Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya secara normatif, pengangkut udara bertanggung jawab untuk
kerugian sebagai akibat dari luka atau jelas (lichamelijke letsel) pada tubuh penumpang,
bila kecelakaan itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara, terjadi di atas pesawat
terbang, dan selama jangka waktu antara naik dan turun dari pesawat terbang (Pasal 24
ayat (1) OPU).
Meskipun Indonesia telah memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945, masih
banyak peraturan perundang-undangan peninggalan jaman kolonial Belanda yang belum
diubah atau dicabut. Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945
peraturan perundang-undangan tersebut masih tetap berlaku. Salah satu di antaranya
adalah Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer-ordonantie) 1939.
Ordonansi 1939 diundangkan setelah Negeri Belanda meratifikasi Konvensi
Warsawa 1929 beserta Protokol Tambahannya pada tangga 1 Juli 1933. Konvensi
tersebut mulai berlaku bagi negeri Belanda, Hindia Belanda (Indonesia), Suriname dan
Curacao pada tanggal 29 september 1933.
Meskipun Ordonansi 1939 diperuntukan bagi angkutan udara domestik, namun
bagian terbesar dari Pasal-pasalnya diambil dari pasal-pasal Konvensi Warsawa.
Beberapa tambahan dan modifikasi kecil dilakukan, namun bagian terbesarnya
merupakan salinan dari Konvensi Warsawa. Mengenai berlakunya pasal-pasal Konvensi
Warsawa 1929 tersebut lebih jelas terlihat dari mukadimah dan beberapa pasal Ordonansi
1939 yang secara tegas menyatakan hubungan antara Ordonansi dengan Konvensi
Warsawa. Dalam Mukadimah Ordonansi 1939 dinyatakan bahwa pembentukan peraturan
angkutan udara domestik adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian yang di buat di
Warsawa pada Tanggal 12 Oktober 1929 yang mulai berlaku bagi Hindia Belanda
(Indonesia) sejak tanggal 29 September.
dan berkaitan dengan dasar hukum itu semua, yang pada perkembangannya
dijadikan pijakan aturan bagi pelaksanaan pengangkutan udara dan substansi tanggung
jawabnya baik secara nasional maupun internasional.
2. Perumusan Masalah
Melalui makalah ini penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan
dengan substansi prinsip tanggung jawab pengangkut udara. Adapun perumusan
masalahnya ialah sebagai berikut:
1) Prinsip Tanggung jawab pengangkut udara berdasarkan substansi
Ordonansi 1939
2) Keuntungan dan kelemahan dari prinsip tanggung jawab atas dasar
praduga (presumption of liability)
BAB II
PEMBAHASAN

Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Udara


1. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Ordonansi 1939
Prisnsip tanggung jawab pengangkut yang dianut dalam ordonansi pengangkutan
udara 1939 adalah sama dengan yang dianut oleh konvensi Warsawa 1929 atau Konvensi
Warsawa Hague 1955, yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (rebuttable
presumption of liability). Berdasarkan prinsip ini pengangkut dianggap selalu
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul kecuali bila dia dapat membuktikan bahwa
dia dan/ atau para pegawainya telah melakukan semua tindakan yang perlu untuk
menghindari terjadinya kerugian atau bahwa hal itu tidak mungkin mereka lakukan.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga ini adalah suatu kesimpulan yang
ditarik dari ganbungan antara Pasal 24 dan 25 dengan pasal 29 Ordonansi Pengangkutan
Udara 1939. Pasal 24 menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian
akibat penumpang meninggal dunia, luka atau penderitaan badani lainnya apabila
kecelakaan yang menyebabkan kerugian tersebut ada hubungannya dengan pengangkutan
udara dan terjadi dalam pesawat udara atau ketika sedang melakukan embarkasi atau
disembarkasi. Pasal 25 menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian
akibat bagasi atau kargo musnah, hilang atau rusak apabila kejadian yang menyebabkan
kerugian tersebut terjadi selama pengangkutan udara, yaitu selama bagasi atau kargo
tersebut berada dalam pengawasan pengangkut baik di pelabuhan udara atau di dalam
pesawat udara, atau dimana pun dalam hal pendaratan darurat di luar pelabuhan udara.
Sedangkan pasal 29 menyatakan bahwa pengangkut bebas dari tanggung jawab bila dia
dapat membuktikan bahwa dia dan para pegawainya telah mengambil semua tindakan
yang perlu untuk menghindari kerugian atau bahwa hal itu tidak mungkin dilakukannya;
atau (dalam hal bagasi dan kargo), dia dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
akibat suatu kesalahan dalam pengemudian, pengoperasian pesawat atau navigasi.
Jadi dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
(presumptio of liability) dalam Ordonansi (yang mengikuti konvensi warsawa),
pengangkut adalah prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Tapi
karena berdasarkan asas praduga (presumption) maka pengangkut dapat menghindarkan
diri dari tanggung jawab bila ia dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah
(absence of fault). Sebenarnya, prinsip ini berlandaskan pada prinsip tanggung jawab atas
dasar kesalahan (fault liability) tapi dengan pembalikan beban pembuktian kepada pihak
pengangkut (tergugat). Penerapan prinsip ini mencerminkan adanya suatu quid pro quo
antara pengangkut dan pengguna jasa angkutan, dalam arti meletakkan beban pembuktian
ke pundak pengangkut sebagai imbalan atas kehilangan kesempatan bagi para pengguna
jasa angkutan memperoleh santunan secara tak terbatas dari pihak pengangkut.

2. Keunggulan dan Kelemahan Prinsip Tanggung Jawab Atas Dasar Praduga


Penerapan prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga atau presumptio of
liability mengandung beberapa keunggulan maupun kelemahan, baik ditinjau dari segi
kepentingan pengangkut maupun dari segi kepentingan pengguna jasa angkutan
(konsumen ). Dalam pembahasan mengenai kebaikan atau keuntungan dan kelemahan
dari penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut udara, ada beberapa faktor yang erat
kaitannya dengan keputusan untuk menentukan prinsip apa yang akan dipilih. Faktor-
faktor tersebut antara lain, perkembangan teknologi penerbangan dan keadaan sosial
ekonomi masyarakat.
Pada dasarnya prinsip tanggung jawab pengangkut hanyalah salah satu unsur saja
dari suatu sistem pertanggungjawaban pengangkut. Unsur-unsur lain yang juga penting
dalam menentukan sistem pertanggungjawaban pengangkut dalam hukum angkutan udara
misalnya adalah tentang pembatasan tanggungjawab, ruang lingkup tanggung jawab,
proses pembayaran santunan, kemungkinan pembebasan tanggung jawab, kewajiban
asuransi atas tanggung jawab pengangkut.

a) Keunggulan (keuntungan) prinsip presumptio of liability


Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa faktor-faktor yang erat kaitannya
dengan penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut udara adalah perkembangan
teknologi penerbangan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Pemilihan prinsip
presumptio of liability atau prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga sudah barang
tentu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa prinsip tersebut adalah yang
terbaik dibanding dengan prinsip lain.
Untuk mengetahui alasan atau pertimbangan mengapa prinsip ini yang diterapkan,
dapat ditelusuri sejarah terbentuknya Ordonansi Pengangkutan Udara 1939. Seperti telah
dijelaskan di muka bahwa ordonansi 1939 diundangkan setelah negeri Belanda
meratifikasi Konvensi Konvensi Warsawa 1929 beserta Protokol Tambahannya pada
tahun 1933. Oleh karena bagian terbesar ketentuan-ketentuan Ordonansi 1939 merupakan
salinan saja dari ketentuan-ketentuan Konvensi Warsawa 1929, termasuk ketentuan
tentang tanggung jawab pengangkut, maka alasan-alasan dari para pembentuk Konvensi
untuk menerapkan prinsip presumption of liability berlaku pula bagi ordonansi.
Apabila kita simak dari penjelasan Mr. Pittard, Rapporteur Komisi Penyusun
Draft Konvensi, di depan Konfrensi Paris 1925 maupun penjelasan Mr. Henri De Vos,
Rapporteur CITEJA, di depan Konvensi Warsawa 1929 maka prinsip presumption of
liability adalah sebagai alternatif dari diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak (risk
theori, absolute libility). Sebagai pertimbangan tidak diterapkannya prinsip tanggung
jawab mutlak kepada pengangkut udara karena pada waktu itu angkutan udara masih
pada awal pertumbuhannya, sehingga resiko akan kemungkinan timbulnya kecelakaan
jauh lebih besar dibanding angkutan kereta api yang sudah berumur seratus tahun lebih
dahulu. Apabila prinsip tanggung jawab mutlak yang diterapkan, akan terlalu
memberatkan pihak pengangkut karena disamping teknologi penerbangan pada saat itu
masih belum mencapai tingkat kecanggihan yang dapat diandalkan juga ditinjau secara
ekonomis perusahaan penerbangan masih sangat lemah. Pada waktu itu, perlindungan
(protection) dianggap perlu diberikan kepada pengangkut udaraterhadap kemungkinan
kerugian yang bukan karena kesalahannya. Oleh karena tanggung jawab pengangkut
hanyalah suatu praduga (a presumption) dengan sendirinya pengangkut mempunyai hak
untuk mengemukakan bukti-bukti yang dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawab.
Di samping itu tidak diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak karena pada waktu itu
setiap orang yang memilih angkutan udara sebagai alat transportasinya dianggap telah
menyadari akan resiko yang mungkin timbul dari sarana angkutan yang masih baru
berkembang. Perlindungan lainnya yang diberikan kepada pengangkut atas kemungkinan
terjadinya kecelakaan besar (a catastrophic accident) yang secara ekonomis dapat
menghancurkan usahanya adalah dengan pembatasan tanggung jawab pengangkut sampai
sejumlah tertentu.
Keunggulan atau keuntungan prinsip ini bagi pengguna jasa angkutan,
penumpang dan pengirim atau penerima kargo, adalah bahwa mereka tidak perlu
membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak pengangkut dalam menuntut santunan bila
terjadi kerugian. Apabila yang diberlakukan ialah prinsip tanggung jawab berdasarkan
kesalahan murni (liability based on fault), yang berarti pengangkut tidak bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul kecuali dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan di
pihak pengangkut, maka akan sangat menyulitkan pihak pengguna jasa angkutan
(korban). Hal ini disebabkan karena hampir mustahil bagi para pengguna jasa angkutan
udara yang umumnya awam dalam dunia penerbangan untuk membuktikan secara tepat
tentang kesalahan yang menyebabkan kecelakaan.

b) Kelemahan Prinsip Presumptio of Liability


Adapun kelemahan dari penerapan prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
adalah bahwa prinsip ini dapat menyebabkan proses pembayaran santunan kepada para
korban atau keluarganya memakan waktu lama. Hal ini dikarenakan pengangkut diberi
kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab bila dia dapat membuktikan
bahwa kecelakaan atau kerugian yang terjadi bukan disebabkan karena kesalahannya.
Untuk menemukan sebab-sebab kesalahan secara lengkap dan tepat, terutama dalam
suatu kecelakaan besar (catastropic accident) yang mengakibatkan pesawatnya hancur
dan orang-orang yang dapat dijadikan saksi meninggal dunia, tentu akan menemukan
banyak kesulitan dan akan makan waktu lama sekali. Di samping itu biaya berperkara
dan biaya-biaya lainnya (antara lain biaya tenaga ahli) yang harus dikeluarkan, baik oleh
pihak korban maupun pihak pengangkut, akan besar sekali. Sementara itu, bagi pihak
korban sendiri tidak ada jaminan akan memperoleh santunan sebab pengangkut mungkin
dibebaskan dari tanggung jawabnya bila dia dapat membuktikan bahwa kecelakaan
tersebut bukan akibat kesalahannya.
BAB III
KESIMPULAN

Pada dasarnya substansi prinsip tanggung jawab pengangkut yang berdasarkan


Ordonansi pengangkutan Udara 1939 adalah sama dengan substansi yang dianut dalam
Konvensi Warsawa 1929 maupun Konvensi Warsawa Hague 1955, yaitu prinsip
tanggung jawab berdasarkan praduga (presumptio of liability), dimana pengangkut selalu
dianggap bertanggung jawab dalam menjalankan tugas dan fungsinya terhadap timbulnya
kerugian, kecuali bila ia dapat membuktikan bahwa dia dan pihaknya telah melakukan
tugas dan fungsi tersebut sesuai dengan prosedural yang berlaku. Dengan
memberlakukan prinsip ini pihak korban tidak diharuskan membuktikan mengenai
kerugian yang di deritanya. Dan pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung
jawab apabila ia berhasil membuktikan bahwa pihaknya telah melakukan tugas sesuai
dengan hukum dan standar yang berlaku, serta membuktikan kecelakaan yang terjadi
bukan disebabkan oleh pihaknya.
Berdasar pada analisa faktor teknologi pada perkembangan pengangkutan udara,
maka penerapan prinsip tanggung jawab atas dasar praduga dalam hukum angkutan udara
dewasa ini dipertanyakan kembali mengenai relevansi dan efektifitas prisnsip tanggung
jawab atas praduga tersebut. Dan berdasarkan kajian perbandingan dengan negara lain,
didapatkan hasil dimana ternyata negara-negara lain telah meninggalkan prinsip tanggung
jawab atas dasar praduga dan beralih ke prinsip tanggung jawab mutlak. Dan hal ini
menjadi dasar pertimbangan bagi perundangan di Indonesia. Pada akhirnya Departemen
Kehakiman bersama Departemen Perhubungan telah merekomendasikan diterapkannya
prinsip tanggung jawab mutlak pada undang-undang tentang angkutan udara.
DAFTAR PUSTAKA

E. Suherman, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bandung:Alumni, 1981


E. Suherman, Tanggung Djawab pengangkutan dalam Hukum Udara Indonesia,
Bandung:N.V Eresco,1962.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, buku 3. Jakarta:Djambatan,
1991.
Wiradipradja, Saefullah, Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan
Udara Internasional dan Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1989.
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN

Disusun Oleh :
Muhamad Haryono
E1AOO6221
Kelas B

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO
2010

Anda mungkin juga menyukai