Anda di halaman 1dari 3

Aku lahir dari keluarga yang sederhana.

Kehidupanku sejak kecil tidak kurang da


n tidak juga berlebihan. Terpenuhi. Aku sangat mencintai ayahku. Dan aku sangat
membenci ibu yang melahirkanku. Aku juga bukan anak yang bodoh dan juga bukan
anak yang pintar di kelas. Ayahku bilang aku cerdas, karena setiap semester aku
selalu masuk 3 besar. Ayahku seorang yang sangat baik, tidak pernah memukuliku
semarah apapun dia kepadaku, ia adalah seorang penyabar. Ayahku adalah guru ba
giku. Dia tahu apa yang aku sembunyikan di dalam hati. Dia tahu apa keinginanku
. Tahu bagaimana mengobatiku jika aku sakit atau patah tulang, karena ia dulun
ya adalah dokter yang tidak pernah praktek karena kecewa pada sesuatu hal. Ayah
ku lebih tepat seorang penganut atheis-logical, ia percaya pada Tuhan tapi tida
k percaya pada ajaran apapun. Dan menurutku tindakannya lebih beradab dan manus
iawi daripada mereka yang rajin ibadah setidaknya menurut pandanganku. Ayahku s
eorang demokratis. Intinya ia adalah sosok paling kukagumi dan banggakan walaup
un pekerjaannya hanya sebagai pekerja bebas setidaknya begitu yang tertera di
KTP-nya. Ayahku dibesarkan di panti asuhan yatim piatu dan diadopsi ketika beru
mur 5 tahun oleh keluarga sederhana. Satu hal yang membuatku membenci ibu yang
telah melahirkanku hingga saat ini, ketika suatu malam aku dimarahi dan dipukul
i karena tidak bisa mengerjakan PR. Aku sungguh tidak tahu apa yang dimaksud da
lam buku tersebut dan memang di sekolahpun aku belum diajarkan. Aku mengalami
trauma hingga beberapa tulangku retak dan aku tak lagi sanggup bertahan. Tubuhk
u biru dan memar oleh gagang sapu. Jeritan kesakitanku membuat ibuku membabi bu
ta.
Tiga hari aku tak sadarkan diri, dan ketika sadar, aku sedang terbaring di ruma
h sakit dengan selang infus di tangan dan hidung. Ibuku duduk dan tertidur disa
mping lenganku. Wajahnya tampak kubil, seperti habis menangis berhari-hari. Aku
mencari ayahku. Ia tidak ada. Ketika ibuku tersadar, aku pertama kali menanyak
an padanya, Papa, mana?, ibuku menjawab dengan airmata yang terus berderai. Pa
pa sedang pergi, sayang. Antara percaya dan tidak, tapi aku berpikir mungkin ay
ahku sedang ada pekerjaan. Pasti nanti malam atau besok pagi aku bisa menyapany
a. I miss you, Pa.
Setahun aku kehilangan ayahku, ibuku dan keluarga lainnya tidak pernah ada yang
bisa menjawab kemana ayahku pergi sebenarnya ketika aku bertanya. Hingga aku
mulai mengira-ngira, Papa ada dimana ya, sekarang?, Kenapa Papa meninggalkan, k
ami?, Atau sedang merantau?, Aku rindu sama Papa. Setiap hari aku selalu menung
gu di depan pintu rumah sebelum dan sesudah pulang sekolah, bahkan malam sebelu
m tidur akupun selalu turun kebawah melihat keluar, berharap ayahku pulang dan
sedang menunggu dibukakan pintu dengan membawa oleh2 martabak dan makanan kesuk
aanku seperti biasa. Aku selalu senang menyambutnya pulang kerja walau tanpa bu
ah tangan sekalipun. Dia adalah pahlawanku. Temanku. Sahabatku. Segalanya..

Lima tahun berlalu. Aku berhasil lulus dan masuk SMP. Ayah tidak juga pulang a
tau sekalipun menyurati kami. Bahkan tanpa berita sama sekali. Aku ingin sekali
membagi kebahagianku bersamanya saat itu. Bisa masuk SMP dengan nilai terbaik.
Antara benci dan rindu padanya saat aku membayangkan ketika kami bertiga berli
bur ke suatu tempat yang bagi orang lain tempat itu biasa saja, namun bagiku ad
alah saat-saat yang indah dan tak terlupakan. Ayahku selalu bisa membuat suasan
a menjadi momen indah dan berkesan. Ia sangat pandai membuat suasana menjadi ce
ria dan happy. Terbayang momen-momen indah ketika sesekali ayahku pulang memba
wa makanan yang banyak dari warteg depan pasar jika habis menyelesaikan pekerja
an dan upahnya dibayar, karena waktu itu kami hanya hidup berkecukupan sehingga
untuk makanpun saat itu kami harus bagi bertiga setiap hari. Kadang-kadang aya
hku selalu berbohong dengan mengatakan, Papa sudah makan. Kenyang atau Papa tid
ak suka, atau Kamu saja yang habiskan. Kalau tidak, ya buang saja. Hari-hariku
berdua dengan ibu tidak sehangat bersama ayah. Ibuku tidak lagi pernah memukul
iku dan mulai berubah lebih sabar dan menyayangiku sejak aku pulang dari rumah
sakit. Mungkin karena ayahku belum pulang, mungkin ketika ayahku sudah dirumah,
aku akan dipukul lagi setidaknya begitu pikiranku, hehe..
Tepat di tahun ke tujuh, atau 13 tahun berlalu tanpa ayah, aku berpendapat bahw
a ia telah pergi untuk selamanya, atau yang paling ekstrim, ayahku pergi dengan
wanita lain dan hidup bahagia dan melupakan kami. Ah, tidak mungkin! Ayahku bu
kan tipe seperti itu. Aku tidak percaya! Tidak! Ayahku baik!

Hari itu adalah hari kebahagianku, dimana aku lulus menjadi sarjana, tukang ins
inyur kata bang Doel, sama seperti ayahku yang juga sarjana engineering, i-er.
Dan bukan hanya itu saja, aku juga sudah teken kontrak kerja menjadi karyawan
tetap sebuah perusahaan pesawat terbang yang cukup terkenal di dunia seiring c
ita-citaku sejak kecil ingin menjadi pilot komersial tapi tidak jadi karena se
jak semester IV aku terpilih dari ribuan mahasiswa menjadi pekerja magang diper
usahaan perwakilan tersebut. Dan minggu depan aku akan berangkat ke Amerika ber
sama calon istriku, Sarah. Dan kami berencana dua hari kedepan akan menikah sec
ara sederhana, walaupun kondisi perekonomian kami saat itu sudah sangat jauh le
bih baik dari sebelumnya, karena uang pengganti transport-ku sebulan selama ma
gang, sudah mampu membiayai kuliah dan hidup aku dan ibu selama dua bulan kedep
an.
Kebahagiaanku tidak berhenti sampai disitu saja, ketika selesai foto didepan co
nvention hall, seseorang yang tidak asing bagiku, walaupun belasan tahun tidak
bertemu muncul diantara kerumunan para sarjana baru yang tampak riang berfoto d
an bercengkerama bersama keluarga dan kerabat di siang yang mendung menyelimuti
Jakarta. Aku terpana. Hanya bisa menelan ludah. Lidahku kaku. Tak mampu berbic
ara. Mulutku terkunci. Tubuhku merinding berkali-kali. Shacking. Suasana ceria
berubah menjadi dramatis, ibuku yang anggun dengan kebayanya menunduk pelan dan
mulai berderai air mata. Tanteku adik kandung ibuku bersama suami dan putri
nya juga terpana melihat kami begitu tegang dan gugup. Sarah tak kalah. Sosok y
ang kukenal itu menghampiriku tenang, tertatih dengan senyum kecil dan tongkat
di tangan kirinya. Aku berlari memeluknya. Papa, darimana saja? Kenapa papa men
inggalkan kami? Kenapa? aku tak sanggup menahan getar haru di dadaku, dan air m
ataku mulai berkumpul di pelupuk mata. Kulihat sekelilingku. Ibuku sedang berpe
lukan dengan tanteku, menangis dipundaknya. Dan eyangku terduduk lemas diatas s
ebuah kursi. Menyaksikan adegan reality itu. Terima kasih. Siapapun engkau ata
u Tuhan. Keinginanku terkabul. Terima kasih, siapapun engkau gumanku. Aku bukan
papamu, nak. Aku saudara kembar papamu. Laki2 itu berbisik. Suaranya tertahan.
Saudara kembar? tanyaku sambil melepas pelukannya, memandangi bola matanya dan
melihat ibuku, meminta kejelasan.

Akhirnya kami pulang ke rumah bersama eyang, saudara kembar ayah katanya, istr
i saudara kembar ayah katanya juga, dan Sarah. Sementara Tante, Oom dan kemena
kanku mengendarai mobilnya menuju rumah kami.
Dave, nama saudara kembar ayah. Papamu sudah meninggal 13 tahun yang lalu, nak.
Mamamu tidak menceritakannya. Di hari kamu siuman saat di rumah sakit suaranya
membuka suasana hening di ruang tamu rumah kami yang minimalis. Peninggalan ay
ahku. Ibuku masih terisak di pelukan tante dan eyangku. Bagaimana bisa terjadi?
Kecelakaan? tanyaku mendesak. Vidia, aku minta maaf, karena dia sudah dewasa
dan harus tahu. Bolehkah? Oom Dave meminta persetujuan ibuku, Vidia. Ia hanya m
engangguk pelan. Saat itu kamu pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Papamu tidak
bisa menolong kamu karena kamu mengalami luka dalam serius yang harus membutuhk
an alat medis profesional. Saat itu dokter bertanya kenapa kamu bisa mengalami
luka seperti itu. Papamu mengatakan bahwa kamu dipukul olehnya. Dokter itu meno
long kamu, dan papamu ditangkap pol***. Papamu mengakui perbuatan yang tidak ia
lakukan hingga ia masuk sel. Hari kedua papamu kritis karena disiksa dan dipu
kuli oleh p****i. Dan di hari ketiga karena lukanya yang parah dan tidak segera
diobati, papamu akhirnya meninggal, nak. Aku menggeram. Hatiku panas dan sedih
luar biasa. Tigabelas tahun aku menanti kehadirannya siang malam. Aku memandan
gi ibuku dengan tatapan tajam dan ingin sekali menyalahinya. Ingin sekali aku m
emakinya. Ingin sekali aku .. ach, aku tak sanggup melihatnya yang menangis kak
u. Aku tidak lagi mampu berbicara. Aku geram dan sakit hati melihat ibuku. Papa
mu melakukan itu karena ia berpendapat, jika mamamu yang masuk tahanan maka ti
dak ada yang bisa merawat dan mendidik kamu hingga bisa seperti ini. Papamu men
cintai mamamu dan kamu, nak. Dia telah berkorban untuk keluarganya. Dia adalah
pahlawan dalam jiwa kalian, nak. Hening. Aku benci ibuku!

Komplek pamakaman yang teduh. Sehari sebelum pernikahan sederhana kami. Sunyi d
an tenang. Sebuah nisan marmer salib sederhana terukir, Disini terbaring dengan
tenang, Papaku tersayang dan suamiku tercinta, tiada pernah ada orang lain yan
g bisa menggantikanmu. Maafkan Mama, Pa.. aku tak mampu membendung air mata yan
g sudah menggenang. Lahir 13 Maret 1963 Meninggal 13 Maret 1995.
Disamping makamnya yang sederhana dan rapih, aku bersujud meminta restunya ber
sama Sarah. Ibuku duduk di samping makam ayahku ditemani Oom Dave dan istrinya,
tanteku dan suaminya, memeluk nisan. Aku menahan haru. Sarah bangkit dan memel
uk ibuku yang terisak. Mama, aku sayang padamu dan langit pun turut berduka, hu
jan..

Anda mungkin juga menyukai