Anda di halaman 1dari 65

Gerakan Sosial Pedagang Kaki Lima Melawan Usaha

untuk Menetertibkan Mereka Atas Nama Kemacetan


Studi kasus Pedagang Kaki Lima di Jalan Raya Bogor, Kramat Jati

Disusun Oleh:
Nama: Setiaji Wibowo
NPM: 0806346842

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Laporan Penelitian Mata Kuliah


Politik Perkotaan
Program S1 Reguler
Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Depok
2010
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Kemacetan di Jakarta telah menjadi masalah bersama yang sangat serius. Orang-orang di Jakarta
saat ini bahkan sudah resisten terhadap masalah ini. Bagi mereka seolah kemacetan adalah hal
biasa yang tidak dapat terhindari. Sebagian orang bahkan terkesan sudah merasa biasa saja
dengan hal ini. Padahal sebagai warga Negara sudah seharusnya mereka mendapatkan pelayanan
yang baik dalam hal transportasi oleh pemerintah.

Pemerintah melakukan banyak upaya untuk mengatasi masalah kemacetan ini baik upaya untuk
meningkatkan ruas jalan, meningkatkan angkutan public, dan juga upaya-upaya lainya seperti
pembatasan jumlah kendaraan. Salah satu upaya pemerintah yang menurut saya cukup menarik
adalah perhatian yang mereka berikan pada pedagang kaki lima. PKL ini di banyak bagian
Jakarta memenuhi ruas jalan atau trotoar dan disangka sebagai biang keladi kemacetan. Padahal
menurut hemat saya masalah utama dari kemcetan ini bersumber pada ketidakmampuan
pemerintah untuk menyediakan angkutan umum yang memadai. Namun tetap rakyat kecil seperti
orang-orang ini (PKL) yang juga disalahkan.

Fauzi Bowo sebagai pemimpin DKI Jakarta mengisyaratkan bahwa PKL ini menjadi salah satu
biang keladi kemacetan.1 Pemerintah DKI Jakarta juga sudah terkenal sejak dulu selalu mencoba
untuk menata PKL dengan alasan supaya kota terlihat lebih indah dan lebih asri, juga untuk
mengurangi kemacetan. Para PKL ini padahal timbul atas ketidakbecusan pemerintah dalam
menyediakan sarana ekonomi bagi warganya. Secara umum para PKL tidak bisa mendapatkan
akses ekonomi di sector formal sehingga mereka harus mengandalkan sector informal.

Saya menemukan hal menarik berhubungan dengan hal ini. Di daerah Kramat Jati, tepatnya di
jalan raya bogor di sekitar pasar daerah kramat jati ada banyak PKL. Mereka ini diidentifikasi
menimbulkan kemacetan yang cukup parah di jalan yang menghubungkan Jakarta dengan Bogor

1
Vivanews, Bus Way Diperluas Hingga Bekasi dan Tangerang,
http://metro.vivanews.com/news/read/127327-
bus_way_diperluas_hingga_bekasi_dan_tangerang diakses pada 22Desember 2010.
itu. Bahkan di hari minggu, menurut Dana seorang yang sering melintas di sana, keadaan
menjadi begitu macet. Bahkan motor pun tidak bisa bergerak. Dapat dibayangkan bagaimana
keadaan kemacetan di sana saat sedang mencapai suasana sibuk.

Perlu diketahui bahwa daerah di depan pasar daerah kramat jati menjadi salah menjadi
penghubung ke arah Depok dan Jalan Raya Bogor. Akibatnya ia menjadi jalur utama bagi
penduduk komuter DKI Jakarta di Bogor, Depok, dan sekitarnya yang memiliki akses kendaraan
pribadi ke arah Jakarta Timur. Otomotis jalan itu menjadi penting keberadaanya dan volume
kendaraan di sana dimaklumi memang banyak. Ditambah lagi dengan adanya Busway yang
melintas di sana yang memperparah keadaan, jalan itu menjadi semakin rawan macet.

Ada banyak penyebab yang diidentifikasi menjadi penyebab macet di kramat jati. Jalan yang
begitu kecil, volume kendaraan yang banyak, adanya busway, adanya putaran yang
memperlambat laju kendaraan, dan masalah PKL. Namun dari sekian banyak masalah tersebut,
saya mengdidentifikasi PKL sebagai sebuah penyumbang kemacetan yang paling signifikan.
Sebabnya mereka telah mengambil sebagian bagian jalan atau trotoar yang seharusnya bisa
digunakan kendaraan atau pejalan kaki di jalan yang sesempit itu untuk volume kendaraan yang
begitu banyak.

Ucok Bangsawan, camat kramat jati yang menjabat saat ini, memiliki konsen yang besar untuk
menata PKL. Hal ini juga sesuai dengan pengalamanya yang pernah mendamaikan pihak yang
berselisih saat menata PKL dulu. Baginya PKL yang ada di kramat jati adalah masalah serius
yang harus segera ditangani.2 Upaya-upaya untuk mengatasi para PKL ini sebenarnya sudah
banyak dilakukan.3 Namun untuk efektivitasnya sendiri tentu saja masih sangat dipertanyakan
karena dari observasi yang saya lakukan, saya melihat bahwa PKL ini terutama pada malam hari
bebas untuk berjualan.

1.2 Rumusan Penelitian

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana bisa para PKL itu bertahan dari gempuran para
otoritas setempat dan terutama pemerintah DKI yang berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi
2
Bataviase, Camat Kramat Jati Bagi Saya Jabatan itu Amanah,
http://bataviase.co.id/node/286889 diakses pada 22 Desember 2010
3
Salah satu contohnya bisa dilihat di Berita Batavia, PKL Kramat Jati Dirazia,
http://beritabatavia.com/berita-2127-pkl-kramatjati-dirazia.html, diakses pada 22 desember
2010
kemacetan. Hipotesis saya adalah bahwa mereka memiliki sebuah bentuk gerakan sosial yang
membuat mereka bisa bertahan dari semua masalah ini.Untuk itu saya ingin mengetahui bentuk
gerakan sosial yang ada dengan rumusan.

“Bagaimana bentuk gerakan sosial PKL yang berada di sekitar Pasar Induk Kramat Jati untuk
menghadapi upaya penggusuran dalam mengatasi kemacetan?”

1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian yang saya lakukan bertujuan untuk menggali fenomena sebuah bentuk gerakan PKL
yang mencoba untuk terus eksis menghadapi kapitalisasi kota dan bagaimana mereka bisa
bertahan dari gempuran untuk bisa menghilangkan atas nama upaya pengurangan dampak
kemacetan.

Selain saya terdapat tiga orang lain yang mengambil studi kasus kemacetan di Kramat Jati. Santi
yang bersama saya juga membahas PKL, tapi dia memandang fenomena PKL ini dari sudut
pandang teori elit. Lita yang membahas kemacetan di Kramat Jati dari faktor angkot (studi
kasusnya mengenai angkot T.11). Terakhir Dana yang membahas peran Pak Ogah untuk
mengurai kemacetan di Kramat Jati. Semua gabungan penelitian yang kami lakukan dapat
memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai fenomena kemacetan di Kramat Jati.

1.4 Teori

Sebuah gerakan sosial dapat diartikan dengan banyak hal. Ada yang mengartikanya sebagai
aktivitas yang diorganisasikan dengan tujuan untuk mendorong atau mencegah perubahan
sosial.4 Touraine mengidentifikasi gerakan sosial sebagai kekuatan sentral yang melawan
kekuatan lain untuk mendapatkan control produksi dari masyarakat dan aksi kelas untuk
membentuk sejarah.5

Ada beberapa ciri-ciri yang bisa diidentifikasi terkait hal gerakan sosial. Ada yang bilang ia
sebagai kumpulan dari opini dan keyakinan. Yang lain melihatnya sebagai bentu perkumpulan
dari individual-individual. Lalu ada yang bilang ia sebagai organisasi. Komponen lain melihat

4
John J. Macionis. Society: the basics. (Pennsylvania State University, 2005). Hal. 621.
5
Donatella Della Porta dan Mario Diani. Social Movement, an Introduction (ed 2). (Wiley-
Blackwell, 2006) Hal. 8.
perlunya karakter antagonis. Terakhir gerakan sosial diisyaratkan memerlukan usaha untuk
mengimplementasikan tujuan-tujuan.6

Di sini saya akan mencoba untuk memahami sebagian definisi yang dikemukakan Touraine dan
menerapkanya dalam konsep karamat jati. Ia mengatakan bahwa gerakan sosial ini melawan
peran pemerintah dalam memproduksi dan menguatkan pembagian kekuasaan dan sumber daya
yang tidak adil7. Meski Touraine mengaitkan kata-katanya dengan masalah kelas, tapi saya di
sini akan menggunakan kata-kata Touraine secara literal saja dan tidak menghubungkanya
dengan pembagian kelas.

Gerakan sosial perkotaan ditandai dengan tujuan mereka yang mencoba untuk merubah makna
perkotaan. Istilah ini mempunyai arti bahwa mereka menghancurkan struktur hirarki material dan
sosial dari dari kehidupan kota dan memroduksi kota yang bermanfaat bagi mereka, yang
mengorganisasikan nilai-nilai, kebudayaan local yang bebas dan demokrasi partisipatoris yang
terdesentralisasi.8

Saya juga akan memakai konsep ekonomi-politik dalam memandang gerakan sosial. Dikatakan
bahwa menurut pandangan ekonomi-politik, gerakan sosial berada dalam masyarakat kapitalis
karena system ekonomi kapitalis tidak dapat memenuhi kebutuhan mayoritas rakyat. Sekali lagi
saya tidak mencoba untuk menghubungkan masalah ini dengan pertentangan kelas, tapi sebuah
upaya untuk memodifikasi moda system kapitalis yang tidak mampu memberikan pemenuhan
kebutuhan.

6
Karl-Dieter Opp. Theories of Political Protest and Social Movement. (2009). Hal. 36-37.
7
Susan S. Fainstein dan Clifford Hirst. Urban Social Movements. Dalam buku Theories of
Urban Politics. David Judge et,al. (ed), (London: Sage Publication, 1995), hal.183.
8
Ibid.
I.5 Kerangka Alur Berpikir

Otoritas Setempat
Koordinato (Kecamatan)
r PKL

PKL

= hubungan langsung (intensif)

= hubungan tidak langsung (kurang intensif)

Para PKL ini memiliki koordinator yang memiliki hubungan langsung dengan mereka.
Koordinator ini melakukan pengorganisasian PKL supaya PKL terus bisa bertahan di Kramat
Jati. Koordinator aktif melakukan diplomasi ke otoritas setempat supaya PKL bisa diakui oleh
otoritas ini. PKL dan koordinator dimasukkan pada satu entitas karena mereka memiliki
kedekatan personal yang sangat dekat dan karena mereka memiliki satu kepentingan ekonomi
yang sama untuk bisa bertahan di daerah sana dari segala gempuran.

Otoritas setempat melakukan hubungan langsung dengan PKL melalui penggerebekan PKL
yang bersifat parsial (karena tidak pernah ada upaya yang serius untuk melakukan relokasi) dan
juga sosialiasi yang akan dilakukan pada PKL. Koordinator juga memiliki hubungan dengan
otoritas untuk memastikan bahwa PKL ini masih bisa bertahan dari segala ancaman. Sebenarnya
hubungan koordinator dengan otoritas setempat cukup sering dilakukan, tapi ia tidak dilakukan
seintensif hubungan koordinator dengan PKL.
I.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan memakai metode penelitian kualitatif dengan tujuan agar bisa ditemukan
fakta-fakta yang mendalam saat melakukan peneltian. Penelitian kualitatif sebagaimana
dijelaskan oleh Denzin dan Lincoln menempatkan peneliti langsung sebagai orang yang
mengobservasi kenyataan.9 Harapanya kedalaman data itu akan didapatkan dengan cara ini. Jenis
penelitian kualitatif yang dipakai adalah penelitian explanatory yang melihat alasan terjadinya
sesuatu, hubungan-hubungan yang terjadi, dan apa saja (entitas) yang ada.10

Otoritas yang memegang kekuasaan di Kramat jati ialah kotamadya, kecamatan ,dan polsek.
Namun karena masalah rumitnya pengurusan izin birokrasi kami hanya bisa menganalisis
otoritas kecamatan (di dalamnya termasuk satpol pp) di penelitian ini.11

I.7 Teknik Pengambilan Sampel dan Entitas Sampel

Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah purposive sampling. Pengambilan sampel jenis
ini memilih sampel yang dipilih oleh peneliti, tapi sesuai dengan criteria tertentu seperti lokasi
atau relasi kekuasaan khusus.12 Teknik pengambilan data yang dipakai adalah wawancara
berstruktur untuk para pejabat, wawancara mendalam untuk actor-aktor selain pejabat, juga
observasi langsung ke lapangan.

Entitas sampel yang diambil adalah.

1. PKL yang berjualan di sore hari yang mewakili tiga kluster PKL. Kluster pertama di jalan
raya bogor dari arah PGC sampai sebelum Ramayana.. Kluster kedua PKL di depan Pasar
Induk Kramat jati. Kluster terakhir adalah PKL setelah pasar induk sampai dengan
Carrefour Kramat Jati.

2. PKL yang berjualan di siang hari. Mereka jumlahnya tidak sebanyak PKL di waktu
lainya.

9
Jane Ritchie dan Jane Lewis. Qualitative Research Practice A Guide for Social Science
Students and Researchers. (London: Sage Publication, 2004), hal 2.
10
Ibid. hal. 27.
11
Sulitnya izin dengan birokrasi dapat diperhatikan di Jurnal Penelitian Jumat 5 November
2010.
12
Ibid. hal. 79.
3. Koordintor PKL. Mereka sering disebut petugas oleh PKL dan coordinator oleh satpol
pp. Saya memasukkan mereka sebagai bagian dari PKL karena mereka mempunyai
kedekatan emosional dengan PKL. Mereka juga mempunyai keuntungan timbal balik
dengan PKL. PKL beruntung karena keamanan mereka terjaga dan coordinator juga bisa
mendapatkan penghasilan dari iuran PKL.

4. Otoritas kecamatan. Mereka termasuk Satpol PP, bagian UKM, dan bagian tata
pemerintahan.
BAB II

Kemacetan dan Bentuk Gerakan Sosial PKL Kramat Jati

II.1 Kemacetan di daerah Kramat Jati

Daerah depan Pasar Kramat Jati adalah satu daerah yang menjadi daerah rawan macet di
lingkungan Jadetabek (Jakarta Depok Tangerang Bekasi).13 Pertama kali kami berkunjung ke
sana, sekitar jam 19.00 sampai dengan jam 21.00, kami langsung menyadari bahwa daerah itu
memang rawan macet. Daerah yang macet ini berada di jalan raya bogor dari arah PGC sampai
dengan Carrefour Kramat Jati. Panjang kemacetan sendiri berkisar satu kilometer. Ada banyak
faktor yang menjadi penyebab kemacetan. Badan jalan yang kecil, volume jalan yang besar,
adanya busway yang harus beroperasi di jalan yang sekecil itu, dan ada banyaknya Pedagang
Kaki Lima (PKL). Para PKL ini di awal-awal jalan raya bogor dari arah PGC menuju Depok
bahkan memakai sebagian badan jalan untuk berjualan.

Selain itu ada masalah putaran di sana yang menghambat jalanya akses kendaraan. Ada tiga buah
putaran yang berada di lokasi rawan macet tersebut. Putaran pertama ada di depan pasar induk
kramat jati. Putaran kedua ada di depan Jalan Nusa. Putaran ketiga, dan ini adalah putaran yang
paling membuat macet, yaitu putaran yang ada di depan Carrefour. Ketiga putaran ini
memperparah keadaan macet yang sudah ada. Pertama ketiga putaran itu ada di daerah rawan
macet. Kedua mereka berada di depan tempat umum yang akses keluar masuk kendaraanya
begitu padat (dua di depan tempat kegiatan ekonomi dan satu di depan jalan). Yang ketiga,
sering sekali ketiga putaran itu dibuka dan tidak ditutup bahkan di jam-jam sibuk. Apalagi
putaran yang di depan Carrefour yang sepanjang pengamatan saya tidak pernah ditutup.

Saya pribadi melihat para PKL sebagai penyebab macet yang cukup krusial di daerah situ.
Mereka ada yang memakai badan jalan untuk berjualan. Kalaupun tidak, mereka minimal
memakai trotoar yang seharusnya bisa digunakan oleh pejalan kaki untuk berjualan. Para pejalan
kaki ini yang kehilangan haknya karena dipakai oleh PKL, harus berjalan di jalan yang
seharusnya bisa dipakai oleh kendaraan oleh lewat. Kendaraan yang lewat pun harus merelakan
13
TMC. Lokasi Rawan Macet. http://www.tmcmetro.com/peta/rawan-kemacetan, diakses
pada 21 Desember 2010.
sebagian tempat mereka untuk diberikan pada pejalan kaki atau PKL. Tambahan lagi para
pembeli yang membeli barang dari PKL juga memperumit masalah. Mereka berhenti di pinggir
jalan untuk mengadakan transaksi dengan PKL. Bahkan ada kendaraan-kendaraan yang sengaja
parkir untuk membeli dari PKL. Tidak terlalu masalah mungkin jika kendaraan yang parkir
hanya motor. Masalalhnya adalah kadang-kadang bahkan ada mobil yang berhenti di jalan yang
sesempit itu untuk membeli barang.

Alasan saya menjadikan PKL ini sebagai studi utama saya adalah karena daerah tempat
kemacetan yang ada di kramat jati (terutama pada malam hari) adalah daerah tempat PKL
berjualan. Daerah tempat PKL berjualan ada di jalan raya bogor dari arah PGC sampai dengan
depan Carrefour. Setelah Carrefour, PKL yang ada hanya sedikit sekali dan mereka bukanlah
PKL yang menetap disuatu tempat karena biasanya mereka memakai gerobak. Daerah tempat
mangkal PKL ini ternyata persis sama dengan daerah tempat kemacetan terjadi. Jika kita naik
kendaraan dari arah Jakarta melewati jalan raya bogor menuju bogor, kemacetan akan selesai
begitu PKL tidak ada lagi di pandangan.

Dalam hati saya kemudian bertanya-tanya bagaimana mungkin para PKL dapat bertahan di
tengah arus kemacetan yang begitu besar di sana. Pengakuan yang diberikan oleh TMC tentang
macetnya arus kendaraan di Kramat jati menjadi bukti bahwa polisi pun telah menyadari
fenomena macet di sini. Saat saya berkunjung ke TMC, saya mendapatkan informasi bahwa
TMC mendata lokasi rawan macet ini beradasarkan laporan dari polsek setempat. Berarti polisi
setempat sudah paham hal ini. otoritas setempat pun tidak mungkin menutup mata atas kejadian
ini. Namun mereka bahkan tidak bisa menghilangkan para PKL di sini. Para PKL ini menurut
saya mempunyai kemampuan bertahan yang tinggi di tengah arus untuk menghilangkan mereka
yang begitu besar.

Perlu diingat bahwa jalan yang macet ini terutama ada di bagian jalan raya bogor yang tepat
berada di depan Pasar Daerah (PD) Kramat Jati dan juga Carrefour. Jalan di sisi ini mengalami
kemacetan yang luar biasa. Sementara jalan di sisi lainya meski mengalami kemacetan serupa,
tapi kemacetan ini tidak separah kemacetan yang ada di sisi jalan depan PD Kramat Jati dan
Carrefour Kramat jati. Penyebabnya lagi-lagi dalam analisis saya adalah karena di sisi
seberangnya tidak terdapat PKL, kalaupun ada PKL itu hanya sedikit sekali dan mereka adalah
PKL yang memakai gerobak dan bukan PKL yang menetap. Bagian di sisi lain ini ditandai
dengan toko-toko yang sudah mapan seperti toko furniture atau toko elektronik. Toko-toko
seperti ini tidak mengizinkan ada PKL ada di depan toko mereka. Hal ini sama dengan di sisi
yang rawan macet. Di sisi rawan macet, juga ada toko yang punya bangunan sendiri meski
jumlah mereka tidak sebanyak di sisi sebelahnya dan dalam pengamatan saya tidak pernah ada
PKL di bagian depan toko mereka.

Kemacetan yang terjadi di Kramatjati ini pun terjadi hampir sepanjang waktu. Waktu terpagi
yang pernah kami amati ialah jam enam pagi (saat ini terjadi kemacetan), jam setengah sembilan
sampai sebelas (juga tejadi kemacetan), siang jam 12 sampai dengan sore jam 4 (terjadi
kemacetan), dan terakhir jam setengah tujuh sampai dengan jam setengah sepuluh pun
kemacetan masih terjadi.

II. 2 Kehidupan PKL Kramat jati

<Sore-Malam>
<Siang Hari>
Tiga Kluster (1:
Kerajinan aneka barang,
2:ikan, 3:
Sedikit makanan)
Tidak Terlalu Banyak
Membuat Macet
Membuat Macet

<Pasar Subuh>

Berjualan Sayuran
dan Ikan

Banyak

Membuat Macet

Ilustrasi Pemetaan PKL Di Jalan Raya Bogor, Kramat Jati


Perlu diketahui bahwa jalanan yang berada di Kramat Jati ini selalu dipenuhi pedagang dari pagi
hingga pagi lagi. Terdapat tiga waktu shift pedagang. Pada waktu malam PKL di kramat jati
dibagi menjadi tiga kluster. Kluster pertama (dari arah PGC sampai sebelum ramayana) adalah
PKL yang menjual barang aneka barang. Kluster kedua (depan Ramayana) adalah PKL yang
berjualan ikan, kluster ketiga dari setelah Ramayana sampai dengan Carrefour Kramat Jati. PKL
ini berjualan sampai dengan pagi jam empat. Jam empat inilah kemudian muncul pasar subuh
yang terdiri dari PKL yang berjualan barang seperti di pasar induk. Tempat yang ditempati pasar
subuh ialah di jalan raya bogor setelah PGC sampai dengan beberapa puluh meter setelah
Carrefour Kramat Jati (beberapa puluh meter lebih panjang ke arah depok dibanding PKL di
malam hari). Mereka berjualan ikan, sayur, dan bahan dasar lain. Pasar subuh ini selesai sampai
jam setengah tujuh. Lalu saat pasar subuh selesai muncul PKL-PKL yang tersebar di Jalan raya
bogor. Mereka bercirikan berjumlah lebih sedikit dari PKL di malam dan subuh, berjualan
dengan lebih tersebar (ada jarak sekitar sepuluh meter antara PKL), dan barang dagangan mereka
biasanya kerajinan (seperti meja belajar kayu dan tidak ada yang berjualan ikan/sayuran).14

Meski saya tidak mendapat gambaran yang menyeluruh, wawancara dengan Ibu Surahmi 15,
seorang PKL yang berdagang baju, mengisyaratkan bahwa pekerjaan sebagai PKL ini adalah
pekerjaan yang berisiko. Dari sini saya mendapat pemahaman bahwa para PKL ini tidak benar-
benar ingin bekerja seperti pekerjaan mereka sekarang. Mereka harus menghadapi berbagai
macam resiko saat berjualan seperti resiko dirazia, pungutan-pungutan berlapis yang dilakukan
oleh berbagai macam actor, dan masalah jam berjualan yang sangat tidak menguntungkan. Para
PKL ini memiliki waktu berjualan dari sore sekitar jam enam sore sampai dengan subuh. Sebuah
waktu yang tentu sangat aneh bagi orang yang hidup dengan jam tidur normal. PKL-PKL ini
harus tidak tidur di malam hari dan malah harus berjualan di waktu yang sangat dingin.

Waktu pembatasan jam jualan PKL sebenarnya adalah program yang berasal dari pemerintah.
Kebijakan ini sudah berjalan beberapa tahun. Kebijakan-kebijakan seperti ini diadakan dari atas
dan bukan di level kecamatan. Jadi pihak kecamatan hanya tinggal melaksanakan ketentuan yang
sudah ditetapkan. Ketetapan ini menyebutkan bahwa PKL boleh saja melakukan perdagangan,
tapi mereka hanya boleh berjualan dari jam sepuluh malam sampai dengan jam lima subuh.
14
Jurnal Penelitian Tanggal 24 Desember 2010

15
Wawancara ini dilakukan saat penelitian lapangan tanggal 1 Desember 2010.
Meski harusnya mulai jam sepuluh, lobi yang dilakukan pedagang membuat terjadinya
kesepakatan bahwa PKL bisa mulai bersiap-siap untuk berjualan mulai jam enam sore. Waktu
selesai PKL berjualan di pagi hari pun ternyata bukan jam lima subuh, tapi jam setengah tujuh
pagi. Jadi secara de facto PKL bisa berjualan dari jam enam sore sampai dengan jam setengah
tujuh pagi. PKL yang berjualan di siang hari tidak terkena restriksi waktu karena mereka
jumlahnya sedikit dan tidak terlalu menimbulkan kemacetan. Pun satpol pp memberikan
kesempatan bagi mereka berjualan asal tidak melewati parit.

Untuk bisa berjualan PKL-PKL ini membutuhkan banyak hal. Biasanya ada dua hal yang harus
dibayarkan secara rutin, iuran listrik dan kebersihan. Iuran listrik ini biasanya berjumlah 5000.
Untuk PKL yang berjualan ikan secara khusus ada iuran kebersihan sebab mereka beresiko
menghasilkan banyak sampah. Ini berbeda dengan pedagang aneka barang dan pedagang
makanan. Biaya yang harus dikeluarkan PKL ikan basah ialah 2000 per hari. Selain itu mereka
dihadapkan pada pungutan-pungutan berganda. Mbak Mey16, seorang pedagang ikan basah,
dihadapkan pada pungutan sebesaar 10.000 untuk menjaga balok es nya dan pungutan sebesar
200.000 untuk alasan keamanan. Di kasus Mbak Mey, iuran untuk alasan keamanan ini
dilakukan dengan intensitas yang tidak menentu. Berbeda dengan kasus Ibu Upi, seorang
pedagang pakaian, yang mengatakan bahwa iuran keamanan yang dimintai oleh petugas pasar
dilakukan setiap hari.

Upaya-upaya razia yang dilakukan oleh satpol pp juga menjadi momok yang cukup menakutkan
bagi para pedagang pasar. Sampai beberapa tahun yang lalu, para satpol pp ini sering mengejar
PKL. Namun belakangan intensitas pengejaran satpol pp ini mulai mereda. Menurut Ibu Upi,
titik balik dari menjadi tidak beringasnya satpol pp ini adalah sejak bentrokan antara warga
dengan satpol pp di kasus priok terjadi. Dalam bentrokan priok ini, banyak warga yang terbunuh
oleh satpol pp dan perhatian masyarakat mulai lebih banyak tertuju pada satpol pp. Atas hal
inilah satpol pp di daerah kramat jati mulai berhati-hati dalam bertindak.

Masih terkait masalah razia yang dilakukan satpol pp, Mbak Mey dan Bu Surahmi sama-sama
menyatakan bahwa para actor yang menarik biaya keamanan ini melakukan pemberian informasi
pada para PKl terkait waktu razia yang akan dilakukan. Dari sini dapat dipahami bahwa terjadi

16
Untuk Lebih lengkap tentang Mbak Mey dapat dilihat di Jurnal Penelitian tanggal 1
Desember 2010
sebuah hubungan tertentu antara satpol pp dengan otoritas yang menjaga kemanan PKL. Sebuah
informasi terkait waktu razia menjadi sebuah komoditi untuk diperdagangkan.

II.3 Otoritas Setempat (Satpol PP dan bagian Tata Pemerintahan)

Sebenarnya saya ingin melihat masalah PKL ini dari berbagai sudut pandang. Namun setelah
menelisik keadaan kecamatan, saya menyadari bahwa hanya bagian satpol pp dan tapem (tata
pemerintahan) yang berhubungan dengan PKL. Saya sempat mewawancarai bagian UKM, tapi
ternyata bagian ini baru sebentar berdiri jadi kiprahnya belum banyak. Juga ternyata bagian
UKM ini hanya mengurusi bagian-bagian ekonomi formal seperti toko dan minimarket. Atas hal
itu, focus dari penelitian ini hanya melihat pemerintahan dari sudut pandang satpol pp dan
Tapem saja.

Di bagian tata pemerintahan (tapem), saya dan Santi berinisiatif untuk mewawancarai Pak
Dayat17. Bapak ini sudah cukup berumur dan memiliki banyak pengalaman di Kramat jati. Atas
pengetahuan yang dia miliki, kami mewawancarai terkait latar belakang PKL. Kramat jati dulu
hanya pasar kecil. Karena lingkungannya yang dekat dengan pemukiman keadaanya yang
strategis, ia bisa berkembang. Warga kelurahan Bale Kambang, Batu Ampar, Cililitan, Halim
semuanya menujunya ke Pasar Kramat Jati. Pasar ini memiliki kelebihan berupa sasaranya yang
untuk ekonomi menengah ke bawah sehingga tersedia tuh, terjangkau dan lebih murah.
Menurutnya PKL ini mulai menimbulkan banyak masalah dalam sepuluh tahun terakhir. Untuk
itu ada kebijakan penerapan jam jualan tertentu yang mulai dilaksanakan dalam lima tahun
terakhir.

Saya berhasil mewawancarai dua orang di satpol pp, Mbak Feni dan Pak Asik 18. Meskipun
mungkin ada sedikit perbedaan persepsi, saya mendapatkan info bahwa upaya relokasi pada
pedagang ini tidak pernah ada. Yang ada hanya upaya-upaya minor seperti razia kecil-kecilan
yang tidak pernah menyelesaikan masalah adanya PKL. Upaya seperti ini tidak pernah efektif
karena PKL akan selalu mencoba untuk kembali ke trotoar. PKL ini menganggap bahwa daerah
yang mereka tempati adalah daerah yang sangat potensial untuk menjaring pembeli. Hal ini

17
Lebih jelas lihat transkrip wawancara dengan Pak Dayat.
18
Untuk lebih jelas bisa melihat jurnal penelitian 2 Desember 2010 dan transkrip wawancara
dengan Pak Asik
sangat berbeda daerah yang diproyeksi untuk memindahkan mereka yang lebih susah untuk
menjaring pembeli.

Berhubungan dengan hal ini saya menemukan fakta yang menarik bahwa di daerah Kramat Jati,
di antara Carrrefour Kramat jati dengan pasar induk kramat jati terdapat sebuah tempat yang
diberi nama penampungan PKL yang disediakan Sudin UKM. Namun fakta yang saya dapatkan
bertolak belakang sekali dengan tujuan pembangunan tempat ini. ternyata para pedagang yang
menempati tempat ini dulunya bukanlah PKL, tapi mereka adalah pedagang pasar yang pindah
dari pasar dekat situ. Dapat dismpulkan bahwa tempat itu hanya ada sebagai simbolisasi belaka.
PKL tetap sangat sulit untuk bisa direlokasi.19

Para satpol pp sekarang-sekarang berfokus pada usaha untuk menertibkan PKL yang berjualan di
luar jam berjualan resmi, yaitu pada jam enam sore sampai dengan jam lima pagi. Secara rutin
para satpol pp melakukan penyisirann untuk menyita lapak yang berjualan di luar jam yang
ditentukan. Lapak dan barang dagangan yang disita dibawa ke Cakung untuk disimpan. Lapak
yang disita tidak bisa diambil lagi oleh PKL, tapi barang dagangan yang disita bisa diambil oleh
PKL. Syaratnya adalah para PKL ini harus bisa menulis surat pernyataan bahwa mereka tidak
akan berjualan di luar jam yang ditentukan. Ada denda yang harus dibayar terkait pengambilan
kembali barang dagangan setelah sebelumnya melakukan persidangan ringan.

Data Penyitaan Lapak PKL di Kramat Jati tahun 2010

19
Jurnal Penelitian Tanggal 29 Oktober 2010
Jumlah
Bulan Penyitaan
Januari 8
Februari 5
Maret 16
April 10
Mei 17
Juni 15
Juli 12
Agustus 14
September 26
Oktober 18

Sumber: Satpol PP Kramat Jati

Para Satpol PP ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai pelaksana lapangan saja. Ibaratnya mereka
adalah prajurit di depan medan perang yang siap mati duluan dan yang merasakan penderitaan
berurusan dengan rakyat banyak. Keputusan tertinggi (dalam kasus ini saya mengambil data di
kecamatan terkait wilayah kotamadya) ada di tangan walikota. Meski tentu saja para satpol pp ini
juga mempunyai kekuasaan dalam wilayah tertentu. Hal ini bisa dilihat dari contoh yang saya
ajukan tadi bahwa pra koodinator (atau stafnya) PKL bisa mendapatkan data-data bocoran
tentang pelaksanaan razia.

Koordinasi Polisi Pramong Praja di Tingkat Wilayah jakarta Timur


Walikota Jakarta Timur membuat Surat Keputusan (SK) yang tembusanya diberikan ke
Gubernur DKI Jakarta

Kasat (Kepala Satuan) pol PP Jakarta Timur

Camat

Kasi. Pemerintahan dan Ketertiban Umum

Pelaksana = Kasatgas (Kasatgas) Pol PP

Dilaksanankan komandan unit atau Kasatgas Pol PP Kelurahan

Sumber: Satpol PP Kecamatan Kramat Jati

II.4 Koordinator PKL

Pak Jaing dan Anak Bu Sirait

Mengkoordinasikan PKL di jalan raya bogor dari


PGC sampai Pusdikkes

Pak Mutaram

Terbatas pengaruhya di PKL etnis Madura

Ilustrasi Pemetaan Pengaruh Koordinator PKL

Ada dua entitas koordinator PKL, Pak Jaing dan Anak Bu Sirait; dan Pak Mutaram dan istrinya.
Yang mengurusi PKL di jalan raya bogor dari arah PGC sampai dengan Pusdikkes adalah Pak
Jaing dan anak Ibu Sirait sedangkan urusan yang diurus Pak Mutaram terbatas.
Yang dijelaskan pertama adalah Ibu Kholilah. Ibu ini adalah orang yang mengurus listrik PKL di
daerah Kramat Jati. Suaminya Pak Mutaram adalah coordinator yang mengurusi PKL terutama
yang beretnis Madura (hal ini membuat terjadinya iuran berganda, dari Pak Jaing dan Pak
Mutaram). Namun belakangan ini Pak Mutaram tidak lagi mengurusi PKL Karen sibuk dengan
pekerjaanya di Cikarang.

Ibu Kholilah sekarang bertugas untuk mengurus listrik yang menerangi para PKL. Pekerjaan ini
didapatkanya dari almarhum ayahnya yang dulu juga bertugas mengurus bagian ini. Para PKL ini
membayar kepada ibu Kholilah sebesar 3000-4000 sehari. (hal ini berbeda dengan kenyataan di
lapangan yang jumlahnya sebesar 5.000 sehari. Mungkin selisih seribu ini digunakan untuk
membayar staf ibu kholilah). Dalam satu hari ibu kholilah mendapatkan pendapatan 130.000
rupiah dan dia harus membayar PLN 2.000.000 perbulan. Total keuntungan yang dia dapat
setelah saya hitung adalah 1.900.000 sebulan.

Sudah lama sejak biaya listrik ini tidak naik. PKL selalu menolak saat ibu kholilah ingin
menaikkan biaya listrik. Dengan ditambah kenaikan TDL kemarin, keuntungan ibu ini smeakin
berkurang. Apalagi dia juga harus membayar biaya tambahan jika listrik dari PLN tiba-tiba mati.

Ada satu hal menarik yang saya catat dari ibu ini (yang tidak ada dalam transkrip Karena
masalah kualitas alat rekam dan file rekaman), bahwa coordinator bekerja sama dengan polisi
untuk mengurus PKL. Lalu hal menarik lainya (kali ini ada dalam transkrip), bahwa coordinator
bekerja sama dengan piihak kecamatan. Hal ini bisa dilihat dari iuran yang ditarik PKL.
Koordintor atau stafnya saat menarik uang dari PKL harus menggunakan baju khusus dan
mengunakan semacam karcis. Ini tentu saja untuk bagian iuran yang bersifat semi resmi. Namun
saying saya tidak dapat melacak iuran yang dilakukan diluar coordinator.

Kedua, koordinator yang secara de facto mengurus keseluruhan PKL di jalan raya bogor sampai
Pusdikkes adalah Pak jaing dan anak bu sirait. Namun dalam penelitian ini hanya akan dijelaskan
Pak Jaing saja karena anak Ibu Sirait belum memiliki pengalaman mengurus PKL (ibu sirait baru
saja meninggal dan anaknya ini masih belum memiliki pengalaman yang memadai)..Pak Jaing
adalah seorang keturunan Betawi. Ia merupakan seseorang yang sudah begitu lama bersama
dengan para PKL, sejak tahun 1973. Bagi Pak Jaing PKL adalah entitas yang sangat penting.
Keberlangsungan hidup PKL adalah keberlangsungan hidupnya juga.Ia telah merintis karir
sebagai coordinator sejak tahun 1973. Awalnya ia berprofesi sebagai tukang sapu. Sampai saat
ini saat ia mampu menjadi coordinator, kadang-kadang ia masih menyapu. Sebuah tindakan yang
menunjukkan kesederhanaanya.

Pak Jaing telah berhasil membawa PKL menjadi entitas yang terorganisasi di Kramat Jati. Ia
berhasil melakukan diplomasi kepada otoritas setempat (kecamatan, walikota, dan polsek) untuk
bisa mempertahankan keberadaan PKL. Pak Jaing mengurusi masalah kebersihan dan keamanan
PKL. PKL harus membayar pada Pak Jaing agar sampahnya bisa dibersihkan dan bisa
mendapatkan keamanan. Iuran ini pun berhasil mendapatkan semacam kelegalan dari pemerintah
yang berarti keberadaan PKL secara tidak langsung telah diakui oleh otoritas setempat. Para PKL
pun terbukti memiliki kedekatan personal dengan Pak Jaing. Mereka sangat mengenal sosok Pak
Jaing dan terus berkoordinasi dengan Pak jaing untuk bisa bertahan.

Saat otoritas setempat mendapati masalah dengan para PKL atau saat mereka ingin brhubungan
dengan PKL, mereka datang menemui Pak jaing. Misalnya beberapa tahun belakangan saat
otoritas setempat ingin melakukan penertiban jam PKL terkait sebuah lomba lingkungan, mereka
berkoordinasi dengan Pak Jaing.

II.5 Tetap Bertahanya PKL sebagai sebuah Bentuk Pergerakan Sosial

Ada satu hal yang agak membingungkan tapi perlu dijelaskan. Para PKL ini tidak mempunyai
independensi yang cukup kuat sebagai sebuah entitas. Namun saat menggabungkan PKL dengan
coordinator, mereka mempunyai daya tawar yang cukup baik. Meski coordinator (dan stafnya)
agak berbeda dengan PKL, saya cenderung memasukkanya ke ranah PKL atas hubungan mereka
yang baik dengan PKL dan ketergantungan mereka dari usaha PKL untuk menghidupi kebutuhan
mereka. Meski PKL cenderung dikontrol oleh coordinator, saya cenderung memaknai ini sebagai
garis koordinasi. Koordinator memiliki fungsi di atas dalam organisasi, sementara PKL di
bawah. Jangan pahami ini dengan asumsi saya menempatkan PKL ada dalam tempat yang lebih
rendah, saya hanya menganggap ini sebagai garis komando organisasi.

Pertama mari melihat premis ortodoks tentang gerakan sosial sebagai sebuah aktivitas yang
menuntut atau mencegah perubahan sosial. Saya beranggapan bahwa terdapat aktivitas PKL di
daerah kramat jati. Meskipun dari pengamatan yang saya lakukan saya tidak dapat menemukan
sebuah aktivitas pergerakan yang konvensional, saya menemukanya dalam bentuk lain. Di sana
saat PKL menyatakan masuk ke dalam komunitas PKL, mereka meneguhkan diri untuk maju
bersama melawan ancaman dari luar. Ancaman ini salah satunya berasal dari satpol pp yang
meski tidak pernah melakukan upaya frontal relokasi berhasil mengacak-acak para PKL dengan
melakukan razia sporadis. PKL-PKL ini yang bargabung ke komunitas baru akan membayar
iuran kepada para koordintor dan staf-stafnya untuk penjagaan keamanan. Upaya rutin
pembayaran rutin inilah yang saya identifikasi sebagai sebuah aktivitas untuk bergerak.

Gerakan sosial ini melakukan upaya untuk melakukan sebuah perubahan sosial. Dalam
pandangan para perencana kota yang sangat suka keteraturan, para PKL ini adalah para
pengganggu keindahan kota dan biangnya kemacetan. PKL-PKL ini baik secara langsung
maupun tidak langsung ingin merubah pandangan-pandangan seperti ini. Mereka berorientasi
pada perubahan cara pandang masyarakat terhadap PKL juga perubahan sosial yang
termaterialisasi dengan tetap bertahanya mereka di situ. Toh pada kenyataanya masyarakat juga
diuntungkan dengan keberadaan PKl berupa lebih mudahnya akses masyarakat untuk
mendapatkan barang-barang tertentu.

Lalu di sini juga terdapat pertarungan antara entitas formal dan informal meski dalam bukti yang
saya dapatkan konfrontasi yang ada masih bersifat tidak langsung. PKL yang merupakan entitas
informal dianggap sebelah mata oleh entitas formal (toko yang telah mempunyai bangunan
sendiri). Bagi toko-toko ini PKL hanyalah biang keladi penyebab kemacetan yang harus segera
dihilangkan. Persepsi ini saya dapatkan setelah mewawancarai seorang pemilik toko masakan
padang yang sangat skeptic dengan kehadiran PKL. Lalu terdapat tokoh antagonistic lainya yaitu
otoritas setempat yang dalam beberap segi selalu mencoba untuk melakukan upaya penertiban
(yang akhirnya tidak pernah berhasil).

Gerakan di kramat jati ini juga memiliki ciri-ciri lain gerakan sosial seperti perlunya bentuk
organisasi. Memang di sini tidak pernah ada bentuk organisasi yang saklek, tapi menurut saya
PKL ini sudah membentuk substansi dari organisasi berupa orang yang memimpin, orang yang
dipimpin, dan kegiatan organisasi. Mereka juga berusaha untuk mengimplementasikan tujuan
mereka yang saya yakin ialah eksistensi mereka di jalan raya bogor agar bisa terus berjualan.

Saya menyadari bahwa di daerah Kramat Jati ini tidak terdapat pertentangan antara kelas orang
yang tidak memiliki moda produksi (buruh) dan orang yang memiliki alat produksi (borjuasi).
Namun saya melihat bahwa fenomena yang terjadi adalah sebuah ekspresi dari ketidakadilan
yang dilakukan pemerintah dalam membagi kue ekonomi. Ini adalah ekspresi dari ketidakadilan
yang dihasilkan oleh system ekonomi kapitalis yang mengakibatkan PKL-PKL ini tidak bisa
memenuhi kebutuhan mereka. Karena itu para PKL mencoba merubah struktur masyarakat
secara sosial dan material agar lebih bisa menerima mereka dan budaya yang mereka tawarkan,
budaya yang lebi bebas dari yang dipunyai masyarakat banyak.
BAB III

Kesimpulan

Kemacetan yang melanda Jakarta membuat pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk
meredam kemacetan. Salah satu upaya itu ialah penataan PKL. Di jalan raya bogor, Kramat Jati,
ditemui suatu hal yang menarik, PKL bisa terus bertahan di tengah upaya gencar Pemerintah
DKI Jakarta untuk mengendalikan PKL. Mereka bisa terus bertahan padahal sudah jelas bahwa
mereka menjadi salah penyebab utama kemacetan di daerah situ.

Ternyata para PKL ini berhasil mengorganisasikan diri bersama di bawah kepemimpinan
koordinator untuk bisa bertahan di pinggir jalan atau trotoar yang harusnya menjadi area pejalan
kaki atau kendaraan bermotor. PKL dan koordinator berhasil melakukan diplomasi pada otoritas
setempat untuk bisa melegalkan keadaan mereka. Memang tidak dapat dipungkiri ada upaya
untuk melakukan razia pada PKL, tapi upaya-upaya ini adalah upaya parsial yang tidak pernah
bisa berhasil.

Koordinator dan PKL memiliki ikatan yang sama untuk bisa bertahan secara ekonomi di jalanan
raya bogor, kramat jati. Bagi koordinator, tidak berjalanya kehidupan ekonomi PKL berarti juga
akan berpengaruh pada kehidupan ekonominya dan staf-stafnya. Bagi para PKL jalanan raya
bogor, Kramat jati, adalah tempat ekonomi yang sangat berprospek. Terbukti dari beberapa
upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan PKL, PKL selalu memilih untuk
kembali ke tempat asal mereka di pinggir jalan.
Daftar Pustaka

Buku

Fainstein, Susan S. dan Clifford Hirst. Urban Social Movements. Dalam buku Theories of Urban
Politics. David Judge et,al. (ed), (London: Sage Publication, 1995).
Macionis, John J.. Society: the basics. (Pennsylvania State University, 2005).
Opp, Karl-Dieter. Theories of Political Protest and Social Movement. (2009).
Porta, Donatella Della dan Mario Diani. Social Movement, an Introduction (ed 2). (Wiley-
Blackwell, 2006).
Ritchie, Jane dan Jane Lewis. Qualitative Research Practice A Guide for Social Science Students
and Researchers. (London: Sage Publication, 2004).

Internet

Berita Batavia, PKL Kramat Jati Dirazia, http://beritabatavia.com/berita-2127-pkl-kramatjati-


dirazia.html, diakses pada 22 desember 2010.

Bataviase, Camat Kramat Jati Bagi Saya Jabatan itu Amanah,


http://bataviase.co.id/node/286889 diakses pada 22 Desember 2010.
TMC. Lokasi Rawan Macet. http://www.tmcmetro.com/peta/rawan-kemacetan, diakses pada 21
Desember 2010.
Vivanews, Bus Way Diperluas Hingga Bekasi dan Tangerang,
http://metro.vivanews.com/news/read/127327-
bus_way_diperluas_hingga_bekasi_dan_tangerang diakses pada 22Desember 2010.
Daerah Penelitian
Kumpulan Jurnal

1. Jurnal Penelitian Senin 26 Oktober 2010

Semua ini berawal dari ketakutan saya tentang mata kuliah politik perkotaan. Yang ada di
pikiran saya adalah mata kuliah ini begitu sulit karena kami harus bisa menyelesaikan sebuah
laporan penelitian sebagai hasil kuliah selama satu semester. Atas pandangan saya itu kemudian
saya berinisiatif untuk membuat catatan di facebook tentang Research Design (RD) yang
menjadi tugas UTS kami. Di catatan itu saya menandai seluruh anggota mata kuliah politik
perkotaan tahun 2010, juga para mahasiswa yang mengikuti mata kuliah politik perkotaan tahun
2009. Hasil dari catatan ini adalah kami akan mengadakan pertemuan untuk meminta saran-saran
dari mahasiwa polkot 2009. Di pertemuan inilah kemudian saya mempelajari bahwa untuk bisa
mendapatkan hasil yang optimal, lebih baik bagi saya untuk mencari teman untuk meneliti
bersama dalam satu tempat yang sama.

Saya pun mengajak Ahmad Rizky Sadali (Sadali) untuk mencari tempat penelitian bersama.
Terima kasih tuhan dia setuju, jadi saya tidak perlu sendirian menghadapi beratnya tantangan di
lapangan seperti preman. Jadi tema kelas politik perkotaan tahun ini adalah kemacetan. Sebuah
tema yang cukup abstrak, tapi sangat menarik. Kami pun mencoba mendiskusikan tema khusus
yang akan kami ambil terkait. Kami berdua mencari berbagai referensi di internet untuk melihat
bagian manakah di Jakarta yang bisa dijadikan penelitian mengenai kemacetan. Atas usaha kami,
kami menemukan beberapa titik kemacetan di Jakarta yang diperkirakan oleh media terjadi
karena masalah terminal bayangan. Lokasi-lokasi yang disebutkan cukup banyak sehingga kami
memutuskan untuk memilih beberapa lokasi saja yang relative dekat dengan Depok. Dua lokasi
yang kami pilih ini adalah Pasar Rebo dan Cililitan.

Sebelum berangkat menuju lokasi, kami bertemu dengan Santi Rosita Devi (Santi). Kami bertiga
pun asik mengobrol tentang perkembangan RD yang kami susun untuk mememuhi tugas UTS
polkot. Ternyata Santi belum memiliki tema khusus dan tempat yang sangat meyakinkan bagi
dia. Jadi, saya mengajak Santi untuk bersama-sama meninjau lokasi kemacetan. Lagipula Santi
ini adalah penduduk yang rumahnya relative dekat dengan sasaran lokasi yang kami tuju
(Perempatan Pasar Rebo dan Pusat Grosir Cililitan), jadi menurut saya pengetahuan dia tentang
kedua daerah itu bisa menjadi sokongan yang berharga untuk penelitian. Lalu Santipun sepakat
dengan kami untuk meninjau lokasi kemacetan dengan saya dan Sadali.

Kami berdua memutuskan untuk menggunakan angkot meski Sadali memiliki motor. Ini semua
agar kita bertiga bisa tetap bersama, baik saat sampai di lokasi ataupun saat pulang. Lokasi
pertama yang kami tinjau adalah Perempatan Pasar Rebo. Saat sampai di sana, kami menemukan
bahwa apa yang dibilang media tentang adanya terminal bayangan ada di sini. Jadi banyak bus
yang berhenti di sekitar Pasar Rebo untuk mengangkut penumpang. Ini sepertinya dijadikan cara
yang efektif bagi para supir untuk mendapatkan penumpang yang cukup banyak. Para
penumpang pun mendapatkan kemudahan karena mereka tidak perlu sulit-sulit lagi pergi ke
Terminal Kampung Rambutan untuk naik Bis. Sayang, kemacetan yang kami harapkan ada tidak
terjadi di sana menurut pandangan kami.

Kami pun mencoba untuk bertanya kepada pedagang yang ada di sini, yang tentu saja mereka
adalah orang yang sangat sering ada di sana. Akibatnya tentu saja mereka lebih mengetahu
keadaan kemacetan di sana. Kami pun menjalankan metode yang diajarkan oleh Febari,
mahasiswa politik perkotaan tahun 2009. Menurutnya untuk bisa mengorek keterangan dari
pedagang kita harus bisa bersikap santai pada mereka. Sikap santai ini bisa didapat dengan cara
membeli makanan dari mereka. Cara yang sangat menghabiskan uang, tapi kami sebagai orang
baru percaya saja dengan metode ini. Saya dan Santi pun membeli combro. Kami (saya dan
Santi) mencoba untuk bertanya tentang kemacetan di sana. Pedagang combro menjawab bahwa
daerah di sana “yah memang begini mas, macet”. Kami mencoba untuk menanyai beberapa hal
lagi pada dia. Namun sikapnya yang sangat tidak bersahabat membuat saya dan Santi hengkang
dari lokasi jualanya. Lain lagi dengan Sadali, dia membeli mie ayam agar bisa bertanya dengan
penjual mie ayam. Penjual mie ayam ini mengatakan bahwa daerah di sana tidak macet. Kami
merasa bahwa usaha kami untuk bertanya pada pedagang di sana kurang berhasil. Mungkin
karena kami masih baru pertama kali obeservasi, jadi kami masih canggung. Jawaban dari
pedagang pun tidak sesuai dengan harapan kami. Ditambah dengan pengamatan kami yang
melihat lokasi yang tidak macet membuat kami ingin melanjutkan perjalanan ke daerah
selanjutnya.

Tujuan kami selanjutnya adalah PGC. Kami pun naik angkutan umum T11 menuju ke sana.
Sesampainya di sana, kami mendapati bahwa daerah PGC tidak macet. Lagi-lagi kami sedih
karenanya. Untungnya kami menyadari bahwa tadi di jalan daerah di sekitar Pasar Kramat Jati
itu macet. Akhirnya mencoba untuk berjalan dari PGC kea rah pasar Kramat Jati. Ternyata
sepanjang jalan itu kami menemukan kemacetan. Waktu saat itu kira-kira pukul setengah
delapan malam. Beberapa penyebab kemacetan yang kami temui di sini adalah jalan yang
sempit, volume kendaraan yang banyak, dan juga para Padangang Kaki Lima (PKL) yang
menghabiskan badan jalan. Para PKL ini sebagian ada yang menghabiskan badan jalan. Sebagian
lagi minimal menghabiskan badan trotorar. Mereka menurut kami menjadi salah satu penyebab
yang krusial di daerah sini. Jalan yang seharusnya bisa dipakai oleh kendaran mereka ambil alih.
Lalu minimal jika mereka mengambil badan trotoar, para pejalan kaki akan kehilangan tempat
untuk berjalan sehingga terpaksa harus melewati jalan yang seharusnya menjadi tempat
kendaraan.

Kami bertiga sepakat untuk mengambil masalah PKL ini sebagai tema RD. saat observasi, kami
berjalan dari PGC sampai dengan daerah sebelum Carrefour. Sebelum pulang, kami sempat
makan di sebuah warung padang. Rumah makan ini menempati areal dalam rumah dan bukan
merupakan bagian dari PKL. Setelah makan kami sempat menanyakan beberapa hal terkait
masalah kemcetan dan PKL. Pedagang ini berkata bahwa daerah Kramat jati ini sudah sangat
biasa dengan hal kemacetan. Apalagi di saat pergi dan pulang kerja. Mereka juga menyatakan
bahwa PKL ini membuat keadaan menjadi sangat macet. Namun alhamdulilah menurut mereka
beberapa bulan yang lalu (sekitar bulan Ramadhan, kira-kira bulan Agustus) terjadi razia PKL
yang membuat PKL ini relative mudah dikendalikan kemudian. Lalu, juga ada pengaturan waktu
jualan PKL. Jadi PKL hanya bisa berjualan dari jam 10 malam sampai dengan jam 5 pagi.
Pengaturan ini cukup efektif dalam mengurangi kemacetan.

Ujung dari cerita kami adalah, kami cukup senang bisa mendapatkan lokasi kemacetan yang bisa
diamati. Setidaknya untuk sementara ini sampai RD kami selesai dibuat.

2. Jurnal Penelitian Jumat 29 Oktober 2010


Hari ini adalah hari yang cerah bagi kami (saya, Sadali, dan Santi) untuk mengadakan
penelitian. Kami bertiga awalnya bersepakat untuk bertemu di Kramat Jati jam enam pagi untuk
mengamati kemacetan di pagi hari. Sekaligus untuk bisa mewawancarai beberapa orang yang
aktif bekerja di sekitar Pasar Kramat Jati. Namun kami akhirnyabaru bisa bertemu di Carrefour
Kramat jam Sembilan kurang.

Saat naik angkut menuju Pasar Kramat Jati, saya menyadari bahwa salah satu penyebab
kemacetan yang ada di sana adalah putaran yang ada di depan Carrefour. Putaran ini bahkan di
saat saya sedang melintasinya, sekitar jam setengah Sembilan pagi, membutuhkan waktu lima
belas menit untuk melewatinya . panjang dari kemacetan ini sekitar 100 meter lebih.

Wawancara dengan Ibu Siti Seorang Penjual Makanan Semacam Warteg

Setelah sampai di Carrefour, saya dan teman-teman segera menyisiri daerah di sana. Tempat
yang pertama kali tertarik untuk kami kunjungi adalah tempat bernama Penampungan PKL, yang
diurus di bawah Sudin UKM. Di sini lagi-lagi kami memakai strategi Febari untuk berbelanja
dahulu barang yang mereka dagangkan. Segeralah kami menyebar untuk bisa mengumpulkan
data yang lebih banyak. Saya berkunjung ke Ibu Siti, seseorang yang berjualan makanan
semacam yang ada di warteg. Dari ibu ini saya mendapatkan beberapa informasi. Ibu Siti
membayar sewa tempat 300 ribu perbulan dan 3000 untuk biaya listrik. Dia sudah berjualan di
situ lima tahun. Sebelumnya dia berjualan di pasar yang ada dekat situ, tapi kemudian pindah ke
situ. Pasar ini juga menurutnya cukup sepi, meski di jam-jam ramai. Selanjutnya dia juga
mengatakan di sekitar situ terdapat banyak pedagang di malam hari.

Santi sebagai seorang mahasiswa yang sangat piawai berhasil mengumpulkan data yang sangat
berharga. Berikut kutipan jurnalnya:

Wawancara dengan Ibu Pedagang Sayur oleh Santi

Sadali mewawancarai seorang Ibu Pedagang Sayur Mayur di kawasan tersebut. Menurut Ibu itu,
biaya sewa setiap pedagang di pasar tersebut mahal karena pasar tersebut merupakan salh satu
yang “kuat” dalam artian tidak pernah digusur. Meskipun plang batu pasar tersebut bertuliskan
“Ini adalah kawasan relokasi”, namun menurut Ibu tersebut, pasar ini hanyalah pasar biasa /
bukan tempat relokasi. Selain itu pedagang yang berdagang di kawasan tersebut juga sudah
lumayan lama menempati daerah tersebut. Selain uang sewa, Ibu tersebut juga menyebutkan
bahwa para pedagang harus memberikan uang setoran kepada seseorang yang memakai
“seragam” sebesar Rp. 3000 per pedagang setiap harinya.

Wawancara dengan Bapak Penjual Sembako oleh Santi

Sama halnya dengan Ibu Penjual tadi, Bapak ini juga menegaskan bahwa tempat ini (pasar)
bukan merupakan tempat relokasi seperti yang telah tertulis di papan depan, melainkan hanya
merupakan pasar biasa. Pedagang yang berdagang di kawasan pasar tersebut juga telah relatif
lama berdagang dan tidak pernah ada penggusuran karena kedudukan mereka jelas- yyakni
sebagai pedagang legal yang ada di tempat tersebut dan telah membayar uang sewa yang cukup
mahal. Selain itu, kepada bapak ini, saya juga menanyakan tentang keberadaan PKL yang
terdapat di sepanjang jalan KramatJati. Menurut si Bapak, PKL yang terdapat di pasar tersebut
hanya terdapat pada malam hari saja. Meskipun begitu, keberadaan PKL di tempat tersebut juga
membuat macet, terutama pada hari-hari libur seperti malam minggu.

Wawancara dengan Bibi Pedagang Ikan oleh Santi

Kami pun ingin mengetahui darimana datangnya barang-barang jualan ikan (PKL).Menurut
wawancara singkat dengan pedagang ikan, ia menjawab bahwa ikan-ikan tersebut bukan berasal
dari pasar induk Kramat Jati, melainkan langsung membeli secara kolektif (ada yang
mengkoordinir) – sehingga pedagang hanya tinggal membayarnya saja. Menurut kesaksiannya
pula, ia menegaskan bahwa tidak ada pungutan liar-melainkan hanya uang kebersihan yang
memang sudah sewajarnya ada. Terakhir kami bertanya mengenai apakah tempat ini merupakan
tempat relokasi atau tidak. Ia pun menegaskan bahwa tempat ini hanyalah pasar biasa – yang
memang telah laa ada.

Setelah itu kami menyusuri lagi Jalan Raya Bogor di bagian Kramat Jati. Kami berinisiatif untuk
mewawancarai pedagang toko buku yang ada di sana. Kali ini saya yang bertugas membeli buku
yang ada. (!_!). Meski begitu setidaknya kami berhasil mendapatkan info dari pedagang ini.
berikut hasil wawancara yang dikutip dari jurnal Santi.

Wawancara dengan pedagang buku oleh Santi


Selanjutnya kami ingin mengetahui pendapat dari orang yang memang telah lama di kawasan
tersebut, dan kemudian kami berasumsi bahwa orang-orang yang telah memiliki toko-lah yang
mungkin telah lama berada di daerah Kramat Jati tersebut – kami mewawancarai seorang
pedagang buku. Kami mula-mula bertanya mengenai daerah tersebut, apakah memang benar
sering macet atau tidak. Ia kemudian menjawab “iya” sambil menjelaskan penyebab kemacetan
Kramat Jati. Ia meyebutkan kemacetan di Kramat Jati merupakan akumulasi dari berbagai
penyebab. Diantaranya adalah jalanan yang macet, serta banyaknya “putaran” di daerah
Carrefour. Ia kemudian menceritakan kemunculan dibangunnya Carrefour yang diawali oleh
kebakaran pasar serta kawasan tempat tinggal warga. Daerah itupun kemudian dibeli murah-ada
penggusuran pasar dan warga- dan sejurus kemudian berubah menjadi Carrefour yang megah,
padahal jalanan / kawasan tersebut “tidak ada Carrefour saja sudah macet”. Dan Carrefour itupun
menambah parahnya kemacetan yang terjadi, karena ketika siang hari, justru pusat kemacetan
terjadi di tempat Carrefour berada – setelah melawati Cerrefour kembali lancar. Ia juga
menceritakan perihal adanya penggusuran PKL dan adanya rencana dari Pemda setempat untuk
memperluas badan jalan – namun terkendala karena adanya tanah pribadi milik warga.

Setelah itu kami merasa sangat lapar dan memutuskan untuk makan dahulu. Kami pun makan di
sebuah warung masakan sunda yang kelihatan cukup elit dan ternyata benar memang harganya
sangat elit bagi ukuran mahasiswa. Di sini saya berhasil mewawancarai pelayang yang bekerja di
sini.

Wawancara dengan Ibu Yeni Pelayan Rumah Makan Sunda

Menurutnya tidak pernah ada upaya penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP kepada para
PKL. Berita yang saya dapatkan dari pedagang masakan padang kemarin menurutnya adalah
suatu kebohongan. Dia memberitahukan kepada kami bahwa PKL (terutama PKL yang berjualan
ikan basah) di depan Pasar Kramat Jati adalah PKL yang makmur dari segi ekonomi.PKL ini
menurutnya tidak pernah terpengaruh isu penggusuran.

Sehabis makan, kami berencana untuk kembali lagi ke Carrefour karena motor Sadali diparkir di
sana. di perjalanan saya menyatakan suruhan pada Santi untuk mewawancarai PKL yang
berjualan di siang hari. Santi pun menyetujui untuk mewawancarai PKL yang berjualan
gantungan baju dan meja belajar kayu. Kebetulan Santi juga sedang ingin membeli meja belajar
kayu. Berikut wawancara dengan pedagang ini yang dikutip dari jurnal penelitian Santi.

Wawancara dengan tukang gantungan baju dan meja belajar oleh Santi

Setelah dari pedagang buku, pulangnya kami menyempatkan untuk mewawancarai pedagang
kaki lima yang memang sedang menjajakan dagangannya. Ia menyebutkan, kemacetan yang
terjadi di Kramat Jati disebabkan oleh banyak hal. Pertama karena adanya busway (Bus Trans
Jakarta) sejak dua tahun lalu. Kemunculan buswaypun dibarengi dengan jalan yang kemudian
dipagar tinggi. Kedua, karena adanya Carrefour. Ketiga, karena adanya pedagang kaki lima. Ia
menceritakan kemacetan parah yang terjadi pada malam hari – terutama ada hari libur dimana
Pedagang Kaki Lima mengambil tempat yang cukup banyak dari bahu jalan. Orang-orang yang
membeli pun dengan seenaknya parkir sembarangan. Sehingga pada saat itu jalanan ke arah
Depok macet total – dan jalanan yang ke arah Jakarta berubah menjadi jalan dua arah.

Selanjutnya kami (saya dan Santi) berpisah dengan Sadali. Saya dan Santi akan naik angkot,
sementara Sadali naik motor. Di perjalanan inilah saya berhail mewawancarai supir angkutan
umum T.11 tentang masalah kemacetan di Kramat jati.

Wawancara dengan Supir Angkutan Umum T.11

Bagi bapak ini daerah sekitar pasar induk kramatjati tidak selalu macet, tapi kadang-kadang
macet saja, Kalau ada polisi yang bertugas mengatur jalanya lalu lintas, jalanan tidak akan
macet. Namun sebaliknya jika polisi ini tidak ada, jalanan di sekitar kramat jati akan menjadi
macet.

Hari ini membuat saya belajar lebih banyak tentang penelitian. Namun ada satu hal yang
mengganjal bagi saya. RD yang saya buat bercerita tentang gerakan sosial PKL yang mencoba
untuk mengorganisasikan diri melawan pemerintah yang diwakili satpol PP. Premis utama
penelitian saya adalah adanya penggusuran yang dilakukan Satpol PP. namun keterangan dari
Ibu yeni membuat saya cukup ketakutan jika ternyata penggusuran ini tidak pernah ada. Semoga
saya di hari esok bisa menemukan petunjuk yang bagus tentang hal ini.
3. Jurnal Penelitian Jumat 5 November 2010

Di hari yang cerah ini Saya, Santi, Sadali, dan Fariz pergi ke kantor walikota jakarta timur untuk
meminta izin pada otoritas setempat terkait izin penelitian. Surat-surat terkait sudah kami
siapkan. Surat ini memakai nama saya, tapi nanti digunakan untuk izin bersama. Saya dan Santi
berangkat naik angkot dari Depok sampai terminal kampong melayu. Baru kemudian kami (saya
dan Santi) bertemu dengan Sadali dan Fariz. Ternyata perjalanan ke Kampung Melayu
menggunakan angkot sangat jauh dan melelahkan. Panas yang menyengat dan juga tempat duduk
di angkot yang menghadap kesamping membuat saya merasa sangat pusing saat sampai terminal
kampung melayu.

Di terminal kampung melayu ini, saya pun bertemu dengan Sadali jam sepuluh. Beberapa puluh
menit sesudah bertemu Sadali, Fariz pun datang. Saya naik motor yang dikendarai Fariz,
sementara Santi menaiki motor yang dikendarai oleh Sadali. Perjalanan ke walikota jakarta timur
ini ternyata tidak sebentar yang saya kira. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai kesana.
Jadi total waktu yang saya butuhkan untuk sampai ke walikota sekitar dua setengah jam.

Jam sebelas kami sampai di kantor walikota. Ternyata kantor walikota adalah tempat yang
begitu besar. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Kami parkir di suatu sudut
kantor walikota. Bagian yang ingin kami temui pertama kali adalah humas karen dalam pikiran
kami ia berfungsi sebagai penghubung orang luar yang ingin datang ke walikota. Kami pun
bertanya ke suatu gedung. Di situ satpam gedung tersebut meyebutkan bahwa gedung tempat
bagian humas yang ingin kamu tuju berada di “sebelah sana” sambil menunjukkan suatu arah.
Kami kemudian menyusuri arah yang dituju. Ternyata arah yang ditunjukkan orang itu cukup
jauh. Kira-kira jaraknya tiga gedung dari posisi kami semula. Di gedung inipun masalah baru
dimulai.

Kami diberitahu bahwa humas berada di lantai delapan, lantai teratas gedung ini. Suatu hal yang
sangat aneh menurut saya karena biasanya bagian humas suatu institusi berada di bagian
terdepan untuk menyambut tamu. Setelah sampai di ruangan humas, kami bertemu dengan dua
orang bapak-bapak. Kami langsung bilang bahwa kami berasal dari FISIP UI. Namun bapak-
bapak itu mendengar FISIP UI sebagai IISIP. Dia pun iseng-iseng bercanda. “Oh IISIP ya. Iseng
Iseng Sekolah Ijazah Pasti.”. Deg, saya langsung tertohok. Bagaimana mungkin seorang pelayan
publik mengatakan hal seperti itu. Meski, itu hanya bercanda. Menurut saya masih tidak tepat. Di
tempat ini, kami menanyakan tentang alamat badan-badan sub-ordinat dari kotamadya jakarta
timur seperti suku dinas-suku dinas. Sayangnya di tempat ini kami tidak mendapatkan informasi
yang cukup memadai tentang bagaimana cara kami memperoleh disposisi untuk melakukan
penelitian lapangan.

Kami selanjutnya berinisiatif untuk pergi ke bagian kesekretariatan Kantor Walikota Jakarta
Timur. Di tempat ini kami ditemui seorang bapak yang cukup simpatik. Ia mengatakan bahwa
kami seharusnya pergi ke bagian Kesbangpol. Kami lalu menuruti perkataan bapak ini. Di
Kesbangpol kami bertemu dengan Bapak Soni. Bapak ini kemudian berbasa-basi menanyakan
tujuan kami datang dan hal-hal sekitarnya. Kami jelaskanlah tujuan kami datang. Ia lantas
melihat surat izin yang kami bawa. Di situ tertulis bahwa judul penelitian yang saya ajukan
adalah gerakan sosial pedagang kaki lima Pasar Kramat Jati. Ia merasa bahwa judul ini sangat
provokatif dan meminta kami untuk menggantikanya. Ia juga menanyakan lebih jauh tentang
penelitian yang kami lakukan dan mencoba untuk mengintervensi metode penelitian kami .
Sesuatu yang sangat tidak sopan menurut saya karena metode yang kami miliki adalah hak
penuh kami untuk menentukanya. Apalagi terlihat dari kata-kata yang dia utarakan bahwa dia
tidak terlalu mengerti masalah penelitian.

Setidaknya ada hal yang positif dari bapak soni ini. Meski dia mengkritik, dia menjanjikan untuk
membantu kami mendapat surat izin penelitian. Bapak Soni meminta kami untuk mengganti tiga
hal dari surat penelitian yang kami ajukan. Pertama adalah bagian penujuan surat. Surat yang
kami tujukan saat itu adalah pada walikota jakarta timur. Seharusnya surat ini ditujukan pada
kepala kesbangpol. Yang kedua perihal judul penelitian kami. Dia meminta untuk mengganti
judul yang baginya sangat provokatif. Ketiga, perihal orang yang mengajukan surat permohonan
izin ini. Surat kami beratasnamakan saya, padahal ia digunakan untuk kepentingan kelompok.
Atas nama ini diminta diganti menjadi atas nama kelompok. Dia lalu menjelaskan bahwa setelah
kami memenuhi administrasi di Kesbangpol, surat ini akan dioper ke bagian tata pemerintahan
(tapem) untuk diseleksi apakah layak mendapatkan tanda tangan walikota atu tidak. Fariz
kemudian bertanya berapa lama proses ini memakan waktu. Pak Soni menjawab bahwa butuh
waktu satu hari saja untuk meyelesaikan proses ini.
Kami pun pulang dengan perasaan yang cukup lega karena sudah dijanjikan untuk mendapatkan
izin penelitian. Di Depok saya segera mengurus surat izin yang baru agar hari Senin kami bisa
menyerahkan surat permohonan izin penelitian yang baru.

Jurnal Penelitian Senin 8 November 2010, Selasa 9 november 2010, dan 10 November 2010

Hari Senin ini saya sudah mengambil surat izin penelitian yang baru. Namun saya dan teman-
teman tidak sempat mengadakan perjalanan ke walikota atas kesibukan yang kami miliki. Saya
pribadi sebenarnya mau saja, tapi tidak ada angkot khusus yang melewati walikota. Untuk pergi
ke walikot harus menggunakan motor. Di sisi lain saya tidak punya motor.

Hari Selasa, setelah keluar kelas jam satu siang saya menyerahkan surat penelitian pada Lita dan
Santi. Rencananya mereka yang akan pergi walikota. Dari Depok mereka berangkat sekitar jam
duaan. Sayang beribu sayang tapi, mereka tersasar karena lupa arah ke kantor walikota. Bahkan
jam setengah lima mereka baru sampai Kampung Melayu. Saat itu lagipula hujan lebat sehingga
mereka sedikit bingung terkait arah-arah menuju kantor walikota.

Hari Rabu esoknya baru Fariz dan Sadali yang berniat untuk pergi ke kantor walikota. Sekali lagi
kami sangat tidak beruntung karena mereka ditolak oleh bagian Kesbangpol! Waktu itu yang
melayani mereka bukan Pak Soni. Menurut orang ini, kami harus mengurus masalah perizinan
ini ke kantor Pemprov DKI. Segala hal yang dijanjikan Pak Soni hilang tidak berbekas.
Bagaimana mungkin orang dari bagian yang sama memiliki prosedur izin yang berbeda? Hal ini
sangat mengecewakan. Belum tentu di Kantor Pemprov kami tidak “diping-pong” lagi. Memang
birokrasi Indonesia itu sangat ribet.
4. Jurnal Penelitian Rabu, 1 Desember 2010

Kali ini saya berkesempatan untuk mewawancarai dua orang pedagang. Yang pertama adalah
Ibu Surahmi, seorang pedagang pakaian di kluster 1 (PKL diantara jalan PGC sampai sebelum
pasar Ramayana). Yang kedua ialah Mbak Mey pedagang ikan di kluster 2 (kumpulan PKL ikan
yang berjualan di sekitar Ramayana).

Wawancara dengan Ibu Surahmi

Ibu Surahmi banyak bercerita pada saya tentang kehidupanya sebagai PKL. Baginya berdagang
di jalan raya beresiko tapi tetap dilakukan. Ibu ini sudah sangat lama berdagang di sana. Sejak
hanya punya dua anak sampai punya 4 anak. Waktu biasa dia berjualan adalah dari sekitar jam 6
sampai jam satu pagi. Untuk mencapai kramat jati dari rumahnya dia memakai transportasi
motor pribadi. Ada biaya rutin yang harus dikeluarkan ibu surahmi yaitu biaya untuk membayar
listrik 5000 perhari.

Beruntung bagi ibu surahmi bahwa beberapa tahun ini ada iuran kepada petugas illegal yang
akan melindungi mereka dengan memberikan bocoran informasi tentang waktu penertiban PKL.
Hal ini sangat berbeda dengan zaman dahulu ketika petugas tidak seramah ini. Mereka sering
mengejar PKL. Tambahan pula waktu itu belum ada mekanisme pemberian bayaran pada
petugas

Ada semacam perkumpulan PKL di kluster 1, tapi perkumpulan ini diketuai oleh orang yang
bukan PKL. Kesimpulanya perkumpulan ini tidak punya independensi karena dikontrol petugas.
Informasi selanjutnya yang diberikan bahwa tidak ada iuran khusus secara berkala ke petugas,
iuran ini diberikan dengan jangka waktu yang tidak pasti waktunya.

Wawancara dengan Mbak Mey

Mbak Mey ini hanya harus membayar sewa kepada pemilik kayu tempat dia menaruh barang
dagangan. Bagi Mbak Mey, ada iuran yang harus dibayar untuk hal penjagaan barang dagangan
yang masih di kotak es sebesar sekitar 10.000 (jarang-jarang). Lalu juga ada iuran kepada
petugas yang berbeda dari petugas yang disebutkan pertama sebesar 200.000, yang kadang-
kadang perlu dibayarkan. Iuran ini dapat menjamin keberlangsungan pedagang PKL dengan cara
pemberian informasi razia PKL. Dahulu iuran seperti ini bisa menjadi sangat sering dengan
intensitas tiga kali seminggu. Iuran semacam ini tapi sekarang dilakukan dengan intensitas yang
jauh lebih jarang. Selain itu dia harus membayar listrik 5000 sehari dan iuran kebersihan 2000
sehari.

Mbak Mey menceritakan kalau akan ada banyak pembeli (yang akan memenuhi badan jalan) di
waktu malam sabtu dan malam minggu. Juga terdapat banyak pembeli pada even khusus seperti
tahun baru dan ramadhan. Terakhir saya mendapat inforamasi kalau Mbak Mey berdagang dari
jam 6 sampai jam 4 pagi.

Selain berjualan ikan, Mbak Mey ini ternyata masih muda. Dia adalah mahasiswi Unindra
(Universitas Indraprasta Giri) jurusan manajemen semester 5. Di malam hari berjualan, di siang
hari Mbak Mey harus belajar keras di kampus. Bahkan saat kami wawancarai, Mbak Mey ini
sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Benar-benar sebuah tekad yang keras dan kuat dari
seorang mbak mey untuk menjalani hidup.
5. Jurnal penelitian: Kamis 2 desember 2010

Hari ini saya dan teman saya lita melakukan wawancara ke kecamatan Kramatjati. Saya awalnya
cukup pesimis dengan keadaan yang akan dihadapi di lapangan. Hal ini terkait dengan terlalu
rumitnya tata alur pelayanan masyarakat yang ada di sana. Alhamdulilah keadaan di lapangan
tidak sejelek yang diperkirakan. Saya berhasil mendapatkan disposisi untuk melakukan
wawancara kepada kasi. Pemerintahan kecamatan Kramatjati setelah sebelumnya menunggu
selama kurang lebih seminggu.

Saya mencoba untuk meminta keterangan tentang sejarah kecamatan kramat jati sampai bisa
berkembang seperti sekarang. Para birokrat di sana menyatakan bahwa orang yang memegang
jabatan Kasi. Pemerintahan tidak ada di tempat karena sedang menjalankan cuti besar. Lalu saya
diarahkan untuk mewawancarai Kasi. Ekonomi. Saya pun menemui Kasi. Ekonomi yang
bernama Pak muncuHariadin.

Pak Hariadin (Kasi. Ekonomi)

Dalam wawancara kami, Pak Hariadin menjelaskan bahwa jabatan yang ia tempati baru ada
sejak setahun yang lalu. Bagianya muncul seiring dengan perubahan struktur yang dilakukan
oleh pemerintah. Atas barunya jabatan yang ia miliki, ia memiliki keterbatasan-keterbatasan
untuk menjawab pertanyaan kami. Apalagi terkait pertanyaan kami yang ingin tahu tentang
sejarah yang dimiliki Kramat Jati. Karena itu, ia menjawab pertanyaan kami (terutama terkait
dengan masalah sejarah) dengan jawaban kata mungkin di awal kalimat.

Pak hariadin menjelaskan bahwa munculnya PKL di Kramat jati ini berhubungan dengan upaya
yang dilakukan oleh pedagang untuk meraih pembeli. Lita yang mencoba untuk menanyakan
hubungan yang dimiliki oleh angkot dihubungkan dengan masalah mendapatkan jawaban dari
Pak hariadin dengan pandangan bahwa angkot memiliki keuntungan juga atas hal ini. Dengan
semakin ramainya keadan di sana membuat para supir angkot memiliki kesempatan yang lebih
besar untuk mendapatkan penumpang. Intinya dalam hal sejarah, jawaban yang didapatkan dari
dia kurang memuaskan.

Kemudian saya menanyakan dua hal, pertama tentang kebenaran upaya relokasi yang dilakukan
pemerintah kepada PKL dan kedua tentang wewenang dia untuk mengatur waktu berjualan PKL.
Atas jawaban pertama dia memberikan jawaban bahwa relokasi PKL itu bukan wewenang dia
untuk mengatur hal itu. Jawaban kedua juga juga dijawab demikian, bahwa bukan wewenang dia
untuk menjawab hal itu. Namun kami mendapatkan hal positif dari pertemuan dengan bapak ini.
Kami jadi tahu bahwa hal yang saya tanyakan ini bisa ditanyakan ke Satpol PP (Satuan Polisi
Pramong Praja) Kecamatan.

Atas arahan dari Pak hariadin, kami mencoba untuk menemui representasi dari Satpol PP Kramat
Jati.

Mbak Feni (Anggota Satpol PP)

Kami pun menemui orang-orang yang ada di Satpol PP. Setelah menjelaskan kedatangan kami,
ada seseorang yang melayani pertanyaan kami dengan ramah. Dengan lugas dia menjelaskan
kepada kami bahwa orang yang memiliki kekuasaan paling tinggi terkait masalah PKL adalah
walikota. Walikota memiliki kekuasaan untuk memberi ketetapan-ketetapan tentang PKL.
Sementara fungsi gubernur nantinya hanya diberikan tembusan dari surat yang diberikan oleh
walikota.

Di tingkat kecamatan, satpol PP hanya bertugas untuk melaksanakan ketetapan yang diputuskan
di atas. Satpol PP di tingkat kecamatan ini yang akan mengkoordinasikan masalah penetapan
jadwal dagang PKL dan hal-hal lain yang berkaitan dengan PKL, pada Satpol PP kelurahan.
Meski Satpol PP kecamatan khanya bertugas mengkoordinasikan, tapi di lapangan mereka selalu
turun tangan untuk membantu menangani masalah PKL atau mengatasi masalah kemacetan di
pagi hari.
Koordinasi Polisi Pramong Praja di Tingkat Wilayah jakarta Timur

Walikota Jakarta Timur membuat Surat Keputusan (SK) yang tembusanya


diberikan ke Gubernur DKI Jakarta

Kasat (Kepala Satuan) pol PP Jakarta Timur

Camat

Kasi. Pemerintahan dan Ketertiban Umum

Pelaksana = Kasatgas (Kasatgas) Pol PP

Dilaksanankan komandan unit atau Kasatgas Pol PP Kelurahan

Saya menanyakan kepada bagian Pol PP tentang apakah ada aturan tentang penjadwalan waktu
pedagang untuk berjualan dan juga upaya untuk melakukan relokasi PKL. Lalu dijelaskan bahwa
memang ada aturan mengenai penjadwalan yang diterapkan kepada PKL, yang dilakukan dari jam
enam sore sampai jam enam pagi. Secara aturan, pedagang baru boleh berjualan dari jam 10
malam, tapi atas diplomasi yang dilakukan para pedagang, waktu itu bisa dipercepat sampai jam
enam sore.
Perlu dijelaskan juga bahwa tidak pernah ada upaya untuk melakukan relokasi menurut Mbak
Feni. Memang ada wacana untuk memindahkan para pedagang ke daerah khusus, tapi hal itu
masih hanya menjadi wacana. Karena tidak pernah ada relokasi inilah, tidak pernah ada upaya
secara khusus untuk membongkar lapak pedagang. Petugas Satpol PP hanya akan membongkar
lapak pedagang jika pedagang berjualan di luar jam yang telah ditentukan. Jika ditemui kasus
seperti ini, lapak PKL akan diangkut ke dalam gudang yang dimiliki Satpol PP. Pedagang yang
ingin mendapatkan kembali lapak mereka harus menandatangi surat perjanjian yang intinya
menyatakan kepatuhan mereka untuk berjualan di jam yang ditentukan oleh petugas. Petugas,
sekali lagi menurut Mbak Feni, tidak menerapkan denda bagi PKL yang ingin mengambil lapak
mereka.

Data Penyitaan Lapak PKL di Kramat Jati tahun 2010

Jumlah
Bulan Penyitaan
Januari 8
Februari 5
Maret 16
April 10
Mei 17
Juni 15
Juli 12
Agustus 14
September 26
Oktober 18

Terakhir Mbak Feni bercerita bahwa dalam hal-hal khusus terjadi interaksi antara satpol pp
dengan PKL. Misalnya dalam hal sosialisasi kebijakan pada PKL, satpol pp akan mengundang
perwakilan PKL untuk datang ke kecamatan membicarakan kebijakan yang telah dibuat. Hal lain
yang mungin terjadi adalah saat ada tawar menawar antara PKL dan satpol pp tentang suatu
kasus.
6. Jurnal Penelitian Pada: Selasa , 7 Desember 2010

Hari ini saya mengadakan penelitian lagi bersama partner saya yang baik, Santi Rosita Devi.
Tujuan saya kali ini adalah bisa mewawancarai PKL di kluster 1, 2, dan 3. Sekedar info saja,
saya membagi PKL di sekitar Kramat Jati menjadi tiga buah kluster. Kluster pertama adalah
PKL yang ada dari setelah PGC (Pusat Grosir Cililitan) sampai dengan sebelum Ramayana yang
berisikan PKL yang berjualan dagangan seperti baju, alat elektroni (seperti remote control), dan
kembang untuk ziarah ke kuburan. Kluster kedua adalah PKL yang berjualan ikan dan makanan
dari laut lainya yang terdapat di trotoar depan Ramayana. Kluster ketiga adalah PKL yang
terdapat setelah Ramayana yang umumnya berjualan kue.

Pertama kali kami dating kami berhasil mewawancarai Ibu Upik, seorang pedagang pakaian.
Kebetulan Santi sedang ada keinginan untuk membeli jaket. Jadi Santi pun membeli jaket di sana
dan kemudian mencoba berbasa basi untuk bisa mewawancarai ibu ini. meski seperti biasa, ibu
ini aga tidak percaya dengan penelitian dengan wawancara yang kami lakukan, kami akhirnya
berhasil juga meyakinkanya. Ibu Upik mengatakan bahwa dia sudah lima tahun berjualan di
sana. Saat kami nenanyakan keberadaan coordinator PKL, dia mengatakan bahwa hal semacam
itu tidak ada. Dulu memang pernah ada coordinator, tapi sekarang hal seperti itu sudah tidak ada
lagi. Yang ada katanya hanyalah orang yang bertugas menjaga keamanan dan mensuplai listrik.
Ternyata ibu ini mendapatkan suplai listrik dari pasar kecil di belakangnya. Namun saat kami
menanyakan kapan bisa menemui orang yang menjaga keamanan atau listrik, dia berkata bahwa
mereka hanya ada di malam hari jam 9 ke atas.

Ibu Upik ini mengatakan bahwa pertama kali dia pindah ke sini, dia perlu mengurus semacam
surat-surat. Meskipun dalam hati saya bertanya-tanya bahwa surat itu tidak lantas membuat Ibu
ini menjadi pedagang yang diakui Negara. Dia juga mengatakan bahwa dia pindah ke situ untuk
menggantikan kerabatnya yang sebelumnya berjualan di situ. Hal ini tidak seperti yang saya
bayangkan sebelumnya bahwa untuk berjualan sebagai PKL, para calon PKL harus mencari
daerah trotoar yang kosong. Kemudian bernegoisasi dengan preman untuk mendapatkan lisensi.

Selanjutnya kami naik angkot untuk menuju daerah di kluster 2. Di daerah ini saya mencoba
untuk menemui Mbak Mey yang sebelumnya pernah saya wawancarai. Sayangnya saat saya
menanyakan siapa coordinator yang mengurusi urusan para PKl yang berjualan ikan basah,
Mbak Mey menjawab tidak tahu. Saat saya menanyakan siapa yang mengurusi bagian
pelistrikan, Mbak Mey berkata tidak tahu juga. Akhirnya Mbak Mey menyarankan kami untuk
menanyakan PKL lainya saja. Kami pun kemudian mencoba untuk bertanya ke PKL ikan basah
lainya. Sayangnya respon yang mereka berikan kurang baik di mata kami. Mereka seakan acuh
tidak acuh dengan hal ini. Untungnya ada satu PKL yang bersedia memberikan keterangan pada
kami supaya kami menanyakan hal ini pada tukang parker di sana. Terima kasih pak atas
infonya. Selanjutnya kami mencoba bertanya pada tukang parker di sana,. Akhirnya kami
mendapatkan informasi bahwa sang koordintator ini bernama Haji Mutaram. Namun karena hari
telah larut, kami tidak isa pergi ke rumah bapak ini.

Selesai sudah urusan kami di klaster dua ini. tujuan selanjutnya bagi kami adalah PKL di kluster
3. PKL yang kami coba tanyai pertama kali adalah seorang perempuan muda yang memakai
jilbab. Menurutnya untuk bertanya perihal coordinator ini silakan bertanya pada Mba Su. Dia
adalah PKL kue yang sudah cukup lama berjualan di situ. Kami pun bergerak ke orang yang
disebut Mba Su. Saat kami menemuinya, Mbak Su ini ternyata dalah seorang yang umurnya
mungkin sekitar 40-an. Jadi saya berinisiatif untuk memanggilnya ibu Su. Ibu ini bercerita
bahwa di sudah sepuluh tahun berjualan di sini. Bu Su juga tidak mengindikasikan adanya
koordintor di sekitar situ. Kalau orang yang mengurus listrik atau kemanan kata dia memang ada.
Ternyata seperti Bu Upi, Bu Su berjualan di sini juga dengan menggantikan kerabatnya yang
sudah tidak ingin berjualan lagi. Hal ini semakin meyakinkan saya bahwa relasi kekerabatan
sangant berpengaruh untuk bisa menjadi PKL yang sukses. Lalu dia mengatakan kalau kue yang
dia jual ini dititipkan oleh orang lain dan dia mendapatkan pembagian keuntungan dari situ.
Keuntungan yang dia dapat dari satu kue hanya sebesar 100 rupiah! Jumlah yang sangat kecil
bagi saya untuk bertahan hidup di Jakarta. Hal lainya yang berhasil kami korek dari Bu Su
adalah jika terjadi penyitaan lapak oleh Satpol PP, yang terjadi karena PKL berjualan di luar jam
yang ditentukan, PKl tidak bisa lagi mendapatkan lapak mereka. Katanya bisa mungkin
mendapatkan lapak itu, tapi denda yang harus dibayarkan untuk mendapatkan lapak lebih mahal
dari biaya membeli lapak baru. Kebetulan Ibu Upik ini lapaknya pernah dibongkar petugas
karena dia lupa membawa lapaknya pulang ke rumah.

Yah itulah jurnal saya kali ini. Semoga penelitia lapangan saya di waktu yang akan dating bisa
lebih berhasil dari ini. :D
7. Jurnal Penelitian Kamis, 16 Desember 2010

Hari ini saya mengadakan wawancara dengan Pak Rudi dan Pak Yahya dari LKB (Lembaga
Kebudayaan Betawi) di FIB UI. Mereka adalah penggiat dari kebudayaan Betawi yang dalam
pandangan saya tentu tahu banyak tentang banyak mengenai sejarah Jakarta karena mereka
selain menjadi saksi hidup berjalanya kota Jakarta tentu mereka memahami literature tentang
perkembangan kota Jakarta. Sebelum mengadakan wawancara ini Lita, Santi, dan Fariz sudah
mencoba untuk mencari sejarah yang mengiringi kota Betawi ke Setu Babakan (salah satu pusat
kebudayaan Betawi) yang baru dan Condet (pusat kebudayaan betawi) lama. Namun mereka
tidak menadapatkan sejarah ini di sana.

Wawancara dengan Pak Rudi

Kebetulan Pak Rudi sudah sejak lama (dari lahir tepatnya) tinggal di dekat Kramat jati.
Rumahnya ada di kalibata yang tidak jauh dari daerah kramat jati. Menurut Pak Rudi dari
pengalamanya selama ini, jalan raya bogor sejak dulu adalah jalan pertama, satu-satunya, dan
yang utama untuk menghubungkan Jakarta dengan Bogor. Sejak dulu, jalan ini luas ruasnya
tidak terlalu berbeda dengan sekarang. Jika ada perbedaaan paling hanya satu-dua meter.

Selain itu jalan ini juga menjadi ramai karena adanya pasar induk yang digunakan sebagai tempat
distribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk ibukota. Secara khusus pasar induk ini
terkenal sebagai pusat sayur mayor untuk menopang penduduk ibukota. Intinya perkembangan
Kramat jati tidak lepas dari perkembangan perekonomian. Pasar ini juga tidak jauh dari cagar
budaya betawi di condet yang aktif menghasilkan suplai pertanian untuk kota Jakarta. Condet
terkenal dengan hasil buah-buahan dan melinjonya yang kemudian dipasarkan melalui pasar
Kramat Jati.

Saat saya Tanya mengapa sebagian besar PKL yang ada di sana adalah etnis Madura, jawabanya
ini karena etnis Madura bisa melihat peluang. Baginya orang sana sejak dulu butuh ikan untuk
mengadakan pesta. Lalu orang-orang ini tidak ingin pergi terlalu jauh untuk bisa membeli ikan.
Kelebihan orang Madura adalah mereka mampu menyediakan hal ini.
Kemudian dia juga menginformasikan bahwa daerah Kramat jati sebelum ada pasar hanya
pemukiman biasa.

Wawancara dengan Pak Yahya

Pak Yahya ini adalah dosen jurusan pariwisata di UI. Dia juga lebih aktif dalam bidang sejarah.
Berbeda dengan Pak Rudi yang spesialisasinya ada di bidang kebudayaan.

Menurut Pak Yahya, kramat jati adalah urat nadi perekonomian Hindia Belanda di jalan raya
bogor yang dibangun tahun 1900-an. Pembangunan pasar-pasar di daerah Batavia tidak lepas
dari kebijakan ekonomi Hindia Belanda.

Namun Pasar Induk Kramat Jati sendiri dibangun pada awal abad 20 yang dijadikan tumpuan
bagi pedagang tradisonal. Dengan adanya pasar induk ini, PKL mulai tertarik untuk berdagang
di sana. Semakin lama ada semakin banyak PKL. Permasalahan PKL (sector informal) ini tidak
bisa diilepaskan dari fenomena politik masa orde baru. Tahun 1977, partai islam menang di
Jakarta. Hal ini mengakibatkan Pak harto merancang strategi baru untuk semakin mendorong
urbanisasi. Orang-orang urban baru ini karena tidak dibekali kemampuan yang cukup, hanya bisa
bekerja di sector informal.

PKL ini juga menjadi sebuah bisnis yang sangat menjanjikan. Banyak orang yang diuntungkan di
dalamnya. Orang-orang yang mengambil keuntungan ini misanya para preman, polres,
kelurahan, dan kecamatan. Mata rantai keuntungan ini menurutnya tidak bisa diputus. Selain itu,
daerah di Kramat jati ini dikuasai oleh organisasi etnik seperti etnik ambon, batak, dan Madura.
8. Jurnal Penelitian Tanggal 24 Desember 2010

Hari ini saya berniat untuk menemui Pak Jaing coordinator PKL di jalan raya bogor dan juga
menemui polisi di polsek Kramat Jati bersama Dana dan Santi. Namun sayang sekali Dana saat
ini sakit dan saya hanya bisa pergi dengan Santi.

Saat inilah saya baru menyadari bahwa jalanan yang berada di Kramat Jati ini selalu dipenuhi
pedagang dari pagi hingga pagi lagi. Terdapat tiga waktu shift pedagang. Pada waktu malam
PKL di kramat jati dibagi menjadi tiga kluster. Kluster pertama (dari arah PGC sampai sebelum
ramayana) adalah PKL yang menjual barang aneka barang. Kluster kedua (depan Ramayana)
adalah PKL yang berjualan ikan, kluster ketiga dari setelah Ramayana sampai dengan Carrefour
Kramat Jati. PKL ini berjualan sampai dengan pagi jam empat. Jam empat inilah kemudian
muncul pasar subuh yang terdiri dari PKL yang berjualan barang seperti di pasar induk. Tempat
yang ditempati pasar subuh ialah di jalan raya bogor setelah PGC sampai dengan beberapa puluh
meter setelah Carrefour Kramat Jati (beberapa puluh meter lebih panjang ke arah depok
dibanding PKL di malam hari). Mereka berjualan ikan, sayur, dan bahan dasar lain. Pasar subuh
ini selesai sampai jam setengah tujuh. Lalu saat pasar subuh selesai muncul PKL-PKL yang
tersebar di Jalan raya bogor. Mereka bercirikan berjumlah lebih sedikit dari PKL di malam dan
subuh, berjualan dengan lebih tersebar (ada jarak sekitar sepuluh meter antara PKL), dan barang
dagangan mereka biasanya kerajinan (seperti meja belajar kayu dan tidak ada yang berjualan
ikan/sayuran).

Kemacetan yang terjadi di Kramatjati ini pun terjadi hampir sepanjang waktu. Waktu terpagi
yang pernah kami amati ialah jam enam pagi (saat ini terjadi kemacetan), jam setengah sembilan
sampai sebelas (juga tejadi kemacetan), siang jam 12 sampai dengan sore jam 4 (terjadi
kemacetan), dan terakhir jam setengah tujuh sampai dengan jam setengah sepuluh pun
kemacetan masih terjadi.

Pagi ini hal lain yang saya pelajari ialah jam selesai PKL berjualan tidak seperti yang dibilang
oleh orang-orang kecamatan. PKL pasar subuh berhenti berjualan jam setengah tujuh, berbeda
dengan info yang diberikan oleh satpol pp yang mengatakan PKL selesai berjualan jam lima
subuh. Berarti meski peraturan mengatakan PKL hanya bisa berjualan mulai jam sepuluh malam
sampai dengan jam lima subuh, secara de facto PKL mampu berjualan dari jam enam sore
sampai jam setengah tujuh pagi.
PKL di malam hari dan subuh mengambil ruas jalan begitu banyak. Sedangkan PKL di siang hari
hanya berjumlah sedikit. PKL ini memiliki relevansi dengan kemacetan yang terjadi. Kramat
Jati mulai jam tujuh pagi sampai dengan jam lima sore relative lebih renggang dari kemacetan
daripada keadaannya di sore sampai malam hari dan subuh sampai jam tujuh pagi.

Akhirnya kami berhasil menemui Istri Pak Jaing setelah lebih dahulu menunggu dari jam enam
sampai dengan jam setengah delapan pagi. Pak Jaing sendiri tidak dapat datang Karena beliau
baru mengalami stroke ringan.

Wawancara dengan Istri Pak Jaing

Dari wawancara ini saya mengetahui bahwa memang Pak Jaing ini yang mengurusi daerah PKL
di jalan raya bogor dari setelah PGC sampai dengan pusdikkes. Pak Mutaram ternyata
mengurusi PKL dalam cakupan yang lebih kecil, yaitu hanya PKL yang berlatar belakang etnis
Madura saja. Sementara Pak Jaing membawahi seluruh PKL. Para PKL yang berjualan di jalan
raya bogor nyatanya bersifat multietnis, tidak hanya etnis Madura. Yang berwenang untuk
mengurus iuran keamanan sebenarnya hanyalah Pak Jaing, tapi karena Pak Mutaram juga
mencoba mengurusi PKL etnis Madura, di sinilah muncul iuran berganda yang memberatkan
PKL. (Saat ini tapi Pak Mutaram tidak aktif lagi mengurus PKL karena dia sibuk bekerja di
Cikarang. Hanya Bu Kholilah,istrinya, saja yang sekarang mengurus listrik PKL). Di lain pihak
Pak Jaing lah yang mengurusi masalaah keamanan dan kebersihan saat ini. Pak Jaing dan istrinya
memiliki staf-staf yang akan membersihkan dan menjaga keamanan PKL. Dalam hal kebersihan
Pak jaing dan istrinya menyewa truk sampah dinas kebersihan untuk mengangkut sampah PKL.

Selain Pak Jaing, ada lagi orang yang membantu mengurusi masalah PKL yaitu Ibu Sirait, tapi
Ibu ini sudah meninggal dan sekarang yang mengurusi PKL adalah anaknya. saying beberapa
hari ini anak Ibu Sirait tidak datang ke Kramat Jati. Pun istri Pak Jaing berkata beberapa hari ini
juga tidak ada satpol pp yang datang ke situ.

Istri Pak Jaing menginfokan bahwa pengaturan jam PKL ini baru saja ada beberapa tahun ini saat
ada lomba penghargaan lingkungan (semacam adipura). Pak Jaing membantu untuk mengurusi
lomba lingkungan ini dan akhirnya Jakarta Timur berhasil memenangkan lomba ini.

Pak Jaing berkoordinasi dengan polsek dan kecamatan untuk mengatur masalah ketertiban jam
dagang PKL. Namun dari yang saya tangkap, yang lebih mendorong istri pak jaing untuk
mendisiplinkan jam selesai dagang PKL adalah polsek kramatjati. Saat kami melakukan
wawancara bahkan tidak ada satpol pp yang datang.

Secara emosional kedekatan Pak jaing dengan PKL sangat besar. Pak jaing menganggap bagian
dari mereka. Berjalanya PKL ini bagi Pak Jaing dan istrinya juga merupakan saluran ekonomi
baginya yang akan terus dipertahankan. Keberlanjutan hidup PKL adalah keberlanjutan hidup
Pak jaing juga. Pak Jaing telah mengkoordinasikan PKL selama puluhan tahun sejak tahun 1973.
Cerita sampai Pak Jaing bisa mengurus PKL adalah awalnya Pak Jaing ini mulai sebagai tukang
sapu di pasar. Sampai saat ini pun sebelum sakit Pak Jaing masih kadang melakukan tugas
sebagai tukang sapu.

Pak jaing berhasil untuk membawa PKL untuk bertahan atas lobi yang dia miliki. Ia saat ini
memiliki kedekatan dengan kecamatan,walikota, dan polsek. Jika ada suatu masalah dengan
PKL, mereka akan bertemu dengan Pak Jaing untuk bisa menyelesaikan masalah ini. Dalam hal
iuran Istri Pak jaing berkomentar bahwa iuran yang dia lakukan sudah mendapat legalisasi dari
peraturan daerah. Kita dapat melihat usaha Pang Jaing dan para PKL untuk bisa melegalkan
pekerjaan mereka di kehidupan Jakarta yang makin kejam.
Kumpulan Transkrip Wawancara
1. Wawancara dengan Bu Upi (pedagang Baju )

Hari/tanggal : 5 Desember 2010. Waktu : pukul 20.15 WIB

Santi : Emmm... Jadi Ibu dagang disini udah lima tahun ya Bu, ya? Kalau ijinnya, ini
awalnya gimana Bu?

Bu Upi : Saya gak tahu izinnya gimana. Selama ini ya ngikut orang. Soalnya kita kan
– yah orang biasanya dijinin sore. Ya udah kita dagang sore Kalo belum daper ijin,
ya pagi-pagi kan kita gak dagang. Kalau itu pagi kan. Ya kalo sore – ya itu aja yang
diijinin

Santi : Oh gitu.. Dari jam berapa?

Bu Upi : Pagi, jam 4..

Santi : Jam 4, sampai? ..... (tidak terdengar jelas)

Bu Upi : (tidak jelas)

Santi : Oh gitu. Katanya disini sering macet ya Bu? Di daerah sini...

Bu Upi : Kramat Jati sini? Sering macet lah. Kalo jam segini ya macet lah. Ya
macetnya gitu aja..

Santi : Oh, iya.

Bu Upi : Yah kalo macet, gitu aja.

Santi : Oh... Karena?

Bu Upi : Karena pedagang macetnya? ya enggak...

Santi : Emmm...

Bu Upi : Bukan karena pedagang. Ya karena ini banyak (sambil menunjuk


kendaraan yang sedang melintas), ya macet lah, jalan kecil begini.

Santi : Oh iya, karena jalannya kecil ya Bu... He eh, he eh..

Emmm... Terus katanya pernah ada rencana ini ya Bu, kayak penggusuran/
penertiban pedagang?

Bu Upi : (geleng-geleng kepala)

Santi : Tapi gak pernah ada. Oh iya, iya....


Bu Upi : (menyapa pembeli yang lewat)

Santi : Oh, gak tahu yah.. Emmm, kalau bayar listrik gitu kemana?

Bu Upi : Listrik?

Santi : He eh..

Bu Upi : Bayar listrik kita ya, itu pakai di toko belakang (sambil menunjuk toko
elektronik di belakang kiosnya), ya kita ngambilnya dari sono.

Santi : Oh, dari tokonya itu..

Bu Upi : (suara tidak jelas)

Santi : Suka ada ini gak sih Bu, kayak preman-preman gitu disini?

Bu Upi : Enggak... Gak ada gitu-gituan tuh.

Santi : Kalau Satpol PP nya, suka dateng?

Bu Upi : Nah, itu makanya, Satpol Ppnya itu kan suka dateng, dan kita gak boleh
dagang.

Santi : Oh, kalau itu gak boleh dagang? Kalo ada ...

Bu Upi : Ah, tapi itu sekarang kayaknya gak ada kalo itu, yah...

Santi : Sejak kapan?

Bu Upi : (tidak jelas). Yah, sejak apa.. Sejak ada priok-priok itu ya... ?

Santi : Apa?

Bu Upi : Yah itu, sejak ada, yang priok.. Apa itu.?

Santi : Mbah Priok? Oh, sibuk sama urusan mbah Priok, jadinya gak...

Bu Upi : Tapi yah, kita waspada aja kalo gak boleh dagang. Jadi kalo pagi ya kita gak
pernah dagang. Kalo jam 4 ya, kita....

Santi : Kalo suka ada razia mendadak tu gimana Bu?Apa pernah?

Bu Upi : Gak dagang. Ya, gak boleh dagang.

Santi : Gak pernah ada kayak “Ayo dipindah-pindah. Kesono”, atau kemana gitu.
Gak pernah ada Bu? Suruh pindahan gitu.

Bu Upi : Oh, pindah-pindah kedalam gitu?

Santi : Ke dalem? Oh paling disuruh mundur aja gitu kalo ketemu?


Bu Upi : “Ke dalam, sana!” gitu... (sambil menunjuk ke belakang kiosnya- arah
dalam, mundur dari trotoar jalan)

Santi : Nah, kalo di TV kan serem tuh Bu. Kadang-kadang suka diangkut-angkutin.

Bu Upi : Iya..

Santi : Oh, disini mah kagak ya Bu?

Bu Upi : Kaga. Kalo ada ini mah dia kan ngomong. Ntar Bu... Udah berhenti. Nah,
makanya itu kita kan waspada.. (suara tidak jelas) Kalo itu tadi kan suruh angkuin
semua gitu..

Santi : Iya,, he eh, he eh..

Bu Upi : Ya Waspada orang sini ga pernah.

Santi : Oh, gak pernah...

Bu Upi : Ya gak pernah. Paling kita sore dagang...

Santi : Oh, jadi tertib ya Bu?

Bu Upi : Iya, kalo gak gitu kan gimana kita dagang?

Santi : Oh.... (berhenti sejenak). Ada iuran-iuran gitu gak sih Bu yang ditarik?
Misalnya kayak uang sewa dari Pemda-nya?

Bu Upi : Iya, paling dari keamanannya.

Santi : Darimana Bu?

Bu Upi : Uang keamanan. Dari orang-orang pasar itu juga mbak.

Santi : Oh, dari orang pasar.

Bu Upi : (suara tidak jelas)

Santi : Tiap kapan dimintain-nya?

Bu Upi : Ya tiap hari..

Santi : Oh tiap hari. Jadi jumlahannya berapa Bu?

Bu Upi : Ya paling berapa. Orang pedagang gitu – trus segini banyak. Paling kasih
tiga ribu sehari..

Santi : Oh... Murah ya Bu..

Bu Upi : dua ribu.. (suara tidak jelas)


Santi : Oh.. Tapi memang gak ada penggusuran ya Bu, ya. Disini ?

Bu Upi : Maksudnya?

Santi : Ya, maksudnya, kalaoada Satpol PP paling disuruh mundur aja ya Bu? Gak
pernah diangkut-angkutin gitu kayak di TV?

Bu Upi : Ya kalo kayak gini ya pernah diangkut. Selama ini mah kita dagang sore.
Dagang jam 4. Coba kalo dagang jam 3. Ya diangkutin semua.

Santi : Oh, diangkutin.

Bu Upi : Ya diangkut. Masak gak berani dia.. Meja ya juga diangkut. Kita aja yang
harus waspada.

(suara tidak jelas)

Santi : Kalo Ibu biasanya dagang dari jam berapa ampe jam berapa ?

Bu Upi : Saya dagang ? Dari jam 5 ampe jam jam 12 tar malem aja,

Santi : Oh gitu doang. Gak ampe pagi?

Bu Upi : Enggak.

Santi : Oh, kalo ampe pagi diangkutin juga?

Bu Upi : Ya tergantung...

(pertanyaan disambung oleh Bowo)

Bowo : tempat dia biasa ininya dimana ya Bu? Tempat dia biasa idup?

Santi : Mangkal ?

Bowo : Ah, iya itu. Tempat mangkal sih.

Bu Upi : Yang itu... (suara tidak jelas)

Santi : Oh dia gak biasa ngumpul dimana ya gitu Bu?

Bu Upi : Ya paling jalan-jalan itu aja keliling, satu orang. Kalo kayak orang-orang
banyak gini ya nggak ada..

Santi : Itu yang mintain satu orang apa setiap hari ganti-ganti ?

Bu Upi : Satu orang aja.

Santi : Oh satu orang aja...


2.Wawancara dengan Mbak Su Pedagang Kue-kue

Hari/tanggal : 5 Desember 2010. Waktu : pukul 21.00 WIB

Mbak Su : (suara tidak jelas)

Santi :Oh ini dibeli? Kios ini beli bu?

Mbak Su : Iya..

Santi : Nah, Ibu kalo mau bayar sewa kemana Bu?

Mbak Su : Oh, gak saya Cuma menggantikan tukang sendal waktu itu...

Santi : Oh, jadi Ibu Cuma menggantikan tukang sendal..Tapi masih ada tukang
sendalnya sekarang?

Mbak Su : Pagi-pagi....

Santi : Emmm.... Tapi gak ada yang narikin sewa gitu Bu?

Mbak Su : Gak ada...

Santi : Oh, jadi bebas ya Bu?

Mbak Su : (suara tidak jelas)

Santi : Oh, ini dibeli. Oh, kios ini beli Bu?

Mbak Su : (suara tidak jelas)

Santi : Oh... nah Ibu kalo bayar sewa kemana Bu?

Mbak Su : Gak Ibu gak bayar sewa. Dulu cuma gantiiin tukang sendal.

Santi : Oh. Tapi masih ada tukang sendalnya sekarang Bu?

Mbak Su : ya pagi-pagi gitu.

Santi : Oh.... tapi gak ada yang suka narikin sewa gitu Bu?

Mbak Su : (suara tidak jelas) ... bebas....

Santi : Oh, jadi bebas ya Bu... Oh, jadi intinya sendiri-sendiri ya Bu? Ato mungkin
suruh ke kelurahan dulu ato gak Bu?
Mbak Su : iya. Tapi kelurahan ya Cuma ngijinin aja. Ya intinya Cuma menggantikan
saja.

Santi : Hemmm. Misalnya saya saudaranya Ibu. Trus dagang. Trus Cuma gantiin.

Mbak Su : Ya saya Cuma menggantikan saja.. Ya sewanya bebas gitu..

Santi : Oh, itu biasanya berapa?

Mbak Su : Kadang 2000, 3000...

Santi : Hemmm... Murah ya Bu? Kirain saya tuh sampe ratusan ribu gitu loh Bu.
Sebulan tu pasti. Kayak uang sewa kios-kios gitu.

Mbak Su : Nggak....

Santi : Ibu dagang udah 10 tahun gitu ya Bu. Hemm lama juga.

Mbak Su : Iya..

Santi : Pas nya 10 tahun gitu ya Bu?

Mbak Su : Ya sekitar itu lah.Lebih kali.

Santi : Wah... hebat-hebat

Mbak Su : Ya Alhamdulillah.

Santi : Sukses ya Bu ya?

Mbak Su : (suara tidak jelas)

Bowo : Kalau misalnya ada lapak yang disita bagaimana ya bu?

Mbak Su: dibawa ke kelurahan.

Bowo: Soalnya saya kan kemaren-kemaren nanya ke kecamatan ya. Kata orang
kecamatan kalau misalnya lapaknya diambil, ini nanti bisa diambil lagi

Mbak Su: Tapi kami nanti harus bayar yang malah lebih mahal dari buat lagi.

Bowo: Oh, malah lebih mahal ngambil daripada bikin baru ya? Haha..

Mbak Su: (suara tidak jelas)

Santi: Iya tuh katanya tahun 2006 ada penggusuran kan terus reaksinya gimana
bisa diambil lagi?

Mbak Su: Kita bertemu dengan camat dan kelurahan terus bikin lagi. (Suara tidak
terlalu jelas)
Santi: mendingan bikin lagi daripada ngambil ke kelurahan ribet.

Bowo: Kalau yang saya dengar dari kecamatan kalau mau ambil lapak ga usah
bayar tapi bikin surat perjanjian buat ga berjualan di luar jam yang ditentukan.

Mbak Su: (suara tidak jelas)

Santi: ini bukanya jam lima sore tutpnya jam enam pagi harus udah bersih?

Mbak Su: Jam lima

Santi: Jam lima sampai jam lima lagi? Oh iya. Ibu dua belas jam nonstop dong di
sini.

Mbak Su: (suara tidak jelas)

Bowo: Soal keamanan gitu ada yang jaga ga bu?

Mbak Su: ada

Santi: pernah ada demo gak sih bu, waktu diangkut-angkutin terus ga dibalikin?
Denger-denger juga pernah mau dipindahin ke lokasi mana gitu.

Mbak Su: Enggak.

Santi: Oh kirain pernah ada gitu.

Bowo: (suara tidak jelas)

Bu Su: Yang penting mah untung aja (suara tidak terlalu jelas.

Santi: Tuh wo kalau usaha… (suara tidak terlalu jelas)


3. Wawancara dengan Pak Dayat, Bagian Tata Pemerintahan Kecamatan
Kramat Jati

Hari/tanggal : 8 Desember 2010.

Bowo : Gini pak, yang kronologis awal mula hingga Kramat Jati bisa seramai ini
awalnya gimana Pak?

Pak Dayat : Dulu hanya pasar kecil, ya karena lingkungannya dekert dengan
pemukiman yang terdiri dari warga kelurahan Bale Kambang, Batu Ampar, Cililitan,
Halim, dan dulu mereka menujunya ke Pasar Kramat Jati. Ya karena pasarnya tu
untuk ekonomi menengah ke bawah sehingga tersedia tuh, terjangkau dan lebih
murah, gitu...

Bowo : Kalau mulai berkembangnya itu mulai tahun berapa ya Pak? Yang mulai
cukup ramai?

Pak Dayat : Ya, saya pikir - menurut pengetahuan saya tahun 30an ya sudah
ramai.. dan ditmbah dengan padatnya penduduk. Apalagi ditambah dengan adanya
pasar subuh sepanjang jalan. Gitu....

Bowo : Eh... Kalau saya waktu observasi berapa kali ke Pasar Kramat Jati itu kan,
eh, sebagian dari mereka itu berasal dari etnis Madura ya Pak. Setau Bapak itu,
sejarah mereka bisa sampai eksis disana gimana ya Pak?

Pak Dayat : Ya saya gak bisa jawab kalau itu. Ya biasanya ya sudah punya wilayah
sendiri. Ya, kamu bisa tanya langsung sama PD Kramat Jatinya langsung.

Bowo : Nah, kalau masalah pedagang kaki limanya itu, mulai ada sejak kapan ya
Pak? Yang disekitar jalan itu?

Pak Dayat ; Ya kalau gak salah sudah berjalan kurang lebih 10 tahun

Bowo : Kalau sejak awalnya adanya itu kan – eh, kami kan dihubungi dengan
kemacetan Pak. Sejak awal adanya PKL itu menimbulkan kemacetan gak ya Pak?

Pak Dayat : Sangat-sangat menimbulkan kemacetan.


Bowo : Eh, nah kan ada... eh, pengaturan waktu itu Pak, pengaturan waktu yang.
Eh, kalo dari informasi yang saya dapet itu kan dulu macet. Turs semenjak adanya
pengaturan itu kan, waktu yang maksimal berjualan dari jam lima sampai jam 6 itu
kan, itu mulai gak terlalu macet Pak. Itu pengaturannya itu eng, dari tahun kapan
Pak?

Pak Dayat : Itu engaturan PKL sama Pedagang Pasar Subuh – itu ada pengaturan
jadwalnya kurang lebih hampir berjalan sudah 5 tahunan. Sudah 5 tahun. Eh...
mereka mulai berjualan, menjual dagangannya mulai dari jam 8 malam, jam 20.
Eng, jam 05 subuh, sudah harus berhenti.

Santi : Oh iya tadi kan kalo menurut Bapak kan penyebab – kan macet banget kan
eh di daerah..

Pak Dayat : Kramat Jati ...

Santi : Eh, iya. Dari sini (sambil menunjuk ke arah kantor kecamatan), sampai PGC
situ. Eh, selain ada PKL kan kayak ada, eh.. Busway gitu, jalannya sempit, dan lain-
lainnya itu. Tapi kalo menurut Bapak, faktor utama yang paling menyebabkan
Kramat Jati itu bisa macet, gara-gara apa sih Pak?

Pak Dayat : Kesemrawutannya lalu lintas. Terutama mobil-mobil angkot – yang


berhenti, enurunkan penumpang di sembarang tempatnya. Trus kedua, pedagang
kaki lima.

Santi : Jadi faktor utamanya karena memang banyaknya kendaraan atau apa?

Pak Dayat : Iya..

Santi : Oh, itu kan faktor dari ekstern ya Pak, faktor dari luar. Eh, kalau dari
kawasan inti Kramat Jati sendiri apakah gara-gara ada Busway, ataukah gara-gara
jalannya sempit, atau PKL gitu Pak. Eh, kalau boleh memilih Pak..?

Pak Dayat : Eh, kalau saya liat ya dari ruas jalan yang sempit. Eh, kalau untuk
pengaruh Busway ya itu gak ada pengaruhnya

Santi : Oh. Eh, terkait tadi pak. Tadi kan kata Bapak, buka jam 8, tutup jam 5 sore tu
Pak. Tapi beberapa kali, saya tanya ke para pedagang, ada beberapa yang buka,
sebelum jam 8 malam – kayak jam 6 itu sudah buka. Itu kalau tindak lanjutnya
sendiri dari pihak kecamatannya itu gimana Pak?

Pak Dayat : Tapi kalau kami lihat fakta yang ada di lapangan, gak ada mereka tuh
yang berdagang di jalanan tuh sore gak ada. Mereka mungkin hanya datang hanya
bebenah tuh ada. Jadi belum ada.

Santi : Tapi kalau seandainya itu pernah ada Pak?

Pak Dayat : ya akan ditndak oleh pihak kecamatan.


Santi : Ditindaknya seperti apa pak?

Pak Dayat : Ya, ini pedagang kaki lima itu akan ditindak oleh itu, satuan.. Engg...
satuan Satpol PP

Santi : jadi yang bertindajk langsung di lapngan itu Satpol Ppnya. Tapi atas perintah
dari?

Pak Dayat : Camat langsung

Santi : Oh, dari Camat langsung. Eng, boleh tanya lagi Pak?

Pak Dayat : Iya, tapi kalau saya bisa ya saya jawab, kalau enggak ya nggak saya
jawab.

Santi : Iya Pak. Eh.. gini, waktu itu kan liat kabar dari internet gitu Pak. Ehhh...
pernah ada dalam tanda kutip penertiban PKL karena penyebab kemacetan tuh
Pak. Ehhh... itu tindak lanjutnya itu dari tahun berapa sih Pak? Penertiban PKL? Apa
pernah ada atau enggak sih Pak?

Pak Dayat : Itu aja Perdanya. Perda (suara tidak jelas)

Santi : Oh yaudah terima kasih ya Pak ya..

4. Wawancara dengan Pak Asik, Satpol PP Kramat Jati

Hari/tanggal : 8 Desember 2010.

Santi : Iya Pak, jadi saya mau tanya itu. Saya kan pernah baca di internet itu Pak.
Eh, kalau PKL di sepanjang jalan itu kan. Jalan Pasar Pasar Kramat Jati Indah. Di
sepanjang jalan itu. He eh, di jalan Raya Bogor Km 19 lah, sekitar situ. Eh, itu
pernah ada – dalam tanda kutip penertiban gitu Pak. Itu bener gak Pak ?

Pak Asik : Kalau perentiban itu kan – memang PKL itu tiap hari. Jadi waktunya ya
kita kan tiap hari lah. Penertiban di jalan raya Bogor pada waktu pagi tuh. Kan
sudah mulai banyak itu. Mereka kan diperbolehkan dagang itu kan memang
malam. Tapi itu jam 6 pagi. Jam 6 itu kan peraturan , sudah harus selesai. Jadi kita
mengadakan patroli itu kan untuk (suara tidak jelas) mungkin juga (suara tidak
jelas). Karena lalu lintas itu kan sudah mulai padat.

Santi : Itu jam berapa Pak? Biasanya ada... eh.. ke lappangan buat menyisir itu ?

Pak Asik : Jam 6 pagi itu kita udah mulai bergerak. Ya, jam 6 pagi kalau bisa ya jam
sgitu mereka sudah hengkang dari lokasi itu yang tidak diperbolehkan untuk
berdagang.
Santi : Eh.. tapi PKL disini sudah minta ijin sebelumnya Pak agar bisa berdagang
disitu? Jadi, kalau mereka tertib tidak akan diangkut lah ibaratnya gitu Pak?

Pak Asik : Sudah, kalau itu. Pedagang itu. Ada semacam itu – diperbolehkan dagang
gitu. Peraturan gitu. Ibataratnya sudah. Eh, namanya JT ya Jakarta Timur. Tapi untuk
jam dagang itu ya tetep ya bahwa jam 6 itu ya harus sudah bersih .

Bowo : Berarti mereka itu legal ya?

Pak Asik : Gini, artinya gini. Untuk pasar subuh?

Pak .... (Suara tidak jelas)

Santi : Kalau melanggar gitu tindak lanjutnya apa Pak?

Pak.... : Himbauan

Santi : Pernah diangkut gitu gak Pak?

Pak asik : (suara tidak jelas) Barang-barang yang ada itu, kayu lapak itu diangku,
untuk terapi yang lain biar mengikuti peraturan.

Bowo : kalau mereka ingin mengambil lapak mereka yang disita itu prosedurnya
gimana Pak?

Santi : caranya... ?

Pak Asik : bukan barang dagangan ya? Sebenarnya mah tidak bisa diambil gitu.
Semacam kayu-kayu itu kecuali barang dagangan. Semacam kayu, bangku meja itu
dibawa ke Cakung. Kalau mau ngambil ya ikut peraturan dari Cakung.

Bowo: Berarti Cuma barang dagangan saja pak yang bisa diambil?

Pak Asik: Iya kalau barang-barang boleh, tapi kalau tempat-tempatnya ga boleh
diambil.

Bowo: Kalau mereka ingin mengambil barang dagangan itu mereka membayar
denda atau semacamnya?

Pak Asik: Kalau denda-denda gitu ga ada kecuali lewat proses sidang. Untuk
pengadilan ringan memang ada denda, tapi kalau ngambil langsung ga boleh.

Bowo: Oh berarti kalau lapak dan barang daganganya disita dan mereka ingin
mengambil hanya tinggal mengambil atau ada proses lain seperti membuat surat
pernyataan.

Pak Asik: Iya ada semacam peraturan itu untuk membuat surat pernyataan, tapi
untuk barang daganganya.
Santi: Kalau pas digusur itu pak ada perlawanan ga sih pak dari para pedagangya
atau gimana?

Pak Asik: Kalau untuk saat ini ga ada ya sayangnya. Kalau untuk pasar subuh ini ga
ada perlawanan. Kecuali dulu-dulu memang waktu kita belum begitu kenal mereka,
belum sosialisasi sama pedagang. Kita sering ada perlawanan. Kalau saat ini untuk
pedagang ga ada soalnya mereka udah tahu salah.

Santi: Katanya, minggu kemarin sih udah wawanacara sama pedagangnya juga.
Katanya ada yang mengkoordinir pasar gitu ya pak biar (tidak jelas), ato gimana
pak. Ada orang yang ketuanya gitu,perhimpunanya pak.

Pak Asik: Yang namanya di Jakarta itu . Di Jakarta kalau udah cari uang biasanya
ada aja gitu. Tapi itu gak, kalau dari pihak Satpol PP misalnya. Ada uang di situ
memang dari uang kebersihan. Orang-orang dari organisasi juga. Mungkin ada yang
coordinator dari wilayah setempat kita ga tahu kan ya. Kadang memang ada saja
sih. Mungkin orang-orang perkumpulan pedagang situ mungkin kumpulin. Kalau kita
ga tahu tuh.

Bowo: Kalau yang upaya relokasi tadi itu ada ga pak?

Pak Asik: Relokasi itu sebenarnya itu dari dulu udah ada. Cuma mereka karena
alasan tempatnya ga laku terus akhirnya keluar juga pada waktu malam. Alasanya
tempatnya ga dipake. Yang namanya cari duit mungkin mereka pengen laku jadi
kayaknya mereka keluar-keluar juga.

Santi: Iya pak jadi kan penelitian kita sebenarnya tentang kemacetan ya pak di
daerah Kramatjati. Terus kita juga melihat ada PKL yang meyumbang paling tidak,
entah seberapa besar factor PKL yang menyumbang kemacetan. Nah kalau
menurut bapak, faktor yang paling besar, masalah kemacetan di daerah Kramat
jati, itu apa sih pak apakah PKL atau ada factor lain yang paling besar?

Pak Asik: Banyak banget kali ya. Jumlah kendaraan di sini udah mulai banyak. Terus
(tidak jelas).

Pak ___: ( tidak jelas)

Pak Asik: Ada beberapa tempat anak sekolah juga. Kalau PKL ya pagi-pagi itu waktu
pembersihan sampah-sampah bekas-bekas PKL itu pengaruh. Terus sore hari itu
memang mereka waktu pada buka kita ga sempat (tidak jelas). Kalau sore hari itu
kita memang ga sempat (tidak jelas) soalnya kita udah ga bertugas.

Santi: Iya jadi berita kalau ada penertiban PKL tahun 2006 itu ga pernah ada ya.
Tahun 2006 kan katanya ada SK gubernurny?.

Pak Asik: Penertiban PKL menurut perauturan tetap ada (suara tidak jelas)
Bowo: Oya jadi. Saya kembali ke yang tadi. Kalau penyebab yang paling dominan
apa pak?

Pak Asik: Ya memang terutama kendaraan, ya motor-motor

Pak ___: (suara tidak jelas)itu karena ada mal KJI. (berbicara tentang mal)

Santi: berarti kalau boleh saya simpulkan penyebab yang paling utama itu bukan
karena PKL ya pak ya. Melainkan karena ada gedung-gedung besar seperti mal.

Pak ___: Iya kalau ada mal berarti ada PKL berderet.

Santi: Iya itu kan tadi berarti kalau ada mal ada PKL. Kalau di sini sendiri, itu yang
lebih awal itu malnya sendiri atau PKL.

Pak ___: (suara tidak jelas) (PKL duluan yang datang)

Pak Asik: PKL itu sendiri kan kadang suka menyerobot badan jalan kan yang buat
kendaraaan. Itu pengaruh juga bikin macet. Terutama kalau sore atau malam hari
kan (bising). Sampai tengah-tengah. Itu yang bikin kemacetan.

Santi: Kan ada pengaturan tentang PKL ya pak. Itu seberapa besar ngurangi
kemacetan yang sebelum ada jam-jam?

Pak Asik: Kalau ada PKL ya pengaruhnya (suara tidak jelas)

Pak ___:(suara tidak jelas)

Santi: itu biasanya kalau macet paling parah tu adanya hari apa jam berapa?

Pak Asik: (suara tidak jelas.

Santi: Berarti jam-jam pulang dan beragkat kerja dan hari libur malam ya pak. Nah
apakah, katanya sih pernah dengar juga kalau misalnya malam minggu di sini
pedagang dan motor udah semrawut gitu deh gitu pokoknya. Jadi kayak memakan
satu badan jalan itu sendiri.

Pak Asik: (suara tidak jelas)

Santi: Kalau hari minggu kan otomatis kan banyak yang belanja ikan-ikan karena
hari libur untuk dibakar-bakar. Nah apakah benar mereka parker yang motor-motor
atau mobil parkirnya sembarangan di depa PKL-nya jadinya menumpuk satu badan
jalan. Itu benar ya pak?

Pak ____: (suara tidak jelas)

Bowo: Iya kan PKL itu waktu jualanya dari jam enam sore sampai jam lima pagi.

Pak ____: Harusnya dari jam sepuluh malam.


Santi: sepuluh malam ya pak.

Bowo: Iya nah. Kalau misalnya saya kalau jalan siang-siang melihat, saya ga tahu
sih itu PKL atau bukan , tapi kayak semacam ada PKl yang berjualan di siang hari.
Iya kayak gerobak-gerobak semacam kayak meja belajar.

Pak ___: (suara tidak jelas)

Santi: pedagang dari toko ya itu?

Pak___: (suara tidak jelas)

Pak Asik: Ada beberapa pedagang ini boleh aja tapi jangan sampai ke badan jalan,
asal jangan ngelewatin saluran air. Batasnya saluran air. Boleh berdagang siang-
siang hari.

Bowo: Berarti ga konsekuen dong pak?

Pak Asik: Ya konsepnya kita ga boleh dagang di atas saluran air atau badan jalan.
Kalau mereka pedagang liar ya gapapa.

Santi: Ini kan katanya bukanya dari jam sepuluh malam sampai jam lima pagi ya
pak. Kalau yang udah buka duluan gitu tindak lanjutnya gimana pak?

Pak Asik: Namanya cari uang kita juga maklum.

Santi: Memang bukan dari peraturanya jelas gitu ya pak cuman memang melanggar
takut (suara tidak jelas)

Pak Asik: memang harus ngikutin. Peraturan itu ya kita menegakkan perda-perda
kita itu ya. Tapi kita juga itu terpaksa juga untuk ya kalau udah malam-malam gini
istilahnya yalembur harus ngeluarin tenaga lagi berarti.

Pak ___: (suara tidak jelas)

Pak Asik: kita juga udah mengadakan survey kemarin wawancara yang di depan
toko-toko itu yang keluarganya pasang (tidak jelas). Ada sebagian yang bilang tuh
ada bagianya juga. Intinya karena mungkin terpaksa kali takut sama pedagangnya.

Santi: pernah wawancara ini jugasi pak sama salah satu pedagang kaki lima.
Katanya dulu pernah ada penggusuran di situ, tapi pernah ada salah satu tokoh
yang mencegah kayak salah satu tokoh yang dihormatin banget di wilayah Kramat
jati. Itu benerga sih pak?

Pak ___: Sebenarnya bukan mencegah ya , gimana ya, semacam kayak dia mau
bekingin anak buahnya sendiri. Misalnya (suara tidak jelas) kita tuh harus kasih ke
tokoh situ. Di jalan raya bogor tuh kan banyak pungutan tuh. Itu jangan salah itu.
Itu lampu itu nyewa otomatis yang punya lampu mampir ya kan. (tidak jelas )
nyewa, otomatis dia kan. Juga lapak yang kayak ini yang bawah-bawah ini, dia ga
punya sendiri jadi lain-lain orang lain. Jadi pedagang itu tinggal nempatin,
semuanya disiapin sama yang narik gerobak. (suara tidak jelas) ..lain lagi yang
bertugas mungutin sampah. Itu sampah kalau ga dipungutin otomatis gada yang
nyapu. Itu kan bukan dari dinas kebersihan yang nyapu. Cuma yang nyiapin tempat
sampahnya baru dari dinas kebersihan. Nah itu kalau dalam yang pungutan yang
gitu pasti ada koordinatornya. Itu pasti ada dari situ. Nah mungkin kalau pengen
tahu koordinatornya, pagi sekitar jam enam sampai jam tujuh itu nanti ada
koordinatornya di pool di sekitar daerah dewa ruci.Itu dia lagi ngatur-ngatur (tidak
jelas)

Santi: koordinatonya satu apa banyak pak?

Pak ___: Koordinatornya satu, anak buahnya banyak.

Santi: Itu siapa pak?

Pak ___: Saya ga kenal. Karena kita memang dari dulu ga boleh kenal sama orang-
orang begitu. Nanti kalau kita terlalu kenal sama orang begitu lain efeknya. Itu
kalau koordonator-koordinator gitu gada. Cuma kalau ini istilahnya, bener ga ni
omongan. Sisir sendiri jalan raya bogor bener ga dari petugas ini. kalau perlu
ketemu orangnya, bisa diapalin tuh orangnya. Kalau kita di sini nol gada apa-apa
(suara bising handy talk satpol PP).

5.Wawancara dengan Ibu Kholilah (Orang yang mengurusi listrik PKL)

Hari/tanggal : 8 Desember 2010. Waktu : pukul 20.15 WIB

Bowo; Eh. Jadi. Eh. Kalau untuk iuran listrik daripedagang itu tiap hari berapa ya bu?

Bu Kholilah: Setiap hari mereka bayar sama saya setoran anak-anak ama saya
seratus tiga puluh. Saya bayar ke PLN dua juta perbulan. Gitu aja heeh. Ke PLN saya
bayar dua juta, kadang-kadang satu juta Sembilan ratus.
Santi: seratus tiga ribu perhari?

Bu Kholilah: Per hari.

Santi: berapa pedagang bu?

Bu Kholilah: Satu orang itu bayarnya tiga ribu-empat ribu. Ga terlalu besar bebanya
ke pedagang. (kurang jelas).

Santi: Kalau yang awalnya itu ibu bisa mengkoordinir masalah pelistrikan itu
awalnya gimana ibu?

Bu Kholilah: Dari almarhum orang tua. Cuma nerusin, ngelanjutin. Saya tadinya di
Klender.

Santi: Sama ngoordinir juga?

Bu Kholilah: Enggak saya dagang kayu. Agen kayu gitu.

Santi: Jadi emang udah (jelas)

Bu Kholilah: udah dua puluh satu tahun. Udah kerja segitu lamanya.

Bowo: Kan waktu itu ada kenaikan tarif dasar listrik. Itu pengaruh ga bu?

Bu Kholilah: Buat saya pengaruh, tapi buat pedagang ga naik. Untungnya Cuma
tipis, Cuma seratus tiga puluh ribu perhari, bayar dua juta. Kan Cuma berapa
dapatnya. Saya kalau ga mati lampu. Kalau mati lampu saya harus bayar satu juta.
…(kurang jelas)

Santi: Ibu pasang listriknya dari jam berapa?

Bu Kholilah: dari jam lima sore sampai pagi.

Santi: sesuai sama jam bukanya

Bu Kholilah: pedagang (menyambung).

Santi: Berati pedagang itu pertama itu bukanya dikoordinir sama Pak Jaing. Terus
ibu pasang listrik dari staf.

Bowo: Kalau itu terakhir kali naik harganya itu kapan ya bu?

Bu Kholilah: Ga mau itu, pedagang ga mau naik. Saya minta lima ribuper orang, tapi
ga mau.

Bowo: berarti udah lama banget itu naik terakhir kali.

Bu Kholilah: Udah lama. Tapi kalau naik tetap segitu aja.


Santi: Kalau listrik kan ibu ya. Kalau yang lain-lain kayak kebersihan ibu tahu ga
orang?

Bu Kholilah: Enggak pak jaing semuanya.

Santi: oh jadi kalau listrik ibu kalau pak jaing semuanya

Bu Kholilah: pak jaing semuanya, kalau saya Cuma lampu doang. Kalau masalah
kaki lima retribusi itu kesana kemari ga keurus bapaknya kan kerja di Cikarang
gitu .makanya bapaknya ditinggal disuruh pak jaing aja.

Santi: Pak Mutaram itu suami ibu

Bu Kholilah: suami saya. (tidak jelas) tadinya emang iya, terus ga sesuai terus kalau
ada apa-apa gitu jadinya ga sesuai.(tidak jelas)

Santi: Berarti ini pasarnya udah dua puluh satu tahun kan ya bu. Berarti pasarnya
udah lama banget ya bu.

Bu Kholilah: udah kayak gini dari dulu emang. Tapi ini dulunya masih bedeng terus
direlokasi dikit-dikit gitu Semua jalan itu tadinya emang penuh pedagang gitu.
Enggak tadinya enggak dikit.

Santi: itu dari tahun kapan.

Bu Kholilah: itu udah lama kalau depan sana. (terpotong karena masalah alat
rekam)

Santi: Oh udah dua puluh tahunan ya bu.

Bu Kholilah: iya tapi ga seramai sekarang. Ga sampai kesana-sana enggak kalau


malam masih ga penuh gitu.Sekarang jalan macet.(tidak jelas)… takut curiga ke
sana. Makanya bapak ga mau pedagang kaki lima. Cuma bantu.

Santi: tapi koordinasi sama pihak kecamatan juga?

Bu Kholilah: Enggak. Tapi kalau ada apa-apa sih tolong ini saranin jam segini harus
narik pedagang tolong bantuin, gitu aja.

Santi: kalau pak jaing itu ngurus dari mana ke mana?

Bu Kholilah: Semua. (tidak jelas)

Santi: Dari ujung PGC sampai hek sana?

Bu Kholilah: Dulu almarhum yang ngurusin terus diserahin pak jaing.(kurang jelas)

Santi: Oh pak jaingnya udah lama?

Bu Kholilah: Enggak. (kurang jelas)


Santi: Oh karyawanya ya?

Bu Kholilah: karyawanya ada banyak.

Santi: itu sewa tempatnya pedagangya apa pak jaing?

Bu Kholilah: (tidak jelas) Cuma bayar harian gitu aja. Gada bulanan.

Santi: kayak buat pembersihan lapak ya?

Bowo: kan sering ada pungutan liar gitu kan ya bu. Kayaknya misalnya minta rokok
atau apa?

Bu Kholilah: ga boleh sekarang.

Santi: udah ketat ya bu?

Bu Kholilah: Pake baju sekarang, pake kaos yang oren. Kalo ga bisa dibawa kamu.
Harus resmi ga boleh pake pungutan.

Bowo: kalau kesan ibu selama ngurus ini gimana?

Bu Kholilah: ya aman-aman aja ga ada apa-apa sih . aman-aman aja sih. Soalnya
kerja cepet (tidak jelas)

Santi: sambilan aja kali ya bu? Bapak punya kerjaan lain kan ya.

Bu Kholilah: (tidak jelas).. pedagang kaki lima di pasar itu sama saya juga

Santi: itu turunan dari?

Bu Kholilah:enggak. Usaha sendiri (tidak jelas).

Bowo: oh kalau yang nerusin itu yang listrik aja?

Bu Kholilah: listrik doang.(tidak jelas)

Santi: Maaf dengan ibu siapa?

Bu Kholilah: Ibu hajjah kholilah

Santi:khodidah?

Bu Kholilah:kholilah

Bowo:Kho

Santi: Ibu Hajjah Kholilah makasih banyak ya atas waktunya. Mungin nanti langsung
ketemu pak jaing aja.

Anda mungkin juga menyukai