Anda di halaman 1dari 12

http://www.sms-indonesia.

com/
SUSUNAN FORMAT MAKALAH/PAPER

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN DAFTAR ISI
HALAMAN GAMBAR/GRAFIK (JIKA ADA)

BAB I : PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Berisi tentang alasan pemilihan tema dalam pembuatan paper/makalah.
1.2. TUJUAN
Berisi tentang tujuan yang akan dicapai dengan pembuatan makalah/paper.
1.3. RUANG LINGKUP MATERI
Berisi tentang ilmu atau teori yang berkaitan dengan tema yang diambil
dalam makalah/paper.

BAB II : DASAR TEORI/LANDASAN TEORI


Berisi tentang pembahasan dan penelitian tentang ilmu ataupun teori yang sudah
pernah dibahas oleh para ahli berkaitan dengan tema makalah/paper yang dipilih. Materi
yang dibahas secara teoritis dikaitkan dengan aplikasi praktis teori/ilmu tersebut dalam
kenyataan kehidupan keseharian.
Untuk menuliskan teori yang diambil dari para ahli jangan lupa mencantumkan
nama, tahun atau buku yang pernah memuat teori tersebut. Sehingga sumber/nara
sumbernya jelas dan tidak diragukan. Kalau membuat kutipan harap mencantumkan pula
halaman di mana kutipan tersebut diambil.

BAB III : PEMBAHASAN


Berisi tentang data yang diperoleh di lapangan/kenyataan dan dikaitkan dengan
ilmu atau teori yang sudah ada. Jika ada kesesuaian dibahas lebih lanjut dan dapat pula
dimasukkan pendapat pribadi yang berkaitan erat dengan tema/usulan/saran/gagasan/ide.
Jika memang ditemukan ketidaksesuaian antara teori atau ilmu yang sudah ada
dengan kenyataan di lapangan, hal ini juga perlu dibahas untuk melihat mengapa hal ini
dapat terjadi.Dapat pula dimasukkan pendapat pribadi berkaitan erat dengan
tema/usulan/saran/gagasan/ide sehingga antara kenyataan dengan ilmu yang ada, baik
yang ada hubungannya maupun tidak, dapat dijelaskan dengan baik dan rinci.

BAB IV : PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Berisi tentang simpulan akhir dari pembahasan yang sudah dibuat.
Penulisan kesimpulan singkat dan jelas, tidak panjang seperti pembahasan.
4.2. USUL DAN SARAN
Dapat juga dimasukkan usulan dan saran dari penulis yang sudah dimunculkan
dalam pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA
Berisi seluruh sumber yang digunakan dalam pembuatan makalah/paper. Daftar
pustaka berupa buku, surat kabar, majalah, informasi dari situs internet dan lain-lain.
Penulisannya secara lengkap dan mengikuti kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang baik
dan benar.

LAMPIRAN
Berisi seluruh gambar/foto ataupun grafik atau juga data yang mendukung dalam
pembuatan makalah.

☺♥ ©ea/makalah /format/bio 8/april/2008 ♥☺


Kata pengantar
Daftar isi
Bab 1 pendahuluan
Pengantar
Komunikasi

Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat


Majemuk

"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain

yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."

- Immanuel Kant

BANGSA kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan
pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses
pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang
melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat
minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi
minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum
yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada
sikap minimalis.

DEMOKRASI per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah
regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan
kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-
eksekutif, legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus
mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di
antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-
luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.

Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada
warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung
tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara
diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini
bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris
yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan
Hannah Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan
suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin.

Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu
keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal
dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern
meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton
Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk
dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi
dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di
dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.

Apa itu ruang publik politis?

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan
"perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara
subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat
harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat
kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang
merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat
majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi"
tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.

Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat
adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep
kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era
globalisasi ini.

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik),
Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang
memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1).
Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?

Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa
yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang
mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.

Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai
suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom
yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di
luar diri mereka.

Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan
diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat
argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas
tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan
seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh
siapa pun.

Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk?
Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai
tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan
solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas
sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari
pasar maupun dari negara.

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum
atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan
seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh
kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan
seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika
demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di
dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul
mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-
kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan
protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam
perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-
warung, dan seterusnya.

Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi
di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat
berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam
DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada
aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan
mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan,
organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan
menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah
privat (3).

Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti
diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil
itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela),
"publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan
pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).

Fungsi ruang publik politis

Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan
pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan
nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok
politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah
diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan
ini berada di bawah dominasi eksekutif.

Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju
yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda
pendapat. Aklamasi dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem
administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan
publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale.

Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan
legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata
dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas
pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan
yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat.

Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan
sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan
situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara
keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik
serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur
intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis
agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok
solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam ruang publik memberikan
isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara.

Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan" memantulkan kembali
persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya mungkin jika ruang
publik tersebut otonom di hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu
sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap
menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik
modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif
pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi
"ekstensi" pasar dan negara belaka.

Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik
politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk
perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin
mendesakkan kebutuhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan
dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).

Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses
komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya
sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe
pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi
dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong
reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya ruang
publik politis di negeri kita.

Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang mengancam hak-
hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompok-
kelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh
civic courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini tampak, misalnya,
dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang
menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun
birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga
yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik.

Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih,
konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media
massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang sudah
ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan
asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah
yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya.

Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang
publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang
publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol
kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya
bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas.

Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik
politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik
itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat
memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe
kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang
mencerminkan kepublikan seluas-luasnya.

Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik

Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal-kanal
komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam revolusi bisa saja sistem
negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara
komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara
sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.

Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis
intensif antara ruang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasil
menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam
masyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas,
dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas
antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu.

Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai
bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari
yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis
berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang
manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-
suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses
dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu
tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada.

Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam
ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini
publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipulasi
ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan
dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.

Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian publik dibuka-tidak
dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang
secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem
dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu
dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi.

Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain
menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur
berpengaruh, melainkan juga lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun,
sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi
oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.

Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika
publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari
sorotan publik. Rapat atau longgarnya filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik
itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu
mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi
politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah
mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni, gaya hidup, atau
erotisme.

Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen dengan
kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena
komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih
menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan
mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.

Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini
publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik
di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang
terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam
pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga yudikatif, dan
seterusnya.

Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-
undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara
ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak
boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan
meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik:
produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke
dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.

Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai
masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat
juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya
lemah, tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan
kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari
masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang
publik politis itu. Ini terjadi dalam totalitarianisme.

Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan
yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus
mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih
sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan
yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam
ruang publik politis.

Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik
tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi
massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis
batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh
dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai
upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.

Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi langsung. Jika
kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu model demokrasi representatif
sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi
representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan kerjanya. Kontrol publik
lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan
sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk.

F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

Catatan:

1. Lihat Habermas, J, Strukturwandel der Oeffenlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 38

2. Lihat Budi Hardiman, F, Demokratie als Diskurs, (tesis tak diterbitkan), Munich, 1996, hlm 15

3. Lihat Habermas, J, Faktizitaet und Geltung, Shurkamp, Frankfurt aM, 1992, hlm 443

4. Budi Hardiman, hlm 52

5. Bdk Habermas, J, Strukturwandel der Oeffentlichkeit, STW, Frankfurt aM, 1990, hlm 28
6. Lihat Budi Hardiman, hlm 57

Anda mungkin juga menyukai