Anda di halaman 1dari 21

HUBUNGAN ILMU TAUHID DENGAN ILMU FIQH DAN TASAWUF

‫حيِم‬
ِ ‫ن الّر‬
ِ ‫حَم‬
ْ ‫ل الّر‬
ِّ ‫سِم ا‬
ْ ‫ِب‬
Hubungan Ilmu Tauhid dengan Ilmu Fiqh sangat erat dan saling menunjang tetapi
ada juga perbedaannya yaitu pada sasaran pembahasannya. Ilmu Tauhid
mengarahkan sasarannya kepada soal-soal kepercayaan (aqidah) sedangkan Fiqh
sasarannya adalah hukum-hukum perbuatan lahiriyah mukallaf (ahkam al-amaliah).
Inilah sebabnya filsuf al-Araby mengatakan Ilmu Tauhid itu dapat menguatkan
aqidah dan syari’ah yang dijelaskan oleh Allah SWT dan RasulNya. Sedangkan Ilmu
Fiqh berusaha mengambil hukum sesuatu yang tidak dijelaskan oleh Allah SWT dan
RasulNya baik aqidah mapun syari’ah. Sasaran Ilmu Tauhid hanya menyangkut soal-
soal furu’ yang berhubungan dengan perbuatan. Seorang ahli Fiqh akan mengambil
hukum-hukum ibadat dari dasar Tauhid, ke-Esa-an Allah SWT tanpa mempersoalkan
masalah keTuhanan dan yang berhubungan dengannya. Karena bagian ini tergolong
ke ahli Tauhid.
Perbedaan kedua ilmu ini terletak pada methode dan obyeknya. Ilmu Tauhid
mewarnai aqidah agama, dengan akal pikiran dan mengkontruksikannya atas dasar
akal pikiran. Karena ilmu ini memang mengharuskan untuk memahami obyeknya
dengan akal (konprehensif) sehingga ilmu tentang Tuhan baru akan diperoleh
dengan jalan penyelidikan akal, tanpa meninggalkan nash-nash agama. Lain halnya
dengan Ilmu Tasawuf, ia merasakan aqidah itu dengan hati nurani, tanpa
memerlukan akal pikiran dan alasan logika tentang kebenarannya. Manusia cukup
saja merasainya dengan hati karena cahaya yang datang itu berasal dari yang
terletak di luar akal.
Ilmu yang pasti benar (yakin) datangnya dari terkaan batin (supposisi-hadas) atau
perasaan (taste-intuisi-zauq-wijdan) atau menyaksikan langsung dengan mata hati
(wahyu-revelation-discovery-kayf). Semua hasil ini sangat aneh dan berlainan
dengan argumentasi-akal. Oleh karenanya tasawuf mengambil ilmu pengetahuan
bukan dengan berguru dan bukan dengan membaca kitab, tetapi memperolehnya
melalui pengalaman dan penyelidikan hati.

« Allah Turun
Ta’wil »

Ilmu Tasawuf
12 April 2010 oleh mutiarazuhud

Pendapat KH Siradjuddin Abbas, dalam buku beliau “40 Masalah Agama” Jilid 3, hal 30.

Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid
(Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf.

Ilmu Tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai
keTuhanan, keRasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya .

Ilmu Fiqih bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sholat, puasa, zakat, naik
haji dan lain
Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi
pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah,
mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.

Ringkasnya: tauhid ta’luk kepada i’tiqad, fiqih ta’luk kepada ibadat, dan tasawuf ta’kluk
kepada akhlak

Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur
dalam ilmu tauhid (usuluddin), supaya beribadat sebagaimana yang diatur dalam ilmu
fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.

Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan

Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:


Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah
Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam
sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang
mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya
menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha
Rasulullah Saw, seraya berkata,

“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”


Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali
Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”

Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.”


Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”

Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun
anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.

Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”


Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia
bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang
budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah
telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-
gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.

Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang
bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”
Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama
kepada kalian.” (HR. Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syari’at lahir, umpanya,
sholat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan,
perdamaian dll.

Tentang Iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (usuluddin), sasarannya i’tiqad
(akidah / kepercayaan), umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap
Tuhan, Malaikat-Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari bangkit,
surga, neraka, qada dan qadar (takdir).

Tentang Ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasauf, sasarannya akhlak, budi pekerti,
bathin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan,
bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita
dengan Tuhan, bagaimana Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang
dengan Tasawuf.

Setiap Muslim harus mengetahui 3 (tiga) unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya
dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari.

Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jama’ah
/ manhaj / metode / jalan.

Waspadalah jika jama’ah / manhaj / metode / jalan yang “menolak” salah satu dari ketiga
ilmu itu karena itu memungkinkan ketidak sempurnaan hasil yang akan dicapai.

Ilmu Tasawuf itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan bahkan
Qur’an dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya.

Andaikata ada kelihatan orang-orang Tasawuf yang menyalahi syari’at, umpamanya ia


tidak sholat, tidak sholat jum’at ke mesjid atau sholat tidak berpakaian, makan siang hari
pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang Tasawuf dan jangan kita dengarkan
ocehannya.

Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang
yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya,
kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan
membayarkan sekalian kewajiban syari’at”

Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu


bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal
yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima
resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau
musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits“.

Jadi syarat untuk mendalami ilmu Tasawuf (tentang Ihsan) terlebih dahulu harus
mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid / usuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketaqwaan kita.

Mulai sebagai muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui
sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.

Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang
sufi.

Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal
kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba
atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang
berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang
didiami para ahli shuffah.

Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.

Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia.
Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang
sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.

Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan


shafa’uhu(kesuciannya)

Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan


wafa’uhu(kesetiaannya)

Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan


fana’uhu(kefanaannya).

Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke
hadirat Tuhannya.

Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan
diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap
rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi
mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji
dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan
kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri
akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang
pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)

********

Catatan tentang tasawuf dari link lain.

Sumber:

http://ummatiummati.wordpress.com/2010/03/08/kisah-taubatnya-salafy-tobat/

Dalam Thareqat bukan hanya diajarkan wirid saja. Tapi diajar banyak sekali ilmu-ilmu
utk mendekatkan diri kepada Allah.

Karena ilmu dan dzikir adalah dua perkara yang tak boleh dipisahkan, keduanya sama2
untuk mendekatkan diri kpd Allah.

Tharekat adalah untuk mengangkat ilmu2 islam (aqidah, fiqh, muamalat, mu’asyarat,
ahlaq) dari teori kedalam amal perbuatan yang dilakukan secara istiqamah, ikhlas dan
ikut sunnah nabi sehingga menjadi sifat hakikat dalam dirinya….

Harus pake ijazah/izin dari guru dalam thareqat ini…..untuk membimbing kita dan agar
tidak tersesat…

Ini juga disebut bai’ah sufiyah (kita berbaiat kepad mursyid untuk memegang teguh
ajaran islam yg diajarkan kepadanya).

ini sangat penting dlm belajar thareqat, selain utk menjaga sanad thareqat (jika sanad
ilmu terputus berarti ia tidak sambung lagi)…..juga sunnah.

ingat Nabi memberikan macam2 ba’iah. dalam kitab asyari’ah wa thareqah syaikul hadits
maulana zakariya alkhandahlawi rah berkata : Bai’ah thareqat bukanlah bai’ah untuk
jihad tapi bai’ah untuk mengamalkan ajaran islam dengan sempurna.

Dengan ikut thareqat bukan berarti kita berhenti menuntut ilmu, justru dgn ikut thareqat
kita tingkatkan belajar kita. Karena klo kita ikut thareqat hati akan menjadi bersih shg
ilmu akan begitu mudah masuk kedalam hati.

ingat nasihat imam maliki dan imam syafei :

1. Nasihat imam syafei :


‫فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق ال إيـــاك أنــــصح‬
‫فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح‬
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani
tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang
yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya
tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf
tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
sayang bait dari diwan ini telah dihilangkan oleh wahabi dalam kitab diwan safei yg
dicetak oleh percetakan wahabi…..
2. . Nashihat IMAM MALIK RA:
‫و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق‬
‫من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق‬
‫و من جمع بينهما فقد تخقق‬
“ dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia
yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . hanya dia siapa
memadukan keduannya terjamin benar .

***********************************

Definisi Tasawuf
by : Ust Wahfiudin

Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy
an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih
menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis
bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat
di luar Islam.

Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak


orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat
Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan
pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:

• “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang
mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
• ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia
mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)
• “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang alpa” (QS. Al-A’raf: 205)
• “Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)
Sabda Nabi saw:

• “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau


melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
• Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits,
justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara
lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
1. Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari
setiap akhlak yang tercela.”
2. Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan
dirimu bersama dengan-Nya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa
keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki
oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan
tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa;
juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air
hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan
lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
3. Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya
dan juga tidak menerima siapa pun.”
4. Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina
setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang
palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek
penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur
setelah tersem, bunyi.”
5. Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik
saat itu.”
6. Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah
kaum yang mulia.”
7. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki
apapun.”
8. Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan
apa pun yang dikehendaki-Nya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran,
mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan
kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan
sikap kontra dan memilih.”
9. Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan
harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
10. Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-
alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi
mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan
mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
11. Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa
yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan
segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di
hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
12. Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara
gratis.”
13. Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang
lain ketika ada.”
14. Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam
akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
15. Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau
diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan
denganya.”
16. Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt
sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, ‘Dan Aku telah
memilihmu untuk Diri-Ku’ (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang
lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, ‘Engkau tak akan bisa
melihat-Ku’.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari
memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa
mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang
dilekatkan pada mereka.”
17. Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang
pada adab.”
18. Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
19. Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan
segalanya.”
20. Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-
galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang
ada.”
21. Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan
dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
22. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, ‘siapakah, yang menurutmu Sufi
itu?’ Lalu ia menjawab, ‘Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi
langit’. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
23. Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu
bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak
memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat
pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal
semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
24. Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
25. Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”
26. Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, ‘Inilah jalan
yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah
swt, untuk menyapu kotoran binatang’.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan
ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor
pun yang menaruh perhatian padanya.”
27. Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi
dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi,
karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara
hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata
lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya,
pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal
kehidupan.

sumber = www.qalbu.net

Definisi tasawuf ialah "membersihkan hati dan anggota-anggota lahir daripada dosa-dosa,
kesalahan dan kesilapan". Artinya bersih luar dan bersih di dalam.

• Bersih di dalam: Maksudnya membersihkan hati daripada riyak, ujub, pendendam


dan lain-lain mazmumah, lebih-lebih lagi daripada syirik.
• Bersih di luar: Maksudnya bersih daripada membuat yang haram, berpakaian
yang haram, bercakap yang haram, menjaga mata, telinga daripada melihat dan
mendengar yang haram serta lain-lain.

Bersih daripada kesalahan dan kesilapan lebih sulit lagi. Kadang-kadang kesalahan atau
kesilapan itu kita tidak terasa dosa. Ini yang susah dikesan. Contohnya:

• Datang tetamu ke rumah tapi kita sembahyang sunat. Sepatutnya waktu itu tidak
payah sembahyang sunat tapi pergi melayan tetamu. Dia memilih perbuatan yang
kecil dengan meninggalkan perkara yang besar. Dia memilih yang sunat dan
meninggalkan yang wajib.
• Beri sedekah di tengah orang ramai atau isytihar sedekah dalam media massa.
Sepatutnya dia rasa berdosa, rasa malu sebab berbangga-bangga. Dalam berbuat
baik itu berlaku dosa. Oleh itu kena usahakan dengan cara beri sedekah secara
sembunyi-sembunyi atau minta disampaikan melalui orang lain.
• Bilal sudah iqamah, kita masih leka dan berat hendak bangun mendirikan
sembahyang. Sepatutnya kita jadi macam tentera, bunyi wisel saja terus bingkas.
Itulah yang afdhal. Jadi, bila iqamah saja teruslah bangun untuk menyusun saf.
Dalam Islam, selagi saf makmum tidak lurus, imam tidak boleh angkat takbir.
Jika tidak, imam dikira sembahyang seorang, bukan sembahyang berjemaah.
• Ketika membeli kalau boleh jangan tawar-menawar. Apatah lagi tawar-menawar
yang berlebih-lebihan sehingga menimbulkan rasa tidak senang hati.
• Ketika berdakwah jangan menyebut nama atau menyentuh peribadi orang tertentu
atau memalukan orang lain.

Tasawuf Merupakan Intipati atau Isi Ajaran Islam

Tamsilannya ibarat buah. Kalau syariat lahir merupakan kulit, tasawuf itu adalah isi buah.
Kulit perlu ada sebagai pengawal atau pelindung isi. Walaupun kulit tidak dimakan tapi
ia perlu dijaga supaya baik, barulah isi buah baik dan dapat dimakan.

Biasanya orang melihat kulit untuk menilai isi. Untuk mendapat isi yang baik, biasanya
kulit mesti baik. Kalau kulit rosak, tentu isinya rosak. Biasanya antara kulit dengan isi,
lebih susah hendak mendapatkan isi yang baik berbanding kulit yang baik. Contohnya
buah durian. Kalau kulit rosak, seluruh isinya akan rosak. Sedangkan isi itulah yang
hendak dimakan untuk membangunkan tenaga.

Kalau kulit baik pun, belum tentu isinya baik. Contohnya rasa ikhlas. Malaikat pun tidak
tahu. Ini rahsia Allah. Tidak dikaitkan dengan Syurga atau Neraka, tapi betul-betul
kerana Allah atau mardhotillah.
Contohnya: Sembahyang dibuat bukan kerana pahala.

Sembahyang dibuat bukan kerana Syurga dan Neraka. Bukan kerana Allah tapi kerana
hendak hadiah daripada Allah. Buat kerana fadhilat. Banyak menceritakan tentang
fadhilat tidak mampu mengubah seseorang.

Kalau tidak bersyariat batin tidak ada erti. Syariat lahir macam kulit buah, kalau isinya
busuk tak ada ertinya kulit buah itu walaupun nampaknya cantik.

Tasawuf Dikatakan Juga Syariat Batin

Batin juga perlu bersyariat. Nafsu perlu bersyariat. Akal juga perlu bersyariat. Tasawuf
membantu syariat batin. Kalau tiada tasawuf maka Islam tiada seni dan tiada keindahan.
Oleh sebab itu tasawuf patut diambil berat dan dipelajari sungguh-sungguh.

Hendak membangunkan syariat batin ini amat sulit. Bukan senang hendak syariatkan
nafsu, akal dan hati. Syariat lahir perlu dibangunkan supaya dengan itu mudah pula
dibangunkan syariat batin.

Peranan Tasawuf

1. Membersihkan hati dan jawarih (anggota) daripada dosa, kesalahan dan kesilapan.
2. Menghidupkan rasa kehambaan.
3. Menanamkan rasa keikhlasan.
4. Menghidupkan rasa bertuhan.

Menghidupkan rasa kehambaan

Ilmu tasawuf dapat menghidupkan rasa kehambaan. Untuk kita terasa hamba.
Menghidupkan rasa takut pada Allah yang mesti ada di mana-mana. Rasa malu mesti
dihidupkan kerana Allah melihat, Allah memerhati. Menghidupkan rasa hina diri di
hadapan Tuhan.
Rasa kehambaan ini bila dihidupkan, mazmumah akan hilang dengan sendiri. Orang yang
terlalu sombong, ego, ujub itu adalah disebabkan tidak ada rasa kehambaan.

Menghidupkan rasa bertuhan

Hati sentiasa sedar Allah melihat, mengetahui dan Allah sentiasa ada bersama kita. Inilah
kunci kita tidak melakukan dosa.
Contohnya dalam majlis raja, kita tidak akan buat salah sekalipun menguap. Kita amat
jaga tingkah laku kerana kita sedar raja yang berkuasa sedang melihat kita. Maka di
hadapan Raja segala raja sepatutnya lebih-lebih lagilah kita malu hendak buat dosa.
Rasa bertuhan mesti bertapak di hati, barulah rasa kehambaan itu diperolehi.

Ilmu tasawuf adalah ilmu tentang rohaniah. Ilmu rohaniah ertinya ilmu yang berkait rapat
dengan roh (hati nurani manusia). Al Quran menganjurkan ilmu ini yaitu:

Maksudnya: “Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan rugilah orang-orang


yang mengotorinya.” (Asy Syam: 9 - 10)

Ilmu tasawuf adalah salah satu ilmu dasar dalam Islam, selain dari Aqidah dan Syariat.

Ilmu tasawuf/rohani adalah ilmu yang mempelajari perilaku tabiat roh atau hati
baik yang baik (mahmudahnya ) maupun buruk (mazmumah). Bukan untuk
mengetahui hakikat zat roh itu sendiri. Hakikat roh itu sendiri tidak akan dapat dijangkau
oleh mata kepala atau tidak akan dapat dibahaskan. Tetapi apa yang hendak dibahaskan
adalah sifat-sifatnya sahaja supaya kita dapat mengenal sifat-sifat roh atau hati kita yang
semula jadi itu. Mana-mana yang mahmudahnya (positif) hendak dipersuburkan dan
dipertajamkan. Kita pertahankannya kerana itu adalah diperintah oleh syariat, diperintah
oleh Allah dan Rasul dan digemari oleh manusia. Mana-mana yang mazmumahnya
(negatif) hendaklah ditumpaskan kerana sifat-sifat negatif itu dimurkai oleh Allah dan
Rasul serta juga dibenci oleh manusia.dfd

Ilmu tasawuf sering disebut juga dengan ilmu batin, namun tidak sama dengan ilmu
pengasih atau ilmu kebal. Orang yang belajar ilmu batin bermakna dia belajar ilmu
kebal atau belajar ilmu pengasih. Sebenarnya orang itu belajar ilmu kebudayaan Melayu,
yang mana ilmu itu ada dicampur dengan ayat-ayat Al Quran. Kebal juga adalah satu
bagian dari kebudayaan orang Melayu yang sudah disandarkan dengan Islam. Kalau kita
hendak mempelajarinya tidak salah jika tidak ada unsur-unsur syirik. Tetapi itu bukan
ilmu tasawuf

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Sebagai bahan untuk memahami mengenai tahapan-tahapan


Tasawuf, kami memuat tulisan tulisan Drs. Mahjuddin, dosen tetap pada
Fakultas Tarbiyah Jember, IAIN “Sunan Ampel” dalam bukunya “Kuliah
Akhlaq-Tasawuf” dan diterbitkan oleh Penerbit Kalam Mulia, Jakarta
Pusat 10560

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang
menekuni ajaran
Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-
Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin
‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya
sebagai
berikut:

1.Syariat

Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar


Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah
diperintahkan
oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”

Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy


mengatakan:
“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah
SAW., yang
telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan
Sunnah ataupun
dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan
dalam ilmu
Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”

Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid;


meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-
Nya, Hari
Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan
dinyatakan dalam
perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah;
dan
meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan
makruh.

Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi


seluruh perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah
mahdhah” atau
taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan
sesama
manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah”
atau “ammah”
(ibadah umum).

Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf,


yang meliputi
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari
hadats dan
najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu
berusaha
melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya
kebiasaan-kebiasaan
terpuji, dengan istilah “At-Thalli”.

Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan


dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena
perbuatan yang
tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat.
Oleh karena
itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya
perbuatan
manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas
dalam Ilmu Tauhid.
Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan
menjauhi yang
mungkar.

2. Tarekat

Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada


Hakikat
atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa”
atau
“Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy
mengemukakan tiga
macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:

1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah


(dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata,
maupun yang
tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh,


memperhatikan hal-hal
mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang
diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
(pelaksanaan) di
bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-
citakan
suatu tujuan.

Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap


kehidupan
Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa
istilah
Tarekat mempunyai dua macam pengertian.

a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering


dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk
mencapai
suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”
dan “Al-Ahwaal”.

b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut


ajaran
yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat
tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu
Tasawuf menurut
aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-
muridnya.

Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu
amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan
latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun
secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai
suatu
tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”,
meskipun
kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering
juga
disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila
dilihat
dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi
organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan
Suluk
tidak sama.

Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat


dibedakan
dari dua segi:

a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh


dengan cara
pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan
ahwaal, di
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga
diperoleh
manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia
tidak
pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.

b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau


bertahan
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri
manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan
bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis
mengikuti pendapat
yang membedakannya beserta alasan-alasannya.

Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh


Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam
ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat
disebutkan
sebagai berikut:

a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);


b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang
makruh,
serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat


dikemukakan sebagai berikut;

a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)


b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).

Hakikat :

Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari
suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai
berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :

“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia


mencapai
suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan
dengan
mata hatinya”.

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan,


ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah
kepada
hamba-Nya”.

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat


dengan selalu
menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang
dihadapinya. Karena
itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh


pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan
tentang kebenaran
Allah sebagai penciptanya;

2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh


analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati


nurani Shufi
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah
lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah
langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”.

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa


betapa erat
kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan
tujuan awal
Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

Marifat :
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui
atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan
Tasawuf, maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai
maqam
dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama


Tasawuf; antara
lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama


Tasawuf yang
mengatakan:

“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud


yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan


pendapat Abuth
Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:

“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam


keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin


Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:

“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu


pengetahuan membuat
ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat
ma’rifatnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya).”

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai


kepada tingkatan
ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy
yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah
sampai
kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan


perilakunya.
Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta


yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu
benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena


hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak


membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya
sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-
Syekh Muhammad bin
Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat
memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai


tingkat
ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan


ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia
melihat Allah
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia
sudah
larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam
cermin,
kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai


tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya
selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa
seorang
Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika
ingatannya
kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu


adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan
dengan
Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni


ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan
tidk
pula secara terputus-putus.

Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,


seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Anda mungkin juga menyukai