Rate This
PENDAHULUAN
Dua dasawarsa terakhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20 dikenal
sebagai puncak abad imperialisme, yang merupakan masa keemasan bagi bangsa-bangsa
yang bernafsu membentuk kekaisaran seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain yang
merajalela di Asia Afrika, termasuk Belanda di Indonesia yang sudah memulai politik
ekspansinya jauh sebelum itu.
Pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia berhasil dijadikan bangsa yang sangat
lemah dalam segala sektor kehidupan. Penduduk yang berpendidikan jumlahnya sangat
sedikit. Pendidikan hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu. Penduduk
pribumi umumnya tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang layak.
Ada dua ciri khas pendidikan Islam di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.
Pertama, adalah dikotomis yaitu suatu keadaan/sikap saling bertentangan. Kedua,adalah
diskriminatif dimana setiap guru agama Islam harus meminta izin terlebih dahulu
sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama yang pada akhirnya mendapat reaksi
keras dari umat Islam.
PEMBAHASAN
Liberalisme, yang menghendaki bersifat netral dalam hal agama, sehingga pendidikan
agama tidak diberikan di sekolah.
Sejak 1816 persekolahan lebih ditujukan pada pendidikan untuk orang-orang Belanda
saja, sama sekali tidak menyinggung tentang pendidikan untuk bumiputra. Pada tahun
1848 ditetapkan untuk pendidikan orang-orang Indonesia, tapi mengutamakan anak-anak
pegawai. Baru pada tahun 1863 diputuskan untuk melaksanakan pendidikan untuk semua
anak-anak bumiputra, orang pertama yang menjadi inspektur urusan pendidikan
bumiputra adalah J.A. van der Chijs.
Sistem persekolahan zaman Belanda abad ke-20, terdiri atas tiga jenjang pendidikan ,
yaitu: Pendidikan Rendah; Pendidikan Lanjutan; dan Pendidikan Tingi. Sedangkan
Pendidikan Rendah terdiri atas: Sekolah Eropa, yang bahasa pengantarnya bahasa
Belanda, dan Sekolah Bumiputera, yang bahasa pengantarnya bahasa Melayu atau
Daerah.
Di mata umat Islam, pemerintah penjajah sering dituduh sebagai pemerintahan Kristen,
sementara pelbagai kebijakan pemerintah lebih difokuskan untuk kepentingan mereka
sendiri. Semua itu ikut memperdalam jurang pemisah antara pemerintah penjajah dengan
masyarakat santri. Penjajah Belanda melakukan penekanan dan bertindak represif
terhadap kegiatan keagamaan ummat Islam. Aksi menimbulkan reaksi. Dengan segala
kekurangan dan kelemahannya, umat Islam berusaha mempertahankan diri dan kemudian
ternyata berhasil. Perang diponegoro adalah contoh perlawanan besar yang melibatkan
banyak tokoh-tokoh agama dan sejumlah santri. Demikian juga halnya dengan perang
Paderi, perang Aceh, dan lain-lain. Dalam hal ini Agama Islam menganjurkan untuk
bersatu dan bergotong royong “Ukhuwwah Islamiyah”. Firman Allah SWT.
Setelah itu pemerintah penjajah Belanda mulai agak mengurangi penekanan, pengawasan
atau pembatasan terhadap aktivitas dan pengamalan keagamaan umat Islam. Mereka,
misalnya, memberi sedikit kelonggaran terhadap ummat Islam yang ingin menunaikan
ibadah haji. Ummat Islam selain menunaikan haji juga mempelajari ilmu-ilmu agama
secara serius dan tekun. Sekembalinya dari tanah suci, mereka mengamalkan
dan mengajarkan ilmu, sehingga jumlah guru agama dan lembaga pendidikan meningkat
pesat. Berdasarkan data statistik yang ada di pemerintahan tahun 1885, terdapat sekitar
14.929 lembaga pendidikan Islam tradisional diseluruh Jawa dan Madura. 10
a) Dikotomis.
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pertentangan antara pendidikan Belanda (HIS,
MULO, AMS, dan lain-lain), dengan pendidikan Islam (Pesantren, dayah, surau).
Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu yang dikembangkan. Di sekolah-sekolah
Belanda dikembangkan ilmu-ilmu umum (ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah penjajah
Belanda tidak mengajarkan pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah yang
mereka asuh.
Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama di
sekolah-sekolah umum, ini dinyatakan dalam Pasal 179 (2) I.S (Indishe Staatsregeling)
dan dalam berbagai ordonansi. Singkatnya dinyatakan sebagai berikut: Pengajaran umum
adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan
agama masing-masing. Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah.
Sedangkan di lembaga pendidikan Islam dalam hal ini di pesantren, pendidikan yang
diberikan adalah pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan
demikian suasana pendidikan dikotomis itu amat kentara di zaman penjajahan Belanda.
Berkaitan dengan itu kedua lembaga pendidikan ini (sekolah dan pesantren) memiliki
filosofi yang berbeda yang sekaligus melahirkan output yang memiliki orientasi yang
berbeda pula. Pada waktu itu perbedaan yang tajam antara ilmu agama dan ilmu umum
menyebabkan munculnya sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama pada
fase terakhir abad ke-19, serta dilanjutkan dan diperkuat pada abad ke-20.
b) Diskriminatif
Ordonansi ini dirasakan oleh para guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru
agama yang belum memiliki administrasi sekolah. Selain itu dampak negative yang
dihasilkan dari ordonansi ini adalah dapat digunakan untuk menekan Islam yang
dikuatkan dengan alas an stabilitas keamanan.
Perkembangan berikutnya adalah pada tahun 1905 tersebut akhirnya dicabut, karena
dianggap tidak relevan lagi, dan diganti dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya
mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin.
Ordonansi itu mendapat reaksi keras dari umat Islam, misalnya dalam kongres Islam di
Bogor pada tahun 1926 menolak cara pengawasan terhadap pendidikan Islam.
Begitu tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan penjajah Belanda itu membawa manfaat
juga bagi bangsa Indonesia.khususnya bagi ummat Islam. Orang-orang pribumi bisa
mengenal sistem pendidikan modern, misalnya sistem kelas, pemakaian papan tulis, meja
dan bangku. Dari segi metode belajar-mengajar modern dan ilmu pengetahuan umum.
Menciptakan orang-orang pribumi terpelajar yang cerdas, pintar, berwawasan luas, dan
memiliki pola pikir yang rasional. Sisi-sisi positif lembaga pendidikan penjajah itu telah
melahirkan gagasan di kalangan ulama dan tokoh Islam Indonesia untuk melakukan
pembaharuan lembaga pendidikannya.
Sisi lain dari lembaga pendidikan penjajah ini adalah lebih menjanjikan lapangan kerja
bagi para murid setelah mereka menyelesaikan studinya. Oleh karena itulah lembaga
pendidikan ini telah berhasil menyedot penduduk muslim, yang sebelumnya biasanya
masuk lembaga pendidikan Islam. Karena itulah, kehadiran lembaga ini dipandang
sebagai ancaman bagi para ulama, bukan karena dipandang sebagai bentuk penetrasi dari
kebudayaan Barat terhadap pesantren atau lembaga pendidikan tradisional Islam lainnya.
Mereka berpendapat bahwa lembaga pendidikan penjajah Belanda itu akan melahirkan
orang-orang pintar pribumi yang sekuler dan penganut serta pembela kebudayaan Barat,
disamping menjauhkan ummat Islam dari agama yang dianutnya. Meskipun banyak hal
positif yang didatangkan oleh lembaga pendidikan penjajah Belanda tersebut di atas,
namun lembaga pendidikan penjajah itu dirasakan sebagai ancaman bagi ulama dan
tokoh-tokoh agama Islam Indonesia.
Pendidikan zaman Jepang dilaksanakan atas dasar idiil Hakko-Ichi-U. Hal ini
mengandung arti bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai Lingkungan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, yang dalam arti dekat membantu
memenangkan perang Asia Timur. Oleh karena itu secara praktisnya, pendidikan
bertujuan menghasilkan tenaga yang terampil dan prajurit yang siap membantu
memenangkan peperangan bagi Jepang.
Bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar resmi, baik dikantor maupun di sekolah.
Pemakaian bahasa Belanda dilarang sama sekali. Bahasa Jepang menjadi bahasa kedua,
dan diajarkan di sekolah.
2. Perkembangan Pendidikan
Hal tersebut disebabkan kondisi rakyat Indonesia tidak lebih baik ketika dijajah Belanda
artinya penjajah Belanda maupun Jepang telah menjadikan bangsa Indonesia mengalami
kesengsaraan yang berkepanjangan. Bangsa Indonesia dijadikan sapi perahan oleh kedua
penjajah itu. Penjajah Jepang telah memaksa rakyat Indonesia untuk dipekerjakan sebagai
“romusya”, sehingga hampir tidak ada kesempatan untuk bersekolah yang umumnya
orang-orang desa.
Sistem persekolahan pada zaman Jepang memang sudah dipersatukan dengan jenjang
Pendidikan Dasar 6 tahun, Pendidikan Menengah 6 tahun, dan Pendidikan Tingi.
Meskipun demikian dalam pelaksanaannya belum tercapai. Pendidikan di daerah jajahan
banyak yang tidak diselenggarakan, karena faktor keamanan dan banyak pelajar yang
turut serta berjuang untuk kemerdekaan, sehingga tidak dapat bersekolah.
Pendidikan Islam di zaman penjajahan Jepang terkait erat dengan saling membutuhkan
antara Jepang dan umat Islam di Indonesia. Jepang membutuhkan umat Islam Indonesia
terkait dengan perang Asia Timur Raya, agar pihak Jepang mendapat bantuan dari umat
Islam Indonesia. Sedangkan dari umat Islam
Kebijakan Jepang secara umum tersebut tentu pula berpengaruh pada kebijakan dalam
hal pendidikan Islam di Indonesia.
Pengaturan pendidikan agama juga diberlakukan pada masa pendudukan penjajah Jepang.
Meskipun pada esensinya pengaturan itu juga dilakukan untuk mengawasi lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang ada di masyarakat, namun Jepang tampak sedikit lebih
lunak disbanding pemerintah penjajah Belanda. Mungkin karena keberadaannya di bumi
Indonesia yang masih seumur jagung, sehingga mereka merasa perlu untuk mengambil
hati umat Islam. Jepang bahkan menawarkan bantuan dana bagi madrasah, serta
membiarkan masyarakat membuka kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup oleh
pemerintah penjajah Belanda.
“….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadilah : 11)
Sedangkan perintah berjihad melawan penjajah dilandasi oleh ayat Al-Qur’an, Firman
Allah SWT :
“ Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia
Telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu”.(Q.S. Al-Hajj : 78).
Dengan demikian rencana pelajaran agama dan bahasa Arab hampir sama keadaannya di
seluruh Indonesia, meniru dan mencontoh rencana di Mekkah.
Perkembangan pondok pesantren dan madrasah makin lama makin berkembang dan
pelajaran yang diajarkan di pondok dan madrasah itu tidak saja pelajaran agama tetapi
bertambah dengan pelajaran umum, seperti pelajaran menulis latin, bahasa Indonesia,
berhitung, ilmu bumi, sejarah dan lain-lain. Semuanya diajarkan dengan memakai buku-
buku huruf latin.
Sejak itu pula mulailah surat-surat kabar masuk ke pesantren dan madrasah, sehingga
para kiai dan para pelajar mulai membacanya. Begitu juga majalah dan buku-buku yang
berisi pengetahuan umum yang ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Indonesia.
Sebelumnya hal-hal tersebut dipandang barang-barang duniawi yang tidak sesuai dengan
kehendak agama. Sebab itu sebagian orang tua murid tidak mengijinkan anaknya belajar
ilmu-ilmu umum itu, sehingga timbulah reaksi besar di luar yang menentang kebijakan
tersebut. Tetapi reaksi ini tidak sampai menyebabkan terhambatnya perkembangan
pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dan madrasah-madrasah.
Pada waktu itu banyak kyai keluaran pondok pesantren yang tertolong karena mengetahui
menulis dan membaca huruf latin. Banyak pula diantara mereka yang terpilih menjadi
anggota Sangi Kai (Dewan Permusyawaratan Keresidenan) karena mereka mengerti
pengetahuan umum dan pandai dalam bahasa Indonesia, disamping pengetahuan agama
Islam.
KESIMPULAN
Pendidikan penjajah Belanda, dalam banyak hal sangat berbeda dengan pendidikan
tradisional Islam. Pendidikan penjajah Belanda tidak memberikan tekanan sama sekali
pada pengetahuan keagamaan, karena memfokuskan perhatian kependidikan itu pada
kepentingan duniawi. Inilah perbedaan tujuan antara pendidikan tradisional Islam dengan
pendidikan penjajah Belanda. Tujuan pendidikan mereka adalah untuk memenuhi
kebutuhan pemerintahan penjajah Belanda akan pegawai yang bekerja
dipemerintahannya. Akan tetapi harus diakui bahwa metode pendidikan dan pengajaran
yang digunakan dalam lembaga pendidikan Belanda itu jauh lebih baik dan modern bila
dibandingkan dengan metode yang digunakan pada lembaga pendidikan tradisional
Islam.
Pendidikan Islam zaman penjajahan Jepang terkait erat dengan saling membutuhkan.
Jepang membutuhkan umat Islam Indonesia terkait dengan perang Asia Timur Raya, agar
pihak Jepang mendapat bantuan dari umat Islam Indonesia. Sedangkan dari umat Islam
mengharapkan akan diperoleh kemerdekaan Indonesia.
Kebijakan pendidikan Islam zaman penjajahan Jepang esensinya sama dengan penjajah
Belanda, hanya saja penjajah Jepang tampak sedikit lebih lunak disbanding pemerintah
penjajah Belanda. Mungkin karena keberadaannya di bumi Indonesia yang masih seumur
jagung, sehingga mereka merasa perlu untuk mengambil hati umat Islam. Jepang bahkan
menawarkan bantuan dana bagi madrasah, serta membiarkan masyarakat membuka
kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup oleh pemerintah penjajah Belanda.
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Aqib Suminto. 1996. “Politik Islam Hindia Belanda”. Pt.Pustaka LP3ES,
Jakarta. Cet. Ke-3.
Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A., 2009.”Dinamika Pendidikan Islam di Asia
Tenggara”.Pt. Rineka Cipta. Jakarta. Cet. Ke-1.
Dr. Redja Mudyaharjo. 2002 “Pengantar Pendidikan”, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. Cet.ke-2.
Prof. Dr. H. Chatibul Umam. 2004. “Sejarah Kebudayaan Islam”. PT. Menara Kudus,
Kudus. Cet. Ke-3
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. 2000. “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi”.
PT. Logos Wacana Ilmu, Tangerang.
Prof. Dr. H.M. Arifin, M.Ed. 2003. “Ilmu Pendidikan Islam”. PT. Bumi Aksara, Jakarta.