Disusun oleh :
Sosiologi Bisnis
Pada awal perkembangannya korporasi hanya mengenal istilah pemilik (owner). Saat ini konsep
korporasi telah berkembang. Keberadaan organisasi harus dipandang dari kepentingan dua
kelompok yaitu shareholder dan stakeholder.
Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan dalam Stanford Research Institute Internal Report
pada 1963 dan kemudian pada era 1980-an mulai dielaborasi secara sistematis dalam diskursus
corporate governance. Khususnya sejak RE Freeman (1984) menerbitkan bukunya “Strategic
Management: A Stakeholder Approach”.
Dalam bukunya Freeman mendefiniskan stakeholder sebagai “any group or individual who can
affect or is affected by the achievement of the organisation’s objectives”. Dalam konteks
perusahaan pihak yang paling berperan mempengaruhi tercapainya tujuan pokok perusahaan
tentunya dalam urutan hirarkis di posisi puncak adalah para pekerja (eksekutif dan non-
eksekutif).
Tanpa mereka perusahaan sama sekali tak akan dapat melakukan fungsinya dan otomatis tujuan
perusahaan tak akan dapat dioperasionalisasikan.
Pekerja, khususnya non-eksekutif, dalam realitas empirik saat ini sering kali hanya
menjadi kelompok marginal yang jauh dari posisi ideal sebagai stakeholders di mata pengusaha.
Pengusaha lebih banyak menjaga jarak dan menjauhkan pekerjanya dari ikatan langsung
berkesinambungan dengan mengkreasi ikatan-ikatan sesaat (kontrak batas waktu), mengalihkan
hubungan kontraktual langsung pekerjanya ke perusahaan lain (outsourcing) dan sebagainya.
Dengan berbagai mekanisme yang dilegitimasi oleh regulasi pro kapitalis posisi pekerja non-
eksekutif dihilangkan eksistensinya sebagai pemangku kepentingan utama dalam perusahaan.
Kondisi di atas menyebabkan perusahaan tumbuh dalam situasi keterasingan dengan para
pekerjanya. Pemilik modal semakin makmur. Sementara pekerja tidak mengalami pertumbuhan
yang sejalan.
Model CSR yang lebih memprioritaskan tanggungjawab pada stakeholders yang jauh
(masyarakat) dan melupakan stakeholder yang dekat (pekerja) adalah sebuah ironi. Apa yang
dilakukan Reebok tidak mustahil dilakukan juga oleh perusahaan lainnya di Indonesia. Di mana
para eksekutifnya asyik menebar senyum atas segala pujian terhadap program CSR-nya
sementara para pekerjanya menangis karena tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya. Seperti pakaian, perumahan, kesehatan, dan kebutuhan sekolah untuk anak-anak nya.
Jika dicermati lebih teliti secara umum ahli-ahli ekonomi sependapat bahwa tenaga kerjalah
pangkal produktivitas dari semua faktor produksi yang ada. Teknologi secanggih apa pun takkan
menghasilkan sesuatu tanpa tenaga kerja. Namun, bukan berarti pekerja adalah segalanya
sehingga dapat menuntut apa saja pada pengusaha.
Islam menempatkan pengusaha dan pekerja dalam kedudukan yang setara. Keduanya adalah
mitra dalam bekerja di mana pengusaha adalah pemilik dana yang membutuhkan tenaga pekerja.
Sementara pekerja adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling
membutuhkan karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya
dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar.
Allah swt berfirman: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan” (QS. al-Zukhruf/43: 32).
CSR dalam perspektif Islam harus dapat menjadi konsep yang menawarkan keseimbangan
kepentingan antara shareholders dan stakeholders. Secara teoretik CSR dapat didefinisikan
sebagai tanggung jawab moral perusahaan terhadap strategic-stakeholdersnya. Termasuk para
pekerja. Dengan atau tanpa aturan hukum sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas.
Ukuran keberhasilan perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan prinsip moral dan
etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, dengan paling sedikit merugikan kelompok lainnya.
Salah satu prinsip moral yang harus digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar
seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin
diperlakukan.
Prinsip CSR yang seperti ini sesungguhnya sejalan dengan Islam. Rasulullah saw mengatakan
“Kepada pekerja, berilah makan mereka dari apa yang kalian makan; berilah pakaian mereka
dengan pakaian seperti yang kalian pakai; janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang
tidak mampu dijalankan oleh mereka. Jika kalian terpaksa membebani mereka sesuatu yang
memberatkan mereka maka bantulah mereka” (HR. Bukhari).
Hadits Rosulullah di atas memberikan penegasan mengenai keberpihakan Islam terhadap
kesejahteraan pekerja. Pekerja sesungguhnya adalah bagian terdekat dari perusahaan di mana
hak-hak mereka akan kesejahteraan harus menjadi prioritas utama sebagai bentuk
pertanggungjawaban sosial perusahaan.
Program CSR untuk lingkungan luas tentu sangat bermanfaat bagi masyarakat, dan harus terus
dilakukan. Namun, agar hal itu tidak sekedar menjadi kamuflase dari sebuah praktek penindasan,
maka alangkah lebih etisnya jika perusahaan memulai tanggung jawab sosialnya dengan
mensejahterakan pekerja.
CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary,
tetapi arus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi.
Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan
dengan pengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait dan harus tunduk dan
mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di
Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal
harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya disebut
CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku
bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu,
sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan kondisi Indonesia, di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun
belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi
dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun sudah lama prinsip-prinsip
CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun
amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375
perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27% perusahaan menyatakan tidak
melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75% perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan
bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua,
sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan sosial (39)
perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan).1 Survei ini juga
mengemukakan bahwa CSR yang dilakukan oleh perusahaan amat tergantung pada keinginan
dari pihak manajemen perusahaan sendiri.
Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara
Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan
mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas.
Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan
bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya
tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, CSR dianggap sebagai
parasit yang dapat membebani biaya “capital maintenance”. Kalaupun ada yang melakukan CSR,
itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung
kepada masyarakat.
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik"
(atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald
McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari
CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek
komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali
menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil
bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas
tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek
perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan
mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun
secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam
sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas.
CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan
dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat
terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup.
Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam
pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah
satu pemangku kepentingan internal.
"dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling
berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus
mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap keputusan yang dibuat,
setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus
bergerak dibidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan
bahwa:
" CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak
etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat
ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta
seluruh keluarganya".
Akuntabilitas atas standar AA1000 berdasarkan laporan sesuai standar John Elkington
yaitu laporan yang menggunakan dasar triple bottom line (3BL)
Global Reporting Initiative, yang mungkin merupakan acuan laporan berkelanjutan yang
paling banyak digunakan sebagai standar saat ini.
Verite, acuan pemantauan
Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial internasional SA8000
Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan
atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial. Smentara
aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih mudah diukur. Banyak
perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan
perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya
diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas
formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri
yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis bibir"
(suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga
perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan
metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan
kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya
untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.
Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International
(Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London)
di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang
perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak terhadap
lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling
berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand image-lah yang akan paling
mempengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis
fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.
Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah
ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang
bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.
Secara umum, alasan terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari
argumentasi di bawah ini:
Sumberdaya manusia
Program CSR dapat berwujud rekruitmen tenaga kerja dan memperjakan masyarakat sekitar.
Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan,
terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan
kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan
merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan.
Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan
akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga
digunakan untuk membentuk suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama
apabila mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa
mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji",
"penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat.
Manajemen risiko
Manajemen risiko merupakan salah satu hal paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi
yang dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap melalui
insiden seperti skandal korupsi atau tuduhan melakukan perusakan lingkungan hidup. Kejadian-
kejadian seperti itu dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan,
pemerintah dan media massa. Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu
dengan benar", baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun lingkungan--
yang semuanya merupakan komponen CSR--pada perusahaan dapat mengurangi risiko
terjadinya hal-hal negatif tersebut.
Membedakan merek
Di tengah hiruk pikuknya pasar maka perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara
penjualan yang unik sehingga dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak
konsumen. CSR dapat berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus
dari etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat. Menurut Philip Kotler
dan Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan keuntungan
terhadap merek, yaitu corporate social marketing (CSM) dan cause related marketing (CRM).
Pada CSM, perusahaan memilih satu atau beberapa isu--biasanya yang terkait dengan
produknya--yang bisa disokong penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui media
campaign. Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama kelamaan konsumen akan
mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian pada isu itu.
Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan melakukan pembelian produk perusahaan itu
dengan pertimbangan kesamaan perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung.
Perusahaan menyatakan akan menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu
memecahkan masalah sosial atau lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan
produk tertentu atau keuntungan yang mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per
produk terjual atau proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan. Dengan demikian, segmen
konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah sosial dan atau lingkungan,
kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka merasa bisa berbelanja sekaligus
menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan CSM dan CRM-nya dengan baik akan
mendapati produknya lebih banyak dibeli orang, selain juga mendapatkan citra sebagai
perusahaan yang peduli pada isu tertentu.
Ijin usaha
Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau
peraturan. Dengan melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat
meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam memperhatikan
masalah kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan demikian
mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha diluar negara asalnya
dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku warga perusahaan yang baik
dengan memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap lingkungan hidup,
sehingga dengan demikian keuntungan yang menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat
tinggi tidak dipersoalkan
Kritik atas CSR akan menyebabkan suatu alasan dimana akhirnya bisnis perusahaan
dipersalahkan. Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR seringkali dilakukan sebagai
suatu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas masalah etika dari bisnis utama
perseroan.
Penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) di berbagai perusahaan di Indonesia
menunjukkan perkembangan menggembirakan. Timbulnya kesadaran untuk menerapkan prinsip
Good Corporate Governance (itu tidak terlepas dari tuntutan perekonomian modern yang
mengharuskan setiap perusahaan dikelola secara baik dan bertanggung jawab dengan mengetahui
hak dan kewajibannya masing-masing, meliputi pemegang saham, direksi, dewan komisaris serta
pihak-pihak lain.
Sebagai salah satu komponen kritikal dalam perekonomian, perusahaan-perusahaan di Indonesia,
swasta maupun BUMN, sebagai memegang memiliki peran penting untuk memacu pertumbahan
pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi masyarakat. Hal ini sejalan dengan penerapan prinsip
GCG yang menghendaki terakomodasinya kepentingan stakeholders dalam pengelolaan bisnis.
Aktivitas ekonomi yang dijalankan perusahaan sebagaimana prinsip etika bisnis diharapkan
bermanfaat tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat. Penerapan etika
bisnis tersebut merupakan wujud kepedulian dan tanggung jawab sosial-moral suatu institusi
bisnis dan para pelaku dunia usaha terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Menerapkan Penerapan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan (Corporate Social
Responsibility -CSR) secara benar berarti juga memenuhi prinsip responsibilitas yang diusung
GCG. Penerapan CSR secara konsisten merupakan bagian dari upaya memaksimalkan nilai
perusahaan. CSR merupakan komitmen perusahaan berperilaku etis dan berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan tetap mengedepankan peningkatan kualitas hidup
karyawan beserta keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas.
Praktik CSR
Program CSR sekilas sepertinya membutuhkan biaya tak sedikit sehingga berpengaruh terhadap
laba perusahaan. Jika dikaji, CSR merupakan investasi jangka panjang yang juga berguna untuk
minimalisasi risiko sosial. CSR berfungsi pula sebagai sarana meningkatkan citra perusahaan
bagi publik, termasuk investor dan menjadi bagian dari strategi bisnis dan pengelolaan risiko
perusahaan.
Penerapan CSR secara konsisten akan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat
serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan mitra bisnis. Di Indonesia penerapan CSR
menggembirakan. Banyak perusahaan melakukan amal baik dengan menunjukkan kepeduliannya
terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Program Comunity Development yang dijalankan hampir semua perusahaan besar maupun
PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) oleh BUMN menjadi bukti bagaimana
korporasi menerapkan konsep CSR. Contoh penerapan CSR oleh The Hongkong and Shanghai
Banking Corporation Limited (HSBC) yang pelaksanaan GCG-nya cukup baik. HSBC
memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan, lingkungan hidup dan sosial melalui
program ”HSBC Kita”.
Perhatian serupa untuk korban tsunami di Aceh. HSBC melakukan program pertolongan
mendesak, sukarelawan, dan donasi klinik kesehatan. Di kalangan BUMN prestasi sebagai The
Best BUMN in Community Development diraih PT Perkebunan Nusantara XI. Perusahaan
tersebut aktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan mendirikan 4
rumah sakit di Jawa Timur. Sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia menjalankan
CSR dengan sepenuh hati.