Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENELITIAN

“DINAMIKA SOSIO EKONOMI MASYARAKAT TINGKAT RW:


KASUS RW 06 KELURAHAN KUKUSAN, DEPOK”

A. Gambaran Umum Kelurahan Kukusan.


Kukusan adalah salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Beji, Kota
Depok. Terletak 5 Km di sebelah utara pusat pemerintahan Kota Depok dan berbatasan
dengan Kotamadya Jakarta Selatan. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Beji di
sebelah selatan, Kelurahan Srengseng di sebelah utara, kelurahan Tanah Baru di
sebelah barat dan Kampus Universitas Indonesia di sebelah timur.
Kelurahan Kukusan dilewati oleh sebuah jalan raya yang merupakan jalan
alternatif yang menghubungkan antara Kota Depok dengan Kodya Jakarta Selatan.
Jalan ini akan padat dilalui oleh kendaraan pribadi yang mencari jalan alternatif guna
menghindari kemacetan di Jalan Raya Margonda sebagai jalan utama di Kota Depok,
khususnya pada hari Senin pagi dan sore, saat warga Depok berangkat dan pulang pada
hari pertama kerja setiap pekannya.
Sarana transportasi umum yang dapat digunakan oleh warga Kukusan untuk
menuju Kota Depok dan perbatasan Jakarta adalah angkutan kota dengan jumlah
penumpang maksimal 14 orang. Angkutan ini berupa colt kecil, yang menghubungkan
Terminal Kota Depok dengan Desa Kalibata yang terletak di pinggiran Jakarta Selatan
dan melalui Kelurahan Kukusan. Dengan ongkos Rp. 1000,-/ orang, warga Kukusan
sudah dapat menggunakan transporasi ini untuk menuju kedua arah tujuan tersebut.
Kelurahan Kukusan terdiri dari 8 RW. Awalnya hanya terdiri dari 4 RW.
Pemekaran jumlah RW di kelurahan ini terjadi sejak Depok berubah status dari Kota
Administratif menjadi Kotamadya, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Depok
pada tanggal 27 Maret 1999. Pada awalnya Kukusan hanyalah sebuah kampung yang
sangat jarang warganya. Merupakan bagian dari wilayah administratif Desa Kukusan,
Kecamatan Depok. Pada Tahun 1983, Depok berubah status menjadi Kota
Administratif. Perubahan status ini berdampak pula pada perubahan status Kukusan dari
desa menjadi kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah. Wilayah administratifnya
tidak lagi berada dibawah Kecamatan Depok namun menjadi bagian wilayah

1
administratif Kecamatan Beji hingga kini.

B. Sejarah Kelurahan Kukusan.


Kampung Kukusan sudah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
Dahulu Kukusan hanyalah sebuah kampung. Ada tiga kampung yang saling
bertetanggaan yakni Kampung Kukusan, Kampung Serdang dan Kampung Bambon.
Kampung Kukusan telah tumbuh dan berkembang menjadi kelurahan dengan etnis
warga aslinya adalah Betawi pinggiran.
Betawi pinggiran ini berbeda dengan etnis Betawi di Jakarta seperti di daerah
Condet, Kemandoran dan Kemayoran. Perbedaan ini disebabkan karena letak Kukusan
yang terletak dipinggiran Jakarta dan dahulunya masuk wilayah administratif
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan warga Kukusan
mendefinisikan dirinya sebagai etnis Betawi pinggiran. “Suku Betawi tapi masuk Bogor
tapi nggak bisa ngomong Sunda”, ujar Pak Ali, salah seorang warga asli Kukusan yang
menjadi informan.
Walaupun berbeda, etnis Betawi pinggiran di Kukusan ini memiliki ciri khas
yang relatif sama dengan etnis Betawi pada umumnya. Bicara ceplas-ceplos terkadang
tanpa kehalusan bahasa, diselingi lelucon yang mengundang tawa lawan bicaranya
adalah ciri yang mudah dijumpai. Dialeknyapun merupakan dialek penduduk kampung
pinggiran.
Kampung Bambon kini sudah tidak ada lagi. Sebagian wilayah Kampung ini
telah menjadi bagian dari kampus Universitas Indonesia yakni lokasi berdirinya
Fakultas Teknik dan Stadion UI. Namun orang-orang disekitar Fakultas Teknik masih
sering menyebut wilayahnya dengan sebutan Basis yang merupakan singkatan dari
Bambon sisa.
Identifikasi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa wilayah ini pernah
menjadi bagian dari wilayah Kampung Bambon dan masih tersisa sebagian yang kini
merupakan bagian Kelurahan Kukusan. Berbatasan dengan Kampung Bambon adalah
perkebunan karet yang hinggi kini masih dapat dilihat di Kompleks Universitas
Indonesia.
Sedangkan Kampung Serdang juga telah hilang. Serdang kini juga menjadi

2
bagian wilayah administratif Kukusan. Namun wilayahnya masih utuh hingga kini.
Terletak di sepanjang jalur tempat ditanamnya pipa gas pertamina dan dibatasi oleh
Jalan Raya Kukusan. Penduduk disekitar jalur pipa gas inipun masih sering menyebut
nama Kampung Serdang dan mengidentifiksai wilayahnya dengan sebutan Kampung
Serdang.
Ketiga Kampung ini, dahulunya menjadi bagian dari Desa Kukusan,
Kecamatan Depok dengan pusat administratifnya di Kampung Kukusan yang dipimpin
oleh seorang kepala desa. Pada tahun 1983, seiring dengan perubahan status Depok
menjadi kota administratif, berubah pula status Desa Kukusan menjadi Kelurahan
Kukusan. Wilayah administratifnya tidak lagi menjadi bagian Wilayah Kecamatan
Depok, namun berada dibawah Wilayah Kecamatan Beji hingga kini.
Pimpinan desapun turut berubah dari kepala desa menjadi kepala kelurahan
yang diangkat sebagai pegawai negeri sipil dengan mendapatkan gaji tetap setiap
bulannya. Sebelumnya, kades mendapatkan jatah tanah bengkok sebagai upah menjabat
kepala desa dengan periode kepemimpinan 8 tahun.
Asal-muasal nama Kukusan diambil dari nama buah sejenis duku yang dahulu
banyak tumbuh di kampung ini. Orang menyebutnya dengan nama buah Kokosan.
Buah-buahan, baik duku maupun kokosan ini dijual ke Jakarta oleh warga setempat
sebagai mata pencaharian. Lokasi penjualannya bahkan ada yang mencapai wilayah
Pasar Senen yang dicapai dengan berjalan kaki. Dari nama kokosan inilah kemudian
orang menyebut sebagai kampung kokosan (pusatnya buah kokosan). Dalam
perkembangannya, penyebutan nama kokosan mengalami perubahan vokal sehingga
lebih dikenal dengan nama Kukusan
Kukusan mengalami pertumbuhan pesat sejak proses belajar mengajar
Universitas Indonesia pindah dari Jakarta ke kampus baru di Depok pada tahun 1987.
Kukusan yang wilayahnya berbatasan langsung dengan kampus UI mengalami manfaat
langsung dari keberadaan kampus negeri ini. Sejak itu banyak berdiri tempat-tempat
kost, pondokan-pondokan dan asrama-asrama yang dibangun guna menampung
mahasiswa daerah yang belajar di UI dan membutuhkan tempat kost yang lokasinya
dekat dengan kampus.
Perintis pondokan mahasiswa pertama di Kukusan adalah Yayasan Supersemar

3
yang membangun 100 unit pondokan yang dikenal dengan nama RPT (Rumah
Pondokan Tumbuh). Salah satu pengurusyayasan ini adalah Presiden Soeharto, saat
beliau masih berkuasa. RPT ini dibangun diatas lahan milik warga yang berdasarkan
perjanjian, dalam jangka waktu 7 tahun akan dikelola oleh yayasan dan setelah itu akan
menjadi hak milik warga yang diatas lahan atau halamannya dibangun RPT ini. Setiap
unit RPT terdiri dari 4 kamar tidur dan dua unit kamar mandi yang terletak di luar
kamar.
Namun belum genap pengelolaan ini berumur tujuh tahun, yayasan sudah tidak
mampu lagi untuk meneruskan pengelolaannya. Baru empat tahun berjalan, pengelolaan
sudah diserahkan kepada warga setempat. Dari seratus unit yang diperkirakan akan
terisi penuh oleh mahasiswa yang kost, hanya 50 % yang terisi. Ini sangat sulit bagi
yayasan untuk mengelolanya karena pemasukan yang diharapkan tidak mencapai
sasaran alias rugi.
Disisi lain, keadaan ini justru menguntungkan bagi warga Kukusan yang diatas
lahannya dibangun RPT karena akan mendapatkan pendapatan tetap perbulannya dari
uang sewa atau uang kost mahasiswa yang mondok di RPT ini. Kini pertumbuhan
tempat-tempat kost bak jamur di musim hujan. Begitu juga dengan tumbuh fasilitas
lainnya seperti warung makan, warung telekomunikasi, photo copi, rental komputer dan
ojek motor.
Secara tidak langsung keberadaan UI telah menggerakan perekonomian
masyarakat Kukusan. Sayangnya, sebagian besar usaha tersebut justru dimiliki oleh
para pendatang yang memiliki modal besar. Warga asli Kukusan semakin tersisih.
Apalagi modal mereka berupa warisan tanah --- sebagaimana umumnya modal pada
etnis Betawi --- telah banyak dijual dan dibeli oleh orang luar sementara mereka tidak
memiliki keahlian bisnis atau kemampuan lainya untuk bersaing dengan orang luar.
Walaupun Kukusan telah tumbuh dan berkembang menjadi kelurahan yang
lebih maju dengan indikator munculnya pondokan-pondokan, asrama, rumah makan,
warung telekomunikasi, photo kopi dan rental komputer, suasana desa --- woodland
kampung --- masih terasa. Pohon-pohon rindang seperti pohon kelapa, nangka, duku,
rambutan serta pisang masih mudah dijumpai. Areal kebun, empang, peternakan sapi
juga masih ada. Suasana segar dan udara bersih pada pagi hari masih bisa dirasakan

4
selain suasana sunyi dan tenang pada malam hari yang nyaman untuk belajar.
Saat ini bangunan-bangunan rumah mulai ramai, tetapi pada RW-RW tertentu,.
rumah-rumah yang manandai adanya pemukiman warga masih relatif jarang. Jarak
antara satu rumah dengan rumah lainnya dapat mencapai lima puluh hingga seratus
meter. Halaman rumah warganyapun relatif luas. Luas bangunan rumah warga asli ada
yang mencapai 200 meter persegi. Seperti lokasi RW yang dekat dengan kantor
kelurahan, disana masih dapat dijumpai kandang sapi, empang dan rimbunan rumput
ilalang.
Data kependudukan yang dimiliki oleh kelurahan tidak tersalin dengan rapi.
Berdasarkan data kependudukan pada akhir tahun 2000 diperoleh rincian kategori
penduduk sebagai berikut :

I. Jumlah Kepala Keluarga


Jumlah KK : 2.146 KK

II. Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Taman Kanak-kanak 866 orang


Sekolah Dasar 756 orang
SLTP 751 orang
SLTA 413 orang
Akademi/D-3 335 orang
Sarjana (S1 – S3) 122 orang
Pondok Pesantren 32 orang
Madrasah 63 orang
Keagamaan 1 orang
SLB 3 orang

III. Berdasarkan Jenis kelamin

Laki – laki 4.369 orang


Perempuan 4.163 orang

5
Jumlah 8.532 orang

IV. Berdasarkan Mata Pencaharian

Pegawai Negeri Sipil 254 orang


ABRI 25 orang
Wiraswasta/pedagang 303 orang
Tani 51 orang
Pertukangan 172 orang
Pensiunan 56 orang
Jasa 118 orang

Data jumlah penduduk berdasarkan agama tidak tercantum dalam monografi


tersebut.

C. Gambaran Umum RW 06
Saat Kukusan berubah status menjadi Kelurahan, tahun 1983, jumlah RW yang
ada hanya 4 RW yakni RW 1, RW 2 RW 3 dan RW 4. RW adalah kepanjangan dari
Rukun Warga yang merupakan unit masyarakat di bawah kelurahan dan diatas Rukun
Tetangga atau RT namun bukan merupakan struktur pemerintahan formal. Jumlah
rumah atau kepala keluarga di setiap RW biasanya berkisar antara 200 – 300 kepala
keluarga. Ketua RW dipilih oleh warga dari setiap RT namun tidak mendapat gaji tetap
dari pemerintah.
Kini jumlah RW telah bertambah menjadi 8. Pemekaran ini terjadi sejak
Depok menjadi Kodya yang kini lebih disebut Kota Depok. Salah satu pemekaran yang
terjadi adalah di RW tempat penelitian ini dilakukan yakni RW 06. Sebelumnya, RW 06
termasuk bagian dari RW 03. Setelah pemekaran, RW 03 dibagi menjadi dua yakni RW
05 dan RW 06. Di RW 06 inilah pusat organisasi Muhammadiyah di Kota Depok
berdiri.
Secara umum, RW 06 tidak jauh berbeda dengan RW-RW lainnya di
Kelurahan Kukusan. Warga asli yang mendefinisikan dirinya sebagai etnis Betawi
pinggiran mudah dijumpai. Umumnya rumah-rumah mereka tidak memiliki pagar baik
pagar tembok maupun pagar besi. Gaya bicaranya relatif ceplas-ceplos dan --- kadang-

6
kadang --- tanpa kehalusan bahasa yang mengundang gelak tawa lawan bicaranya.
Layaknya gaya bicara orang kampung pinggiran. Halaman rumah mereka relatif luas
dan masih ditanami pohon yang rindang yang menyejukkan suasana rumahnya.
Mereka tidak menaruh curiga dan mudah akrab dengan orang lain. Saat penulis
mengutarakan maksud untuk melakukan wawancara dan menyebut identitas penulis
berasal dari Universitas Indonesia, dengan mudah para calon informan menerima
penulis tanpa menanyakan surat tugas terlebih dahulu walaupun mereka belum pernah
mengenal sama sekali. Hubungan ketetanggaan diantara mereka relatif kuat. Kuatnya
hubungan ketetanggaan ini disebabkan masih dekatnya hubungan kekerabatan antara
warga Kukusan, khususnya warga asli.
Umumnya mereka masih memiliki hubungan darah, saudara maupun hubungan
perkawinan sesama warga Kukusan. Mereka yang telah menikah dan berpisah dari
rumah orang tua akan memilih tinggal di Kukusan pula karena adanya warisan tanah
yang diberikan oleh orang tua mereka. Bila dirunut garis hubungan kekerabatan ke
nenek moyang mereka, dapat bertemu hubungannya baik dari garis keturunan ibu
maupun garis keturunan ayah.
Sebagai contoh, tiga orang anak Pak Haji Yunus (tokoh Muhammadiyah saat
ini) ---- salah satunya yang bergelar doctor ----- tinggal di RW 06. Besan dari Pak Haji
Yunuspun tingal disana. Begitu pula dengan salah seorang anak Pak Ali yang telah
menikah, memiliki rumah dan bertempat tinggal dengan sela dua rumah saja dari rumah
orang tuanya.
Rukun Warga 06 memanjang kurang lebih 800 meter yang di belah oleh Jalan
Raya Kukusan yang menghubungkan Kelurahan Kalibata di Jakarta Selatan dan Kota
Depok. Terdapat 5 Rukun Tetangga. Setiap Rukun Tetangga biasanya terdiri dari 40-50
rumah tangga atau kepala keluarga. Bangunan fisik berupa rumah mulai terasa padat.
Pembangunan tempat-tempat kost dan rumah-rumah baru terus bermunculan. Namun
suasana kesejukan karena masih banyaknya pohon rindang masih bisa dirasakan.
Batas wilayah RW 06 adalah jalan KH. Ahmad Dahlan yang terus memanjang
hingga bertemu Jalan Palakali Raya dan jalur pipa gas pertamina hingga ke arah Tanah
baru dan pemakaman umum Kukusan.
Rukun Warga 06 sangat kental dengan nuansa muhammadiyahnya. Sebuah

7
organisasi massa islam di Indonesia yang berdiri pada tahun 1912 dan merupakan
organisasi massa terbesar kedua setelah NU. Dapat dikatakan bahwa basis
muhammadiyah di Kelurahan Kukusan --- bahkan juga di Kota Depok --- terletak di
RW 06 ini. Bahkan ketua RW 06, yakni Pak Syamsul (57 tahun) dengan bangganya
mengatakan bahwa seluruh ketua RT di RW 06 adalah kader dan anggota
muhammadiyah.
Hal ini dapat difahami mengingat perintis dan pendiri muhammadiyah di
Kukusan --- juga di Kota Depok ---, yakni Pak Haji Said berasal dari RW 06 ini. Pak
Haji Said kini telah meninggal dunia kurang lebih 2 – 3 tiga tahun yang lalu. Pak Haji
Said tidak hanya menjadi tokoh dan terkenal di tingkat Kelurahan Kukusan, tetapi
beliau juga menjadi tokoh dan perintis muhammadiyah yang dikenal di Kota Depok.
Muridnya tersebar hingga di Kelurahan Rangkapan Jaya, Parungbingung, Meruyung,
Cipayung yang berjarak 10 km dari Kukusan.
Keturunannya masih ada dan tinggal pula di RW 06 yang juga tokoh
muhammadiyah tingkat kelurahan., yakni Pak Haji Ali yang berusia 55 tahun.
Umumnya warga Kukusan mengenal Pak Haji Ali karena beliau adalah putra Pak Haji
Said. Saat ini beliau mengajar di SD Muhammadiyah yang terletak di depan masjid Al
Iman yang merupakan masjid muhammadiyah. Disebut masjid Muhammadiyah karena
pengurus dan imam masjidnya berfaham muhammadiyah. Selain itu papan nama
pengurus muhammadiyah ---- sebagai indicator ---- pemuda muhammadiyah dan
A’isyiyah (kewanitaan muhammadiyah) ranting Kukusan terpampang di depan masjid
ini.
Pengajian yang diselenggarakanpun bercorak muhammadiyah karena kitab
yang digunakan adalah kitab tarjih muhammadiyah. Sebuah kitab yang menjadi rujukan
orang-orang muhammadiyah yang berisi tentang hadits-hadits yang telah ditafsirkan
oleh ulama-ulama muhammadiyah. Pengajian yang diselenggarakan rutin adalah
pengajian kaum bapak pada hari senin malam setelah sholat Maghrib hingga sholat
‘isya. Konon, pengajian ini telah berlangsung lama sejak renovasi masjid pada tahun
1975 hingga sekarang. Jumlah peserta pangajian ini berkisar antara 35 hingga 50 orang.
Selain itu, ada pula pengajian yang diselenggarakan pada hari Minggu pagi
setelah sholat subuh. Pesertanya terdiri dari kaum bapak dan kaum ibu berkisar antara

8
35 hingga 50 orang. Materi pengajian biasanya berupa ceramah umum yang
disampaikan oleh guru-guru yang juga pengurus masjid dan tokoh muhammadiyah
ranting Kukusan.
Selain itu di RW 06 juga terdapat tokoh muhammadiyah yang dituakan dan
menjadi imam masjid Al Iman. Namanya Pak Haji Yunus. Usianya sudah mencapai 68
tahun. Orangnya berpenampilan tenang namun agak dingin dan hati-hati serta tidak
banyak mengobral bicara. Beliau termasuk murid generasi pertama Pak Haji Said sejak
beliau merintis pendirian sekolah dasar di Kukusan. Walaupun hanya mengenyam
pendidikan agama yang tidak terlalu tinggi tetapi belisau sangat dihormati oleh warga
Kukusan dan juga oleh aparat kelurahan.
Salah satu faktor yang turut memperkuat ketokohan beliau --- selain karena
murid Pak Haji Said, Imam Masjid Al Iman, pemahaman keagamaannya dan tetua asli
Kukusan --- adalah karena kepemimpinannya dalam struktur kepengurusan
muhammadiyah ranting Kukusan dan keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya.
Pak Haji Yunus termasuk orang yang paling lama memimpin muhammadiyah ranting
Kukusan yakni selama 35 tahun sejak tahun 1965. Selama itu tidak ada yang
menggantikan beliau memimpin muhammadiyah di Kukusan. Baru pada tahun 2000
posisi Pak HajiYunus diganti. Namun posisinya sebagai imam masjid Al Iman tetap
dipegang oleh beliau.
Selain karena faktor-faktor diatas, faktor yang tidak kalah signifikannya
sebagai tokoh masyarakat dan agama adalah keberhasilan beliau dalam menghantar
anak-anaknya menuju tangga kesuksesan. Salah satu anaknya, yakni anak pertama
beliau berhasil meraih gelar doktor dari luar negeri dalam bidang eksak. Kini, anak
pertamanya bertugas di BPPT dan mengajar pada beberapa universitas di Jakarta. Saat
inipun sedang ditugaskan kembali untuk tugas belajar di Taiwan. Padahal Pak Haji
Yunus hanya seorang guru SD yang membuka warung untuk menambah
penghasilannya dan hanya mengenyam pendidikan sekolah agama yang tidak tinggi.
Jumlah anak beliaupun relatif besar yakni sembilan orang.
Keberhasilan dalam menghantar pendidikan anak-anaknya hingga jenjang
pendidikan tinggi --- apalagi hingga bergelar doktor dan diperoleh dari luar negeri
(Amerika) --- inilah yang merupakan kesuksesan diatas rata-rata bagi ukuran warga

9
Kukusan. Selain itu, kesembilan anaknya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi
dan hanya 2 orang saja yang hanya sampai jenjang D-3, disamping pembawaannya
yang tenang dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Faktor inilah yang membuat
Pak Haji Yunus begitu dihormati dan disegani.
Masjid Al Iman sebagi simbol muhammadiyah di Kukusan memang relatif.
besar. Berukuran 20 x 30 meter dan bertingkat pada sisi selasarnya membuat mesjid ini
tampak asri dan megah. Berbagai kegiatan yang rutin dilaksanakan di masjid ini adalah
pengajian TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) bagi anak-anak usia sekolah dasar setiap
sore sejak Senin hingga Kamis. Pengajian rutin muhammadiyah kaum bapak setiap
Senin malam sejak setelah Sholat Maghrib hingga ‘Isya dan pengajian rutin
muhammadiyah kaum ibu setiap hari Selasa setelah Sholat Dzuhur (jam 13.00) hingga
tiba sholat ‘Ashar.
Pengajian rutin umum untuk kaum bapak dan ibu juga dilaksanakan setiap
Minggu pagi setelah sholat Subuh. Juga kegiatan Sholat Jum’at dan Sholat Tarawih
pada setiap bulan Ramadhan. Untuk kegiatan musyawarah ranting muhammadiyah juga
sering menggunakan masjid ini, sementara pemuda muhammadiyahnya akan menggelar
acara bazaar dan bakti sosial dalam menyemarakkan acara musyawarah ranting tersebut.
Kentalnya nuansa muhammadiyah di RW 06 ini juga tampak pada
penggunaan nama jalan berupa gang-gang umum untuk pejalan kaki dan pengguna
motor. Lebar jalan setaip gang umumnya 1 meter dan menggunakan paving blok,
semacam cetakan-cetakan semen yang mudah disusun dan dipasang satu sama lain.
Seluruh nama jalan/gang di RW 06 menggunakan nama K.H. Ahmad Dahlan mulai dari
Jl. K.H. Ahmad Dahlan Raya, K.H. Ahmad Dahlan I hingga K.H. Ahmad Dahlan VI.
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah pendiri muhammadiyah di Indonesia.
Penggunaan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan ini memang ditujukan untuk
mengabadikan nama pendiri muhammadiyah dan juga untuk menunjukkan bahwa
Kukusan merupakan basis muhammadiyah. Bahkan nama jalan raya Kukusan sedang
diusulkan untuk diganti dengan nama Jalan Raya Haji Said, seorang perintis
muhammadiyah di Kukusan sebagai hasil dari keputusan musyawarah ranting yang baru
saja diadakan.
Selain masjid dan tokoh Pak Haji Said, RW 06 juga terkenal dengan sebutan

10
kampung guru. Banyak tokoh muhammadiyah yang bermukim di RW 06 --- tidak
hanya pak Haji Yunus --- berprofesi sebagai guru dan mengajar di sekolah-sekolah
muhammadiyah seperti SD Muhammadiyah, madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dan
madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), tidak hanya di Kukusan tetapi sudah
menjangkau kelurahan-kelurahan lain di Depok. Merekalah yang sering pula memberi
ceramah agama pada acara-acara keRT-an seperti pengajian, arisan maupun
perkawinan. Tokoh-tokoh tersebut seperti Pak Muhayar, Pak Dedi Suhadi, Pak Haji Ali
dan Pak Syamsul berdomisili di RW 06.
Memang, Kukusan sangat terkenal dengan profesi gurunya sejak tahun 1970-
an. Kader-kader muhammadiyah Kukusan yang menjadi guru telah mengajar di
sekolah-sekolah yang relatif jauh dari Kukusan seperti tugas di Kelurahan Gunung
Sindur yang jaraknya kurang lebih 15 – 20 km. Tugas-tugas ceramah dalam rangka
mengisi hari-hari besar islam maupun pengajian menyebabkan Kukusan sangat terkenal
dengan para penceramah yang berfaham muhammadiyah.
Fasilitas umum yang ada di RW 06 selain SD (sebelum menjadi RW 05 saat
ini) dan masjid Al Iman, juga terdapat Taman Kanak-Kanak Nasyi’atul ‘Aisyiyah,
lapangan bola volly merangkap lapangan bulutangkis dan pos yandu. TK Nasyi’atul
‘Aisyiyah adalah TK yang dikelola oleh ‘Aisyiyah, badan otonomi kewanitaan
muhammadiyah. Sedangkan sarana pos yandu dibangun secara swadaya oleh
masyarakat yang digunakan untuk kegiatan penimbangan bayi setiap bulannya.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh kaum ibu di RW 06. Pos yandu ini relatif besar, dapat
menampung 50 orang sehingga dapat pula digunakan untuk rapat-rapat ke RW-an.

D. Sejarah Muhammadiyah di Kukusan.


Sejarah masuknya muhammadiyah di Kukusan diperkirakan sudah
berlangsung sejak tahun 1938. Awalnya, Pak Haji Said merintis pendirian sekolah
madrasah bersama guru-guru yang lain. Sekolah ini tidak secara eksplisit menunjukkan
identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berfaham dan berafiliasi ke organisasi
muhammadiyah, karena pada saat itu pak Haji Said belum bersentuhan dengan faham
ini.

11
Namun orang-orang di Kukusan sudah memahami bahwa sekolah ini
cenderung berfaham muhammadiyah karena ada salah satu guru yakni Pak Syuaib yang
telah diketahui berfaham muhammadiyah. Selain itu metode pendidikan yang
digunakan menunjukkan ciri khas yang bukan NU --- ormas islam terbesar yang
dianggap berseberangan --- seperti pesanttern dengan metode sorogannya. Sementara
muhammadiyah menggunakan metode madrasah yang menyerupai sekolah umum.
Setelah madrasah ini berjalan, Pak Haji Said memutuskan untuk keluar karena
terlibat perselisihan dengan beberapa orang guru. Hanya tidak dijelaskan perselisihan
apa yang muncul. Selanjutnya Pak Haji Said memutuskan untuk merantau ke Batavia
dan menunutut ilmu agama disana. Dalam perantauan inilah, Pak Haji Said bersentuhan
dengan tokoh-tokoh muhammadiyah dan menuntut ilmu agama darinya.
Pada tahun 1942, Pak Haji Said kembali ke Kukusan dan mengembangkan
ilmu yang didapatnya dengan mengajar di kampung halamannya. Beliau merintis
kembali berdirinya madrasah yang berfaham muhammadiyah dan membentuk pengajian
dari rumah ke rumah. Pengajian dari rumah ke rumah ini terus berkembang sehinggan
menjalar ke kampung-kampung lain. Salah seorang murid yang juga menjadi anak
angkat beliau adalah Pak Haji Yunus, Imam Masjid Al Imam saat ini. Dari pengajian
dari rumah ke rumah inilah faham muhammadiyah mulai tumbuh dan berkembang serta
terus menjalar ke seluruh kampung.
Media penyebarannya tidak hanya melalui pengajian saja. Acara-acara
semacam perkawinan juga menjadi media dalam menyebarkan faham ini. Bila saat itu
acara perkawinan selalu diisi oleh pertunjukkan semacam wayang, lenong, layar tancap,
dangdutan oleh Pak Haji Said diubah dengan menyelipkan acara pengajian dan ceramah
didalamnya. Lama kelamaan acara-acara perkawinan senantiasa diisi dengan
pembacaan Al Qur’an dan ceramah sehingga tradisi yang sudah mendarah daging
berangsur-angsur hilang.
Perubahan terhadap ajaran islam yang berbau syirik sebagaimana dilaksanakan
oleh penganut berfaham NU juga dilakukan oleh Pak Haji Said. Ajaran islam yang
bercampur dengan mengakui adanya kekuatan gaib pada benda seperti pohon, keris dan
cincin dianggap tidak pernah ada tuntunannya. Begitu pula dengan acara pemberian
sesajen, selametan, tahlilan, puji-pujian diberantas habis oleh Pak Haji Said. Pak Haji

12
Said berargumentasi dengan kitab-kitab dan dalil-dalil yang mendukung pendapatnya
sehingga warga Kukusan menjadi paham dan mengikutinya. Beliau sering
membanggakan diri karena berhasil mengalahkan argumen-argumen orang NU dengan
rujukan kitab tarjih muhammadiyahnya.
Acara pengajian dari rumah ke rumah ini berlangsung hingga ke kampung
tetangga seperti kampung Bambon dan kampung Serdang. Beliau juga sering diundang
berceramah dan mengisi pengajian di beberapa tempat seperti Pondok Cina, Depok,
Pancoran Mas hingga ke Parung Bingung dan Cipayung. Ketika diundang untuk
mengisi ceramah inilah, beliau merintis kembali pembentukan pengajian dari rumah ke
rumah di setiap kelurahan yang dikunjunginya.
Terkadang, untuk menuju lokasi pengajian mereka harus berjalan berramai-
ramai di kegelapan malam dengan menggunakan obor, karena pada saat itu aliran listrik
belum ada. Begitu pula bila ada acara hajatan salah seorang anggota muhammadiyah di
kelurahan lain, tidak jarang mereka berangkat dari Kukusan pada sore hari dan
bermalam di lokasi, baru kembali keesokan paginya. Kegiatan ini juga berlangsung
pada saat bulan Ramadhan tiba.
Pak Ali menyatakan :

“….. dulu kita kalau ada pengajian atau hajatan di


kampung lain kita jalan rame-rame. Waktu ada yang
kawinan di Kampung Meruyung kita jalan sore-sore
baru pulang besok paginya. Pas Ramadhan juga kita
keliling sampai ke Rangkapan Jaya, Mampang,
Cipayung dan Parung Bingung. Kita nginap di sana
sampai 10 hari baru pulang ke Kukusan ….”

Tokoh-tokoh muhammadiyah Kukusan juga mengadakan kegiatan tarawih


keliling di kelurahan lain seperti Rangkapan Jaya, Parung Bingung, Cipayung,
meruyung, Pancoran Mas dan Depok. Kegiatan ini dilakukan selama satu minggu atau
lebih. Biasanya, selama tarawih keliling ini, mereka meninggalkan Kukusan dan
menginap di lokasi yang dikunjungi. Belum adanya transportasi yang lancar pada saat
itu, menyebabkan mereka tidak dapat pulang ke Kukusan setiap hari selama kegiatan
tarawih keliling ini.
Di setiap kelurahan yang dikunjungi ini, Pak Haji Said mulai mendirikan

13
ranting-ranting muhammadiyah. Dewan Pimpinan Ranting adalah struktur
kepengurusan muhammadiyah di tingkat kelurahan. Di tingkat kecamatan dinamakan
Dewan Pimpinan Cabang. Di tingkat kabupaten dinamakan Dewan Pimpinan Daerah.
Di tingkat propinsi dinamakan Dewan Pimpinan Wilayah hingga Pengurus Pusat
Muhammadiyah di tingkat nasional.
Saat dibentuk, ranting Kukusan berada dibawah Cabang Depok, Kabupaten
Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pendirian ini diikuti dengan pendirian ranting-ranting lain
yang tokoh-tokoh pendirinya berasal dari Kukusan. Pak Haji Said sendiri pernah
menjabat sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang Depok. Pada tahun 1999, sejalan
dengan perubahan status Depok menjadi Kotamadya maka dibentuk pula Dewan
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok, dimana Pak Ali, anak Pak Haji Said
pernah menjabat sebagai sekretaris umum.
Kini, muhammadiyah Kukusan terkonsentrasi di RW 06. Tokoh-tokoh
perintis dan penggerak di awal-awal berdirinya ormas itu masih ada. Pak Haji Yunus,
Pak Haji Ali, Pak Syamsul dan Pak Mu’in adalah tokoh yang menyusun program
kegiatan di musholla-musholla dan masjid-masjid muhammadiyah di Kukusan. Mereka
dipandang sebagai “orang tua” dan “sesepuh” Kukusan, yang tidak hanya dihormati
oleh warga, tetapi juga oleh lurah dan aparat kelurahan. Dari RW 06 inilah ---
khususnya masjid Al Iman --- berbagai program tadi digulirkan dengan segala
dinamikanya.

E. Pemimpin dan Kepemimpinan di Kukusan.


Dinamika masyarakat RW 06, tidak lepas dari peran dan nuansa
muhammadiyah para tokohnya. Tokoh-tokoh seperti Pak Haji Yunus, Pak Haji Ali, Pak
Syamsul (ketua RW) dan Pak Maman (ketua RT 01) adalah kader-kader
muhammadiyah yang sangat berpengaruh di RW tersebut, walaupun masih ada tokoh
muhammadiyah lain yang belum disebutkan disini. Mereka memberikan nuansa
keagamaan --- khususnya faham muhammadiyah --- terhadap berbagai kegiatan di RW

14
06 ini. RT 01, penulis jadikan representasi karena di RT inilah umumnya tokoh-tokoh
diatas berdomisili. Di RT ini pula letak masjid Al Iman dan kegiatan yang relatif aktif
dibandingkan RT-RT lainnya. Umumnya, kegiatan di setiap RT memiliki corak yang
sama sehingga pemilihan RT 01 dapat mewakili RT-RT lainnya.
Kegiatan yang menonjol di RT 01 --- juga di RT yang lain --- adalah kegiatan
pengajian dan arisan. Ada dua jenis pengajian yang diadakan yakni pengajian kaum
bapak dan pengajian kaum ibu. Dua jenis pengajian ini dilaksanakan setiap pekan.
Pengajian kaum bapak dilaksanakan setiap Kamis malam (malam Jum’at), dimulai
pukul 19.00 hingga selesai pukul 22.00. Sedangkan pengajian kaum ibu dilaksanakan
pada hari Sabtu siang, dimulai pukul 13.00 hingga selesai pukul 16.00. Pelaksanaannya
dilakukan secara berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah yang lain. Secara
otomatis setiap rumah akan mendapat giliran dua kali. Giliran pertama untuk kaum
bapak, sedangkan giliran kedua untuk kaum ibu. Bisa juga sebaliknya.
Seluruh warga di RT 01 mengikuti kegiatan ini. Pemimpin acara pada
pengajian ini adalah Pak Maman sebagai ketua RT. Pak Maman harus memimpin
pengajian ini karena kegiatan ini merupakan kegiatan RT. Dialah yang akan membuka,
mengarahkan dan menutup acara, sejak awal hingg akhir. Setiap pekan, bentuk acara
pengajian diisi dengan acara yang telah diformat bervariasi. Bila pada pekan ini
acaranya adalah ceramah umum, maka pekan depannya akan diisi dengan acara
belajar Al Qur’an. Selain untuk tidak menimbulkan kebosanan, masih banyaknya
warga yang belum bisa membaca Al Qur’an turut menjadi pertimbangan diformatnya
acara pengajian seperti ini.
Pemberi ceramah maupun pengajar belajar membaca Al Qur’an ini tidaklah
sulit untuk dicari. Biasanya mereka akan memanggil guru yang di RW mereka sendiri.
Pak Haji Yunus, Pak Haji Ali, Pak Muhayar dan Pak Syamsul adalah orang-orang yang
punya kemampuan dalam bidang ini serta mudah dihubungi dan siap sedia bila diminta.
Secara bergiliran mereka memberi materi pada pengajian ini. Mereka juga turut serta
dalam acara pengajian RT ini.
Bapak-bapak datang secara bergelombang, kemudian duduk bersila secara
melingkar, memenuhi ruang tamu dan ruang teras. Biasanya acara akan dimulai dengan
pembukaan oleh tuan rumah dan Pak RT. Setelah pembukaan dilanjutkan dengan

15
pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh salah seorang warga. Sesaat kemudian, inti acara
berupa ceramah agama dilaksanakan. Tenggat waktunya sekitar 30 menit hingga 45
menit. Tokoh yang paling sering memberi ceramahnya adalah Pak Haji Yunus.
Ia memberi materi berupa tafsir qur’an, fiqih (hukum) Islam dan ceramah
umum. Terkadang beliau juga menyesuaikan dengan konteks yang sedang dihadapi
masyarakat seperti saat pemilu, narkoba dan lain-lain. Setelah acara ceramah selesai,
Pak RT akan menginformasikan beberapa pengumuman yang dipandang perlu.
Informasi yang disampaikan bisa berupa pengumuman dari kelurahan, RW maupun
RT.
Sebagai contoh, informasi tentang pemutihan IMB (Izin Mendirikan
Bangunan) yang harus dilakukan oleh warga baru-baru ini. Peraturan tentang pemutihan
IMB ini merupakan Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemda. Setiap warga yang
memiliki bangunan harus memiliki IMB sebagai sertifikat resmi. Pak Maman
menyampaikan informasi tentang pemutihan IMB kepada warga lewat acara pengajian
ini. Ia mengungkapkan, sangat efektif dan efisien untuk menyampaikan segala
pengumuman RT, RW maupun Kelurahan pada acara pengajian. Dipandang efisien,
karena tidak harus mengeluarkan surat edaran kepada setiap warga dan tidak perlu
mengadakan rapat berulang-ulang. Efektif, karena seluruh warga langsung mengetahui
setiap pengumuman yang disampaikan oleh Pak RT.
Pengajian ini awal mulanya adalah pengajian yang diadakan muhammadiyah
dari rumah ke rumah dan dilaksanakan tanpa batasan teritorial. Ia melibatkan warga
kampung tetangga seperti Serdang dan Bambon. Pengertian pengajian muhammadiyah
adalah pengajian yang dilaksanakan oleh ormas muhammadiyah, bercorak
muhammadiyah dan pengisi materinya juga tokoh-tokoh muhammadiyah pula. Setelah
adanya teritorial RT dan RW di Kukusan, pengajian ini dilanjutkan dan diadopsi
menjadi pengajian RT. Diperkirakan sekitar tahun 80-an. Sekalipun sudah relatif lama
usianya, pengajian itu hingga kini masih bertahan. Bahkan selalu melibatkan warga
baru yang mengontrak atau kost di RW tersebut.
Setelah acara pengajian dan pengumuman-pengumuman selesai dilaksanakan,
pertemuan itu dilanjutkan dengan acara arisan. Acara pengajian dan arisan ini dilakukan
dalam satu waktu yang berurutan. Dengan kata lain, acara yang diadakan tidak hanya

16
pengajian tetapi juga arisan. Menurut Pak Haji Yunus, model pengajian dan arisan
seperti ini adalah ciri khas pengajian muhammadiyah.
Arisan adalah semacam iuran (pengumpulan) uang dari warga peserta yang
selanjutnya secara bergilir akan diberikan kepada individu yang berhak
mendapatkannya setelah melalui proses undian (pengocokan). Besarnya iuran per
peserta tidaklah sama. Rentangnya antara Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-. Tidak sama
sebagaimana iuran pada umumnya. Besarnya iuran tergantung pada kemampuan dan
kebutuhan peserta.
Pengundian nama-nama orang yang berhak mendapatkan iuran arisan
dilakukan pada pertemuan pembukaan atau pada saat pertemuan pertama
diselenggarakan sehingga tidak perlu diundi lagi pada pertemuan pekan berikutnya.
Misalkan nama-nama yang muncul pada pekan I yakni Pak Haji Yunus, pekan II adalah
Pak Syamsul, pekan III adalah Pak Ali dan begitu seterusnya. Pada pertemuan pekan II,
secara otomatis, Pak Syamsul akan menarik iuran dari warga peserta yang lain. Begitu
setiap pekannya hingga selesai. Setiap pekan satu orang berhak mendapat giliran
menarik iuran arisan ini dan belum tentu selesai dalam waktu satu tahun untuk setiap
periodenya..
Mekanisme pembayarannya juga sangat unik; misalkan pada penarikan
pertama (pekan pertama), Pak Haji Yunus mendapat giliran penarikan. Pak Haji Yunus
akan mendapat bayaran dari para peserta lainnya yang jumlahnya dapat dilihat pada
daftar peserta berikut uangnya. Misalkan Pak Ali membayar Rp. 15.000,-, Pak Syamsul
membayar Rp. 20.000,- dan Pak Maman membayar Rp. 12.000,-kepada Pak Haji
Yunus. Maka pada saat Pak Ali mendapat kesempatan penarikan berikutnya, Pak Haji
Yunus harus membayar sejumlah uang yang sama besar ketika Pak Ali sebesar Rp.
15.000,-. Bila tiba pada giliran Pak Syamsul yang mendapat giliran penarikan maka Pak
Haji Yunus harus membayar sejumlah Rp. 20.000,-. Begitu seterusnya sehingga dalam
setiap penarikan jumlah uang yang dibayar tidaklah selalu sama, berubah-ubah dan
sesuai dengan kemampuan pembayaran setiap peserta.
Uniknnya, acara pengajian dan arisan ini tidak hanya diikuti oleh warga yang
beragama Islam dan beraliran Muhammadiyah, tetapi juga diikuti oleh warga yang
berfaham lain, bahkan berbeda agama seperti Kristen. Di RT 01 ada dua kepala

17
keluarga yang beragama Kristen. Satu KK terdiri dari suami dan istri yang beragama
Kristen, sedang satu KK lagi hanya suaminya saja yang beragama Kristen, sementara
isterinya tetap beragama Islam. Pasangan suami isteri yang kedua ini awalnya beragama
Islam. Namun, suaminya kembali ke agama semula. Isterinya tidak mau mengikuti
agama suaminya. Ia lebih baik memilih cerai dari pada berpindah agama dari Islam
menjadi Kristen. Menghadapi sikap keras isterinya, suaminya memilih untuk tetap
beragama Kristen tetapi tidak cerai dan membiarkan isterinya tetap beragama Islam.
Kedua kepala keluarga ini, walaupun berbeda agama, turut serta dalam
pengajian dan arisan ini. Namun, bila secara kebetulan tempat acaranya dilaksanakan di
kediaman kedua kepala keluarga ini maka acara pengajiannya ditiadakan. Hanya acara
arisan saja yang dilaksanakan, agar toleransi terhadap yang berbeda agama tetap
terjalin. Walaupun pihak tuan rumah yang beragama kristen tidak keberatan untuk
dilaksanakan pengajian dirumahnya, tetapi warga menghendaki acara arisan saja, demi
toleransi.
Lain lagi bila acara pengajian dan arisan kaum ibu ini dilaksanakan di
kediaman kepala keluarga yang isterinya tetap beragama Islam maka acara pengajian
tetap dilaksanakan. Sang suami hanya memaklumi dan dapat bertoleransi. Gambaran
mengenai sikap toleransi ini digambarkan oleh Pak Haji Yunus :

“….disini acara pengajiannya diterusin sama acara arisan.


Tujuannya untuk saling mengikat sesama warga. Model
pengajian muhammadiyah memang begitu, pengajian
langsung arisan, bergilir dari rumah ke rumah. Tapi yang
ikut nggak cuma orang Islam. Itu orang kristennya juga
ikut. Tapi pas giliran di rumah dia kita nggak ngadain
pengajian, cuma arisan aja. Walaupun dia ngijinin. Tapi
kita toleransi sama dia. Ada dua KK disini yang Kristen.
Kita ngadaian pengajiannya sekalian sama arisan.
Arisannya sich hanya untuk mengikat warga aja biar pada
ikut, kumpul-kumpul bareng. Sekaligus tahu kalau ada
pengumuman-pengumuman…”

Untuk membiayai acara arisan dan membayar guru ngajinya, setiap penarikan
dipotong sebesar Rp. 25.000,- dan untuk mengisi uang kas RT, setiap warga dikenakan
iuran sebesar Rp. 500,- per pertemuaannya.

18
Ketokohan Pak Haji Yunus, ---- selain sebagai pemberi materi dan
penceramah agama, baik di RT maupun masjid ---- ia juga dipandang sebagai tempat
meminta pertimbangan dalam beberapa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
RW. Pak Syamsul selaku Ketua RW 06 sering meminta pertimbangan beliau. Beliau
baru menjabat ketua RW selama 2 tahun dan akan berakhir pada tahun 2002 untuk
masa jabatan 3 tahun. Secara usia Pak Syamsul lebih muda dibanding Pak Haji Yunus.
Pengalaman mengajar agamanyapun tidak sedalam Pak Haji Yunus. Ketokohan, dan
kedekatannya dengan tokoh Pak Haji Said, tingkatannya masih berada di bawah Pak
Haji Yunus. Walaupun Pak Syamsul adalah seorang staf di kelurahan dan juga
mengajar di Madrasah Tsanawiyah, tetapi ia sangat hormat dengan Pak Haji Yunus,
untuk masalah-masalah RW sekalipun.
Pada saat menyambut dan mengisi kegiatan 17-an bulan Agustus kemarin,
Pak Syamsul mengundang Pak Haji Yunus ke rumahnya. Mereka membicarakan
kegiatan apa yang cocok dan akan digulirkan bagi warga di RW 06. Pak Syamsul
meminta pertimbangan Pak Haji Yunus agar tidak menimbulkan pro-kontra di
kemudian hari. Pembicaraan ini dilakukan secara pribadi, empat mata. Pak Haji Yunus
memberi saran agar kegiatan yang dilaksanakan itu sesuai karakter warga RW 06 yang
agamis, basis muhammadiyah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Akhirnya disepakati bentuk acara yang diadakan hanyalah perlombaan. Di
tingkat RT perlombaan yang diadakan seperti sepakbola mini, catur, tenis meja dan
menangkap ikan tanpa alat. Di tingkat RW perlombaan yang diadakan sangat kental
nuansa keagamaannya seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), cerdas cermat dan
menyusun kalimat Al Qur’an. Ada juga acara hiburannya, tetapi hanya acara lomba
balap karung. Tidak ada acara hiburan semacam panggung, band atau dangdut.
Pertimbangan untuk meminta saran dan pendapat kepada Pak Haji Yunus
didasarkan pada pengalaman tahun sebelumnya. Pak Syamsul pernah mengadakan
pertunjukkan musik dangdut dalam rangka memperingati 17 agustus di RW-nya.
Pertunjukkan ini ditujukan untuk mengakomodir aspirasi warga yang menyukai musik
dangdut. Namun, setelah pertunjukkan itu berlangsung timbul pro-kontra dan kasak-
kusuk di tingkat warga. Pak Haji Yunus termasuk pihak yang kontra dengan
pertunjukkan dangdut. Beliau langsung menasehati dan mengingatkan Pak Syamsul

19
untuk tidak mengadakannya lagi. Alasannya, karena masyarakat RW 06 adalah
masyarakat yang agami dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Berdasarkan pengalaman itulah, Pak Syamsul agak hati-hati untuk mengambil
keputusan yang diperkirakan akan menimbulkan pro kontra. Beliau akan
mengkonsultasikan terlebih dahulu, khususnya kepada Pak Haji Yunus. Pak Syamsul
mengungkapkan tentang pengalamannya :

“… dulu saya pernak ngadain dangdut waktu nyambut


tujuh belasan. Saya pikir khan banyak orang yang suka
musik dangdut. Tapi muncul protes. Ada yang setuju, ada
yang nggak. Pak Haji Yunus termasuk yang tidak setuju.
Malahan dia langsung dan bilang ke saya, jangankan
ngadain musik dangdut, ngasih tahu dimana ada musik
dangdut itu juga haram…”

Protes keras dari Pak Haji Yunus inilah yang menyebabkan Pak Syamsul meminta
pertimbangan Pak Haji Yunus pada peringatan kemarin.
Pada saat menjelang pelaksanaaan pemilu di masa reformasi tahun 1999 yang
lalu, ketokohan Pak Haji Yunus juga turut mendongkrak perolehan suara Partai Amanat
Nasional sebagai represantasi politik warga muhammadiyah. Perolehan suara PAN
berada di peringkat teratas di RW 06, juga di Kukusan. Partai Golkar yang selalu
unggul pada pemilu di masa orde baru terpuruk pada possisi ke-empat. Media pengajian
dan arisan di setiap RT ini dimanfaatkan oleh Pak Haji Yunus dan tokoh-tokoh yang
lain untuk mensosialisasikan PAN sebagai partainya warga muhammadiyah.
Dalam ceramah-ceramahnya Pak Haji Yunus senantiasa menyelipkan pesan
ini. Beliau memang tidak memaksa bahwa warga muhammadiyah harus memilih PAN,
tetapi kesungkanannya warga di RW 06 terhadap kebesaran nama beliau memang turut
mempengaruhi pendongkrakan perolehan suara mutlak PAN. Apalagi pembinaan
melalui pengajian dan arisan ini telah lama dilakukan. Seluruh ketua RT-nyapun
merupakan kader muhammadiyah, sehingga tidak ada kesulitan untuk menyampaikan
pesan politik ini.

Pak Haji Yunus mengungkapkan :

20
“… waktu itu saya sering ngisi ceramah di
pengajian RT. Saya bilang ke warga bahwa PAN itu
bukan partai Islam. Jadi yang diluar Islam juga boleh
milih PAN. Juga bukan partainya orang
muhammadiyah. Tapi yang jadi ketua PAN, ya ketua
muhammadiyah. Bapak–bapak silahkan pilih partai
yang sesuai menurut bapak-bapak…”

Pada era pemilu orde baru, Pak Haji Yunus dan tokoh-tokoh muhammadiyah
lainnya cenderung menjadikan PPP sebagi pilihan politiknya. Begitu pula dengan Pak
Syamsul yang pada era orde baru menjadi juru kampanye Golkar. Sekalipun sebagai
juru kampanye Golkar, pilihan politik beliau tetap PPP. Kesamaan ideologi politik
antara PPP dan muhammadiyah ---- dalam hal ini Islam ---- menyebabkan tokoh-tokoh
muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP.
Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ujang. Ujang (28 tahun) adalah kader
karang taruna dan LKMD pada masa kelurahan kukusan dijabat oleh Pak Hardi (sejarah
beliau diuraikan pada paragrap setelah ini). Pernah menjabat sebagai ketua karang
taruna tingkat RW dan duduk sebagai salah satu ketua seksi karang taruna tingkat
kelurahan Ia juga simpatisan muhammadiyah yang menjadi pelopor kegiatan remaja di
sebuah musholla dekat rumahnya..Ia warga asli dan lahir di Kukusan. Menamatkan
jenjang SMA-nya pada tahun 1992. Kedua orang tuannya telah meninggal dunia sejak
ia masih kecil. Keramahan dan supelnya pergaulan Ujang, menyebabkan ia akrab
dengan siapa saja, terutama para pemuda dan pengangguran di kelurahannya.
Sedangkan Pak Hardi adalah lurah (dahulu kepala desa) yang menjabat sejak
tahun 1972 hingga 1995. Iapun warga asli Kukusan. Ia juga seorang tokoh dan
sekretaris muhamadiyah ranting kukusan. Tahun 1972, ketika Pak Hardi masih bekerja
di Jakarta, terjadi pemilihan kepala desa di Kukusan. Ia dicalonkan oleh para tokoh
muhammadiyah karena kapasitasnya sebagai sekretaris ranting dan putera asli kukusan.
Dalam pemilihan itu, Pak Hardi berhasil menang dan terpilih sebagai kepala desa.
Kepemimpinan Pak Hardi berlanjut hingga pemilihan-pemilihan berikutnya, Tahun
1983 dan tahun 1990, ketika status kepala desa berubah menjadi kepala kelurahan dan
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Tahun 1995, beliau memasuki masa pensiun.

21
Selama beliau menjadi lurah, banyak pula permasalahan yang muncul dan
mengundang ketidaksukaan warga. Beliau membeli dan memiliki tanah di kukusan
yang relatif luas. Memiliki peternakan sapi sebanyak 40 ekor yang polusi limbahnya
sangat menyengat hidung dan mengganggu warga. Polusi limbah peternakan sapi, yang
berdekatan dengan pabrik tahu milik seorang warga ini pernah di protes oleh warga
Kukusan lainnya. Protes ini menyebabkan pabrik tahu ditutup dan peternakan sapinya
dikurangi serta keharusan membayar kompensasi di lokasi warga yang tercemar polusi
ini.
Pak Hardi juga pernah punya keinginan menguasai lapangan sepak bola yang
merupakan tanah wakaf. Keinginan menguasai lapangan sepak bola ini karena Pak
Hardi beranggapan bahwa lapangan ini bisa menjadi asset kelurahan yang
mendatangkan keuntungan. Apalagi, saat itu Pak Hardi menjabat sebagai lurah yang
mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan bagi kepentingan warga di
kelurahan. Keinginan beliau ditentang oleh warga kebanyakan karena salah seorang
tetua yang turut menandatangani diwakafkannya lapangan sepak bola untuk
kepentingan umum masih hidup hingga kini. Dalam perjanjian itu dinyatakan bahwa
lapangan sepak bola tidak boleh dimiliki atau menjadi asset siapapun.
Berbagai kenyataan di atas menyebabkan beliau kurang disukai oleh warga
kukusan. Salah satunya adalah Ujang. Walaupun ia menjadi anggota karang taruna dan
LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) di kelurahan, tidak suka dan seringkali
berbeda dengan Pak Hardi, tetapi disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Setiap kali
menjelang pemilu, kelurahan selalu mengadakan briefing dan pelatihan. Ujang dan
teman-temannya sebagai kader dan pengurus karang taruna di kelurahan sering ikut
pelatihan karena sebagai anggota karang taruna. Ia tidak ada menolak atau protes
terhadap program yang diselenggarakan oleh kelurahan itu.
Namun setiap kali pemilu berlangsung, Ujang tidak memilih tanda gambar
pohon beringin. Ia cenderung memilih tanda gambar ka’bah sebagai pilihannya. Alasan-
alasan seperti sentimen agama, kekecewaan terhadap kepemimpinan Pak Hardi dan
keinginan untuk mengimbangi suara golkar agaknya menjadi pertimbangan pilihan
politiknya pada saat pemilu. Faktor inilah yang menyebabkan suara PPP --- walaupun
kalah ---- tetap mendapatkan suara yang relatif signifikan.

22
Faktor itu pula yang menyebabkan tokoh-tokoh muhammadiyah menyalurkan
aspirasi politiknya ke PPP, tidak ke Golkar. Sekalipun lurah mereka berasal dari
muhammadiyah. Apalagi sentimen anti Golkar relatif kuat di Kukusan karena terlalu
besarnya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga dalam menentukan
pilihan politiknya, apalagi menjelang pemilu. Pada umumnya, warga beranggapan
bahwa pegawai negeri adalah pendukung Golkar. Karena pegawai kelurahan termasuk
pegawai negeri maka, secara otomatis mereka di cap sebagai pendukung Golkar.
Pak Maman dan isterinya, selaku Ketua RT 01 pernah mengungkapkan hal ini:

“…. Orang-orang disini mah dulu milihnya nggak ke


Golkar. Kita milihnya ke PPP. Orang Walikota sampai
marah-marah ke sini. Dia khan bantuin kita bikin
lapangan Volley yang bagus. Giliran pas pemilu kita
nggah milih dia (maksudnya Golkar). Orang walikotanya
sampai ngomong, “minta lapangan iya.Pas pemilu
dibantu kagak”…”

Saat pemilu di era reformasi pilihan politik tokoh-tokoh muhammadiyah


kepada PAN ternyata menimbulkan gesekan di tingkat massa, terutama kaum muda.
Ujang sebagai tokoh pemuda di kukusan tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya
akibat dampak yang timbul dari terlibatnya tokoh-tokoh muhammadiyah dalam arena
politik praktis. Menjelang pemilu 1999, kampanye gencar dilakukan. Tidak luput pula
musholla Al Ikhsan tempat Ujang menggerakan kegiatannya. Pak Haji Yunus turut
memperkenalkan PAN pada acara pengajian pemuda di musholla Al Ikhsan.
Sikap ini membuat ketidaksukaan para pemuda. Ada anggapan bahwa secara
tidak langsung Pak Haji Yunus telah membawa wilayah politik ke tempat-tempat
ibadah. Menurut para pemuda, politik tidak layak dibawa-bawa ke tempat ibadah dan
hanya mencari kesempatan saja bila acara pengajian digunakan untuk memperkenalkan
partai.
Menurut mereka partai hanya menyebabkan perpecahan. Akibatnya, muncul
reaksi dari ketidaksukaan itu. Para pemuda enggan lagi menghadiri pengajian-pengajian
dan pertemuan yang diadakan oleh muhammadiyah di musholla Al Ikhsan. Ujang
sangat kecewa karena untuk membina para pemuda itu ia memerlukan waktu lima
tahun. Sejak para pemuda itu masih berusia belasan tahun ketika masih duduk di

23
bangku SMP.
Sebelum adanya perselisihan diatas, Ujang juga pernah mengalami
kekecewaan dengan salah seorang tokoh muhammadiyah yang lain yakni Pak Haji Ali,
anak Pak Haji Said. Awalnya. Ketika orang tua Ujang wafat dan meninggalkan tanah
wakaf, orang tua Ujang memberikan tanah wakaf itu untuk pembangunan sekolah, yang
kini menjadi bangunan Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah, setingkat SMP.
Dalam pemberian tanah wakaf itu, orang tua Ujang yang juga simpatisan
muhammaadiyah membuat semacam perjanjian bahwa seluruh anak dari orang tua
Ujang boleh bersekolah disitu dan tidak dipungut biaya. Perjanjian ini juga disaksikan
oleh Pak Haji Yunus.
Pada kenyataannya perjanjian itu dilanggar dan tidak ditepati. Adik Ujang
yang saat itu bersekolah kelas dua MTs hanya menikmati fasilitas bebas biaya sekolah
selama satu tahun. Tahun berikutnya, adik Ujang dikenakan biaya sekolah sebagaiman
umumnya anak sekolah yang lain tanpa dispensasi apapun. Kejadian ini membuat Ujang
sangat kecewa. Sejak itu ia memutuskan untuk tidak hadir pada rapat-rapat dan
pertemuan yang diadakan oleh pemuda muhammadiyah ranting kukusan di masjid Al
Iman. Ujangpun menyesalkan sikap Pak Haji Yunus yang “diam” saja padahal beliau
turut menjadi saksi saat penyerahan tanah wakaf tersebut.
Pak Haji Ali yang saat itu baru merintis pendirian sekolah madrasah
Tsanawiyah menjabat kepala sekolah hingga kini. Lamanya jabatan kepala sekolah
inipun mengundang tanda tanya dan kekecewaan di benak Ujang. Dia melihat tidak ada
kader-kader muhammadiyah yang muncul ke permukaan untuk menjabat kepala
sekolah di MTs. Guru-guru di MTs yang awalnya diisi oleh kader-kader dan anggota-
anggota muhammadiyah di kukusan kini sudah tidak ada lagi. Mereka keluar satu per
satu dari tugas mengajar di MTs karena mengalami kekecewaan. Guru-guru di MTs kini
lebih banyak diisi oleh “orang luar” yang belum tentu muhammadiyah.
Puncak dari kekecewaan Ujang terjadi pada saat pemilu era reformasi tahun
1999 lalu. Kukusan yang menjadi basis muhammadiyah turut menghantarkan PAN
sebagai pemenang pemilu dan mengalahkan golkar yang selalu menjadi pemenang
pemilu pada masa orde baru secara telak. Kemenangan PAN ini berakibat pada
tergusurnya lurah a yang lama dan digantikan oleh yang baru. Sebelumny Lurah yang

24
baru berdinas sebagai staf di Kecamatan Beji dan berasal dari daerah Cariu, Bogor.
Lurah ini dianggap bukan orang kukusan asli, tidak tahu seluk-beluk kukusan dan tidak
didukung oleh kaum mudanya.
Ketika pemilu era reformasi 1999, Pak Ikhsan --- sebagai lurah lama --- sudah
memprediksi bahwa golkar akan mengalami kekalahan seiring dengan suasana euforia
reformasi dan penghujatan kepada golkar hingga ke tingkat grass root. Pak Iksan adalah
lurah yang dianggap sebagai putra kukusan, sebelumnya pernah menjabat lurah Tanah
Baru, sebuah kelurahan tetangga Kukusan. Ketika memimpin kelurahan Tanah Baru,
beliau menorehkan prestasi dengan keberhasilan kelompencapir kelurahannnya juara di
tingkat nasional.
Sejak tahun 1995, Pak Ikhsan menjabat sebagai lurah Kukusan.
Kepemimpinan beliau didukung oleh pemuda baik di karang taruna maupun LKMD
karena selain putera kukusan juga pengalaman organisasi beliau. Bahkan Kelurahan
Tanah Baru yang ditinggalkannya berani membayar beliau untuk menjadi lurah disana
kembali.
Ketika pemilu 1999, Pak Ikhsan berharap, agar kekalahan golkar yang sudah
diprediksi bukanlah kekalahan yang amat telak. Dia dapat memaklumi bila golkar kalah
tetapi dengan jumlah suara yang masih bisa dikendalikan. Tanpa diduga perolehan suara
golkar sangat jauh terpuruk. Pak Ikhsan menganggap bahwa beliau sudah tidak
diinginkan memimpin kukusan lagi. Keterpurukan golkar ini juga dipandang sebagai
kegagalan beliau “menguasai” warganya. Hasil ini menyebabkan beliau digeser dan
diganti oleh pejabat lurah yang baru.
Keterpurukan perolehan suara golkar ini, oleh Ujang dianggap sebagai
permainan orang-orang tua, tokoh-tokoh muhammadiyah yang hanya mementingkan
kelompok dan partainya saja. Mereka tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan
daerahnya. Kekakalahan golkar secara telak ini telah menyebabkan Pak Ikhsan turun
dari kursi lurahnya. Ia meninggalkan Kukusan untuk menetap dikelurahan tetangga
yakni Beji.
Keadaan ini semakin menambah kekecewaan Ujang. Dia menarik diri dari
segala rapat dan kegiatan, baik yang diadakan oleh kelurahan, masjid maupun
muhammadiyah. Dia tidak pernah hadir lagi dan dianggap lurah yang baru tidak tahu

25
seluk beluk kukusan. Pengunduran ini Ujang ini diikuti pula oleh pemuda-pemuda
lainnya karena keaktifan dan ketokohan Ujang sebagai penggerak karang taruna dan
LKMD di kelurahan.
Ujang mendeskripsikan keadaan ini dalam pernyataannya :

“….Puncak kekesalan saya sama orang-orang


muhammadiyah pas pemilu kemarin, tahun 1999. Kita-kita
dukung lurah yang lama, Pak Ikhsan karena dia orang asli
kukusan, jadi tahu tentang kukusan dan kebutuhan
kukusan. Dia juga pernah bikin prestasi di Tanah Baru
waktu kelompok kelompencapirnya juara tingkat nasional.
Orang Tanah Baru aja berani untuk ngebayar dia biar dia
jadi lurah di Tanah Baru lagi. Waktu pemilu kemaren dia
udah ngomong, wanti-wanti sama warga, nggak apa-apa
golkar kalah, tapi kalahnya kalau bisa tipis saja, nggak jauh
beda. Nggak tahunya Golkar kalah telak, gara-gara PAN
yang didukung orang-orang muhammadiyah.
Mereka cuma mikirin kelompoknya, cuma mikirin
muhammadiyah sama PAN-nya aja, cuma mikirin partai
doang. Nggak mikirin buat kemajuan daerahnya. Gara-gara
kalah telak, Pak Ikhsan jadi kabur dari kukusan, pindah ke
Beji. Saya jadi malas lagi ikut-ikut rapat. Nggak lagi saya
ikut-ikut di kelurahan, sama muhammadiyah juga. Di
undang juga saya nggak mau.
Saya udah sering ngomong kalau kukusan pengin
maju, kukusan harus dipmpin sama orang pinter, bukan
sama orang kuat. Pak Iksan itu orangnya pinter organisasi.
Kalau tokoh-tokoh itu cuma kuat pengaruh karena dia orang
tua disini dan pendiri disini tapi khan belum tentu pinter
mimpin Kukusan.
Waktu Pak Ikhsan jadi lurah dia rajin datang kalau
ada acara pengajian, hajatan, kawinan sama kematian. Jadi
dia dikenal sama warga. Kalau lurah yang sekarang mah
nggak pernah datang kalau ada acara-acara kayak gitu. Jadi
dia nggak dekat sama warga. Makanya sekarang acara-
acara karang taruna jadi sepi.
Dulu saya kesal gara-gara adik saya sekolah di MTs
ditarik bayaran. Padahal tanahnya itu wakaf dari orang tua
saya dan perjanjiannya saya dan adik-adik saya gratis.
Padahal ada Pak Haji Yunus, tapi dia diam aja tuh Mungkin
kalau orang tua saya masih hidup, nangis kali…”

Eksistensi muhammadiyah juga dipertahankan bila muncul kekhawatiran

26
masuknya paham baru yang berbeda, sekalipun dilakukan oleh kader mereka. Wisman
adalah seorang pernceramah yang sering mengisi pengajian dan memberikan ceramah
di masjid-masjid. Usianya sekitar 35 tahun dan lulusan sekolah tinggi agama. Ia
tercatat sebagai kader pemuda muhammadiyah. Pengalaman organisasi dan latar
belakang pengetahuan agama yang diperoleh dari sebuah sekolah tinggi agama
menyebabkan dia dipercaya untuk mengisi pengajian di RT-RT dan memberikan
ceramah.
Adanya perbedaan paham di sana masih terasa antara NU dan
muhammadiyah. Muhammadiyah menganut paham tidak adanya acara tahlilan untuk
mendo’akan orang yang sudah meninggal. Lain bagi paham NU. Tidak ada masalah
untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal dengan mengadakan acara acara
tahlilan. Umumnnya warga yang mengadakan acara tahlilan dikategorikan sebagai
warga pendatang.
Suatu ketika Wisman diminta untuk mengisi acara pengajian dan mengikuti
acara tahlilan. Wisman tidak menolak karena menghormati sang tuan rumah. Ia
berpendapat, untuk memperkecil perbedaan yang ada, tidak salah bila mengikuti acara
tersebut. Namun rekasi keras muncul dari para tokoh muhammadiyah bahwa kadernya
mengikuti acara tahlilan yang dianggap tidak ada petunjuknya dalam Islam. Ia ditegur.
Sejak itu, Wisman tidak pernah lagi mengikuti acara tahlilan walaupun masih memberi
pengajian di RT-RT di lain RW.
Hal ini juga dirasakan oleh salah seorang anak tokoh muhammadiyah yakni
Mila. Mila saat ini berusia 25 tahun dan puteri dari Pak Ali. Ia lulusan dari jurusan
Kesejahteraan Sosial FISIP UI. Mila sudah menggunakan jilbab --- penutup kepala
wanita muslim --- sejak kecil. Orang tuanya yang tokoh muhammadiyah telah
mengajarkan untuk menggunakan jilbab ini. Sejak SMA, Mila sudah aktif pada kegiatan
Kerohanian Islam. Ketika masih kuliah di FISIP UI pun dia semakin intens bersentuhan
dengan kegiatan-kegiatan keislaman. Sekalipun orang tuanya sebagai tokoh
muhammadiyah, tidak berarti afiliasi politiknya sama dengan afiliasi politik ayahnya
yakni PAN.
Sebagaimana umumnya mahasiswa yang aktif pada kegiatan kerohanian islam,
Mila berafiliasi ke salah satu partai yakni Partai Keadilan. Perbedaan politik ini

27
menyebabkan Mila tidak berani secara terang-terangan menunjukkan afiliasi politik di
depan ayahnya. Berbagai kegiatan Partai Keadilan yang diadakan di Masjid Al Iman
dan beberapa tempat di Kelurahan Kukusan lainnya tidak pernah diikuti oleh Mila. Dia
mengakui, ayahnya akan marah bila tahu ia pendukung Partai Keadilan.
Begitu pula saat seorang temannya datang untuk memberitahukan tentang
kegiatan Partai Keadilan di Masjid Al Iman. Teman Mila datang kerumahnya dan
secara tidak sengaja memberitahu kegiatan tersebut. Suara yang terlalu keras
menyebabkan Mila harus memberi isyarat kepada temannya agar bersuara pelan karena
ayahnya ada didalam rumahnya. Seorang temannya pernah mengungkapkan keadaan ini
:

“…. Dulu waktu-waktu kampanye saya datang ke rumah


Mila. Saya langsung ngomong ke dia “la, elu nggak datang
ke masjid. Di Masjid khan anak-anak --- Partai Keadilan
--- ngadain periksa kesehatan gratis sama bazar. Dia
langsung ngasih isyarat seraya berbisik “ssst, jangan keras-
keras. Di dalam ada bapakku tuh …”

Pada kenyataannya Mila memang tidak pernah mengikuti dan menghadiri


kegiatan-kegiatan Partai Keadilan yang saat itu tumbuh subur di kelurahannya.
Banyaknya mahasiswa yang kost mewarnai tumbuhnya partai ini. Kegiatan-kegiatannya
relatif marak dan memberi manfaat bagi warga sekitar. Selain untuk menyediakan
kegiatan riil, acara yang diselenggarakan partai keadilan memang ditujukan untuk
memperkenalkan partai ini di masyarakat.

F. Implikasi Teori
Dalam konteks Kukusan, terjadinya proses perubahan sosio politik ditingkat
makro ternyata turut mengimbas pada masyarakat di tingkat mikro. Munculnya partai-
partai baru sebagai dampak euphoria politik akibat runtuhnya rezim orde baru oleh
gerakamn mahasiswa tahun 1998 memang disambut antusias oleh masyarakat di tingkat
grass root. Apalagi, pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama sejak orde baru
berkuasa yang pelaksanaannya sangat demokratis.
Muhammadiyah yang merupakan gerakan sosial keagamaan terrepresentasi

28
dalam Partai Amanat Nasional sebagai pilihan politiknya. Elit-elit informal Kukusan
yang merupakan tokoh agama dan juga tokoh muhammadiyah memainkan perannya
dalam mendongkrak perolehan suara PAN. Ketokohan dan kekharismatikannya
memiliki pengaruh kuat dalam mengarahkan pilihan politik massa grass root. Pilihan
politik massa grass root di Kukusan bukanlah didasarkan pada pertimbangan rasional,
tetapi lebih pada pertimbangan emosional sebagai pengikut satu gerakan keagamaan.
Permasalahan akan munculnya perpecahan sebagai akibat pilihan yang
didasarkan pada pertimbangan emosional ini bukanlah pandangan yang penting untuk
dipikirkan. Sikap oposan yang telah ditunjukkan sejak era orde baru oleh elit-elit
informal inipun diikuti oleh massa pengikutnya. Kecenderungan untuk berlawanan
dengan “partai pemerintah” senantiasa ditunjukkan pada setiap pesta demokrasi.
Semangat ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab telaknya kekalahan “partai
pemerintah” pada pemilu era reformasi.
Kuatnya jaringan yang telah dibangun sekian lama oleh tokoh-tokoh
muhammadiyah turut mempermudah pendongkrakan suara PAN dan memproteksi
masuknya “paham baru” yang akan mempengaruhi eksistensi muhammadyah dan
tokohnya. Jaringan yang dibangun inipun tidak hanya mengandalkan pada jaringan
kader sebagai hasil pembinaan, tetapi juga pada jaringan kekerabatan yang relatif kuat
karena pola pemukiman yang tidak keluar dari kampungnya dan tidak jauh dengan
tempat tinggal orang tuannya. Selain karena pola pemukiman, jaringan juga terbentuk
karena hubungan perkawinan yang sesama satu kampung.
Pengenalan dan sosialisasi partai tidak hanya dilakukan pada saat kampanye
menjelang pemilu. Keefektifan sosialisasi justru terjadi melalui media pengajian dan
arisan yang dihadiri oleh seluruh warga. Faktor ketokohan dan kedekatan hubungannya
dengan warga yang sebagian besar saling kenal menyebabkan sosialisasi partai mudah
dilakukan tanpa kekhawatiran terjadi penentangan. Media ini sangat berperan dalam
sosialisasi yang telah dilakukan sebelum era kampanye dimulai.

G. Kesimpulan

Partai Keadilan adalah salah satu partai peserta pemilu yang bernafaskan islam

29
tetapi memiliki perbedaan dalam tata cara ibadah yang dipraktekkannya sehari-hari.
Tata cara ibadah yang berbeda tampak dalam hal berpakaian. Bagi aktivis Partai
Keadilan penggunaan kaos kaki dalam pakaian sehari-hari menjadi keharusan, tetapi
tidak bagi orang-orang muhammadiyah. Selain itu mekanisme pernikahan dan tata cara
pelaksanaannya sangat asing dan menjadi bahan pergunjingan bagi orang-orang
muhammadiyah.

30

Anda mungkin juga menyukai