Tabel 3 di atas ditunjukkan bahwa agroekosistem TOT (NT) secara konsisten
memiliki biomassa fungi yang lebih tinggi dibandingkan dengan agroekosistem pada
pengolahan tanah konvensional (CT). Di semua lokasi kecuali Manhattan, KS rasio
biomassa fungi terhadap bakteri terlihat sangat nyata lebih besar pada sistem TOT
dibanding pada pengolahan konvensional.
Pengaruh pengolahan tanah dikemukakan pula oleh Sahnas-Garcia et al.,
1997 dalam Logsdon et al., 1999, bahwa setelah 16 tahun TOT terdapat jumlah C-
organik (pada permukaan 5 cm) yang lebih banyak dibandingkan pada lahan yang
diolah, tapi pada kedalaman 5-20 cm tidak berbeda nyata. Semakin banyak C-
organik dalam tanah maka akan memberi pengaruh yang menguntungkan bagi
aktivitas mikroorganisma tanah yang menggunakan C-organik sebagai sumber
makanan. Sama halnya dengan Needelman et al., 1999 mendapatkan bahwa TOT
meningkatkan bahan organik pada kedalaman 0-5 cm, 15% lebih banyak dibanding
dengan lahan dengan pengolahan tanah konvensional. Namun pada kedalaman 5-15
cm dan 15-30 cm, jumlah bahan organik pada pengolahan tanah konvensional lebih
besar 15,8% dan 2,3%, dikatakan pula bahwa pengolahan tidak mempengaruh
biomassa mikroba tanah.
Pengaruh persiapan lahan terhadap rayap (salah satu ecosystem engineers)
dilaporkan oleh Black dan Okwakol (1997) bahwa terjadi peningkatan jumlah
species dan keragamannya pada lahan TOT dan pengolahan tanah dangkal
dibanding pada pengolahan tanah dalam. Sebaliknya pada lahan dengan olah tanah
dimana terjadi perusakan gundukan kecil di permukaan serta sarang-sarang di dekat
permukaan tanah menyebabkan penurunan dalam jumlah maupun keragaman
spesies rayap (Roy-Noel,1978; Wood dan Johnson, 1978; Watanabe dan
Ruaysoongern, 1984; Lavelle dan Pashanasi, 1989; Holt et al., 1993; Reddy et al.,
1994; Black dan Okwakol, 1997).
Selain pengaruh pengolahan tanah pada aktivitas dan populasi rayap, maka pengaruh
pengolahan juga memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap cacing tanah
(ecosystem enggineer). Hal ini seperti dilaporkan dalam Hubbard et al. (1999)
bahwa pengolahan tanah akan merusak lubang-lubang cacing dan juga
memungkinkan membunuh cacing selama proses pengolahan. Sebaliknya banyak
studi telah menunjukkan bahwa jumlah cacing lebih besar dijumpai pada ekosistem
lahan tanpa olah tanah dibanding pada agroekosistem lahan dengan pengolahan.
Tanpa mengesampingkan pengaruh yang positif dari ekosistem TOT terhadap
aktivitas biota tanah maka salah satu permasalahan dalam sistem pengolahan lahan
TOT yakni dijumpai pemadatan tanah, faktor yang dipengaruhi adalah densitas
tanah yang tentunya sangat mempengaruhi aktivitas fauna tanah seperti cacing tanah
(Logsdon et al., 1999).

3.2 Pengaruh Sistem Pertanaman

Friedel et al. (1996) menyatakan bahwa rotasi tanaman mempengaruhi tanah dan
mikrobia tanah terutama terjadi pada bagian permukaan tanah. Yakni dengan
meningkatkan aktivitas enzimatik, stabilitas agregat dan potensi mineralisasi C-
organik dalam tanah yang ditemukan pada rotasi rape-sereal dibanding dengan
legum-sereal. Dikatakan perbedaan kandungan C-organik menyebabkan perbedaan
sifat-sifat mikrobia tanah.
Hasil penelitian pengaruh interaksi antara sistem pengolahan tanah dan rotasi
tanaman dikemukakan oleh Hubbard et al., (1999), bahwa jumlah cacing A.
trapezoides tertinggi dijumpai pada rotasi kedelai tanpa olah tanah/ residu kedelai
tanpa olah tanah/ jagung tanpa olah tanah, dibandingkan dengan rotasi gandum
tanpa olah tanah/residu gandum dengan olah tanah/jagung dengan olah tanah,
maupun pada gandum tanpa olah tanah/ residu gandum tanpa olah tanah/ jagung
tanpa olah tanah (Tabel 4).

Sumber : Hubbard et al. (1999).

Huruf yang sama dalam kolom atau baris tidak berbeda nyata pada tingkat 5%
(Duncan), (1) rotasi gandum tanpa olah tanah/residu gandum dengan olah
tanah/jagung dengan olah tanah (2) gandum tanpa olah tanah/ residu gandum tanpa
olah tanah/ jagung tanpa olah tanah; (3) rotasi kedelai tanpa olah tanah/ residu
kedelai tanpa olah tanah/ jagung tanpa olah tanah
Lavelle dan Pashanasi (1989) dalam Beare (1997) mengungkapkan bahwa konversi
hutan menjadi lahan pertanaman dan pastura di Yurimaguas Peru telah
mempengaruhi populasi fauna tanah. Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa hutan primer
memiliki keragaman dan biomassa fauna tanah yang paling tinggi. Perkebunan
peach - palm dengan legum (kudzu) dijumpai banyak fauna hutan yang tinggal di
bagian bawah pepohonan, dimana populasinya lebih rendah dan biomassanya lebih
tinggi dari hutan primer dan sekunder. Sementara pada lahan pertanaman penurunan
sangat jelas terlihat baik densitas, keragaman, maupun biomassa fauna tanah. Pada
pastura memiliki keragaman yang rendah tapi biomassanya lebih tinggi. Pengaruh
tersebut besar terjadi terhadap dominasi cacing Pontoscolex corethrurus.
Hasil penelitian tentang konversi lahan dan pengaruhnya terhadap fauna tanah
dikemukakan pula oleh Fragoso et al. (1997) bahwa, komunitas cacing tanah yang
asli (native species) berubah dengan adanya pergantian penggunaan lahan hutan
tropik ke agroekosistem (pastura dan jagung). Secara umum penurunan jumlah
spesies terjadi akibat sistem anthropik. Jumlah populasi dan biomassa meningkat
pada pastura dan menurun pada pertanian. Hampir semua jenis penggunaan
memiliki pola yang sama yakni penurunan jumlah spesies yang asli dan sebagian
maupun total diganti oleh spesies pendatang (exotic species). Spesies pendatang
tersebut lebih dominan akibat seringnya dilakukan pengolahan, penggunaan
pestisida, dan masukan yang tinggi.
Pada Tabel 6 di bawah ini ditunjukkan hubungan antara iklim mikro tanah dan
populasi invertebrata pada plot yang ditanami maupun tidak ditanami (semak
belukar) di daerah humid tropik. Critchley et al. (1979)dalam Beare et al. (1997)
mendapatkan bahwa diurnal temperatur pada tanah yang ditanami (0-10 cm)
berkisar antara 26 - 32oC dibandingkan pada semak belukar yang hampir konstan
25oC. Selanjutnya dijumpai pula kelembaban tanah pada tanah yang ditanami lebih
rendah daripada tanah semak belukar, sehingga mempengaruhi aktivitas kebanyakan
fauna tanah yang tinggal di permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan rendahnya
populasi dijumpai pada tanah yang ditanami, dengan pengecualian untuk
Prostigmata.
Pengaruh sistem pertanaman terutama pada populasi rayap dilaporkan oleh Black
dan Okwakol, 1997 menunjukkan bahwa jumlah species lebih rendah pada tanaman
budidaya dan perkebunan dibandingkan dengan vegetasi alamiah, namun jumlah
populasi rayap lebih banyak dijumpai pada perkebunan dan pastura dibanding
dengan pertanaman budidaya dan habitat yang tidak diganggu.

3.3 Pengaruh Penggunaan Pupuk


Penambahan N secara kontinu pada pertanaman akan mempengaruhi dinamika C
dan N tanah setelah tanaman dipanen, karena yang diambil oleh tanaman hanya
sebagian yang ditambahkan. Hal tersebut berpengaruh pada mineralisasi N. Menurut
Kolberg et al. (1999) mineralisasi N yang juga dipengaruhi oleh kelembaban dan
temperatur tanah, juga dipengaruhi oleh mikrobia tanah. Semakin meningkatnya
dekomposisi bahan organik tanah semakin meningkat pula mineralisasi N.
Sebaliknya semakin besar aktivitas mikrobia tanah maka memungkinkan untuk
semakin tingginya tingkat immobilisasi N dan berkurangnya mineralisasi N.
Pengaruh pengapuran dan pemupukan P dan K terhadap aktivitas fauna tanah
disampaikan oleh Geissen dan Brummer (1999), dimana aktivitas pada lahan yang
dikapur tanpa pemupukan P dan K lebih rendah dibanding penambahan kapur dan
pupuk P dan K.

3.4. Pengaruh Penggunaan Herbisida dan Pestisida


Herbisida adalah komponen yang sangat penting dalam sistem TOT. Dengan
menggunakan bahan kimia dalam pengontrolan gulma akan membuat sistem TOT
lebih praktis (Morrison et al., 1990 dalam Pantoneet al., 1996). Pada lahan TOT
permukaan tanah kurang terganggu akibat adanya residu tanaman yang menutupi
permukaan, sedikitnya sekitar 30% sisa pertanaman sebelumnya masih berada
dipermukaan tanah. Dengan demikian aplikasi herbisida dapat ditahan lebih lama
oleh residu tanaman dan sebagian menguap ataupun tercuci (Stevenson, 1972;
Stearman et al., 1989; Gish et al., 1995).
Aplikasi herbisida dapat meningkatkan ketersediaan hara dan secara simultan
menurunkan total N dan hara lainnya (Hudska, 1990; Kolhe et al., 1988; Vitoosek
dan Matson, 1985; Arthur dan Wang, 1999). Di lain pihak herbisida dikatakan pula
menurunkan populasi dan aktivitas mikrobia tanah namun efek yang secara aktif
adalah terhadap peningkatan kelembaban tanah. (Smith dan Weeraratna, 1974;
Wardle et al., 1993; Wardle dan Parkinson, 1991; Arthur dan Wang, 1999).
Pada Tabel 7 disajikan pengaruh perlakuan pengontrol gulma terhadap fungi dan
bakteri aktif serta total fungi dan bakteri. Perlakuan menggunakan 2 taraf herbisida
Oust (Sulfometuron Methyl) dan serbuk gergaji serta bahan karet yang diaplikasi
pada waktu yang berbeda pada perkebunan pohon Christmas. Pada Tabel 7 tersebut
terlihat bahwa perbedaan yang nyata pada biomassa bakteri dan fungi yang aktif
hanya terjadi pada sampel yang diambil pada tanggal 10 Mei. Pada hari tersebut
biomassa bakteri nyata lebih besar pada perlakuan serbuk gergaji daripada perlakuan
yang lain, dan secara signifikan biomassa fungi aktif lebih tinggi di perlakuan Oust
daripada perlakuan yang lain. Biomassa bakteri maupun fungi aktif lebih stabil pada
perlakuan serbuk gergaji daripada perlakuan yang lain.
Di balik pengaruh yang menguntungkan dari penggunaan pestisida dalam
meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, bahaya yang potensial dapat terjadi
dalam hal kontaminasi racun dalam tanah. Hasil penelitian Perucci dan Scarponi
(1996) menunjukkan bahwa penggunaan Rimsulfuron dapat menurunkan kandungan
biomassa-C mikrobia, walaupun efeknya tidak berlangsung lama akibat pengaruh
dari faktor lain (tanah, iklim, dll).
Dari hasil penelitian pergerakan pestisida pada area beririgasi oleh Starrett et al.
(1996) menunjukkan bahwa sekitar 0,4% isazofos yang diaplikasi tercuci melalui
kolom tanah yang tidak terganggu di bawah irigasi yang ringan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terjadi bukti aliran melalui pori makro tanah. Dikaitkan dengan
fauna tanah maka cacing tanah merupakan salah satu ecosystem engineer yang
berperan dalam pembentukan pori tanah. Sehingga pengaruh pestisida dalam hal ini
akan sangat berpengaruh pada aktivitas cacing tanah. Dalam hal yang berbeda Ou
dan Thomas (1994) menyatakan bahwa terdapat kultur bakteri campuran yang
memiliki kapasitas dalam mineralisasi pestisida atau xenobiotik lainnya. Seperti
contoh hasil kultur campuran 2 bakteri aquatik Pseudomonas sp.
dan Achromobacter sp., yang dapat memineralisasikan silvex [2-(2,4,5-
trichlorophenoxy) propionic acid] dengan adanya glukosa.
Pengaruh penggunaan bahan kimia dalam mengontrol hama dan penyakit akan
mempengaruhi keberadaan alga tanah. Hal tersebut dikemukakan oleh Megharaj et
al. (1999), yang menunjukkan bahwa total populasi alga tanah akan berkurang
dengan penggunaan DDD [1, 1 - dichloro - 2, 2 - bis (p- chlorophenyl) ethane] dan
DBP (p, p’ - dichlorobenzo -phenone).

IV. KESIMPULAN

1. Faktor lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap aktivitas biota tanah adalah :
ketersediaan hara dalam tanah, air tanah, atmosfer tanah, potensi redoks tanah,
kemasaman (pH) tanah, temperatur tanah, dan cahaya dalam tanah.
2. Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih
banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibanding
dengan pengolahan tanah.
3. Sistem pertanaman seperti rotasi tanaman dan konversi vegetasi alami menjadi
lahan pertanaman, ataupun pastura berpengaruh terhadap keanekaragaman biota
tanah, pengaruh negatif lebih banyak disebabkan oleh pertanaman dan
perkebunan dibanding pastura dan hutan alami.
4. Penggunaan pupuk berpengaruh pada aktivitas biota terutama dikaitkan terhadap
dinamika C dan N dalam tanah.
5. Penggunaan herbisida dan pestisida memiliki efek positif maupun negatif
terhadap aktivitas biota tanah terutama untuk pestisida.

DAFTAR PUSTAKA

Arthur M.A. and Y. Wang. 1999. Soil nutrients and microbial biomass following
weed-control treatments in a Christmas tree plantation. Soil Sci. Soc. Am. J.
63:629-637.

Beare M.H., Reddy M.V., Tian G., and S.C. Srivastava. 1997. Agricultural
intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in the tropics :
The role of decomposer biota. Applied Ecology 6:87-108.
Black H.I.J. and M.J.N. Okwakol. 1997. Agricultural intensification, soil
biodiversity and agroecosystem function in the tropics : the role of termites.
Applied Soil Ecology 6: 37-53.

Breland T.A. and S. Hansen. 1996. Nitrogen mineralization and microbial biomass
as affected by soil compaction. Soil Biol. Biochem. J. 28 (4/5) : 655-663.

Fragoso C., Brown G.G., Patron J.C., Blanchart E., Lavelle P., Pashanasi B.,
Senapati B., and Kumar T., 1997. Agricultural intensification, soil
biodiversity and agroecosystem function in the tropics : the role of
earthworms. Applied Soil Ecology 6 : 17-35.

Friedel J.K., Munch J.C., abd W.R. Fischer. Soil microbial properties and the
assesment of available soil organic matter in a Haplic Luvisol after several
years of different cultivation and crop rotation. Soil Biol. Biochem. J. 28
(4/5):479-488.

Geissen V. and G.W. Brummer. 1999. Decomposition rates and feeding activities of
soil fauna in deciduous forest soil in relation to soil chemical parameters
following liming and fertilization. Biol. Fertil. Soils J. 29:335-342.

Gish J.T., Shirmohammadi A., Vyravipillary R., and B.J Wienhold, 1995, Herbicide
leaching under tilled and no-tillage fields. Soil Sci. Soc. Am. J. 59:895-901.

Guggenberger G., Frey S.D., Six J., Paustian K., and E.T. Elliot. 1999. Bacterial and
fungal cell-wall residues in conventional and no-tillage agroecosystems. Soil
Sci. Soc. Am. J. 63:1188-1198.

Holmes W.E. and D.R. Zak. 1994. Soil microbial biomass dynamics and net
nitrogen mineralization in Northern Hardwood ecosystems. Soil Sci. Soc.
Am. J. 58:238-243.

Hubbard V.C., Jordan D., and J.A. Stecker. 1999. Earthworm response to rotation
and tillage in a Missouri claypan soil. Biol. Fertil. Soils J. 29:343-347.

Killham K. 1999. Soil ecology. Cambridge University Press. United Kingdom.

Kolberg R.L., Westfall D.G., and G.A. Peterson. 1999. Influence of cropping
intensity and nitrogen fertilizer rates on in situ mineralization. Soil Sci. Soc.
Am. J. 63:129-134.

Logsdon D.S., Kaspar T.C., and C.A. Cambardella. 1999. Depth-incremental soil
properties under no-till or chisel management. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:197-
200.
Megharaj M., Boul H.L., and J.H. Thiele. Effects of DDT and its metabolites on soil
algae and anzymatic activity. Biol. Fertil. Soils J. 29:130-134.

Metting, Jr. F.B. 1993. Soil microbial ecology, Aplication in agricultural and
environmental management. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel.
Hongkong.

Needelman B.A., Wander M.M., Bollero G.A., Boast C.W., Sims G.K., and D.G.
Bullock.1999. Interaction of tillage and soil texture : Biologically active soil
organic matter in Illinois. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:1326-1334.

Ou L.T. and J.E. Thomas. 1994. Influence of soil organic matter and soil surfaces on
a bacterial consortium that mineralizes Fenamiphos. Soil Sci. Soc. Am. J.
58:1148-1153.

Pantone D.J., Potter K.N., Torbert H.A., and J.E. Morrison Jr., 1996. Atrazine loss
in runoff from No-Tillage and Chisel-Tillage systems on a Houston Black
clay soil. Environ. Qual. J. 25:572-577.

Perucci P. and L. Scarponi. 1996. Side effects of Rimsulfuron on the microbial


biomass of clay-loam soil. Environ. Qual. J. 25:610-613.

Six J., Elliot E.T., and K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter
dynamics under conventional and no-tillage systems. Soil Sci. Soc. Am. J.
63:1350-1358.

Starrett S.K., Christian N.E., and T. Al Austin. 1996. Movement of pesticides under
two irrigation regimes applied to turfgrass. Environ. Qual. J. 25:566-571.

Wander M.M. and G.A. Balero. 1999. Soil quality assesment of tillage impact in
Illinois. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:961-967.

Anda mungkin juga menyukai