Anda di halaman 1dari 3

Upah kompromi 2006

Sepuluh tahun lalu Indonesia sudah menjurus ke ekonomi langka tenaga kerja. Di
beberapa pusat pertanian, permintaan akan mekanisasi menjadi urusan mendesak. Namun,
sesudah krisis tahun 1997-1998, kelimpahan tenaga kerja menghantui kembali perkembangan
ekonomi Indonesia di buritan pertumbuhan ekonomi dan investasi yang melemah.
Pengangguran terbuka naik ke hampir 10 persen dan di beberapa provinsi, seperti Sumatera
Selatan, naik ke tingkat sekitar 16 persen.
Industri pengolahan yang mestinya merupakan tumpuan penciptaan lapangan kerja di
Indonesia sebagai ekonomi berpendapatan menengah rendah menderita stagnasi berat.
Jumlah perusahaan sedang dan besar dalam industri ini turun dari 21.396 ke 20.370 usaha
antara tahun 2001 dan 2004. Dalam beberapa industri, penurunan itu lebih tajam, yaitu
garmen 288 perusahaan, hasil kayu 175 perusahaan, makanan dan minuman 140 perusahaan,
dan perabot 120 perusahaan.
Dalam suatu studi di masa lampau, saya menemukan hubungan yang kuat antara
pertambahan tenaga kerja industri pengolahan dan pertambahan jumlah perusahaan. Tak
heran jika jumlah pekerja industri pengolahan ukuran sedang dan besar juga turun seiring
menurunnya jumlah perusahaan.
Secara keseluruhan, pekerja perusahaan sedang dan besar industri pengolahan turun
dengan 43.000 pekerja antara tahun 2001 dan 2004. Di bidang industri pakaian turun dengan
62.264 pekerja, pengolahan kayu dengan 33.390 pekerja, dan perabot dengan 29.930 pekerja.
Meski demikian, pengeluaran rata-rata untuk tenaga kerja masih naik dengan rata-rata 8
persen per tahun.
Dengan tingkat inflasi yang rendah, pengeluaran itu masih berarti meski kenaikan
riilnya kecil. Hal tersebut karena Indonesia mengidap penyakit ”kekakuan upah” atau wage
stickiness. Upah riil dapat naik meskipun pengangguran meningkat. Hal itu, antara lain,
karena mereka yang bekerja dan bukan mereka yang menganggur.
Bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang lemah di Indonesia, di China, India,
Vietnam, dan beberapa negara lain pertumbuhan ekonomi justru menguat. Permintaan akan
energi, khususnya minyak bumi, melonjak dan ini mendorong kenaikan harga minyak dunia.
Hal itu memojokkan kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia yang sejak
lama mengandung subsidi.
Kondisi ini akhirnya mendorong pemerintah menaikkan harga BBM. Biaya energi
rumah tangga pun naik. Harga layanan angkutan barang dan manusia demikian pula. Harga
listrik juga menyusul akan naik. Biaya produksi dan distribusi dalam bisnis juga demikian.
Tingkat inflasi melonjak mendekati 20 persen dan akan bertahan di kisaran itu selama paling
tidak setahun.
Daya beli upah yang memang masih rendah dikikis oleh inflasi itu, seperti dijelaskan
harian ini seminggu yang lalu, melalui beberapa kasus yang sangat dilematik. Bersamaan
dengan kejutan eksternal berupa inflasi yang melonjak tersebut, produk domestik bruto akan
melambat, barangkali ke bawah 5 persen dalam setahun sejak kuartal terakhir 2005.
Pengangguran terbuka akan bertambah. Daya-daya yang menekan upah atau mencegah
kenaikannya juga menguat ketika desakan kenaikan upah dari pihak pekerja menguat pula.

Mencari kompromi
Banyak perusahaan yang merespons kenaikan harga-harga itu dengan menaikkan
tunjangan, terutama tunjangan transportasi. Sebagian industri ada yang mampu memberi
kompensasi yang memadai. Sebagian lagi masih kesulitan menyerap kenaikan upah yang
sama dengan inflasi, apalagi bersamaan dengan kenaikan upah itu biaya hari depan hubungan
kerja juga meningkat.
Sebagian perusahaan mungkin akan meninggalkan bisnis. Langkah-langkah awal
penyesuaian terhadap inflasi tinggi berbeda dari satu industri ke industri yang lain.
Manajemen dan pekerja harus mencari kompromi agar di satu sisi mencegah upah riil yang
diterima pekerja dimakan oleh inflasi dan di sisi lain kenaikan upah itu tidak mengikis daya
saing produk olahan lokal menghadapi produk impor. Seni mencari kompromi ini bagian
integral dari kompetensi serikat pekerja dan serikat pengusaha. Dalam merajut kompromi ini,
hal-hal berikut perlu diperhatikan.
Pertama, prioritas tertinggi bagi ekonomi Indonesia dewasa ini adalah pembukaan
lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Andalan utama untuk hal tersebut masih tetap, industri
pengolahan. Untuk itu, diperlukan tambahan dan ekspansi perusahaan-perusahaan yang sudah
ada.
Tak akan pernah ada pertambahan besar dalam penyerapan tenaga kerja kecuali lewat
investasi besar dan beragam dalam infrastruktur, aset produktif bisnis, termasuk dalam hal
modal, dan manusia. Semua pihak, yaitu pemerintah, serikat pengusaha, dan serikat pekerja,
perlu memberi sumbangan masing- masing.
Kedua, ekonomi Indonesia harus menyesuaikan diri dengan kejutan kenaikan harga
BBM yang terakhir. Semua sumber perbaikan efisiensi harus dimobilisasi. Dengan upaya itu,
Indonesia akan tertolong banyak kalau biaya-biaya tidak produktif dapat dipotong habis, baik
tentang korupsi di pemerintah maupun rente di pihak pengusaha yang timbul karena
hubungan istimewa dengan kekuasaan politik.
Ketiga, upah hanya bisa naik berkelanjutan jika pengangguran berkurang dan
produktivitas membaik. Keduanya memerlukan investasi besar, seperti disinggung di atas.
Dampak ekspansi produksi tanpa investasi baru lewat perbaikan-perbaikan manajemen jelas
akan terbatas dan tak berkelanjutan. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, serikat pekerja
dan serikat pengusaha harus menegosiasikan tingkat upah yang tidak terlalu rendah hingga
ditolak pekerja, tetapi juga tidak terlalu tinggi agar dapat dipikul perusahaan.
Kompromi seperti itu akan mengurangi berbagai hambatan. Dengan demikian,
ekspansi ekonomi tersebut akan bertumpu di atas perbaikan produktivitas dan kenaikan upah
yang berkelanjutan, sekaligus perbaikan daya saing internasional seperti yang dialami
tetangga-tetangga Indonesia di Asia.
Perspektif jangka menengah dan panjang tersebut perlu mewarnai keputusan upah
tahun 2006. Mengabaikannya dapat berakhir pada ”jalan sesat” (random walk) berupa
perselisihan perburuhan yang berkepanjangan, yang membuat Indonesia semakin tidak
menarik bagi penanam modal.

Anda mungkin juga menyukai