Sejarah Indonesia masa Pergerakan Nasional; Diyah Kumala Sari, M. Pd.; Prof. Dr. Husein
Haikal, M. Pd.
Pendahuluan
Pada tahun 1830 sejarah Jawa masa kolonial benar-benar dimulai. Untuk pertama
kalinya, Belanda berada dalam posisi untuk mengeksploitasi dan mengendalikan seluruh
pulau, dan tidak ada tantangan serius akan dominasi mereka sampai abad kedua puluh.
Selama lebih dari 200 tahun mereka telah terlibat di Jawa, dan lebih dari 150 tahun secara
langsung terlibat sampai pedalaman.1 Max havelaar karangan Douwes Dekker atau Multatuli,
menentang praktek tanam paksa di Lebak. Theodore van Deventer, menuntut penghapusan
tanam paksa di kenal sebagai politik etis atau politik balas budi. Dilaksanakan tahun 1901,
yaitu edukasi, irigasi dan transmigrasi. Kemudian dengan politik etis yang dikembangkan
oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20, maka kemudian muncul golongan terpelajar
dari kalangan bumiputra. Golongan terpelajar inilah yang kemudian memunculkan sebuah
perubahan besar-besaran. Golongan tersebut pada akhirnya menjadi embrio pergerakan
1 MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Mac Millan Press, London, p. 119
nasional. Pergerakan nasonal mencul sebagai dampak dari politik etis yang telah
dikembangkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri. Pada awalnya politik etis
dikembangkan hanya untuk mencari Pegawai dari kalangan bumiputra, tetapi pada akhirnya
itu tidak tercapai, yang ada adalah bagaimana peranan pelajar hasil didikan Belanda berhasil
menggerakan semangat mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal abad 20 dengan mulai di terapkannya politik etis di Hindia Belanda, maka
secara bersamaan rasa nasionalisme itu tumbuh sedikit demi sedikit, dan rasa nasionalisme
tersebut pada akhirnya menimbulkan integrasi bangsa. Nasionalisme di Indonesia mencapai
puncak dan titik klimaksnya setelah perang dunia ke-2. Rasa nasionalisme muncul di
Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fakor, baik dalam dan luar negeri. Adapun faktor-faktor
dalam negeri yang mempengaruhi adalah rasa senasib dan sepenanggungan, adanya tekanan
dan penderitaan yang terus menerus sehingga rakyat harus bangkit melawan penjajah, selain
itu adanya kesadaran mengenai nasib bangsa dan nasional Indonsia.2
Pembahasan
Siapa yang tidak mengenal sosok Tjipto Mangoenkoesoemo seorang tokoh nasional
yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit ternama di ibukota Jakarta.
Tjipto adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional yang kala itu mencoba melepaskan
Tjipto yang di lahirkan di Pecangakan, daerah Ambarawa, pada tahun 1886. Ia anak
tertua dan ayahnya seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar negeri lalu menjadi kepala
sekolah dan pegawai di Dewan Kota (Gemeenteraad) Semarang. Ibu Tjipto adalah puteri
seorang pemilik tanah yang kaya di Mayong, sebuah desa dekat Jepara, diujung pantai utara
Jawa Tengah. Dengan demikian Tjipto adalah seorang yang berasal dari keluarga yang
tergolong terkemuka dalam susunan masyarakat Jawa saat itu. Tjipto memasuki sekolah
dokter bumiputra (kemudian menjadi STOVIA) pada tahun 1899 dan lulus than 1905. Setelah
lulus mula-mula ia bekerja di Banjarmasin lalu pindah ke Demak (1906-1909).4
4 Sudarmanto. Jejak-jejak Pahlawan: Dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf. Jakarta: Grasindo. 1996.
hlm. 101
Dengan melihat berbagai kenyataan pahit yang dialami rakyat keinginannya untuk
membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik semakin berkobar. Tjipto sangat benci dengan
pemerintah Belanda yang sangat membedakan masyarakat dari rasa tau etnik, seperti antara
pribumi dan eropa. Ia kemudian mendirikan Klub Studi R. A. Kartini di Malang, kegiatannya
dimaksudkan sebagai latihan berpikir, bersikap dan bertindak demokratis.
Denga terbentuknya organisasi Budi Utomo disambut baik oleh Tjipto sebagai
kesadaran pribumi akan diri mereka. Pada Oktober 1908 Budi Utomo mengadakan kongres
pertama di Yogyakarta. Sebuah minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo radikal
(1885-1943), juga seorang dokter medis. Dia ingin Budi Utomo menjadi pertain politik yang
bekerja untuk membangkitkan semangat massa daripada hanya priyayi, dengan kegiatan di
seluruh Indonesia bukan terbatas pada Jawa dan Madura.6 Akibatnya terjadi keretakan antara
kaum konservatif dan kaum progresif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini
mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa. Meski diangkat sebagai
pengurus Budi Utomo namun akhirnya Tjipto mengundurkan diri karena ia merasa Budi
Utomo tidak dapat mewakili aspirasinya. Setelah Tjipto keluar tidak ada lagi perdebatan
dalam Budi Utomo, tetapi Budi Utomo telah kehilangan kekuatan progresifnya.
Setelah ia mundur dari Budi Utomo kemudian Tjipto bertemu dengan Douwes Dekker
yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Tjipto mellihat Douwes
Dekker sebagai teman seperjuangan. Kemudian ia bersama Douwes Dekker dan Dr. Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische Partij yang berjuang untuk rakyat
yang tidak memperdulikan rasa tau etnik masyarakat. Menurut Tjipto, Indische Partij
merupakan upaya mulia mewakili semua kepentingan penduduk Hindia, tidak memandang
Pada tahun 1913 keluar surat keputusan untuk membuang “tiga serangkai” (Tjipto,
Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat) ke negri Belanda karena kegiatan propaganda
anti Belanda dalam Komite Bumi Putra. Selama masa pembuangan mereka tetap
melancarkan aksi propaganda anti Belanda. Kehadiran mereka di Belanda membawa
pengaruh yang berarti bagi mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda, terutama organisasi
mahasiswa Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1914 Tjipto dapat kembali pulang
ke tanah Jawa dengan alasan kesehatan, dan sejak saat itu ia bergabung dengan Insulinde,
suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Di dalam Insulinde Tjipto terus aktif
melancarkan propaganda, terutama di daerah pesisir utara Jawa. Propaganda yang dilakukan
Tjipto mengakibatkan bertambahnya jumlah anggota Insulinde.
Pada tahun 1918 terjadi perdebatan besar antara Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang
terkemuka pendukung nasionalisme Hindia, dan milik Raden Mas Soetatmo
Soeriokoesoemo, seorang pemimpin comite untuk Nasionalisme Jawa (Comite voor het
Javaansche Nationalisme), pertama atas pertanyaan Hindia versus nasionalisme Jawa, dan
kemudian atas masalah pengembangan kebudayaan Jawa. Bahasa perdebatan adalah Belanda,
tidak Jawa atau Melayu (Indonesia), dan 1918 saat debat tersebut terjadi adalah ketika
Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan.7 Pangangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan
dua cara. Pertama dengan memilih calon melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan
propinsi. Kedua dengan diangkat secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjipto
memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada
pemerintah mengenai masalah social dan politik. Kembali ke debat diatas, barangkali inilah
debat yang paling dalam pada masa itu antara pemimpin dan cendekiawan Indonesia
mengenai cita-cita dan lingkup nasionalisme yang akan diwujudkan bagi Indonesia pada
7 Takashi Shiraishi, “The Desputes between Tjiopto Mangoenkoesoemo and Soetatmo Soeriokoesoemo:
Satria vs. Pandita”, Journal Indonesia, Vol. 32, Cornell University, Chicago, 1981, p. 93
masa sesudahnya. Dari perdebatan tersebut dapat ditemukan akar-akar pertumbuhan
pemikiran tentang nasionalisme Indonesia yang menemukan kristalisasinya pada permulaan
tahun 1920-an. Dalam perdebatan tersebut Tjipto dan Sutatmo membahas masalah bagaimana
menempatkan makna pergerakan dalam sejarah dan kebudayaan Jawa dan bagaimana hidup
di alam pergerakan, justeru di masa pergerakan sedang bergejolak kembali. Pada tahun 1918
tersebut pergerakan sedang berada pada suatu titik yang menentukan.8
Menurut Sutatmo nasionalisme Jawa harus didukung, karena suatu bangsa dapat dan
di bangun atas landasan bahasa serta kebudayaan. Nasionalisme Jawa mempunyai landasan
kebudayaan, bahasa serta sejarah yang sama dari suku Jawa. Sutatmo mencela gagasan Tjipto
tentang nasionalisme Hindia karena dianggap tidak mempunyai landasan kebudayaan, atau
mungkin merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Tjipto tidak menolak kebudayaan
Jawa tetapi yang tidak dia setujui adalah kebudayaan keratin yang feudal yang kemudian
membagi kelas-kelas masyarakat berdasarkan status social. Hal itulah yang ingin dihilangkan
Tjipto.
Pemikiran mengenai nasionalisme Jawa tersebut mendapat reaksi cukup keras dari
berbagai pihak tidak hanya Tjipto saja, misalnya reaksi dari mahasiswa Stovia asal Sumatera
(minangkabau khususnya) yang pada tahun 1917 mereka mendirikan Jong Sumatranen Bond
(JSB) untuk mempersatukan semua mahasiswa asal Sumatera, menyebarluaskan bahasa-
bahasa Sumatera serta kebudayaannya. Hal tersebut untuk menampilkan sikap kepada semua
anggota sadar sebagi orang Sumatera. Slogan JSB ini adalah: “Hanya Sumatera yang bersatu
dapat menajdi kebesaran Sumatera”.9
Pada tanggal 15 oktober 1920 Tjipto dibuang keluar Jawa karena aksinya dalam
Volksraad. Kemudian ia dibuang lagi ke kepulauan timor. Pada tahun yang sama ia kemudian
di buang ke Bandung dan ia dilarang keluar Bandung. Di Bandung, Tjipto kemudian bertemu
dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Soekarno yang kemudian mendirikan PNI.
Meski dalam PNI Tjipto tidak menjadi anggota resmi namun ia tetap diakui sebagai
penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Bahkan Soekarno sendiri pernah berkata bahwa
Tjipto sendiri sangat berpengaruh dalam memberikan pemikiran politik kepadanya.
Dalam usia tuanya Tjpto tetap melibatkan diri dalam proses perjuangan yang
8 Manuel Kaisiepo, “Sang Pembangkang: Tjipto Mangunkusumo”, Prisma, Vol. 8, LP3ES , Jakarta,1987.
hlm. 92
9 Ibid., hlm. 93
menyebabkan ia di buang ke Banda, jauh sebelum Hatta dan Sjahrir ikut diasingkan oleh
pemerintah kolonial ke pulau itu. Selam tiga belas tahun lamanya ia dan keluarga di asingkan
ke pulau Banda kemudia pada tahun 1940 dia dipindahkan ke Ujungpandang. Banyak
pemimpin nasionalis muda setelahnya yang secara jujur mengakui sumbangan besar, baik
pemikiran maupun aktivitas politik yang dijalankannya dalam proses perjuangan mencapai
Indonesia merdeka.
Daftar Pustaka
Anshory, Nasruddin, dkk. (2008). Rekam Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan
Nasional. Yogyakarta: LKiS
Balfas, M., (1952). Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Demokrat Sejati, Jakarta: Djambatan.
Ricklefs, MC., (1981). A History of Modern Indonesia. London: Mac Millan Press.
Sudarmanto, Y. B, (1996). Jejak-jejak Pahlawan: Dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf,
Jakarta: Grasindo
Takashi Shiraishi (1981), “The Desputes between Tjiopto Mangoenkoesoemo and Soetatmo
Soeriokoesoemo: Satria vs. Pandita”, Journal Indonesia, Vol. 32, Chicago: Cornell
University, 93-108.