Anda di halaman 1dari 8

perwALian

(Hak dan kewajiban suami-isteri)

Tentang hak dan kewajiban suami dan isteri, BW mengaturnya dalam pasal-pasal 103 s/d 118.
Walaupun pasal 103 BW berbunyi:
"Suami dan isteri, mereka harus saling setia, tolong-menolong dan bantu membantu
sedangkan pasal 33 UUP berbunyi:
"Suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satu kepada yang lain";

dengan lain perkataan nadanya hampir sama, akan tetapi menurut bunyi pasal-pasal lainnya
dari .kedua undang-undang itu, apa yang diatur dalam UUP mengenai hal ini jauh berbeda
dengan aturan yang terdapat dalam BW, yaitu kekuasaan dan atau wewenang yang diberikan
kepada suami menurut BW sangat atau terlalu atau jauh lebih benar (baca pasal-pasal 105, 106,
108, 110, misalnya), jika dibandingkan dengan yang diatur dalam UUP, di mana hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan walaupun suami merupakan kepala
keluarga dan isteri ibu rumah tangga, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum (pasal 31 UUP).

Kewajiban pokok/utama
Menurut BW ada dua kewajiban pokok/utama suami-isteri tentang perikatan perdata (burgerlijke
verbintenis) dalam perkawinan, yaitu:
a. antara mereka yang satu terhadap lainnya harus setia, saling menolong dan saling membantu
(pasal 103); dan
b. bahwa mereka harus memelihara dan mendidik semua anak mereka (pasal 104).
Selama perkawinan itu berlangsung mereka boleh:
— menuntut perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) (ex pasal 233);
— meminta pengampuan (curatele) yang satu untuk yang lainnya, yaitu suami meminta
pengampuan untuk isteri-nya dan isteri untuk suaminya (pasal 434 ayat 3). Persamaan
hak/wewenang antara mereka, antara lain:
tentang perwalian, yaitu jika salah seorang di antara mereka meninggal dunia, maka perwalian
terhadap anak-anak sah yang belum cukup umur, demi hukum dipangku oleh salah seorang di
antara mereka yang masih hidup, apabila yang hidup terlama itu tidak telah dibebaskan atau
dipecat dari kekuasaan-orangtua (pasal 345);
suami-isteri saling mewaris, yaitu jika suami meninggal dunia salah seorang ahliwarisnya (bila
terdapat lebih dari seorang ahliwaris) adalah isterinya, bila ia hanya -meninggalkan isterinya
saja, maka isterinya itu merupakan satusatunya ahliwaris; hal demikian berlaku sebaliknya (pasal
852a; mereka pun boleh saling mewaris dengan surat wasiat (pasal 895 dst.);
—        pada keterangan dugaan kematian antara suami-isteri, isteri atau suami yang hadir
(aanwezige) boleh meneruskan harta campur/persatuan (huwelijksgemeenschap) suami-isteri itu
(pasal 483).
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh/antara suami-isteri, antara lain:
—        antara suami-isteri tidak boleh mengadakan perjanjian jual-beli atau hibahan (ex pasal-
pasal 1467 dan 1678), dengan kekecualian-kekecualian sebagaimana disebut dalam pasal-pasal
itu;
—        dalam perkawinan kedua dst., bila terdapat anak (anak) yang lahir dari perkawinan
dahulu (voorkinderen), suami atau isteri baru itu tidak boleh menikmati manfaat yang lebih besar
daripada jumlah bagian terkeeil dari salah seorang voorkinderen itu, dengan batas maksimum
seperempat dari harta kekayaan isteri atau suami yang kawin untuk kedua kalinya itu (pasal-
pasal 181, 852a dan 902); baik suami maupun isteri tidak boleh menghibahwasiatkan
(beschikken) barang-barang dari harta campur (persatuan) mereka, sekedar barang-barang itu
menjadi bagian mereka masing-masing dalam persatuan itu (pasal 903).

Perbedaan hak/wewenang
Perbedaan hak/wewenang antara suami-isteri menurut BW,

dapat kita kelompokkan dalam tiga hal, yaitu mengenai pribadi (persoon) mereka, mengenai
harta -benda/ ke kayaan mereka dan mengenai anak-anak mereka.

1. Mengenai pribadi (persoon), antara lain dan terutama sebagai berikut:

(1) Suami merupakan kepala dalam persatuan (echtvereniging) (pasal 105).

(2) Suamilah yang melindungi isterinya (pasal 107); dalam perkara perceraian, isteri yang berhak
menuntut tunjangan nafkah (pasal 213), kecuali dalam ketentuan pasal 225.

(3) Isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya, tinggal serumah dengan suaminya
(berdomisili yang sama) dan mengikuti suami yang dianggapnya perlu/berguna (pasal 106).

(4) Suami boleh segera kawin lagi setelah putusnya perkawinan, isteri harus menunggu selama
300 hari semenjak perkawinan terakhir putus/bubar (pasal 34).

(5) Suami tak perlu mendapat suatu izin dari isterinya untuk melakukan suatu usaha, sedangkan
isteri hanya dengan izin yang tegas atau secara diam-diam dari suaminya (pasal 113).

(6) Kuasa yang diberikan kepada seorang wanita berakhir dengan perkawinan wanita itu (pasal
1813). Hal demikian tidak berlaku untuk suami.

(7) Wanita bersuami tidak diperbolehkan menjadi pelaksana wasiat (testamentaire executrice)
(pasal 1006). Pria/suami boleh.

(8) Tanpa bantuan dalam akta, atau dengan izin tertulis d4ri suaminya, isteri tidak boleh
melakukan pengikatan atau mengadakan sesuatu perjanjian yang bersifat peralihan/ pelepasan
hak atau memperolehnya, baik dengan cumacuma maupun atas beban (bezwarende titel) (pasal
108). Baca pula pasal-pasal 109 tentang belanja rumah tangga biasa dan sehari-hari, 113 tsb., 114
tentang izin Hakim dalam keadaan suami tak-hadir, 1684 tentang hibahan kepada wanita
bersuami.
(9) Wanita bersuami tidak boleh menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya (pasal
110), dengan hak isteri meminta kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka bersama,
supaya dikuasakan untuk itu (pasal 112).

Catatan:
Bandingkan dengan UU No. 1/1974 Bab VI (ps. 30 s/d 34) tentang Hak dan kewajiban suami
isteri).

2. Mengenai harta-benda/kekayaan, antara lain dan terutama sebagai berikut-:

(1) Suami sendiri yang harus mengurus harta, baik kekayaan bersama/persatuan maupun milik
pribadi isterinya (pasal 124 dan 105 ayat 3). Ia bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam
pengurusan itu (pasal 105 ayat 4).

(2) Dalam perjanjian kawin dapat dijanjikan bahwa isteri akan mengatur sendiri urusan
harta/kekayaan milik pribadinya, baik harta gerak maupun tak-gerak, dan juga akan menikmati
sendiri dengan betas semua pendapatannya pribadi (pasal 140 ayat 2).

(3) Suami boleh menjual, memindahtangankan (vervreemden) dan membebani (bezwaren) harta
campur/persatuan suami isteri, namun tanpa persetujuan isteri, suami tak boleh mengalihkan atau
melepaskan hak atas harta tetap (tak-gerak) milik isteri dan harta lainnya sebagaimana diperinci
dalam pasal 140 ayat 3 jo. pasal 105 ayat 5).
(4) Isteri mempunyai hak utama untuk mengajukan tuntutan kepada Hakim guns mengadakan
pemisahan harta-bends/ kekayaan (scheiding van goederen), jika suami memboroskan atau jelek
dalam pengurusan harta bersama mereka (pasal 186).

(5) Isteri berhak untuk melepaskan haknya atas harta campur (persatuan/bersama) suami-isteri
(pasal 132). Suami tidak.

(6) Isteri berhak membuktikan adanya dan harganya barang-barang bergerak yang jatuh padanya
sepanjang perkawinan dalam hal tak adanya surat pertelaan, dengan saksi-saksi atau pengetahuan
umum (algemene bekendheid) (pasal 166 ayat 3). Suami tidak.

(7) Tanpa bantuan suaminya atau kuasa Hakim, isteri boleh melaksanakan pembu kuan /pen
daftaran (inschrijving) hipotik yang dalam perjanjian kawin kepadanya telah dijanjikan (pasal
1171 ayat 4).

(8) Tanpa izin suaminya, isteri berhak membuat surat wasiat atau menikmati keuntungan dari
suatu surat wasiat (pasal 896 dan 118).

Catatan:
Bandingkan dengan Bab VII (ps 35 s/d 37) tentang Harta benda dalam Perkawinan.

3. Mengenai anak-anak, antara lain dan terutama sebagai berikut:


(1) Tiap-tiap anak, tanpa dibedakan umur, wajib menghormati dan menyegani ayah dan ibu
mereka (orang-tua), sebaliknya orangtua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka
yang belum dewasa (belum cukup umur) (pasal 298 dan 301).

(2) Sepanjang perkawinan ayah dan ibu, anak-anak yang belum dewasa bernaung di bawah
kekuasaan mereka (ouderlijke macht), kecuali jika ayah dan ibu itu dibebaskan atau dipecat dari
kekuasaan itu (pasal 299). Yang melakukan kekuasaan tersebut ayah sendiri, dengan kekecualian
yang disebut dalam pasal 300.

(3) Bagi anak-anak yang belum dewasa, untuk mengikat diri dalam perkawinan diperlukan izin
dari kedua orangtua mereka (pasal 35 dst.).

(4) Anak-anak yang berkelakuan jelek dan tidak memuaskan ayah atau ibu — atas permintaan
mereka atau Dewan Perwalian — dengan perintah Pengadilan Negeri dapat ditampung dalam
sebuah Lembaga Negara atau Swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman (dahulu Directeur
van Justitie) (pasal 302, 303 dan 304).

(5) Anak-anak luar kawin yang dengan sah telah diakui (natuurlijke erkende kinderen) tidak
bernaung di bawah kekuasaan orangtua, melainkan semata-mata di bawah perwalian (pasal 306).

Catatan:
Bandingkan dengan UU No. 1/1974 Bab IX (ps 42 s/d 44) tentang Kedudukan Anak.
Bagian sembilan
Hukum harta-benda perkawinan
(huwelijksgoederenrecht)
(pasal 119 dst. BW)

I. Harta-campur menurut undang-undang (wettelijke gemeenschap van goederen)

a. Terjadinya dan pengurusan harta-campur


Terjadinya harta-campur (persatuan/persekutuan) lengkap/ bulat (algehele gemeenschap van
goederen) demi hukum .mulai berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan antara suami-
isteri, apabila/sekedar mengenai hal itu mereka tidak mengadakan ketentuan lain dengan
perjanjian kawin (huwelijksvoorwaarden) (119 alines 1 BW).

Sepanjang perkawinan gabungan harta (gemeenschap) itu tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan/perjanjian (overeenkomst) antara suami dan isteri. Tujuan ketentuan ini
ialah demi kepentingan mereka yang berpiutang (para kreditur) ybs.
— Sehubungan dengan larangan perubahan ini perlu dibaca pula pasal-pasal 1467 dan 1678 BW,
berturut-turut tentang larangan jual-beli dan hibahan antara suami-isteri dengan kekecualiannya.

Gabungan percampuran harta itu terdiri dari:


a. Sebagai labanya:
(1) Semua harta-benda suami dan isteri, baik yang gerak maupun yang tak-gerak, baik yang ads
sekarang maupun yang akan mereka peroleh kelak, juga bila perolehan mereka itu secara cuma-
cuma. Mengenai hal terakhir ini pewaris atau penghibah dengan tegas dapat menentukan lain
(120 BW), dan
(2) Semua hasil (vruchten), pendapatan (inkomsten) dan untung (winst) yang diperoleh
sepanjang perkawinan (122 BW).

b. Sebagai beban (lasten)-nya:


(1) meliputi semua utang suami-isteri masing-masing, baik yang dibuat/terjadi sebelum maupun
sepanjang perkawinan (121 BW) dan

(2) semua rugi (verlies) sepanjang perkawinan (122 BW).

Hak-hak yang sangat pribadi (hoogstpersoonlijke rechten) tidak masuk percampuran. Hak-hak
ini tetap merupakan hak pribadi dari suami atau isteri ybs ("melekat"), kecuali nilai (waarde)-
nya. Hak-hak itu antara lain hak-hak atas:

gaji, pensiun, alimentasi, pakai dan mendiami (gebruik en bewoning) ex pasal 818 BW, hak
orang tua atas nikmat-hasil (ouderlijk vruchtgenot) dan (biasanya) keanggotaan dari suatu
perkumpulan atau maatschap.

Setelah pecah/bubarnya percampuran itu, maka:


— Semua pendapatan dan keuntungan atau kerugian dan pengeluaran menjadi keuntungan atau
kerugian dari dia yang mengadakannya. Sebagai contoh baca pasal 123 dan 1100 BW.
— Mengenai pertanggungan jawab untuk utang bersama antara suami-isteri dapat dimaklumi
dari bunyi pasal-pasal 113, 130 dan 131 BW yang menyangkut kewajiban dan pertanggungan
jawab ("contribution" dan "obligation").

Tentang hak (wewenang) suami-isteri atas/terhadap percampuran itu adalah sebagai berikut:

Suami sendiri berhak untuk melakukan pengurusan (beheren) atas semua harta campur itu, iapun
diperbolehkan untuk men-jual atau secara apapun mengalihkan/melepaskan hak (beschikken)
atau membebaninya tanpa campur tangan isteri (kekecualiannya ada menurut pasal 140 ayat 3),
akan tetapi ia tidak boleh menghibahkan, baik barang tak-gerak ataupun barang gerak
seluruhnya, sebagian tertentu atau sejumlah dari itu, kecuali untuk menyelenggarakan suatu
kedudukan bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan suami-isteri itu (pasal 124 dan baca pula
pasal 1086 BW); pula suami itu tidak boleh menghibahkan suatu barang gerak tertentu dengan
syarat (ketentuan) bahwa hak pakai-hasil (vruchtgebruik)-nya tetap ada padanya (pasal 124 ayat
4 BW).

Isteri hanya boleh mengikat atau mengalihkan/melepaskan hak (vervreemden) atas harta campur
itu apabila:
(1) suami tidak ada di tempat/tak-hadir (afwezig),
atau
(2) suami karena sesuatu hal tidak mungkin (tak mampu) menyatakan kehendaknya dan pula
tidak terdapat hal yang segera dan terpaksa harus dilakukan (onverwijlde noodzakelijkheid),
itupun setelah mendapat kuasa dari Pengadilan Negeri (pasal 125 jo 114 BW).

b. Pecah/bubarnya percampuran harta


Hal-hal yang menyebabkan pecah/bubarnya harta-campur itu menurut pasal 126 BW, demi
hukum (van rechtswege) karena:
(1) kematian,
(2) berlangsungnya suatu perkawinan atas izin Hakim, setelah adanya keadaan tak-hadir suami,
(3) perceraian,
(4) pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) dan
(5) pisah harta-benda (scheiding van goederen).

Setelah percampuran harta itu pecah/bubar, maka isteri berhak dalam waktu satu bulan setelah
pecahnya percampuran itu melepaskan (afstand doen) haknya atas percampuran itu, dengan
ketentuan bahwa segala perjanjian yang bertentangan dengan hak isteri ini adalah batal (nietig)
(pasal 132 dst. BW). Yang menjadi keharusan bagi duda atau janda setelah meninggalnya isteri
atau suaminya, jika terdapat anak mereka yang masih di bawah umur (minderjarig), yaitu:

Dalam waktu tiga bulan setelah meninggalnya isteri atau suaminya itu ia (yang masih
hidup/langstlevende), harus menyelenggarakan pendaftaran harta-campur (boedelbeschrijving)
suami-isteri itu, dengan dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan selaku wali-pengawas (toeziende
voogdes).
Bila ia (duda/janda itu) tidak atau lalai untuk melakukannya, maka percampuran itu berjalan
terus, akan tetapi atas kebahagiaan/keuntungan dan sekali-kali bukan atas kerugian anak di
bawah umur itu.

Sanksi ini berlaku pula apabila pendaftaran boedel itu dilakukan tetapi tanpa hadirnya wali-
pengawas tersebut. Atas kebahagiaan/keuntungan tsb di atas bermakna, bahwa semua apa yang
diperoleh duda atau janda itu sejak meninggalnya isteri atau suaminya itu sampai
terselenggaranya pendaftaran harta peninggalan (boedel) itu, baik karena hibahan, pewarisan
(erfenis), hibah wasiat (legaat), maupun untung atau dengan cara bagaimanapun
mendapatkannya, dianggap merupakan harta-campur dan setengahnya jatuh (menjadi hak) anak
di bawah umur itu. (pasal 127 BW).

Menurut ketentuan pasal 128 BW, setelah persatuan /percampuran itu pecah (bubar), maka harta-
campur itu dibagi dua antara suami dan isteri atau ahliwaris mereka tanpa memperhatikan
(memperdulikan) dari pihak mana harta itu berasal atau siapa yang memperolehnya, menurut
cara yang ditetapkan dalam pasal-pasal 1066 dst. BW tentang pemisahan harta peninggalan.

Pertanggungan jawab (pihak) suami tentang utang setelah pecahnya percampuran tsb sebagai
berikut:
—        Suami/duda atau ahliwarisnya bertanggung jawab (aansprakelijk) atas pembayaran
seluruh utang campuran, akan tetapi ia berhak untuk menuntut kembali separuhnya dari utang itu
kepada isteri/janda atau ahliwarisnya (pasal 130 BW).
—        Suami/duda atau ahliwarisnya menikmati bagian dari isteri/ janda, yang dilepaskan
haknya oleh ahliwarisnya (pasal 135 BW), dengan pengecualian hak atas tumbuh bagian
(aanwas) menurut pasal 1059 BW, akan tetapi sebaliknya suami/duda atau ahliwarisnya harus
membayar utang dari bagian yang ditolak itu (pasal 135 ayat 2 BW).

Hak dan kewajiban (pihak) isteri akibat dari pecah/bubarnya percampuran harta itu ialah ia atau
ahliwarisnya:

tidak boleh melepaskan hak atas percampuran itu, selain dari dalam waktu satu bulan setelah
pecahnya percampuran itu menyampaikan akta pelepasan hak kepada Panitera Pengadilan Negeri
tempat tinggal suami isteri bersama;
—        karena pelepasan hak itu maka ia atau ahliwarisnya betas dari kewajiban dalam turut
membayar utang percampuran (pasal 132 ayat 2 BW);
—        namun tetap wajib membayar utang yang telah dibuatnya sendiri, sebagai pedagang
(openbare koopvrouw) atau yang sudah ada sebelum dilangsungkannya perkawinan; akan tetapi
ia atau ahli-warisnya berhak untuk menuntutnya kembali seluruhnya kepada suami/duda atau
ahliwaris suami itu (pasal 132 ayat 3 BW).

Ahliwaris isteri berhak pula untuk melepaskan hak mereka atas percampuran /persatuan itu,
bilamana (dalam hal) isteri/janda dalam tenggang waktu satu bulan setelah pecahnya
percampuran itu meninggal dunia tanpa/sebelum pelepasan hak para ahliwarisnya dalam waktu
sebulan setelah meninggalnya isteri/janda atau setelah mereka mengetahui hal kematian itu
melepaskan hak atas atau menolak harta-campur itu menurut cara yang diatur seperti untuk
isteri/janda (pasal 134 dan 138 BW).
Setelah terjadinya pelepasan hak atas harta-campur itu harta yang dapat dituntut oleh isteri/janda
dari percampuran itu hanya selimut-seprei dan pakaian pribadinya (pasal 132 BW). Hal ini tidak
berlaku bagi ahliwaris isteri/janda itu (pasal 134 ayat 2 BW). Apabila harta-campur antara suami
dan isteri itu bubar/pecah, harta yang boleh diminta kembali oleh pihak asalnya semula ialah:
pakaian, perhiasan dan perkakas yang termasuk dalam mats pencaharian, perpustakaan,
himpunan barang kesenian dan keilmuan, surat atau tanda peringatan keturunan; itupun asalkan
dengan pembayaran harganya menurut taksiran suami-isteri itu atau oleh ahli (pasal 129 BW).

Isteri/janda atau ahliwarisnya akan kehilangan haknya (mereka) untuk melepaskan persatuan:

1) bila ia (mereka) telah menarik harta-campur dalam perhatiannya, yaitu bila tingkah lakunya
seperti pemilik bersama (mede - eigenares/eigenaren) (136 dan 1048 BW).

2) bila ia (mereka) telah menghilangkan atau menggelapkan sesuatu barang dari percampuran
/persatuan (137 BW).

3) Karena lampaunya tenggang waktu satu bulan dalam waktu mana akta pelepasan hak itu harus
disampaikan kepada Panitera Pengadilan Negeri menurut pasal 133 BW itu.

Anda mungkin juga menyukai