Anda di halaman 1dari 5

Sengketa Tanah PLTGU Muara Tawar Memanas

Selasa, 11 November 2008 | 21:28 WIB 

JAKARTA,SELASA - Persengketaan tanah seluas 2,8 ha antara PLTGU Muara Tawar Bekasi
dan Milah selaku pemilik tanah semakin memanas semenjak pembayaran ganti rugi justru
diberikan kepada warga yang menumpang di tanah tersebut. Semenjak lebaran Idul Ftri kemarin,
keluarga Milah yang telah menginjak generasi keempat terus berjaga dengan membangun sebuah
tenda dan pembatas di sekeliling tanah tersebut.  

"Sebelum ganti rugi diberikan kepada pemilik sah, maka kami akan terus menjaga tanah ini
selama 24 jam," kata Japih salah seorang cucu Milah di lokasi sengketa, Selasa, (11/11).  

Japih menjelaskan, tanah tersebut masih sengketa sebab pembayaran yang diperantai Lurah
Segera Jaya, Romli justru diserahkan kepada warga yang menumpang di 33 kepala keluarga
yang menumpang di tanah tersebut. Keluarga Milah tidak pernah menjual apalagi menerima
uang dari warga disana. Anehnya PLTGU Muara Tawar merasa telah membeli hanya dengan
bukti Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT) bukan surat akte tanah.  

PLTGU Muara Tawar memang sedang dikejar waktu sebelum 15 November 2008, setelah
sebelumnya diundur beberapa kali untuk membebaskan tanah seluas 6 hektar. Tanah berada tepat
di samping PLTGU tersebut akan digunakan untuk proyek perluasan Switch Yard II yang sudah
dimulai sejak tahun 2007. Namun, hingga kini tanah seluas 2,8 ha itu masih berada dalam status
sengketa dan belum menemui kata sepakat penyelesaian.  

"Beberapa kali aparat dan pihak PLTGU masuk ke tanah kami untuk mengeruk tanah, tapi
keluarga Milah terus bersiaga dan menghalangi sehingga selalu gagal," tambah Japih.  

Berdasarkan pantuan Kompas.com dilapangan, sejak pagi sekitar 50 orang keturunan Milah
berjaga di sekitar lokasi sengketa. Semakin siang jumlahnya terus bertambah. Motor-motor juga
diparkir di sekeliling tanah untuk menghindari alat berat masuk. Bahkan malam hari diadakan
ronda agar pengawasan dan penjagaan dapat dilakukan selama 24 jam.
Sengketa Tanah, SMA Yapenda Aceh Utara
Jadi Korban

ACEH UTARA (KoranDigital.Com) - Sepertinya, berbagai permasalahan kerap


terjadi disejumlah sekolah, khususnya di Kabupaten Aceh Utara dan Kota
Lhokseumawe. Masalah umum terkait sengketa tanah yang diambil kembali oleh
pemiliknya. Namun dampaknya, hal tersebut sangat merugikan anak bangsa yang
sedang menjalani proses pendidikan.

Sebelumnya, permasalahan tentang sengketa tanah pernah berapa kali terjadi di


Kabupaten Aceh Utara. Misalnya, beberapa bulan lalu, sebuah MIN di Gampong
Matang Raya, Kecamatan Baktiya Barat, Aceh Utara, menjadi korban penyegelan yang
dilakukan oleh pemilik dan sejumlah masyarakat setempat, sehingga ratusan siswa/i di
sekolah itu terpaksa belajar di teras depan kelas.

Tak hanya itu, belum lama ini, kejadian yang sama juga ikut terjadi di SDN 2 Puenteut,
Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Sekolah yang juga satu halaman dengan UPTD
Blang Mangat itu menjadi korban penyegelan terhadap pemilik tanah. Alasannya,
pemilik tanah sama sekali tak pernah mengibahkan tanahnya kepada sekolah tersebut.

Nah, untuk pertama kalinya, kali ini terjadi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan
Pendidikan Dewantara (YAPENDA), yang terletak dikawasan Gampong Paloh Lada,
Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Permasalahannya tetap saja sama terkait tanah
yang diambil kembali oleh pemiliknya, sehingga sekolahlah yang menjadi sasarannya.

Ketua Pimpinan Yapenda yang ditemui KoranDigital.Com kemarin di rumahnya,


mengaku pihaknya sangat kecewa dengan masalah ini dan melaporkan hal itu kepada
pihak kepolisian serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Opas Indonesia di
Lhokseumawe. Jamil mengaku, dirinya disurati oleh Bupati Aceh Utara bahwa SMA
Yapenda akan segera dinegerikan, hal tersebut justeru membuat jamil kecewa.

“Kami telah menerima berkas laporan dari Muhammad Jamil T. Umar, S.Sos,
sementara terkait hal tersebut pihak kami akan terus menindaklanjuti permasalahan
ini,” kata Ilyas Syafi’I, Koordinator LSM OI. Sementara, Tgk. Ishak Daud yang mengaku
sebagai Ketua Yayasan Yapenda mengatakan, pihaknya belum dapat menjelaskan
masalah ini, karena masih dianggap tertutup, dan pihaknya berjanji akan memberi tahu
setelah kembali terbuka. (CHAIRUL)
Foto: Ketua Pimpinan Yapenda Muhammad Jamil T. Umar, S.Sos (kiri), memberikan
berkas laporan kepada Koordinator LSM Opas Indonesia Lhokseumawe, Ilyas Syafi'i
(Kanan). (Foto: CHAIRUL)

Wed, 30 Jun 2010 @07:30

Penanganan Kasus Sengketa Tanah Di Trenggalek Minim

Sabtu, 16 Januari 2010

(Berita Daerah - Jawa) - Kasus sengketa tanah antara Perhutani dan rakyat di Jawa Timur cukup
marak, khususnya di Kabupaten Trenggalek.

Perhutani KPH Kediri dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Trenggalek mendata setidaknya
ada 25 kasus sengketa tanah antara Perhutani dan rakyat dalam satu dasawarsa (1999-2009). Dari
jumlah tersebut dua di antaranya sedang dan tuntas proses persidangan.

Pertama, kasus sengketa di Desa Tanggaran, Kecamatan Pule, dengan Perhutani. Kedua,
sengketa antara warga Ngerdani, Kecamatan Dongko, dengan Perhutani.

Di Desa Ngerdani terbit lebih dari 400 sertifikat tanah. Inilah yang membuat Perhutani tidak bisa
menerima, lantaran mereka mengklaim lahan yang disertifikatkan merupakan milik Perhutani.
Sebaliknya, warga menilai itu adalah tanah negara yang sudah turun temurun diolah warga
setempat.

Sengketa Ngerdani menjadi kasus nasional. Pasalnya penerbitan sertifikat oleh BPN Trenggalek
ini setelah ada penetapan dari BPN pusat. Intinya, lahan di Desa Ngerdani merupakan tanah
negara bebas. Hingga akhirnya pada Februari 2002 keluar sebanyak lebih dari 400 sertifikat
tanah.

Tingginya kasus "penyerobotan" tanah milik negara yang dikelola oleh Perhutani di Kabupaten
Trenggalek, Jawa Timur, selama kurun tahun 1999-2009, ternyata tidak berbanding lurus dengan
kasus pidana yang ditangani aparat penegak hukum setempat.

Indikasinya, dari total 2.700 hektare tanah hutan negara yang dinyatakan dalam proses sengketa
oleh Perum Perhutani, hanya dua kasus dengan tiga terdakwa/terpidana yang sampai saat ini
diproses oleh Pengadilan Negeri Trenggalek.

"Selama ini memang hanya dua kasus itu, belum ada kasus baru," kata Humas PN Trenggalek
Iwan hari Winarto.

Pernyataan Humas PN Trenggalek ini sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Kaur Bina
Operasi (KBO) Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Trenggalek, Iptu Khairil.

Dia bilang, pihaknya selama ini baru menangani dua kasus tersebut karena pengaduan terkait
sengketa tanah antara Perhutani dengan warga, selama ini sangat minim.

"Kepolisian tidak bisa serta merta melakukan penyelidikan ataupun penyidikan jika tidak
mendapat laporan dari Perhutani," paparnya.

Dia mengakui, kasus penyerobotan tanah yang masuk kategori hutan negara oleh masyarakat di
Kabupaten Trenggalek cukup tinggi.

Tetapi mengingat data mengenai tanah aset negara tersebut yang mengetahui hanya Perhutani,
polisi tidak bisa berbuat gegabah dengan menindaklanjuti setiap dugaan penyerobotan tanah.

"Kasus semacam ini (penyerobotan lahan hutan oleh rakyat) memang bukan masuk kategori
delik aduan. Tapi jika tidak ada pemberitahuan atau pengaduan langsung dari mereka
(Perhutani), polisi tentu tidak bisa berbuat banyak," ucap mantan KBO Reskrim Polres
Tulungagung ini.

Dua kasus dimaksud masing-masing adalah kasus tanah hutan negara yang diklaim Perhutani
telah serobot warga di Desa Ngerdani, Kecamatan Dongko, serta lahan hutan negara di Desa
Tanggaran, Kecamatan Pule.

Untuk lahan hutan yang dikelola Perhutani di Desa Ngerdani, Kecamatan Dongko, dua terdakwa
atas nama Pairin (Kepala Desa Ngerdani) dan Paimin (Kepala SD di Ngerdani) telah divonis
masing-masing selama 18 bulan dan 12 bulan oleh PN Trenggalek pada tahun 2008.

Sementara untuk kasus sengketa tanah hutan negara dengan luas mencapai ratusan hektare di
Desa Tanggaran dengan terdakwa anggota DPRD Trenggalek periode 2009-2014, Parmono,
sampai saat ini masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.

Pihak PN Trenggalek dalam amar putusannya pada tanggal 4 Mei 2009, memvonis Parmono
delapan bulan penjara (tuntutan JPU 31 bulan).

Tetapi politisi PKS yang dianggap "pahlawan" oleh warga Kampung Baru yang menempati
lahan hutan yang disengketakan tadi, akhirnya justru divonis bebas di tingkat banding
Pengadilan Tinggi Jatim.

Lamban

Lambatnya penanganan proses hukum dalam penanganan kasus-kasus penyerobotan lahan hutan
milik negara di Kabupaten Trenggalek ini sempat dikeluhkan oleh Kepala Perum Perhutani Unit
II Jawa Timur, Miftahudin.

Dia saat menghadiri kegiatan penghijauan/reboisasi di Gunung Klothok, Kota Kediri, beberapa
waktu lalu mengatakan, sedikitnya ada 2.727 hektare lahan Perhutani yang sejak tahun 1999
hingga sekarang telah "diserobot" oleh warga.

Tetapi, dari total lahan lahan yang masih dalam proses sengketa itu, proses hukum yang
ditangani kepolisian maupun kejaksaan cenderung berjalan lamban.

Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Trenggalek, Budi Santoso saat dikonfirmasi mengenai
tudingan yang dilontarkan Kepala Perhutani Unit II Jatim tersebut justru terlihat gusar.

Dia dengan suara emosi balik "menantang" pihak Perhutani untuk menangani kasus-kasus tanah
hutan negara yang masih dalam sengketa.

"Lambat bagaimana? Ngomong sembarangan. Demi menangani kasus itu saya sampai diancam
akan dibunuh, dan mereka (Perhutani) seenaknya ngomong penanganan yang kami lakukan tidak
serius. Kalau bisa, silahkan tangani saja sendiri," kata Budi Santoso dengan nada tinggi.

Sayang, meski dia menegaskan pihak Kejaksaan Negeri Trenggalek akan tetap serius dalam
menangani perkara yang berkaitan dengan Perhutani, Budi Santoso terkesan enggan
mengkonfirmasi jumlah perkara yang selama ini telah mereka proses.

Dia beralasan masih sibuk, sehingga tidak bisa melayani konfirmasi data kasus yang diajukan
oleh wartawan.

(fb/FB/ant-Chandra HN Ichwani)

Anda mungkin juga menyukai