Anda di halaman 1dari 14

KOMPETENSI

1. Mengenal berbagai jenis desinfektan dan antiseptik.


2. Mengetahui efektivitas suatu desinfektan dan antiseptik dalam mematikan ataupun
menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
3. Mengetahui kekuatan antibiotik terhadap pertumbuhan mikroorganisme.

II. DASAR TEORI


Antiseptik adalah zat yang biasa digunakan untuk menghambat pertumbuhan dan
membunuh mikroorganisme berbahaya (patogenik) yang terdapat pada permukaan tubuh
luar mahluk hidup. Contoh beberapa antiseptik yaitu: betadine, senyawa kimia baik
organik maupun anorganik banyak yang bersifat racun terhadap mikroorganisme. Usaha
manusia untuk mengatasi mikroorganisme penyebab penyakit banyak menggunakan
bahan kimia. Antibiotik dapat dikatakan sebagai perusak kehidupan atau dapat disebut
juga suatu zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya
(Anonim, 2009).
Desinfektan adalah zat kimia yang mematikan sel vegetatif belum tentu mematikan
bentuk spora mikroorganisme penyebab suatu penyakit. Desinfektan digunakan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada benda-benda mati seperti meja, lantai,
objek glass dan lain-lain. Kelompok utama desinfektan yaitu: fenol, alkohol, aldehid,
halogen, logam berat, detergen, dan kemosterilisator gas. Cara kerja zat-zat kimia dalam
mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme berbeda-beda antara lain
dengan: merusak dinding sel, mengubah permeabilitas sel, mengubah molekul protein
dan asam amino yang dimiliki mikroorganisme, menghambat kerja enzim, menghambat
sintesis asam nukleat dan protein, serta sebagai antimetabolit (Anonim, 2009).
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu: cawan petri, tabung reaksi, kapas
bertangkai, pipet tetes steril, pembakar spiritus, pinset, dan kertas cakram. Bahan yang
digunakan pada praktikum kali ini yaitu: desinfektan (bayclin), antibiotik (tetracycline),
dan antiseptik (betadine).
B. Metode
1. Antibiotik
a. Ambil antibiotik (tetracycline) dengan pipet tetes pada tabung reaksi dan diteteskan di
kertas cakram.
b. Ambil koloni bakteri pada tabung reaksi dengan kapas bertangkai steril lalu dilownkan
ke cawan petri.
c. Ambil antibiotik pada kertas cakram dengan pinset dan letakkan di tengah cawan petri.
d. Diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 37oC.
e. Amati daerah hambatan pertumbuhan kemudian diukur diameter zona hambatnya.
f. Cara mengukurnya yaitu dengan mengukur zona hambat yang terpanjang sebagai d1,
kemudian ukur daerah hambat yang terpendek sebagai d2, kemudian d1 ditambah d2 lalu
dibagi dua (dirata-rata).
g. Kemudian diukur sensitivitas antibiotik tersebut dengan melihat pada table penilaian
diameter zona hambat.
2. Antiseptik
a. Ambil kapas bertangkai dan masukkan pada pepton water kemudian diulaskan pada
punggung tangan.
b. Kapas bertangkai tersebut dilownkan pada salah satu bagian cawan petri yang telah
dibagi menjadi dua.
c. Ulaskan antiseptik (betadine) pada punggung tangan kemudian ulaskan kapas
bertangkai pada punggung tangan tersebut yang sebelumnya telah dimasukkan pada
pepton water.
d. Kapas bertangkai tersebut dilownkan pada setengah bagian yang tersisa kemudian
diinkubasii selama 2 x 24 jam pada suhu 37oC.
e. Bandingkan banyaknya koloni bakteri pada bagian yang diberi antiseptik dengan yang
tidak menggunakan antiseptik.
3. Desinfektan
a. Ambil kapas bertangkai dan masukkan ke pepton water lalu ulaskan kapas tersebut
pada lantai.
b. Kapas bertangkai tersebut dilownkan pada salah satu sisi cawan petri yang telah dibagi
dua.
c. Desinfektan (bayclin) diulaskan ke lantai tadi kemudian dengan kapas yang berbeda
dimasukkan ke pepton water lalu diulaskan lagi ke lantai yang sudah diberi desinfektan.
d. Lalu dilown pada setengah bagian sisi yang lain pada cawan petri kemudian diinkubasi
selama 2 x 24 jam pada suhu 37oC.
e. Bandingkan banyaknya koloni mikroorganisme pada bagian yang diberi desinfektan
dengan bagian yang tidak diberi desinfektan.

Cara kerja skematis uji antibiotik


IV. HASIL PRAKTIIKUM
1. Antibiotik
Antibiotik yang digunakan dalam praktikum pada kelompok kami yaitu tetracycline.
Tetracycline memiliki spectrum yang luas sehingga dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme secara luas. Antibiotik ini dibagi menjadi tiga yaitu: metacyclin,
minicyclin, oksitetracyclin. Tetracycline berasal dari jamur Streptomyces aurefaciens dan
Streptomyces viridifaciens. Tetracycline termasuk sensitif dalam menghambat
pertumbuhan bakteri E.coli. Diameter zona hambat pada bakteri E.coli yang pertama (d1)
yaitu 28 mm dan zona hambat yang kedua (d2) yaitu 27 mm sehingga dihasilkan zona
hambat rata-rata yaitu 27,5 mm.
Tabel sensitivitas antibiotik
Gambar zona hambat pada bakteri E.coli oleh antibiotik tetracycline

Tabel hasil pengukuran diameter zona hambat


KELOMPOK ANTIBIOTIK BAKTERI HASIL DIAMETER (mm)
RIS
1. Tetracycline E.coli - - + 28
2. Eritromycin Bacillus sp. - - + 32,5
3. Tetracycline E.coli - - + 27,5
4. Eritromycin Bacillus sp. - - + 55
5. Streptomycin E.coli - - + 33,5
2. Antiseptik
Pertumbuhan mikroba pada media yang diberi antiseptik (betadine) lebih sedikit
dibandingkan dengan media yang tidak diberi antiseptik (betadine). Betadine efektif
dalam menghambat pertumbuhan mikroba.
3. Desinfektan
Pertumbuhan mikroba pada media yang diberi desinfektan (bayclin) lebih sedikit
dibandingkan dengan media yang tidak diberi desinfektan (bayclin). Bayclin kurang
efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba.

Gambar zona hambat pada mikroba oleh desinfektan bayclin


V. URAIAN PRAKTIKUM
Antibiotik adalah bahan yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau sintetis yang dalam
jumlah kecil mampu menekan menghambat atau membunuh mikroorganisme lainnya.
Antibiotik memiliki spektrum aktivitas antibiosis yang beragam. Antiseptik adalah zat
yang biasa digunakan untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh mikroorganisme
berbahaya (patogenik) yang terdapat pada permukaan tubuh luar mahluk hidup. Secara
umum, antiseptik berbeda dengan obat-obatan maupun disinfektan. Disinfektan yaitu
suatu senyawa kimia yang dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan
benda mati seperti meja, lantai dan pisau bedah sedangkan antiseptik digunakan untuk
menekan pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan tubuh, misalnya kulit. Zat
antiseptik yang umum digunakan diantaranya adalah iodium, hidrogen peroksida dan
asam borak. Kekuatan masing-masing zat antiseptik tersebut berbeda-beda. Ada yang
memiliki kekuatan yang sangat tinggi, ada pula yang bereaksi dengan cepat ketika
membunuh mikroorganisme dan sebaliknya. Sebagai contoh merkuri klorida, zat
antiseptik yang sangat kuat, akan tetapi dapat menyebabkan iritasi bila digunakan pada
bagian tubuh atau jaringan lembut. Perak nitrat memiliki kekuatan membunuh yang lebih
rendah, tetapi aman digunakan pada jaringan yang lembut, seperti mata atau tenggorokan.
Iodium dapat memusnahkan mikroorganisme dalam waktu kurang dari 30 detik.
Antiseptik lain bekerja lebih lambat, tetapi memiliki efek yang cukup lama. Kekuatan
suatu zat antiseptik biasanya dinyatakan sebagai perbandingan antara kekuatan zat
antiseptik tertentu terhadap kekuatan antiseptik dari fenol (pada kondisi dan
mikroorganisme yang sama), atau yang lebih dikenal sebagai koefisien fenol (coefficient
of phenol). Fenol sendiri, pertama kali digunakan sebagai zat antiseptik oleh Joseph
Lister pada proses pembedahan (Dwidjoseputro, 1994). ontoh beberapa antiseptik :
1. Rivanol memiliki zat aktif berupa etakridin laktat yang bersifat bakteriostatik yaitu
menghambat pertumbuhan kuman. Rivanol tidak terlalu menimbulkan iritasi dan sering
digunakan untuk membersihkan luka, baik dipakai untuk mengompres luka maupun
bisul. Rivanol juga sebaiknya dipakai untuk membersihkan luka yang bersih.
2. Povidon Iodin atau betadine bekerja mengeluarkan iodine (bahan aktifnya) yang
berperan dalam membunuh dan menghambat pertumbuhan kuman seperti jamur, bakteri,
virus dan protozoa. Betadine yang digunakan untuk persiapan operasi (membersihkan
areal operasi) berbeda dengan betadine yang dikemas untuk penggunaan sehari-hari.
3. Hidrogen Peroksida kadar 6% digunakan untuk membersihkan luka. Kadar 1-2%
digunakan untuk membersihkan luka yang sering terjadi di rumah, atau klinik-klinik
biasa. Efek sampingnya dapat menimbulkan jaringan parut setelah sembuh dan
memperpanjang masa penyembuhan. Sebaiknya digunakan bersama air yang mengalir
dan sabun, untuk menghindari paparan yang berlebihan pada jaringan manusia.
4. Antiseptik yang mengandung merkuri dahulu dikenal sebagai obat merah
(Merkurokrom) yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Efek
sampingnya cukup sering menimbulkan alergi, tetapi cukup cepat mengeringkan luka
(Gennaro, 1990).
Mekanisme kerja antibiotik antara lain:
1. Antibiotik menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis ensim
atau inaktivasi ensim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering
menyebabkan sel lisis. Antibiotik ini meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin,
vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel
terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel bakteri menentukan
bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan
tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya. Di dalam sel terdapat sitoplasma
ailapisi dengan membran sitoplasma yang merupakan tempat berlangsungnya proses
biokimia sel. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada bakteri gram positif
struktur dinding selnya relatif sederhana dan gram negatif relatif lebih komplek. Dinding
sel bakteri gram positif tersusun atas lapisan peptidoglikan relatif tebal, dikelilingi lapisan
teichoic acid dan pada beberapa spesies mempunyai lapisan polisakarida. Dinding sel
bakteri gram negatif mempunyai lapisan peptidoglikan relatif tipis, dikelilingi lapisan
lipoprotein, lipopolisakarida, fosfolipid dan beberapa protein. Peptidoglikan pada kedua
jenis bakteri merupakan komponen yang menentukan rigiditas pada gram positif dan
berperanan pada integritas gram negatif. Oleh karena itu gangguan pada sintesis
komponen ini dapat menyebabkan sel lisis dan dapat menyebabkan kematian sel.
Antibiotik yang menyebabkan gangguan sintesis lapisan ini aktivitasnya akan lebih nyata
pada bakteri gram positif. Aktivitas penghambatan atau membinasakan hanya dilakukan
selama pertumbuhan sel dan aktivitasnya dapat ditiadakan dengan menaikkan tekanan
osmotik media untuk mencegah pecahnya sel. Bakteri tertentu seperti mikobakteria dan
halobakteria mempunyai peptidoglikan relatif sedikit , sehingga kurang terpengaruh oleh
antibiotik grup ini. Sel selama mensintesis peptidoglikan memerlukan enzim hidrolase
dan sintetase. Untuk menjaga sintesis supaya normal, kegiatan kedua enzim ini harus
seimbang satu sama lain. Biosintesis peptidoglikan berlangsung dalam beberapa stadium
dan antibiotik pengganggu sintesis peptidoglikan aktif pada stadium yang berlainan.
Sikloserin terutama menghambat enzim racemase dan sintetase yang berperan dalam
pembentukan dipeptida. Vankomisin bekerja pada stadium kedua diikuti oleh basitrasin,
ristosetin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin yaitu menghambat transpeptidase.
Perbedaan antara sel mamalia dan bakteri yaitu dinding sel luar bakteri tebal dengan
membran sel menentukan bentuk sel dan memberi ketahanan terhadap tekanan osmotik.
Karena struktur dinding sel mamalia tidak sama dengan dinding sel bakteri, maka
antibiotik yang mempunyai aktivitas mengganggu sintesis dinding sel mempunyai
toksisitas selektif sangat tinggi. Oleh karena itu antibiotik tipe ini merupakan antibiotik
yang sangat berharga (Gupte, 1990).
2. Antibiotik mengganggu membran sel mikroba.
Dinding sel bakteri bagian bawah adalah lapisan membran sel lipoprotein yang dapat
disamakan dengan membran sel pada manusia. Membran ini mempunyai sifat
permeabilitas selektif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari dan ke
dalam sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi waste products. Selain
itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis dinding sel. Oleh
karena itu substansi yang mengganggu fungsinya akan sangat lethal terhadap sel.
Beberapa antibiotik yang dikenal mempunyai mekanisme kerja mengganggu membran
sel yaitu antibiotik peptida (polimiksin, gramisidin, sirkulin, tirosidin, valinomisin) dan
antibiotik polyene (amphoterisin, nistatin, filipin). Membran sel merupakan lapisan
molekul lipoprotein yang dihubungkan dengan ion Mg. Sehingga agen chelating yang
berkompetisi dengan Mg selama pembentukan membran, dapat meningkatkan
permeabilitas sel atau menyebabkan sel lisis. Beberapa antibiotik bersatu dengan
membran dan berfungsi sebagai iondphores.yaitu senyawa yang memberi jalan masuknya
ion abnormal. Proses ini dapat mengganggu biokimia sel, misalnya gramicidin.
Polimiksin dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid
membran sel. Sehingga polimiksin lebih aktip terhadap bakteri gram negatif daripada
gram positif yang mempunyai jumlah fosfor lebih rendah. Antibiotik polyene hanya
bekerja pada fungi tetapi tidak aktif pada bakteri. Dasar selektivitas ini, karena mereka
bekerja berikatan dengan sterol yang ada pada membran fungi dan organisme yang lebih
tinggi lainnya. Secara in vitro polyene dapat menyebabkan hemolisis, karena diduga
membran sel darah merah mengandung sterol sebagai tempat aktivitas antibiotik polyene.
Amfoterisin B juga dapat digunakan untuk infeksi sistemik tetapi sering disertai efek
samping anemia hemolitik. Kerusakan membran sel dapat menyebabkan kebocoran
sehingga komponen-komponen penting di dalam sel seperti protein, asam nukleat,
nukleotida dan lain-lain dapat mengalir keluar. Diduga struktur membran ini ada pada
mamalia, oleh karena itu antibiotik ini mempunyai toksisitas selektif relatif kecil
dibanding antibiotik yang bekerja pada dinding sel bakteri, sehinggadalam penggunaan
sistemik antibiotik ini relatip toksik, untuk mengurangi toksisitasnya dapat digunakan
secara topikal (Gupte, 1990).
3. Antibiotik menghambat sintesis protein dan asam nukleat mikroba.
Sel mikroba dalam memelihara kelangsungan hidupnya perlu mensintesis protein yang
berlangsung di dalam ribosom bekerja sama dengan mRNA dan tRNA, gangguan sintesis
protein akan berakibat sangat fatal dan antimikroba dengan mekanisme kerja seperti ini
mempunyai daya antibakteri sangat kuat. Antibiotik kelompok ini meliputi
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, kloramphenikol, novobiosin, puromisin.
Penghambatan biosintesis protein pada sel prokariot ini bersifat sitostatik, karena mereka
dapat menghentikan pertumbuhan dan pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke media
bebas antibiotik, mereka dapat tumbuh kembali setelah antibiotik berkurang dari sel
kecuali streptomisin yang mempunyai aktivitas bakterisida. Pengaruh zat ini terhadap sel
eukariot diperkirakan sitotoksik. Beberapa penghambat ribosom 80s seperti puromisin
dan sikloheksimid sangat toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak digunakan
untuk terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relatip kecil bila digunakan oleh
orang dewasa. Tetrasiklin menghambat biosintesis protein yang terdapat pada ribosom
80s dan 70s. Erytromisin berikatan dengan ribosom 50s. Streptomisin berikatan dengan
ribosom 30s dan menyebabkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk
protein abnormal dan non fungsional. Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital
bagi perkembangbiakan sel. Untuk pertumbuhannya, kebanyakan sel tergantung pada
sintesis DNA, sedang RNA diperlukan untuk transkripsi dan menentukan informasi
sintesis protein dan enzim. Ada beberapa jenis RNA yaitu t-RNA, r-RNA, m-RNA,
masing-masing mempunyai peranan pada sintesis protein. Begitu pentingnya asam
nukleat bagi sel, maka gangguan sintesis DNA atau RNA dapat memblokir pertumbuhan
sel. Namun antimikroba yang mempunyai mekanisme kegiatan seperti ini pada umumnya
kurang selektif dalam membedakan sel bakteri dan sel mamalia. Antimikroba ini
umumnya bersifat sitotoksik terhadap sel mamalia. Sehingga penggunaan antimikroba
jenis ini harus hati-hati dan selektif yaitu yang sifat sitotoksiknya masih dapat diterima.
Seperti asam nalidiksat dan rifampisin, karena aktivitasnya sangatkuatdalam
menghambatpertumbuhan, maka antimikroba dengan mekanisme seperti ini sering
digunakan sebagai anti-tumor. Antimikroba yang mempengaruhi sintesis asam nukleat
dan protein mempunyai mekanisme kegiatan pada tempat yang berbeda, antara lain:
Antimikroba mempengaruhi replikasi DNA, seperti bleomisin, phleomisin, mitomisin,
edeine, porfiromisin. Antimikroba mempengaruhi transkripsi, seperti aktinomisin,
kromisin, ekonomisin, rifamisin, korisepin, streptolidigin. Antimikroba mempengaruhi
pembentukan aminoacyltRNA, seperti borrelidin. Antimikroba mempengaruhi translasi,
antara lain kloramphenikol, streptomisin, neomisin, kanamisin, karbomisin, crytromisin,
linkomisin, fluidic acid, tetrasiklin. Antimikroba yang mempengaruhi sintesis protein dan
asam nukleat, mayoritas aktif pada bagian translasi dan diantara mereka banyak yang
berguna dalam terapi. Karena mekanisme translasi antara sel bakteri dan sel eukariot
berbeda, maka mungkin mereka memperlihatkan toksisitas selektif (Gupte, 1990).
4. Antibiotik mengganggu metabolisme sel mikroba.
Antibiotik dapat dikatakan sebagai perusak kehidupan, atau dapat disebut juga suatu zat
kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan, dalam
larutan encer, untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya.
Macam-macam antibiotik berdasarkan struktur kimianya:
a. Golongan Aminoglikosida diantaranya adalah amikasin, gentamisin, kanamisin,
neomisin, netilimisin, paromisin, sisomisin, streptomisin, dan tobramisin.
b. Golongan Beta-Laktam diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem,
meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil,
seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin,
amoksisilin). Salah satu contoh dari golongan beta-laktam adalah golongan sefalosporin
dan golongan sefalosporin ini ada hingga generasi ketiga dan seftriakson merupakan
generasi ketiga dari golongan sefalosporin ini. Seftriakson merupakan obat yang
umumnya aktif terhadap kuman gram-positif, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan
sefalosporin generasi pertama. Untuk meningitis obat ini diberikan dua kali sehari
sedangkan untuk infeksi lain umumnya cukup satu kali dalam sehari. Dosis lazim obat ini
ialah 1-2 g/hari IM atau IV dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis. Seftriakson
tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0,25 gr, 0,5 gr, dan 1 gr.
c. Golongan Glikopeptida diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan
dekaplanin.
d. Golongan Poliketida diantaranya makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin,
roksitromisin), ketolida (telitromisin), tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin).
e. Golongan Polimiksin diantaranya polimiksin dan kolistin.
f. Golongan Kuinolon (fluorokuinolon) diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin,
ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin. Golongan ini dapat digunakan
untuk infeksi sistemik. Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti yang banyak terjadi
pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, tetapi dapat terjadi dengan
mekanisme mutasi pada DNA atau membrane sel kuman. Golongan flourokuinolon aktif
sekali terhadap enterobacteriaceae (E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus), Shigella,
Salmonella, Vibrio, C. jejuni, B. catarrhalis, H. influenza, dan N. gonorrhoeae. Golongan
ini juga aktif terhadap Ps. Aeruginosa. Berbagai kuman yang telah resisten terhadap
golongan aminoglikosida dan beta-laktam ternyata masih peka terhadap fluorokuinolon.
Streptokokus (termasuk S. pyogenes grup A, Enterococcus faecalis, dan Streptococcus
viridans) termasuk ke dalam kuman yang kurang peka terhadap fluorokuinolon. Kuman-
kuman anaerob pada umumnya resisten terhadap fluorokuinolon.
g. Golongan kuinolon baru umunya dapat ditoleransi dengan baik. Efek sampingnya yang
terpenting adalah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran
cerna terutama berupa mual dan hilang nafsu makan merupakan efek samping yang
paling sering dijumpai. Efek samping pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan
berupa sakit kepala, vertigo dan insomnia. Efek samping yang lebih berat pada SSP
seperti reaksi psikotik, halusinasi, depresi dan kejang jarang terjadi. Penderita berusia
lanjut, khususnya dengan arteriosklerosis atau epilepsi cenderung mengalami efek
samping susunan saraf ini.
h. Golongan Streptogramin diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan
kinupristin-dalfopristin.
i. Golongan Oksazolidinon diantaranya linezolid dan AZD2563.
j. Golongan Sulfonamida diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.
k. Antibiotika lain yang penting adalah kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat.
Antibiotik dapat pula digolongkan berdasarkan organisme yang dilawan dan jenis infeksi.
Berdasarkan keefektifannya dalam melawan jenis bakteri, dapat dibedakan antibiotik
yang membidik bakteri gram positif atau gram negatif saja, dan antibiotik yang
berspektrum luas, yaitu yang dapat membidik bakteri gram positif dan negatif (Gupte,
1990).
Zona hambat adalah daerah untuk menghambat pertumbuhan mikroorrganisme pada
media agar oleh antibiotik. Contohnya: tetracycline, erytromycin, dan streptomycin.
Tetracycline merupakan antibiotik yang memiliki spektrum yang luas sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri secara luas (Pelczar, 1986).
VI. EVALUASI KERJA
1. Macam-macam desinfektan meliputi bayclin, detergen, karbol, dan alkohol, serta
macam-macam antiseptic betadine, Cristal Violet, tissue basah, hand sanitizer.
2. Betadine efektif menghambat pertumbuhan mikroba, dan bayclin kurang efektif dalam
menghambat pertumbuhan mikroba.
3. Tetracycline mempunyai spektrum luas sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri E.coli dengan diameter zona hambat 27,5 mm dan sangat sensitif terhadap
pertumbuhan bakteri E.coli.
DAFTAR REFERENSI
Anonim. 2009. Kegiatan Belajar 1 Bakteri. http://www.edukasi.net/mo1/mofull.php?
moid=86&fname=kb17. Diakses pada tanggal 14 April 2009.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Gennaro,A.R. 1990. Remington’s Pharmaceutical Sciences. Pennsylvania: Mack
Publishing Company.
Gupte, S. 1990, Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Binarupa Aksara.
Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta : UI Press.

Related Posts by Categories

praktikum mikrobiologi
 Penentuan sifat gram dengan KOH 3% dan perbandingannya dengan pewarnaan
gram
 Bekerja Tanpa Kontaminasi / Dasar Teknik Aspetis
 PRINSIP DASAR TEORI MENGHITUNG MIKROORGANISME PADA
CAWAN (bagian 2)
 PRINSIP DASAR TEORI MENGHITUNG MIKROORGANISME PADA
CAWAN
 PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA YANG TEPAT UNTUK BAKTERI GRAM
POSITIF
 LAPORAN PRAKTIKUM UJI SENSITIFITAS
 LAPORAN PRAKTIKUM BAKTERI TAHAN ASAM
 LAPORAN PRAKTIKUM UJI SEROLOGI
 uji sensitivitas
 laporan praktikum morfologi bakteri dan uji kualitas air
 isolasi
 BAB 3 sterilisasi
 media pertumbuhan
 BAB 1 PENGENALAN ALAT DAN BAHAN

PORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI FARMASI

ASSEI MIKROBIOLOGI

Oleh:
Nama                        : I Gede Dwija Bawa Temaja

Nim                            : 0808505031

Kelompok                 : II

Tanggal Praktikum : 19 April 2010

Asisten                      : I Putu Oka Permana

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2010

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai
efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri (Craig., 1998). Berdasarkan sifatnya antibiotik dibagi
menjadi dua; antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif
terhadap bakteri dan antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja
menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri (Van Saene., 2005).

Berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: pengganggu


metabolisme sel mikroba (sulfonamid, trimetoprin, asam p-aminosalisilat (PAS), dan
Sulfon.), penghambat sintesis dinding mikroba (penisilin, sefalosporin, basitrasin,
vankomisin, dan sikloserin), pengganggu permeabilitas membran sel mikroba
(polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik) penghambat
sintesis protein sel mikroba (golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin,
dan kloramfenikol), penghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba
(rifampisin, dan golongan kuinolon) (Jawetz et.al. 2005).

Uji potensi antibiotika dilakukan dalam dua metode yaitu metode kertas saring (Kirby
and Bauer) dan metode d’Aubert. Metode kertas saring menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dengan menggunakan zat-zat kimia seperti fungisida, bakterisida, dan
insektisida. Dengan perlakuan fisik seperti dengan sinar UV, pemanasan yang tinggi,
serta dengan perlakuan biologi seperti menggunakan mikroorganisme lain sebagai
antagonis. Metode d’Aubert yaitu metode yang digunakan untuk memeriksa kadar
anibiotika dalam bahan makanan sebagai bahan pengawet (Ramona dkk., 2007)
1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam assei mikrobiologi.


2. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi pada antibiotika terhadap
efektifitas kerja antibiotika.
3. Untuk mengetahui antibiotika yang tepat dalam membunuh bakteri.

II. MATERI DAN METODE

Praktikum kali ini dilakukan dengan menggunakan enam jenis antibiotik yaitu
Eritromycin, Amoxicilin, Bactoprim, Tetracyclin, Chloramphenicol, dan Ampicilin.
Dalam metode kertas saring, medium NA tegak dicairkan dalam penangas air dan
didinginkan sampai suhu 400 C. dua buah cawan petri disiapkan dengan bagian bawahnya
dibagi menjadi empat bagian dan diberi label kontrol, 100 ppm, 1.000 ppm, dan 10.000
ppm. Sebanyak 1 ml suspensi bakteri E. coli dimasukkan ke dalam cawan petri dan 1ml
suspensi bakteri Staphylococcus aureus pada cawan petri yang lainnya. Medium NA
dituangkan ke dalam masing-masing cawan petri yang telah berisi suspensi bakteri,
digoyangkan agar merata dan dibiarkan membeku. Cakram kertas saring yang telah
direndam dalam larutan antibiotika diletakkan masing-masing pada permukaan medium
yang telah membeku sesuai dengan konsentrasinya. Diinkubasi pada suhu 30-320C
selama 24 jam. Diamati dan diukur daerah (zona bening) di sekitar kertas cakram.
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pengukuran.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel Pengamatan Bio Assei

No Jenis Antibiotik Konsentrasi


100 ppm 1.000 ppm 10.000 ppm Kontrol
S E S E S E S E
1 Eritromycin 0 1,67 0,83 1,78 0,93 1,82 0 0
2 Amoxicilin 0 0 1,37 0 5,07 1,57 0 0
3 Bactoprim 0 0 1,73 0 2,03 1,33 0 0
4 Tetracyclin 2,1 0 2,87 0 4,27 1,35 0 0
5 Chloramphenicol 1,23 0 1,3 1,56 2,8 2,4 0 0
6 Ampicilin 0 0 2,33 0 4,00 0 0 0

Ket: S = Staphylococcus aureus, E= E. coli

3.2 Pembahasan
Praktikum assei mikrobiologi untuk menentukan keefektifan suatu antibiotik terhadap
mikroorganisme dilakukan dengan menggunakan enam jenis antibiotika yaitu
Eritromycin, Amoxicilin, Bactoprim, Tetracyclin, Chloramphenicol, dan Ampicilin.
Konsentrasi keenam antibiotik ini dibuat berbeda-beda yaitu mulai dari kontrol, 100
ppm,           1.000 ppm, dan 10.000 ppm untuk mengetahui pengaruh kadar antibiotik
terhadap daya kerjanya. Semakin rendah konsentrasi dari antibiotik maka daya
hambatnya akan semakin lemah sehingga zona yang terbentuk akan semakin kecil dan
semakin tinggi konsentrasi antibiotik, maka semakin kuat daya hambatnya sehinnga
semakin besar zona bening yang terbentuk (Dwidjoseputro., 2003). Jenis bakteri yang
diuji dalam praktikum kali ini adalah E. coli (bakteri gram negatif) dan Staphylococcus
aureus (bakteri gram positif).

Uji potensi antibiotik eritromycin menunjukkan hasil tidak adanya zona bening pada
kontrol E.coli maupun Staphylococcus aureus. Sedangkan zona bening dalam konsentrasi
100 ppm, 1.000 ppm, dan 10.000 ppm pada bakteri E.coli berturut-turut adalah seluas    
1,67 cm, 1,78 cm, dan 1,82 cm. Sedangkan pada Staphylococcus aureus berurut-turut
adalah 0 cm, 0,83 cm, dan 0,93 cm. Berdasarkan data yang diperoleh ini, maka dapat
disimpulkan bahwa data pengamatan telah sesuai dengan pustaka yang menyatakan
bahwa semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan semakin besar zona yang
terbentuk (Dwidjoseputro., 2003). Eritromycin bekerja bakteriostatis terhadap terutama
bakteri gram positif. Mekanisme kerjanya yakni melelui pengikatan reversible pada
ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi (Tjay dan Rahardja., 2008). Akan
tetapi dari hasil praktikum yang diperoleh justru menunjukkan bahwa daya hambatnya
lebih luas pada bakteri E. coli yang merupakan bakteri gram negatif. Hal ini
kemungkinan karena telah terjadinya resistensi bakteri Staphylococcus aureus terhadap
eritromycin yang disebabkan pemberian antibiotik ini yang terlalu lama dan sering,
sehingga timbul resistensi             (Tjay dan Rahardja., 2008).

Uji potensi antibiotik amoxicilin menunjukkan hasil tidak adanya zona bening pada
kontrol E.coli maupun Staphylococcus aureus. Hal ini juga terjadi pada konsentrasi 100
ppm dimana pada kedua bakteri tidak terdapat zona bening. Hal ini menunjukkan bahwa
antibiotik amoxicilin cenderung tidak memberikan efek daya hambat pada konsentrasi
yang rendah. Pada konsentrasi 1.000 ppm telah menunjukkan adanya zona bening seluas
1,37 cm pada Staphylococcus aureus sedangkan masih belum memberikan daya hambat
pada E. coli. Pada konsentrasi 10.000 ppm zona bening terdapat pada E.coli maupun
Staphylococcus aureus dengan luas berturut-turut adalah 1,57 cm dan 5,07 cm.
Berdasarkan data ini dapat dikatakan bahwa bakteri E. coli lebih resisten terhadap
aktifitas antibiotik amoxicilin dibandingkan dengan bakteri Staphylococcus aureus
karena memiliki zona hambat yang lebih kecil. Hal ini telah sesuai dengan pustaka yang
menyebutkan bahwa antibiotika amoxicilin secara in vitro aktif melawan sebagian besar
bakteri gram positif termasuk strain yang memproduksi penisilinase dan termasuk
didalamnya Staphylococcus aureus (McEvoy et al., 2002). Amoxicillin merupakan salah
satu turunan penisilin yang bekerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan
cara mencegah penggabungan asam N-asetimuramat yang dibentuk di dalam sel ke
struktur mukopeptide yang biasanya memberikan bentuk kaku pada dinding sel bakteri
(Pelczar dan Chan., 2005). Mekanisme kerja amoxicillin terhadap Staphylococcus aureus
adalah dengan menhambat biosintesis dinding sel, khususnya peptidoglikan (Lim., 1998)
sedangkan pada E. coli jika dikenai obat ini akan membentuk tonjolan-tonjolan pada
dinding selnya sehingga sitoplasma mengalir di dalamnya. Sel akan kehilangan
sitoplasmanya karena lisis (Pelczar dan Chan., 2005). Hasil percobaan ini juga telah
sesuai dengan pustaka yeng menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari
antibiotika maka akan semakin besar zona yang terbentuk   (Dwidjoseputro., 2003).

Uji potensi antibiotika bactoprim menunjukkan negatif terbentuknya zona


bening pada kontrol dan konsentrasi 100 ppm pada kedua bakteri. Pada
konsentrasi 1.000 ppm, terdapat zona bening seluas 1,73 cm pada bakteri
Staphylococcus aureus namun belum ada zona bening pada bakteri E. coli.
Pada konsentrasi 10.000 ppm terdapat zona bening pada kedua bakteri dengan
luas 2,03 cm pada Staphylococcus aureus dan 1,33 pada E. coli. Berdasarkan
pustaka, maka hasil ini telah sesuai karena semakin tinggi konsentrasi, semakin
besar pula zona hambatnya (Dwidjoseputro., 2003). Bactoprim mengandung
Trimethoprim dan Sulfamethoxazole. Mekanisme kerjanya adalah dengan
menghambat sintesis asam folat pada bakteri. Struktur sulfonamida mirip
dengan para-aminobenzoic acid (PABA) dan bersaing dengan zat tersebut
selama sintesis asam folat. Sulfamethoxazole  menghambat masuknya molekul
PABA ke dalam molekul Asam folat dan Trimetropim menghambat terjadinya
reaksi reduksi dari Asam dihidrofolat menjadi Tetrahidrofolat yang secara tidak
langsung mengakibatkan penghambatan enzim pada siklus pembentukan asam
folat (Anonim., 2010). Mikroba yang peka terhadap kombinasi antimikroba ini
ialah termasuk Streptococcus aureus dan E. coli (Anonim., 2010).

Uji potensi antibiotika tetracyclin menunjukkan hasil negatif terbentuknya zona


bening pada kontrol kedua bakteri. Pada konsentrasi 100 ppm terbentuk zona
bening seluas 2,1 cm pada Staphylococcus aureus sedangkan pada E. coli
tidak ada zona bening. Pada konsentrasi 1.000 ppm terdapat zona bening seluas
2,87 cm pada Staphylococcus aureus sedangkan pada E. coli tidak ada zona
bening. Pada konsentrasi 10.000 ppm terdapat zona bening seluas 4,27 pada
Staphylococcus aureus dan 1,35 cm pada E. coli. Berdasarkan hasil ini bisa
bahwa data pengamatan telah sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa
semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan semakin besar zona yang
terbentuk   (Dwidjoseputro., 2003). Selain itu, terlihat juga bahwa bakteri E.
coli lebih resisten terhadap pemberian antibiotik tetracyclin karena diameter
zona hambatnya lebih kecil. Dengan kata lain, tetracyclin lebih efektif untuk
bakteri Staphylococcus aureus. Hasil ini telah sesuai dengan pustaka yang
menyebutkan bahwa tetracyclin adalah salah satu antibiotika yang aktif
melawan bakteri strain Staphylococcus dan bakteri E. coli merupakan salah
satu jenis bakteri yang resisten terhadap antibiotik ini (McEvoy et al., 2002).
Tetracyclin merupakan antibiotik berspektrum luas yang dapat menghambat
sintesis protein. Tetracyclin memasuki mikroorganisme melalui difusi pasif dan
sebagian melalui suatu proses transport aktif yang bergantung pada energi
(Katzung., 2004). Mekanisme kerja dari tetracyclin adalah menghambat sintesis
protein pada mikroba yang rentan  terhadap tetracyclin dengan cara
menghambat ikatan aminoasil tRNA pada ribosom (McEvoy et al., 2002).

Uji potensi antibiotik pada chloramphenicol menunjukkan hasil negatif terbentuknya


zona bening pada kontrol kedua bakteri. Pada konsentrasi 100 ppm terbentuk zona bening
seluas 1,23 cm pada Staphylococcus aureus sedangkan pada E. coli tidak ada zona
bening. Pada konsentrasi 1.000 ppm terdapat zona bening seluas 1,3 cm pada
Staphylococcus aureus sedangkan pada E. coli seluas 1,56 cm. Pada konsentrasi 10.000
ppm terdapat zona bening seluas 2,8 pada Staphylococcus aureus dan 2,4 cm pada E.
coli. Berdasarkan hasil ini bisa bahwa data pengamatan telah sesuai dengan pustaka yang
menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan semakin besar
zona yang terbentuk   (Dwidjoseputro., 2003). Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa
chloramphenicol cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri. Hal ini
telah sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa chloramphenicol merupakan
antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram positif
maupun gram negatif (Katzung., 2004). Mekanisme kerja dari chloramphenicol dalam
melawan bakteri adalah dengan cara menghambat sintesis protein dengan cara berikatan
dengan subunit 50s ribosomal dan berefek pada penghambatan pembentukan ikatan
protein (McEvoy et al., 2002).

Uji potensi antibiotik pada ampicilin menunjukkan hasil negatif terbentuknya zona
bening pada kontrol dan pada konsentrasi 100 ppm dari kedua bakteri. Pada konsentrasi
1.000 ppm terdapat zona bening seluas 2,33 cm pada Staphylococcus aureus sedangkan
pada E. coli tidak terdapat zona bening. Pada konsentrasi 10.000 ppm terdapat zona
bening seluas 4 cm pada Staphylococcus aureus dan tidak ada zona bening  pada E. coli.
Berdasarkan hasil ini bisa bahwa data pengamatan telah sesuai dengan pustaka yang
menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan semakin besar
zona yang terbentuk   (Dwidjoseputro., 2003). Dari hasil ini juga dapat disimpulkan
bahwa antibiotik ampicilin ini tidak efektif terhadap bakteri E. coli karena tidak adanya
zona bening yang terbentuk pada selurug konsentrasi. Hal ini tidak sesuai dengan pustaka
yang menyebutkan bahwa ampicilin merupakan penisilin tahan asam dengan spektrum
kerja yang luas meliputi banyak kuman gram negatif, efektif terhadap E. coli, H.
influenza, Salmonella dan beberapa suku Proteus (Tjay dan Rahardja., 2008). Bakteri
Staphylococcus aureus sebenarnya merupakan salah satu jenis bakteri yang resisten
terhadap antibiotik ampicilin (Mc Evoy et al., 2002). Namun, apabila dibiakkan secara in
vitro maka akan terjadi hal yang sebaliknya yaitu bakteri Staphylococcus aureus menjadi
sedikit rentan terhadap antibiotik ampicilin                       (Mc Evoy et al., 2002).
Perbedaan ini kemungkinan juga disebabkan karena terjadinya resistensi bakteri E. coli
terhadap ampicilin yang disebabkan pemberian antibiotik ini yang terlalu lama dan sering
sehingga timbul resistensi (Tjay dan Rahardja., 2008).

IV. KESIMPULAN
1. Metode yang digunakan dalam assei mikrobiologi adalah metode kertas saring
(Kirby dan Bauer) dan metode d’Aubert.
2. Pengaruh komsentrasi antibiotika terhadap pertumbuhan bakteri adalah semakin
besar konsentrasi dari antibiotika maka kemampuan antibiotika untuk
menghambat atau membunuh bakteri akan semakin besar (efektifitas kerja
antibiotia meningkat).
3. Antibiotik yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri antara lain adalah
Eritromycin, Amoxicilin, Bactoprim, Tetracyclin, Chloramphenicol, dan
Ampicilin.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2010. Kombinasi Antimikroba.

Available at  : http://www.medicastore.com/antibiotika/kombinasi_antimikroba.

Last opened  : 24 April 2010.

Craig, W.A. 1998. Choosing An Antibiotic On The Basis of Pharmacodynamics. Ear


NoseThroat J. New England.

Dwidjoseputro, D. 2003. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta.

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.

Lim, D. 1998. Microbiology 2nd Edition. McGraw Hill. United of States America.

Mc Evoy, G.K., J.L. Miller, J. Shick and E.D. Milikan. 2002. AHFS Drug Information.
American Society of Health: USA.

Pelczar, M., E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas


Indonesia. Jakarta.

Tjay, Tann Hoan., Rahardja, Kirana. 2008. Obat-Obat Penting. Penerbit Elexmedia
Komputindo. Jakarta.

Van Saene, H.K.F, Silvestri L, De la Cal MA. 2005. Infection Control In The Intensive
Care Unit. 2nd ed. Springer. Milan.

Ramona, Y., R. Kawuri, I.B.G. Darmayasa. 2007. Penuntun Praktikum Mikrobiologi


Umum Untuk Program Studi Farmasi F MIPA UNUD. Laboratorium Mikrobiol

Anda mungkin juga menyukai