PENGAWASAN OBAT
Disusun Oleh:
AFIF D. ALBA
ANDRI YUNIKO
ANDRIANZA P.S
ANISA AZHARI
ARSIL AZIM
AWENDRI DERITA S.
DANI PRIBADI
HERMADESI (SPK)
Dalam Editorial British Medical Journal 8/9-07 (335:462) dikemukakan masalah obat
dengan judul “Pharmacovigilance in developing countries” yang intinya perlunya kolaborasi
“stakeholder” untuk membangun usaha “Waspada Obat” di Negara berkembang. Secara kebetulan
negara kita sedang menghadapi banyak masalah antara lain beredarnya “obat palsu” baik palsu
substansinya atau palsu (baca kurang) dosis dan produsen yang pintar meniru dan memasarkannya.
Negara miskin yang menderita 90% beban penyakit, miskin pula dengan obat yang efektif.
Disinyalir dengan mengurangi harga obat, mutu dan keamanan penggunaan obat pun berkurang.
Profil “aman” ini tidak dapat digeneralisir karena reaksi efek samping obat berbeda karena factor
lingkungan local dan pengaruh genetic. Sesudah kejadian “bencana thalidomide” tahun 1960-an,
negara-negara barat membangun system “ketahanan obat nasional”. Sistem ini secara berkala
membuat dan memberikan laporan publik tentang reaksi obat beserta analisisnya berkaitan dengan
penggunaan obat, memberikan peringatan tanda-tanda bahaya dan bagaimana cara mengatasi atau
meminimalisasikannya. Dengan cara demikian kesehatan masyarakat dibidang penggunaan obat
dapat terjaga.
Pada tingkat global, program WHO melalui “Uppsala Monitoring Centre”, bekerja sama
dengan 81 negara anggota mengadakan pemantauan dan menginformasikan reaksi-reaksi obat yang
tidak dikehendaki ke seluruh dunia. Sebenarnya kurang dari 27% negara ekonomi menengah ke
bawah yang terdaftar aktif di WHO dibanding negara ekonomi maju (96%). Hambatannya karena
kekurangan sumber dana, infrastruktur dan tenaga ahli. Jadi meskipun akses penerimaan obat
meningkat di negara berkembang, terdapat bahaya yang tidak terlihat dan tidak dilaporkan.
Tanggungjawab Bersama
Jadi apa yang harus dikerjakan untuk masalah keamanan obat di negara berkembang?
Kemampuan mendapatkan reaksi akibat obat bergantung pada frekuensi dan jumlah manusia yang
terpapar dengan obat tersebut. Pendekatan logis adalah menghimbau kerjasama antara peneliti
akademisi, industri obat dan pemerintah ikut dalam studi klinik membangun pelaporan reaksi efek
samping dan menghimpunnya dalam database tunggal.
Sekitar tahun 1970 Depkes melakukakan Pemantauan Reaksi Efek Samping Obat dengan
cara pelaporan Kartu Kuning oleh setiap dokter dan RS dan kemudian diinformasikan kembali ke
masyarakat. Di AS tugas ini dilakukan oleh FDA dan seharusnya Balai POM melakukan pula
secara aktif berkesinambungan di Indonesia
Kerjasama demikian juga dapat dibangun dengan organisasi kesehatan masyarakat dan
kampanye obat dengan system pengawasan regional seperti dilakukan beberapa Negara Afrika
Timur dalam pantauan efek antimalaria.
Apa yang harus dilakukan industri obat? Merupakan tanggung jawab moral bagi sebuah
industri untuk menjamin keamanan dan manfaat obat yang dihasilkannya. Bukan hanya dari segi
efek untuk penyakit, tetapi juga akibat lain yang mungkin merugikan pemakai. Bersama dengan
lembaga peneliti bidang obat, misalnya bagian farmakologi klinik di fakultas kedokteran yang
terkenal, dapat disediakan dana monitoring obat, baik yang masih baru ataupun sudah lama
diluncurkan.
Untuk obat baru, akan diketahui efek toksik dan subtoksik yang dalam uji klinik tidak
terdeteksi. Mungkin setelah pemakaian oleh orang banyak, efek ini muncul (Fase IV). Demikian
pula obat yang sudah beredar baru akan terjadi efek yang diluar harapan setelah sekian tahun
digunakan. Ini biasanya obat-obat yang penggunaannya jangka panjang seperti diabetes,
antihipertensi, tbc dll. Efek samping menurunnya ketajaman pendengaran akibat streptomisin atau
kinina tidak dialami olel semua orang. Jadi perlu informasi ini disebarkan.
Monitoring obat berarti juga apakah obat tersebut asli atau palsu. Obat palsu (Bogus
Pharmaceuticals) merupakan kasus yang sulit diketahui oleh para pelayan toko obat desa, pusat
kesehatan atau bahkan petugas pembelian obat rumah sakit. Jika ada laporan efek samping atau
tidak berkhasiat karena sub-standar, apa yang harus diperbuat jika obatnya bukan asli?
Toko obat dengan dana pas-pasan akan sulit memodali obat mahal. Mungkin harga miring
akan menjadi pilihan, apalagi penjual obat sekarang sudah berani berurusan lansung dengan petugas
penyedia obat sama halnya dengan staf penerbit buku pelajaran yang menjual lansung ke sekolah-
sekolah. Dengan pelbagai bujuk rayuan, obat palsu akan masuk di tempat pengobatan. Yang
menderita adalah pasien yaitu dengan 3 kemungkinan (1) penyakit tidak sembuh, (2) mendapatkan
efek samping yang tidak diharapkan dan (3) uang habis percuma.
Kesimpulan
1. Sebaiknya jangan terlalu mudah memakai obat penghilang nyeri. Toleransi akan mudah
terjadi sehingga makin lama jumlah obat makin banyak.
2. Untuk para dokter perlu memperhatikan kenyataan bahwa kecanduan seseorang dua
pertiganya berasal dari obat resep. Artinya kecanduan disebabkan oleh dokter sendiri
3. Disamping BPOM sebagai aparat pemerintah yang mengawasi obat, sebaiknya ada inisiatif
masyarakat membentuk badan atau organisasi sadar obat atau medicine/drug watch dan
menampung keluhan konsumen tentang obat. Diperlukan keberanian untu menyatakan suatu
obat tidak layak jika memang terbukti demikian.
Meski di Indonesia sudah ada Badan Pengawasan obat dan Makanan (BPOM)
ternyata masih banyak dijumpai obat-obatan yang beredar tanpa pengawasan apoteker.
Sampai saat ini lebih dari 16 ribu macam obat yang beredar di seluruh Indonesia yang
diproduksi oleh 205 pabrik farmasi. Setiap tahun ada sekitar 300 merek obat baru. Namun
tidak ada institusi khusus yang mengawal peredaran dan distribusi pelayanan obat ini ke
konsumen sehingga masyarakat berpotensi dirugikan.
• Isu Strategis
Perubahan Lingkungan Strategis:
- Perubahan Regulasi:UU No. 36/2009 tentang Kesehatan
UU No. 35/2009 tentang Narkotika
PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan
Antara Pemerintah, Pemda Propinsi Dan Pemda Kab/Kota
- Perdagangan Bebas (Regional, Internasional): Kemungkinan masuknya produk
obat dari luar termasuk produk ilegal dan obat palsu
- Sistem (National Single Window ASEAN Single Window)
Konsistensi Keamanan
Khasiat,
Dossier Keamanan
Admin • Monitoring ESO dan
dan
KIPI
Mutu
• Pelaksanaan studi
keamanan Post Market
Jangka Pendek dan
Evaluasi jangka Panjang
Konsistensi (PMS)
Informasi
Produk
• Monitoring Penandaan
• Was Iklan/Promo
Nomor Izin
Edar
PENGAWASAN PRE-MARKET TERHADAP JAMINAN KHASIAT, KEAMANAN, MUTU OBAT SECARA KOMPREHENSIF.
Kriteria Khusus:
Khasiat Mutu Penandaan Kebutuhan • Psikotropika :
dan Nyata Keunggulan
Keamanan • Kontrasepsi dan
Masyarakat
Ob.Program
Kesehatan: Uji
cGMP klinik
Studi pre klinik Informasi • Spesifikasi
• Studi klinik lengkap dan sesuai
(fase I, II dan objektif Farmakope
III) • Informasi • cGMP
• • Spesi Need
Assessment
o Obat yang cukup dilakukan Uji Ekivalensi in vitro (Uji disolusi terbanding)
1. Obat yang tidak memerlukan studi in vivo (tidak termasuk kriteria untuk uji
ekivalensi in vivo)
2. Produk obat copy yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding dapat
diterima untuk kekuatan yang lebih rendah
3. Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik (Biopharmaceutic Classification
System=BCS) dari zat aktif, karakteristik disolusi, serta profil disolusi produk
obat.
PENILAIAN PENANDAAN/LABEL OBAT
Untuk memastikan bahwa informasi yang tercantum pada penandaan obat
(etiket/brosur/kemasan) adalah informasi lengkap dan obyektif, yang dapat menjamin penggunaan
obat secara tepat, rasional dan aman.
KESIMPULAN :
1. Untuk melindungi masyarakat dari obat yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat, dan mutu diperlukan sistem pengawasan yang kuat dan komprehensif dan didukung
regulasi yang memadai
2. Tidak ada perbedaan kriteria penilaian untuk obat dengan nama generik dan obat dengan
nama dagang sehingga obat generik yang terdaftar terjamin khasiat, keamanan dan mutunya.
3. Untuk meminimalkan risiko yang bisa terjadi, dilakukan sistem pengawasan 3 lapis yaitu
pengawasan oleh Produsen, pengawasan oleh Pemerintah/Badan POM, dan pengawasan
oleh Konsumen.
4. Produsen obat generik harus dapat memenuhi standar dan persyaratan Nasional dan
Internasional secara konsisten.
OBAT ANTI RETROVIRAL
UPAYA BPOM DALAM AKSES OBAT HIV/AIDS (1)
o Peningkatan ketersediaan obat melalui :
o Mempercepat proses pendaftaran untuk obat-obat HIV/AIDS
o Pemasukan obat melalui Special Access Scheme (SAS)
o Negosiasi harga dengan produsen melalui :
Komitmen produsen untuk membantu pasien tidak mampu
o Komitmen industri untuk mengadakan obat dengan harga yang lebih terjangkau
sesuai dengan kesepakatan dalam program “Accelerating access”
o Upaya penerapan harga obat sesuai UNAIDS Initiative