Anda di halaman 1dari 5

Kemendagri:

Sebanyak 80% Pemekaran Wilayah Bermasalah

Bandung, 21 Juni 2010 14:34


Kementrian Dalam Negeri mencatat, dari 205 wilayah di Indonesia yang telah dimekarkan, 80 persen
wilayah hasil pemekaran itu bermasalah.

"Sebanyak 80 persen dari 205 wilayah hasil dari pemekaran di Indonesia bermasalah," kata
Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri RI, Sonny Sumarsono, di Gedung Sate
Bandung, Senin (21/6).

Ia mengatakan, kebanyakan permasalahan yang muncul dari pemekaran wilayah di Indonesia adalah
pengalihan aset yang tidak lancar dan sengketa batas wilayah.

"Kebanyakan masalah yang dihadapi dari pemekaran wilayah adalah pengalihan aset seperti di wilayah
Tasikmalaya," katanya.

Oleh karena itu, untuk mengurangi permasalahan pemekaran wilayah, Depdagri akan merevisi
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ujarnya.

"UU No. 32 Tahun 2004 akan kita revisi, rencananya pertengahan tahun ini kami akan berkoordinasi
dengan DPR. Begitu pun dengan PP 78 tahun 2007 sebagai dasar pertimbangan pengembangan daerah
juga akan kita bahas," katanya.

Ia menuturkan, hingga saat ini Depdagri RI menerima 150 usulan pemekaran wilayah dari seluruh
wilayah di Indonesia.

Dari 150 usulan tersebut, kata Sonny, hanya 10 persen saja yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan dan 75 persennya tidak mendapatkan izin atau rekomendasi dari gubernur serta DPRD.

"Untuk bisa melakukan pemekaran wilayah itu harus ada syarat dari gubernur dan DPRD. Nah, selama
ini dari 150 usulan pemekaran wilayah sekitar 75 persennya belum mengantongi rekomendasi dari
gubernur dan DPRD," kata Sonny. [TMA, Ant]
Otonomi daerah di Indonesia
| 26 July 2010 | 08:02

Sejak reformasi di gulirkan dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk kritikan terhadap
pengelolaan pemerintahan pada zaman ordebaru yang dinilai pemerintahan yang sangat sentralistik
yang kesemuanya dikomandoi atau segalah urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat sehingga
daerah atau sub nasional tidak memiliki peranan yang berarti dalam pengolaha pemerintahan. Tak
terkecuali urusan pemerintahan yang bersifat tekhnis dimana jakarta menjadi aktor penentu,
meskipun jauh sebelum adanya otonomi daerah telah ada kritikan tentang pengelolaan pemeritahan
yang seperti itu dengan anggapan bahwa keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dengan apa yang
diharapkan di daerah , Setidaknya dalam hal pengelolaan negara tersebut, substansinya berada pad
rana Horisontal atau yang mana terkait dengan fungsi serta vertikal yaitu struktur penyelanggara
pemerintahan seperti pemerintahan nasional atau pusat, daerah atau sub nasional. Dimana batasan
batasan fungsi atau wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta hubungan
diantaranya dalam mengelolah pemerintahan.

Setidaknya kalau kita melihat kondisi yang terjadi saat ini yang menarik untuk kita simak, fenomena
yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, kita melihat Masyarakat terklasterisasi suku, wilayah
yang dicontohkan oleh wawan mas’udi adanya sub teritorial contoh dapat dilihat pada struktur
Tentara Nasional Indonesia TNI yang kesemuanya tersusun sampai pada tingkatan desa, tingkatan
yang ada di bawah. adanya pemerintah pusat dan daerah provinsi dan kabupaten kota dan bahkan
sampai pada tingkatan yang paling bawah yaitu tingkatan desa.

Penyelenggaraan diharapkan berjalan dengan baik sehingga sangat dimungkinkan terjadinya


pembagian kekuasaan atau kewenangan mengelolah pemerintahan, hal tersebut di setiap negara di
dunia tidak semua memiliki cara yang sama dalam mengelolah pmerintahanya, pembagian kekuasaan
setidaknya yang sering kita dengarkan bahwa ada dua sumber otoritas, yaitu ada pada pemerintah
nasional dan otoritas ada pada pemerintah sub nasional atau masyarakat. Dalam mempersatukan
antara pemerintah pusat dan pemerintah yang ada di daerah memiliki cara yang berbeda meskipun
dengan tujuan yang sama, dalam hal ini setidaknya ada dua bentuk negara yang dihasilkan, yaitu
negara kesatuan dan negara liberal. Yang mana negara kesatuan danlam mempersatukan dengan cara
sepenuhnya otoritas berada pada pemerintah pusat. Sehingga menganggap bahwa negara ini dapat
disatukan dengan cara semua urusan pemerintahan yang ada semua di komandoi oleh pemerintah
pusat, dan hal ini pula yang terjadi di indonesia pada pemerintahan orde lama dibawak kepemimpinan
presiden soeharto, yang sangat terkenal dengan bentuk pemerintahan yang sangat sentralistik atau
terpusat, segala urusan pemerintahan jakarta menjadi tumpuan., sedangkan negara federal kekuatan
atau otoritas hanya berada pada pemerintah negara bagian. Wawan mas’udi mencontohkan hal
tersebut pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di America. Dengan negara liberal dianggap
sebagai cara yang sangat tepat dalam mempersatukan dengan cara pemberian kewenangan penuh
terhadap pemerintahan negara bagian yang ada, dan beranggapan bahwa penyelanggaraan
pemerintahan dengn cara sentralistik yang terpusat justru tidak melahirkan persatuan akan tetapi
peluang melahirkan perpecahan dan konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah, dan
dianggap ancaman terhadap sebuah persatuan.
Hubunga pemerinta pusat dan daerah bukanlah permasalahan yang baru di indonesia akan tetapi
problem masalalu yang hingga saat ini belum terselesaikan, meskipun waktu yang lebih dari cukup
telah terlewati akan tetapi bukan berarti tidak ada usaha sama sekali dalam menangani masalah
tersebut. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerinta walhasil sampai saat ini belum kunjung
terselasaikan, permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah telah banyak undang-
undang yang mengatur sampai saat ini ternyata tidak kunjung terselesaikan juga, pemerintahan yang
sentralistik maupun pemerintahan yang demokratis telah di praktekkan di negri ini yang tentunya
melahirkan berbagai pandangan dan penilaian masing-masing. Seperti adanya anggapan bahwa
Pemerintaha yang sentralistik dinilai mambuat masyarakat menjadi apolitis.

Pada beberapa titik wilayah yang ada di indonesia begitu banyak yang menyuarakan aspirasi
daerahnya, sehingga tuntutan masyarakat tentang pemekaran wilaya yang sangat luar biasa terjadi di
beberapa daerah, atasnama memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudahan administrasi yang hendak
di perjuangkan hingga saat ini adanya upaya pemerintah mengevaluasi beberapa daerah hasi
lepemekaran. Dalam fenomena tersebut bahwa ternyata Hal menarik lainya yang dapat kita saksikan,
sebagai dampak dari otonomi daerah dan terjadinya pemekaran wilayah di berbagai daerah yaitu
pada pembagian wilayah yang ada di indonesia bukanlah pembagian administratif tapi pembagian
klaster poliitik, pada dasarya pemekaran wilayah yang terjadi di berbagai daerah yang ada di
indonesia semangatnya telah berubah denga derajat yang sangat tinggi, diman pada setiap
pemekaran yang ada bukan lagi terletak pada aspek administrasi, tapi pada semangat suku. Dapat
diliha pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di berbagai wilaya di indonesia. Wawan mas’udi
dalam hal ini mencontohkan pemerintahan antara yogyakarta dan Jawatengah. Kalau di sulawesi
tengah dapat diliha pada kasus yang terjadi di kabupaten bungku dan kolonedale kabupaten
morowali.

Jikalau pembagian dengan di dasarkan pada admionistratif, maka dapat dipastikan sangat banyak
daerah yang tidak layak atau tidak memenuhi untuk menjadi suatu daerah yang otonom, kondisi
demikianlah yang terjadi di indonesia saat ini, Dalam pemerkaran wilayah yang ada di indonesia ada
sebenarnya ada unsur politk didalamnya, pemekaran daerah yang ada tidak lagi terletak pada
substansinya, banyaknya tantangan yang di hadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentunya
membutuhkan perhatian pemerintah dalam hal tersebut, bebrapa kabar terdengar pada akhir-akhir
ini bahwa otonomi daerah akan di evaluasi, respon pemerintah tersebut dengan melakukan
pembentukan evaluasi terhadap pelaksanaanya, dan kabar terakhir yang kita dengarkan bahwa tim
tersebut telah terbentuk seperti yang diberitakan pada, (kompas)sabtu 09 januari 2010.

Pemerintahan yang sentralistik dinilai berbenturan dengan karakteristik yang ada di daerah, di
setiap daerah yang ada di indonesi memiliki karakter yang berbeda, baik daris segi potensi wilyah
yang ada di indonesia maupun dari segi kultur yang ada di masyarakat sehingga sangat dimungkingkan
terjadinya perbedaan kebutuhan yang ada di daerah sehingga ada yang beranggapan bahwa
pemerintahan yang ada di daerah seharusnya memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah,
sehinggga dalam pembangunan yang ada karakter daerah tetap dipertahankan, disamping itu
kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah, terlebih
dengan kondisi indonesia yang plural. Disamping itu ada anggapan bahwa bahwa untuk membangun
negara menjadi maju pemerintahan yang sentralistik juga bisa mewujudkanya, wawan mas’udi
memberikan gambaran Di eropa dengan pemerintahan sentralistik juga manjadi negara maju akan
tetapi sangat berbeda dengan kondisi yang ada di indonesia di eropa masyarakatnya homogen, di
indonesia masyarakatnya yang plural sehingga sangat rentang terhadap konflik dan perbedaan, isu
yang mungkin sering kita dengar pada dekade tarakhir ini yaitu isu daerah.

Pemekaran daerah yang marak pada dekade terakhir ini hingga pemekaran di pertanyakan
mengedepankan pelayanan bukankan pemekaran adalah sebuah bentuk pembagian kekuasaan para elit
politik, yang mana pemekaran dapat digambarkan sebagai pembagian kekuasaan dari elit pusat yang
ada di jakarta, kepada elit lokal yang ada di daerah yang mana otonomi daerah tidak lagi pada
substansinya, sehingga desentralisasi yang menjadi pilihan saat ini tidaklah bersifa final bisa saja
akan mengalami perubahan, terlebih dengan yang ada di indonesia setiap rezim memperlakukan pola
yang berbeda beda dalam menjalangkan pemerintahan, Desenralisasi hanyalah sebagai bentuk atau
pola transfer otority kepemerintah sub nasional yang ada di daerah. Disamping itu dalam
implementasi otoritas atau penyelenggaraan pemerintahan perlu ada kontrol yang baik terhadap
proses pelaksanaan pemerintahan.

Terkait dengan otoritas antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi ada fenomena
menarik yang kita liat dimana dengan otonomi daerah yang ada, memberikan otoritas yang besar
berada pada pemerintahan yang ada di kabupaten, sehingga koordinasi antara pemerintah provinsi
dan pemerintah yang ada di kabupaten sering terkandala, dimana pemerintah kabupaten menganggap
bahwa otoritas melekat pada dirinya sangat besar, sehingga enggan tunduk pada pemerintah provinsi
dan bahkan pemerintah yang ada di kabupaten membetuk kekuatan sendiri wawan pada perkuliahan
yang lalu mencontohkan pada kasus pemerintah di merauke.

Kondisi yang terjadi di iondonesia saat ini yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah
sebuah permasalahan yang cukup serius, setidaknya ada beberapa motif yang melatarbelakangi
seperti, keterjangkauan, efisiensi (hal yang strategis) keamanan dan ekonomi. Dalam implementasi
otonomi daerah setidaknya harus memperhatikan persoalan keterjangkauan, terutama dari segi
pelayanan terhadap masyarakat, yang terkait pada persoalan wilayah dan tata letak, persoalan
efisiensi yang terkait dengan persoalan biaya, jarak. Hal tersebut yang harus mendapat perhatian
besar dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping dua hal yang strategis keamanan dan ekonomi
yang juga harus mendapat perhatian. Disamping hal tersebut diatas indonesia juga harus memikirkan
hal yang strategis, terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah
pusat yang memiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik,
pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah
seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus. Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai.

Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan
pemerintahanyang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun dengan cara yang
berbeda sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada
pada saat ini berada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa
watak dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan pemerintahan
yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi daerah.

Demokrasi yang ada di indonesia adalah demokrasi liberal, seperti yang ada di america bukan lagi
demokrasi pancasila sebagai contoh pada pemilihan presiden dan wakil presiden dengan cara one man
one vote masyarakat bisa menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka. Hal ersebut kritikan
terhadap Pemilihan bupati melalui DPR yang di anggap terjadi kolusi dan semuah yang dipilih DPR
sangat mudah dijatuhkan.

Kepercayan masyarakat semakin menurun, Kebaradaan partai politik yang selalu saja terjadi konflik
internal, yang permasalahanya adalah persoalan kekuasaan , contoh yang terjadi pada dua orang
anggota DPR dari partai bulan bintang (PBB) yang menentang kepemimpinan partainya karena yusril
ihza mahendra memanipulasi jalanya muhtamar sehingga mampu menguasai kembali kepemimpinan
partai tersebut. Akibatnya hartono marjono dan abdul kadir jaelani dikeluarkan dari fraksi PBB
tetapi tidak dapat di recall karna UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan kedudukan DPR/MPR tidak
mengenal lembaga recall sebagaiman yang dikenal sebelumnya. Sehingga demikian tidak bisa lagi
diberi kepercayaan dan amanah

Partai politik yang mendudukan perwakilanya di DPR yang tentunya memiliki tujuanya untuk
menyampaikan aspirasi masyarakan kepada pemerintah saat ini tidak lagi menjadi tumpuan
pengharapan dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, ditengah gencarnya perjuangan kelompok dan
pejuangan kepentingan diri sendiri yang di kedepankan, kepercayaan masyarakat terhadapnya
menurun, kepercayaan yang diberikan mewakili rakyat digunakan untuk berkolusi dengan eksekutif,
proses dagang sapi marak teradi. Antara kalangan eksekutif tidak ada lagi kontrol yang baik akan
tetapi aktifitas yang saling menguntungkan diantara keduanya yang marak terjadi, antar eksekutif
dan legislatif, sehingga pembangunan daera yang ada dengan jalan yang salah, kalu kita
memperhatikan kondisi program pembangunan yang ada di daerah, seperti program studi banding
yang marak dilakukan oleh legislatif yang notabene dijadikan untuk ajang untuk santai dan
mendapatkan duit demi kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan rakyat. Program pelatihan yang
dilakukan di berbagai tempat yang ada di daerah yang tidak menghasilkan apa-apa hanya di jadikan
untuk mencari keuntungan.

Kasus tersebut diatas dapat dilihat pada anggota DPRD jawa timur melakukan studi banding keluar
negri yang kemudian di persoalkan oleh masyarakat. Demikian salah satu komisi di DPRD DKI Jakarta
melakukan studi banding ke jepang dan cina yang lebih mengesankan jalan-jalan. Bahkan anggota
DPRD tangerang menyaksikan pertandingan sepakbola dari kota tangerang di makassar dengan
mengguakan fasilitas dari pemerintah daerah.

Pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPR, sehingga muda untuk menjatuhkan, sehingga dapat
dijadikan sebagai alat untuk mejatuhkan kepala daerah yang ada, dengan semena melakukan tekanan
terhadap pemerintah daerah, hal itu dapat dilihat pada seorang gubernur di jawa timur pernah
menyampaikan bahwa anggota DPRD di provinsinya meminta imbalan Rp. 100.000.000, untuk
menerima laporan pertanggung jawaban tahunan dari gubernur yang bersangkutan, untungya
permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh gubernur tersebut.

Hal lain yang dapat juga kita lihat misalnya pada pencalonan kepala daerah, dimana para calon yang
hendak maju sebagai kepala daerah yang ada diperlukan cos politk yang cukup banya untuk mendapat
dukungan dari sebuah partai, jika tidak terpenuhi maka keinginan untuk mencalonkan kepala daerah
akan sirna. Meskipun demikian ada yang mengritisi terahadap pelaksanaan pemilihan secara langsung,
yang mana pada pelaksanaanya harus dilakukan secar bertahap, atau dilakukan uji coba

Anda mungkin juga menyukai