Anda di halaman 1dari 6

CINTA LINGKUNGAN

Jurgen Moltman, seorang filsuf dan pecinta lingkungan hidup mengatakan bahwa
kerusakan lingkungan hidup secara khusus pembabatan hutan yang berlebihan berarti dengan
sendirinya merupakan salah satu bentuk penghancuran areal yang menyediakan dasar untuk
hidup manusia sebagai keseluruhan.

Lebih khusus Prof. Dr. Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Indonesia periode 1987-1992 melukiskan keadaan bumi sedang berada dalam keadaan
yang rusak. Emil Salim menyebutkan penyebab utamanya adalah karena pengeksploitasian
pohon diberbagai tempat di muka bumi ini. Dalam keterangannya disebutkan bahwa salah satu
ancaman yang paling serius akibat kerusakan yang dialami bumi adalah naiknya suhu bumi.

Menurut Emil Salim akibat lain dari pengeksploitasian pohon tersebut adalah iklim yang
tidak menentu, kerusakan tanah, air bersih makin sulit, dan udara makin panas (“Tangis Sang
Bumi” dalam Tempo tahun XX No. 28 April 1990, hlm 73).

Pernyataan Emil Salim sepuluh tahun silam ini masih tetap aktual untuk didegungkan
pada millenium baru ini sebab sampai sekarang pun pembabatan hutan masih tetap terjadi.
Mochtar Lubis, salah seorang budayawan Indonesia juga mengungkapkan keprihatinannya yang
mendalam khususnya menyangkut masalah pengeksploitasian hutan alam yang tak kenal ampun.
Kerakusan manusia itu dilukiskan Mochtar Lubis dengan pernyataan yang sungguh menyayat
hati. Hati saya sungguh merasa terganggu. Hutan tak ubahnya seakan sebuah Medan perang
ditinggalkan oleh pasukan-pasukan yang berperang. Tunggul-tunggul pohon besar jadi
monument kehancuran hutan dan pohon-pohon yang ditebang untuk membuka jalan bagi
menarik pohon-pohon komersial ke sungai, terbaring malang melintang sebagai mayat-mayat
serdadu yang tewas. Mereka ditinggalkan begitu saja, karena nilai komersilnya tidak ada atau
rendah sama sekali” (dikutif dari buku Hansjurg Steinling, Menuju Kelestarian Hutan. Jakarta:
Obor, 1988).

Pernyataan ketiga tokoh ini dapat kita jadikan dasar untuk menggugah perasaan dan
nurani kita agar mencintai dan berani berjuang untuk melestarikan lingkungan hidup serta

1
berefleksi akan keberadaan dan makna pepohonan dalam menunjang kelangsungan hidup
manusia dan makhluk lainnya di muka bumi ini.

Peranan manusia dalam proses pembentukan pelestarian alam sangat penting dan sangat
dominan. Lingkungan yang lestari sangat ditentukan oleh sikap dan tindakan manusia. Interaksi
yang sepadan antara manusia dan lingkungannya melulu ditentukan oleh manusia sebagai
pemegang kekuasaan yang mesti digunakan secara arif. Dasar untuk dapat bersahabat dengan
alam adalah dengan menanamkan rasa cinta yang mendalam terhadap lingkungan hidup.

Manusia dalam dirinya mempunyai potensi untuk mencinta. Cinta pada lingkungan hidup
dengan segala makhluk didalamnya, akan menciptakan damai dan harmoni antara manusia dan
alam lingkungannya.

Selanjutnya rasa cinta pada lingkungan hidup akan membawa kesadaran mendalam
bahwa dunia dan segala isinya termasuk manusia adalah satu, dalam arti sama-sama memiliki
peranan penting dalam tatanan dunia. Interaksi dari setiap unsur atau komponen alam ini
menyatu membentuk keutuhan dunia. Di dalam segalanya itu, manusia punya keistimewaan
yakni memiliki akal budi. Keistimewaan yang dimiliki manusia ini sekaligus memikul tanggung
jawab besar dalam melestarikan lingkungan dengan segala yang ada di dalamnya. Manusia diberi
Allah kuasa untuk memelihara segala ciptaan-Nya dengan penuh tanggung jawab. Dengan ini
jelas bahwa cinta pada lingkungan hidup dengan segala makhluk di dalamnya akan menciptakan
damai dan harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.

2) Tanam dan Pelihara Pohon

Pendayagunaan setiap ciptaan hendaknya didasari berbagai pertimbangan yang matang


dan sehat. Sebelum bertindak, terutama menyangkut penebangan pohon, hendaknya disadari
bahwa pohon itu bukan hanya milik seorang atau kelompok tertentu. Umat manusia diharapkan
bersama-sama melestarikan pohon bukan hanaya dengan cara retoris tetapi telebih dengan
tindakan kongkrit. Setiap orang diharapkan mau dan penuh kesadaran untuk menanam dan
memelihara pohon atau jenis tanaman lain di segala tempat yang memungkinkan.

2
Setiap orang, secara khusus pengusaha pemegang HPH diharapkan sedapat mungkin
menghentikan pemotongan pohon sampai keberadaan lingkungan hidup dalam hal ini hutan alam
sudah pulih kembali. Sebagai contoh analogi: Sebelum seseorang menebang sebatang pohon
dalam kebunnya pertama-tama haruslah mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk
menanam pohon itu dan dampak sampingan penebangan pohon itu. Tanpa ada pertimbangan,
maka tidak sedikit kerugian yang harus ditanggung oleh si pemilik kebun itu sendiri. Manusia
boleh mengolah kekayaan alam akan tetapi harus memperhatikan berberapa catatan penting yang
tak dapat diabaikan yakni bertindak secara bertanggungjawab, memikirkan masa depan generasi
mendatang, dan mengembangkan sikap konservatif.’

Kongkritnya untuk menjadi sahabat lingkungan hidup tidak perlu harus seorang pakar,
tidak harus anggota organisasi atau lembaga terkait, tidak harus aktivis atau selebritis, dan tidak
harus terhambat dengan ketiadaan dana. Karena yang diperlukan adalah komitmen, tekad kuat,
tujuan mulia, solusi yang mudah dimengerti, menerapkan kepedulian dalam kehidupan sehari-
hari dengan kemauan menanam dan memelihara pohon demi masa depan anak cucu bangsa.
Semua kita punya tanggungjawab bersama untuk melestarikan dan memelihara pohon bukan
hanya dengan cara retoris tetapi terlebih dengan tindakan kongkrit

Dulu, Indonesia dikenal sebagai sebuah negeri yang subur. Negeri kepulauan yang
membentang di sepanjang garis katulistiwa yang ditamsilkan ibarat untaian zamrud berkilauan
sehingga membuat para penghuninya merasa tenang, nyaman, damai, dan makmur. Tanaman apa
saja bisa tumbuh di sana. Bahkan, tongkat dan kayu pun, menurut versi Koes Plus, bisa tumbuh
jadi tanaman yang subur.

Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban umat manusia, Indonesia tidak lagi
nyaman untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan tandus. Jangankan tongkat dan kayu, bibit
unggul pun gagal tumbuh di Indonesia. Yang lebih menyedihkan, dari tahun ke tahun, Indonesia
hanya menuai bencana. Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah
sudah menjadi fenomena tahunan yang terus dan terus terjadi. Sementara itu, pembalakan hutan,
perburuan satwa liar, pembakaran hutan, penebangan liar, bahkan juga illegal loging (nyaris) tak
pernah luput dari agenda para perusak lingkungan. Ironisnya, para elite negeri ini seolah-olah

3
menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak sewenang-wenang dalam memperlakukan
lingkungan hidup bisa menjadi ancaman yang terus mengintai setiap saat.

Mengapa bencana demi bencana terus terjadi? Bukankah negeri ini sudah memiliki
perangkat hukum yang jelas mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup? Bukankah Menteri
Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional telah membangun kesepakatan bersama
tentang pendidikan lingkungan hidup? Namun, mengapa korban-korban masih terus berjatuhan
akibat rusaknya lingkungan yang sudah berada pada titik nadir? Siapa yang mesti bertanggung
jawab ketika bumi ini tidak lagi bersikap ramah terhadap penghuninya? Siapa yang harus
disalahkan ketika bencana dan musibah datang beruntun menelan korban orang-orang tak
berdosa?

Saat ini agaknya (nyaris) tidak ada lagi tanah di Indonesia yang nyaman bagi
tanaman untuk tumbuh dengan subur dan lebat. Mulai pelosok-pelosok dusun hingga perkotaan
hanya menyisakan celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Di pelosok-
pelosok dusun, berhektar-hektar hutan telah gundul, terbakar, dan terbabat habis sehingga tak
ada tempat lagi untuk resapan air. Satwa liar pun telah kehilangan habitatnya. Sementara itu, di
perkotaan telah tumbuh cerobong-cerobong asap yang ditanam kaum kapitalis untuk mengeruk
keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Polusi tanah, air, dan
udara benar-benar telah mengepung masyarakat perkotaan sehingga tak ada tempat lagi untuk
bisa bernapas dengan bebas dan leluasa. Limbah rumah tangga dan industri makin memperparah
kondisi tanah dan air di daerah perkotaan sehingga menjadi sarang yang nyaman bagi berbagai
jenis penyakit yang bisa mengancam keselamatan manusia di sekitarnya.

Sebenarnya kita bisa banyak belajar dari kearifan lokal nenek moyang kita tentang
bagaimana cara memperlakukan lingkungan dengan baik dan bersahabat. Meski secara teoretis
mereka buta pengetahuan, tetapi di tingkat praksis mereka mampu membaca tanda-tanda dan
gejala alam melalui kepekaan intuitifnya. Masyarakat Papua, misalnya, memiliki budaya dan
adat istiadat lokal yang lebih mengedepankan keharmonisan dengan alam. Mereka pantang
melakukan perusakan terhadap alam karena dinilai bisa menjadi ancaman besar bagi budaya
mereka. Alam bukan hanya sumber kehidupan, melainkan juga sahabat dan guru yang telah

4
mengajarkan banyak hal bagi mereka. Dari alam mereka menemukan falsafah hidup,
membangun religiositas dan pola hidup seperti yang mereka anut hingga kini. Memanfaatkan
alam tanpa mempertimbangkan eksistensi budaya setempat tidak beda dengan penjajahan.
Namun, sejak kedatangan PT Freeport Indonesia, keharmonisan hubungan masyarakat Papua
dengan alam jadi berubah. Saya kira masih banyak contoh kearifan lokal di daerah lain yang
sarat dengan pesan-pesan moral bagaimana memperlakukan lingkungan dengan baik.

Namun, berbagai peristiwa tragis akibat parahnya kerusakan lingkungan sudah telanjur
terjadi. “Membangun tanpa merusak lingkungan” yang dulu pernah gencar digembar-gemborkan
pun hanya slogan belaka. Realisasinya, atas nama pembangunan, penggusuran lahan dan
pembabatan hutan terus berlangsung. Sementara itu, hukum pun makin tak berdaya menghadapi
para “bromocorah” lingkungan hidup yang nyata-nyata telah menyengsarakan jutaan umat
manusia. Para investor yang nyata-nyata telah membutakan mata dan tidak menghargai kearifan
lokal masyarakat setempat justru dianggap sebagai “pahlawan” lantaran telah mampu
mendongkrak devisa negara dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing
bangsa.
 
Meskipun demikian, hanya mencari “kambing hitam” siapa yang bersalah dan siapa yang
mesti bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah cara yang arif dan
bijak. Lingkungan hidup merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua
komponen bangsa untuk mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua warga masyarakat, dan komponen bangsa yang
lain harus memiliki “kemauan politik” untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan
hidup dari ulah tangan jahil para preman dan penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi
dengan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup yang nyata-
nyata telah terbukti menyengsarakan banyak umat manusia. Pedang hukum harus benar-benar
mampu memancung dan memenggal kepala para penjahat lingkungan hidup untuk memberikan
efek jera dan sekaligus memberikan pelajaran bagi yang lain.

Yang tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk membudayakan cinta lingkungan
hidup melalui dunia pendidikan. Institusi pendidikan, menurut hemat saya, harus menjadi

5
benteng yang tangguh untuk menginternalisasi dan menanamkan nilai-nilai budaya cinta
lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu. Nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat setempat perlu terus digali dan dikembangkan secara kontekstual
untuk selanjutnya disemaikan ke dalam dunia pendidikan melalui proses pembelajaran yang
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pola dan gaya penyajiannya pun tidak
bercorak teoretis dan dogmatis seperti orang berkhotbah, tetapi harus lebih interaktif dan dialogis
dengan mengajak siswa didik untuk berdiskusi dan bercurah pikir melalui topik-topik lingkungan
hidup yang menarik dan menantang.

Lingkungan hidup yang disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata
pelajaran tersendiri, tetapi disajikan lintas mata pelajaran melalui pokok-pokok bahasan yang
relevan. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru
Geografi atau IPA saja, misalnya, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata
pelajaran.

Mengapa budaya cinta lingkungan hidup ini penting dikembangkan melalui dunia
pendidikan? Ya, karena jutaan anak bangsa kini tengah gencar menuntut ilmu di bangku
pendidikan. Merekalah yang kelak akan menjadi penentu kebijakan mengenai penanganan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup
kepada anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan sama saja menyelamatkan lingkungan
hidup dari kerusakan yang makin parah. Dan itu harus dimulai sekarang juga. Depdiknas yang
memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan harus secepatnya “menjemput bola” agar
dunia pendidikan kita mampu melahirkan generasi masa depan yang sadar lingkungan dan
memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya.

Anda mungkin juga menyukai