Anda di halaman 1dari 12

Kenapa ada pembangunan berkelanjutan ?

Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah landasan setiap industri dan tidak


terkecuali industri pertambangan seperti batubara

Demikian juga dalam prinsip teknik pertambangan sudah dikenal istilah green mining, ataupun good
mining practice, dimana program reklamasi, seperti halnya program Community Development,
merupakan kewajiban melekat yang harus dilaksanakan dalam suatu kegiatan industri pertambangan
dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dalam
industri pertambangan dicirikan dengan keberhasilan dalam melakukan kegiatan reklamasi selama
kegiatan penambangan berlangsung (progressive) dan juga reklamasi pada saat penutupan
pertambangan/mine closure. (Mine for closure, 1996). Namun pada kenyataan dilapangan, banyak kasus
konflik sosial dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan industri pertambangan yang
disebabkan pelaku usaha yang tidak melakukan reklamasi ataupun adanya kegagalan dalam
melaksanakan kegiatan reklamasi.
Reklamasi tambang pada prinsipnya harus didasarkan dan disesuaikan dengan karakteristik dan potensi
wilayah. Dengan melakukan kajian terhadap kondisi geologi, metode penambangan, kondisi tanah,
hidrologi dan iklim serta kondisi lingkungan sekitar tambang maka akan dapat ditentukan posisi strategis
kawasan bekas tambang dalam kerangka pengembangan wilayah. Dengan mengetahui posisi
strategisnya maka dapat ditentukan bentuk penggunaan lahan yang terbaik bagi lahan bekas tambang
agar bisa berkelanjutan.

Untuk itu, tentu dibutuhkan sebuah strategi “Sustainable Mining Practices” atau pembangunan
berkelanjutan di bidang pertambangan yang walaupun pada kenyataannya tidaklah mudah, tapi
harus diimplementasikan.

Dengan mempertimbangkan bahwa sumber daya pertambangan sifatnya tidak terbarukan,


industri pertambangan wajib tidak merusak dan mempertahankan sumber-sumber daya alam
tertentu yang tidak tergantikan perannya dalam ekosistem seperti keanekaragaman hayati dan
fungsi hutan sebagai penyangga daerah aliran sungai, serta industri pertambanganya harusnya
dibangun berdasarkan kerangka dasar dimana berkurangnya cadangan mineral dan energi harus
disubstitusi dengan bertambahnya sumber-sumber daya lain.

Pangkal Pinang, Kompas - Kerusakan lingkungan hidup yang tidak terkendali di Bangka
Belitung terjadi karena tidak memperhitungkan prinsip tambang yang berkelanjutan. Tambang
berkelanjutan adalah proses penambangan selektif yang meminimalkan kerusakan lingkungan
di sekitarnya, ditengarai pula oleh tidak adanya ”obral” perizinan dari pemerintah daerah
setempat.
Kami, masyarakat adat, menolak mitos ”pertambangan
berkelanjutan”: kami tidak mengalami pertambangan sebagai suatu
sumbangan bagi ”pembangunan yang berkelanjutan” berdasarkan
definisi yang masuk akal. Pengalaman kami menunjukkan bahwa
ekplorasi dan eksploitasi mineral, batu bara, minyak dan gas
menimbulkan masalah sosial dan lingkungan yang serius,
menyebarluas dan merusak sehingga kami tidak dapat menamakan
pembangunan semacam itu sebagai ”berkelanjutan”. Bukannya
membantu mengurangi kemiskinan, pengalaman kami
menyebutkan bahwa industri ekstraktif justru menciptakan
kemiskinan dan memecah belah masyarakat kami, serta
melecehkan budaya dan hukum-hukum adat kami.

Namun bila dikaji secara ekonomi berkelanjutan, keuntungan bagi wilayah pertambangan tersebut
sesungguhnya hanya sesaat. Secara lingkungan dampak negatifnya lebih besar dari keuntungan yang
diperoleh. Bentang alam menjadi menjadi berlubang-lubang besar, penggalian dan pengangkutan
menyebabkan kebisingan dan berdebu, limbah tambang mencemari sumber air, merusak kualitas
kehidupan. Walau perusahan pertambangan selalu diminta memulihkan kerusakan lingkungan setelah
penggalian, namun umumnya tidak pernah dilakukan. Harga kerusakan lingkungan lebih besar dari
keuntungan ekonomi yang diperoleh. Ini tentunya berlawanan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan yang sesungguhnya. Juga bertentangan dengan “Brundtland Report” oleh PBB (1987):
pembangunan berkelanjutan berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang, tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Tambang berkelanjutan merupakan eksploitasi yang tidak berlebihan,


mengenal zonasi agar tidak mengancam sumber daya lainnya.
Seperti di laut, penambangan harus diupayakan tidak merusak
sumber daya lain seperti biota kelautan.

Pertambangan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian,
penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan
galian (mineral, batubara,panas bumi, migas).
Paradigma baru kegiatan industri pertambangan ialah mengacu pada
konsep Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan, yang
meliputi :

• Penyelidikan Umum (prospecting)


• Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
• Studi kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal)
• Persiapan produksi (development, construction)
• Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
• Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
• Pengolahan (mineral dressing)
• Pemurnian / metalurgi ekstraksi
• Pemasaran
• Corporate Social Responsibility (CSR)
• Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
Ilmu Pertambangan : ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktek hal-hal yang
berkaitan dengan industri pertambangan berdasarkan prinsip praktek pertambangan
yang baik dan benar (good mining practice)

Green Mining For Sustainable Future


Green Mining adalah konsep penambangan yang ramah lingkungan yang meliputi
lingkungan hayati maupun masyarakat. Jadi suatu kegiatan peanmabangan haus
memperhatikan asppek lingkungan dan dampak soasial terhadap masyarakat. Sesuai
asas dan tujuan dari kegiatan pertambangan yang tertuang dalam UU No 4 Tahun 2009
bahwa kegiatan pertambangan harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam UU tersebut juga disebutkan secara tegas bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK
wajib menyusun program dan pemberdayaan masyarakat dan kegiatan pasca tambang
untuk memulihkan fungsi alam dan fungsi social menurut kondisi local di wilayah
pertambangan tersebut..

Kegiatan pertambangan meliputi kegiatan eksplorasi,land clearing,


development,eksploitasi dan pasca tambang. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kegiatan
pertambangan merupakan suatu kegiatan yang destruktif dan merubah kondisi bentang
alam yang ada. Namun dengan ilmu pengetahuan yang ada,kerusakan alam ini
sebenarnya bisa diminimalkan sehingga resiko dan dampak yang ditimbulkan dari
kegiatan pertambangan juga bisa dikurangi. Selain faktor keuntungan,faktor
keselamatan juga merupakan hal utama yang selalu menjadi dasar dalam kegiatan
pertambangan. Bagaimana memaksimalkan keuntungan dengan resiko yang seminimal
mungkin.

Kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan ini menjadi kesan yang melekat
pada kegiatan pertambangan khususnya di Indonesia. Dan citra buruk ini suda sangat
melekat di masyarakat kita. Kerusakan akibat kegiatan pertambangan selalu menjadi
topic hangat dan isu yang marak dibicarakan dan di advokasi oleh para pemerhati
lingkungan. Namun demikian,kegiatan pertambangan masih menjadi salah satu
primadona penghasil devisa bagi negara ini.

Upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kegiatan


pertambangan terus dilakukan,salah satunya adalah dengan adanya kebijakan
pemerintah. Namun,tidak bisa kita pungkiri bahwa aplikasi di lapangan masih jauh dari
ideal. Masih banyak pelaku pertambangan yang tidak mengindahkan aturan yang ada
dan banyaknya aktifitas penambangan liar (PETI) semakin memperburuk citra dunia
pertambangan. Dalam hal ini perlu adanya ketegasan dalam penegakan hukum dan
peraturan yang ada,terutama dari aparat pemerintah.

Semoga pemerintah bisa benar-benar menjalankan peraturan yang ada.


Semogaaaaaaaa…….

Pemerintah dan industri pertamba ngan di Indonesia telah meyakini konsep penting
mengenai pemba ngunan yang berkelanjutan. Hal ini seiring dengan keluarnya Undang-
Undang No. 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Yaitu : BAB II

Pasal 3
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

Dalam UU tersebut tersirat tujuan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan


yang sangat dibutuhkan untuk mencapai pembangunan yang meningkatkan mutu
kehidupan secara menyeluruh, baik pada masa kini maupun untuk masa mendatang.

Pembangunan berwawasan lingkungan dalam aspek pertambangan berkaitan de ngan


cara mempertahankan proses-proses eko logi yang menjadi tumpuan kehidupan
melalui kegiatan reklamasi dan pascatambang.
Kegiatan pertambangan, jika tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan, terutama gangguan keseimbangan permukaan
tanah yang cukup besar. Dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat kegiatan
pertambangan antara lain: penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat,
terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah atau longsor, terganggunya
flora dan fauna (keanekaragam hayati), terganggunya kesehatan masyarakat, serta
perubahan iklim mikro. Oleh karena itu, perlu dilakukan reklamasi yang tepat. Artinya,
reklamasi harus diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh dari kegiatan
pertambangan & kegiatan reklamasi, dilakukan sedini mungkin, dan tidak menunggu
proses pertambangan selesai.
Keberhasilan pengelolaan lingkungan sektor sumber daya alam tergantung pada
pengenalan, pencegahan dan pengurangan dampak kegiatan terhadap lingkungan.
Perlindungan lingkungan membutuhkan perencanaan yang cermat dan komitmen
semua tingkatan & golongan perusahaan pertambangan. Praktik terbaik pengelolaan
lingkungan pertambangan menurut proses yang terus menerus dan terpadu pada
seluruh tahapan pertambangan.
Pascatambang merupakan kegiatan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan
fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Pascatambang
dan melaksanakan terencana, sistematis dan berlanjut. Keberlanjutan ini meliputi
kegiatan akhir sebagian (bila dalam tahap operasi produksi ada sebagian wilayah yang
diminta dan/atau di serahkan) hingga akhir keseluruhan usaha pertambangan.
Dalam Pasal 99 dan Pasal 100, UU Minerba memberi amanat kepada setiap pemegang
IUP dan IUPK wajib menye rahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang dan
melaksanakan reklamasi dan pascatambang. Dalam rangka menjamin kesungguhan
pelaksanaan reklamasi dan pascatambang, setiap pemegang IUP dan IUPK wajib
menempatkan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang. Ketentuan lebih lanjut
mengenai reklamasi dan pascatambang tersebut akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Dalam menyiapkan Rencana Peraturan Pemerintah tentang Reklamasi dan
Pascatambang, pemerintah berkordinasai dengan Dinas Pertambangan dan Energi di
seluruh Indonesia dan antar lembaga/sektor terkait. Beberapa hal penting yang
meenjadi landasan hukum kegiatan Reklamasi dan Pascatambang juga lebih di rinci
sebagai pedoman membuat rencana dan pelaksanaannya.
Perencanaan dan pelaksanaan yang tepat merupakan rangkaian pengelolaan
pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga akan mengu
rangi dampak negatif kegiatan usaha pertambangan.
Prinsip Reklamasi dan Pascatambang
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, kagiatan usaha pertamba ngan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan
partisipasi msyarakat.
Prinsip pengelolaan lingkungan hidup meliputi perlindungan terhadap kualitas air
permukaan, air tanah, air laut, tanah, dan udara sesuai dengan standar baku mutu
lingkungan hidup dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berhu bung
keanekaragaman hayati Indonesia begitu kaya, maka reklamasi tambang wajib
mempertimbangkan perlindungan keanekaragaman hayati tersebut. Untuk memastikan
keamanan daerah timbunan bagi lingkungan sekitarnya, reklamasi dan pascatambang
juga harus menjamin stabilitas dan keamanan timbunana batuan penutup, kolam tailing,
lahan bekas tambang serta struktur buatan (man made structure) lainnya. Selanjutnya,
reklamasi dan pasca tambang pun harus memiliki nilai manfaat sesuai peruntukannya,
dan menhormati nilai-nilai sosial & budaya setempat.
Tata Laksana Reklamasi dan Pascatambang
Dalam UU Minerba, reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas
lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
Sedangkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegitaan
pascatambang. Berangkat dari definisi itu, kegiatan reklamasi tidak hanya dilaksanakan
pada tahap operasi produksi saja, melainkan juga pada tahap eksplorasi.
Pemegang IUPK eksplorasi harus mereklamasi lahan terganggu akibat kegiatan
eksplorasi. Reklamasi yang dilakukan meli puti reklamasi lubang pengeboran, sumur
uji, dan/atau parit uji. Meskipun masih pada tahap ekplorasi, mereka sudah
berkewajiban menyediakan jaminan reklamasi.
Pada tahap eksplorasi, pemegang IUP dan IUPK harus menyiapkan rencana reklamasi
yang akan dilaksanakan pada tahap operasi produksi. Diantaranya de ngan membuat
tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang, rencana pembukaan lahan, program
reklamasi pada lahan bekas tambang dan di luar bekas tambang, kriteria keberhasilan
reklamasi dan rencana biaya reklamasi. Yang tercakup dalam lahan di luar bekas
tambang adalah timbunan tanah penutup, timbunan bahan baku/produksi, jalan
transportasi, instalasi pengolahan, instalasi pemurnian, kantor dan perumahan,
pelabuhan, lahan penimbunan dan pengen dapan tailing.
Sejak awal tahap eksplorasi, rencana pascatambang sudah disiapkan. Meskipun umur
tambangnya masih beberapa puluh tahun yang akan datang. Proses perencanaan
tersebut dilakukan bersamaan dengan penyusunan studi kelayakan dan analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Isi rencana pascatambang tersebut harus
memuat profit wilayah, deskripsi kegiatan pertambangan, rona lingkungan akhir lahan
pascatambang, program pascatambang, organisasi, kriteria keberhasilan pasca
tambang dan rencana biaya pascatambang. Namun, dalam menyusun rencana
pascatambang, pemegang IUP dan IUPK harus berkonsultasi dengan instansi
pemerintah dan/atau instansi pemerintah daerah yang membidangi pertambangan
mineral dan/atau batubara, instansi terkait, dan masyarakat. Hal itu dilakukan untuk
meng akomodir kepentingan pemerintah (pusat & daerah) dan masyarakat.
Reklamasi dan pascatambang dinyatakan selesai bila telah berhasil memenuhi kriteria
keberhasilan. Namun, bila reklamasi berada di kawasan hutan, wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, maka pelaksanaan dan kriteria keberhasilannya disesuaikan setelah
berkoordinasi dengan Instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Jaminan Reklamasi dan Pascatambang
Pemerintah menetapkan kebijakan bagi setiap pemegang IUP dan IUPK wajib
menempatkan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang. Jaminan tersebut
diperlukan sebagai wujud kesungguhan setiap pemegang IUP dan IUPK untuk
memulihkan lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang sesuai peruntukan
yang disepakati para pemangku kepenti ngan dalam rangka pembangunan
berkelanjutan.
Besaran Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang dihitung berdasarkan
rencananya. Besarnya jaminan tersebut harus mampu menutup seluruh biaya
reklamasi dan pascatambang. Biaya reklamasi dan pascatambang dijadikan dasar
besarnya jaminan dan dihitung berdasarkan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang
seolah-olah dilaksanakan oleh pihak ketiga (meskipun dikerjakan sendiri). Penempatan
jaminan yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK, bukan berarti menghilang kan
kewajiban perusahaan melaksanakan reklamasi dan pascatambang.
Penempatan Jaminan Reklamasi dimohonkan kepada perusahaan beserta bentuk
jaminannya. Bentuk Jaminan Reklamasi yang diperbolehkan deposito berjangka, bank
garansi, atau cadangan akuntansi. Bila ternyata besamya jaminan reklamasi tidak
menutupi untuk menyelesaikan reklamasi, kekurangan biaya reklamasi tetap menjadi
tanggung jawab perusahaan.
Jaminan Pascatambang ditempatkan setiap tahun sesuai dengan umur tambangnya
saat mulai menempatkannya. Bentuk penempatan Jaminan pascatambang hanya satu,
yakni deposito berjangka. Bila kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum masa
yang telah ditentukan dalam rencana pascatambang, perusahaan tetap wajib
menyediakan jaminan pascatambang sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Bentuk jaminan deposito berjangka untuk Jaminan Pascatambang adalah jaminan yang
paling aman bagi pemerintah untuk pemulihan lahan pascatambang se suai dengan
rencana dan kesepakatan para pemangku kepentingan. Alasannya, karena pada tahap
pascatambang, saat cadangan sudah habis, tidak ada lagi income yang diperoleh
perusahaan. Di samping itu, perusahaan juga dapat terbantu dengan jaminan tersebut.
Sebab, dengan kemajuan pascatambang yang dapat dipertanggungjawabkan,
perusahaan berhak memohon pencairan jaminan pascatambang sesuai dengan
kemajuannya. Dengan demikian pencairan dana tersebut dapat digunakan untuk
kegiatan pascatambang berikutnya.
Perusahaan berhak mengajukan permohonan pencairan Jaminan Reklamasi dan
Jaminan Pascatambang bila telah me laksanakan kegiatan reklamasi dan pasca
tambang sesuai dengan rencananya.
Reklamasi dan Pascatambang Bagi Pemegang IPR
Dalam Pasal 67 ayat 1 UU Minerba, dinyatakan bahwa bupati/walikota memberikan Izin
Pertambangan Rakyat (IPR) terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan
maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Sebelum IPR terbit, pemerintah dan
pemohon IPR wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang di
wilayah pertambangan rakyat berdasarkan dokumen pengelolaan lingkungan yang
telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Karena itu, pemegang IPR bersama dengan bupati/walikota wajib melaksanakan
reklamasi dan pascatambang, serta wajib menyediakan dana reklamasi dan dana
pascatambang.
Pengawasan
Pengawasan reklamasi dan pascatambang dapat dilakukan secara administratif dan
teknik lapangan. Keduanya dilakukan oleh inspektur tambang, sebagaimana diatur
dalam Pasal 141 ayat (2) UU Minerba. Dalam melaksanakan tugasnya, inspektur
tambang berkoordinasi dengan instansi terkait. Misalnya instansi yang
menyelenggarakan pemerintahan di bidang pertambangan, lingkungan hidup,
kehutanan, pekerjaan umum dan lain-lain.
Penyerahan Lahan Reklamasi Dan Lahan Pascatambang
Lahan yang telah direklamasi sesuai dengan rencana reklamasi, memenuhi kriteria
keberhasilan reklamasi, dan sudah sesuai dengan peruntukannya ‘dapat’ menyerahkan
lahan yang telah direklamasi tersebut Penekanan kata ‘dapat’ berarti tidak semuanya
lahan yang telah direklamasi serta merta bisa diserahkan kepada pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini adalah menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya. Pengaturan ini meng akomodir suatu wilayah yang sudah lama
direklamasi dan terkadang diminta oleh daerah, sebab lahan lainnya masih aktif dan
masih berumur panjang.
Pemegang IUP yang telah melaksanakan kewajiban pascatambang sesuai rencana,
telah memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang, dan sudah sesuai peruntukan
sebagaimana kesepakatan para pemangku kepentingan, wajib menyerahkan lahan
kepada pemerintah.
Upaya pemulihan lahan yang terganggu akibat kegiatan pertambangan harus dilakukan
secara optimal agar lahan bekas tambang tetap mempunyai potensi untuk penggunaan
yang produktif. Selain itu, konversi manfaat dari hasil pertamba ngan perlu dilakukan
menjadi bentuk lain (transformasi manfaat), agar pembangunan tetap dapat berlanjut di
sekitar daerah pertambangan. Untuk mencapai tujuan tersebut mutlak diperlukan
perencanaan penambangan yang berwawasan lingku ngan, yaitu perencanaan
penambangan yang mempertimbangkan upaya perlin dungan fungsi-fungsi! lingkungan
pada lahan yang digunakan untuk pertamba ngan, dan perencanaan pascatambang
yang mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. ***
(Kasubdit Lindungan Lingkungan Minerbapabum) dan Lana Saria, S.Si, M.Si
(Tulisan tersebut pernah dimuat di Buletin Warta)
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan
berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di
daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses
pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
a) Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk
kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang
berdampak minimum terhadap lingkungan.
b) Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris yang
menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian
dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan mengutamakan
peningkatan kualitas hidup non material.
c) Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap
sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan
jender. Budimanta (2005) menyatakan, untuk sua
a) pro lingkungan hidup;
b) pro rakyat miskin;
c) pro kesetaraan jender;
d) pro penciptaan lapangan kerja;
e) pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
f) harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing
tolok ukur.
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator.
Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas
wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap
musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat
menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan
tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi
rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
a. Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar
menurut kaidah ekologi.
b. Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi
potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan (nonrenewable
resources).
c. Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi pencemaran.
d. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan
(carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro
rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan
perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat
kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga
rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau Human Development Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human
Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan
sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang
meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih
banyak membuka kesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalam arus utama
pembangunan. Kesetaraan jender ini dapat diukur dengan menggunakan Genderrelated.
Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah.
Jika nilai GDI mendekati HDI, artinya di daerah tersebut hanya sedikit terjadi disparitas jender
dan kaum perempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti
misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya),
index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat
menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
Indikator perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para
pengambil keputusan dalam pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin
cepat mendapatkan hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini sering kali
membuat keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang,
seperti misalnya potensi kerusakan hutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjir yang
semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas, krisis energi (karena saat ini kita
telah menjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukan
langkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalam kondisi surplus energi), moda
transportasi yang tidak berkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan, dan seterusnya.
3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati, untuk memastikan bahwa sumberdaya alam
selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah
pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan
mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih
dimengerti oleh masyarakat.
4. Distribusi keadilan sosial ekonomi. Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan
berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan
meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan
kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan
melalui pemerataan ekonomi. Tabel 1. Pemikiran-pemikiran tentang Syarat-syarat Tercapainya
Proses Pembangunan Berkelanjutan kesejahteraan masyarakat juga dapat menjadi salah satu
hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini.

Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena
pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsa Indonesia yang berada dalam
kesatuan NKRI.
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang
dapat diselesaikan serta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKN yang
digaungkan di daerah bersangkutan. Buah pemikiran pakar lingkungan ini sejalan dengan buah
pemikiran beberapa konseptor pembangunan berkelanjutan yang dirangkum oleh Gondokusumo
(2005), dimana disebutkan syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk tercapainya proses
pembangunan berkelanjutan (Tabel

Anda mungkin juga menyukai