Anda di halaman 1dari 38

http://homecare.griyakami.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=73:edukasi-
stroke-bagi-keluarga-pasien-&catid=24:info-penyakit&Itemid=7

EDUKASI STROKE BAGI KELUARGA


PASIEN
Monday, 22 February 2010 06:48
Keluarga pasien Stroke berperan sangat penting dalam upaya meningkatkan kemampuan fisik
penderita Stroke

Stroke adalah penyakit pada otak yang paling destruktif dengan konsekuensi berat, termasuk
beban psikologis, fisik, dan keuangan yang besar pada pasien. Pada kenyataannya, banyak
orang yang lebih takut akan menjadi cacat oleh stroke dibandingkan dengan kematian itu
sendiri. Jika tidak ada perbaikan dalam metode-metode pencegahan yang ada sekarang,
jumlah penderita stroke akan tumbuh pesat dalam beberapa decade mendatang.

Penanganan fisioterapi pasca stroke adalah kebutuhan yang mutlak bagi pasien untuk dapat
meningkatkan kemampuan gerak dan fungsinya. Berbagai metode intervensi fisioterapi
seperti pemanfaatan electrotherapy, hidrotherapy , exercise therapay (Bobath method,
Proprioceptive Neuromuscular Facilitation, Neuro Developmental Treatment, Sensory Motor
Integration, dll..) telah terbukti memberikan manfaat yang besar dalam mengembalikan gerak
dan fungsi pada pasien pasca stroke. Akan tetapi peran serta keluarga yang merawat dan
mendampingi pasien juga sangat menentukan keberhasilan program terapi yang diberikan.

Penanganan fisioterapi pasca stroke pada prinsipnya adalah proses pembelajaran sensomotorik
pada pasien dengan metode-metode tersebut diatas. Akan tetapi interaksi antara pasien dan
fisioterapis amat sangat terbatas, lain halnya dengan keluarga pasien yang memiliki waktu
relatif lebih banyak. Dampak lain adalah dengan penanganan yang salah akan menghasilkan
proses pembelajaran sensomotorik yang salah pula. Hal ini justru akan memperlambat proses
perkembangan gerak.

Untuk itu dengan program “edukasi bagi keluarga pasien stroke” mengenai tata cara
penanganan pasien stroke di rumah (home programe) akan sangat bermanfaat dalam
mengembalikan kemampuan gerak dan fungsi pada pasien pasca stroke. Penanganan yang
tepat sebagai wujud cinta kasih dalam keluarga.

Beberapa hal yang perlu diketahui antara lain :

Secara umum kondisi pasien pasca stroke sering sekali mengalami masalah pada kestabilan
emosional karena adanya perubahan kemampuan dalam melakukan aktivitas. Hal ini harus
anda sadari sehingga tetap untuk melakukan pendekatan kooperatif. Penanganan dini yang
tepat akan mengurangi tekanan psikologis tersebut.

Seorang pasien stroke selalu merasa putus asa karena pasien merasa kelumpuhan seakan-akan
pasti tdk dapat dipulihkan lagi. Berikan keyakinan kalau potensi untuk sembuh selalu ada.
Motivasi pasien mungkin akan menjadi lebih meningkat jika pasien dapat merasakan adanya
perubahan yang positif setiap diberikan tindakan, karena yang paling tahu tentang
peningkatan kemampuan gerak adalah pasien sendiri. Untuk itu terapi yang diberikan haruslah
tepat.

Pada pasien pasca stroke yang mengalami kelemahan biasanya hanya pada daerah lengan dan
tungkai sementara untuk tubuh tidak mengalami kelemahan atau tidak selayu anggota
geraknya. Biasanya pasien mampu duduk dengan tegap. Banyak yang mengkondisikan
tubuhnya ikut lemah padahal harusnya pasien bisa melakukan aktivitas duduk.

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan (Jika kondisi umum stabil), antara lain :

Hindari posisi tidur terlentang sebab posisi tidur terlentang akan membuat otot-otot postur
tidak bekerja dan berdampak semakin cepatnya terjadi penurunan kekuatan otot. Cobalah
denga posisi duduk atau minimal posisi tidur miring.

Berikan posisi tidur miring dengan cara :

Jika posisi tidur miring kekanan maka berikan topangan pada lengan kiri dan tungkai kiri
dengan menggunakan bantal. Usahakan posisi kepala sejajar dengan tulang belakang. Jika
posisi miring ke kiri maka posisikan lengan kiri ibu anda lurus dan geser tulang belikat agak
kedepan. Posisi kaki kiri lurus dan kaki kanan ditekuk dengan sanggahan bantal. Usahakan
kepala sejajar dengan tulang belakang. Berikan perubahan posisi setiap 1 jam.

Berikan beberapa bentuk latihan berikut ini :

Gerakkan semua sendi pada lengan dan tungkai secara perlahan yaitu lurus dan menekuk
sebanyak 5 – 7 kali, Gerakan yang diberikan secara perlahan agar pasien dapat ikut aktif
melakukanya.

Posisikan duduk dan berikan pegangan pada tangan pasien, Anjurkan untuk melakukan
gerakan disekitar pinggang dan pinggul, Gerakan yang diharapkan adalah gerakan rotasi
(beputar) foreward dan backward dan bukan gerakan mendorong kedepan dan kebelakang.

Lakukan secara perlahan gerakan mengangkat lengan dan mintalah pasien untuk ikut
melakukannya dan
berusaha agar siku tidak terdorong keluar. Dan tubuh tetap tegak. Dengan kata lain pasien
berusaha tidak melakukan gerakan kompensasi dengan tetap menjaga kestabilan tubuh serta
mengontrol lengan agar
selama gerakan dilakukan siku tidak terdorong kesamping. lakukan sebanyak 7 kali
pengulangan.
 
Berikan gerakan-gerakan pada jari-jari dan jangan memberikan regangan berlebihan. Gerakan
yang
diberikan antara lain gerakan menekuk kebelakang (dorsal fleksi) pada pergelagan tangan,
menekuk
kedepan (fleksi) pada sendi antara punggung tangan dan jari-jari (metacarpo phalangeal joint)
dan
meluruskan sendi pada jari-jari. Dapat dilakukan secara terpisah ataupun bersama-sama
dengan pola
seperti diatas. lakukan sebanyak 7 kali pengulangan.

Lakukan gerakan dan peregangan pada jari-jari kaki. Hal ini perlu dilakukan, karena pada
pasien stroke
sering mengalami masalah pada penumpuan (Base of Support). Gangguan penumpuan berupa
kecenderungan tumpuan hanya pada sisi tepi (lateral) telapak kaki. Hal tersebut
mengakibatkan gangguan
informasi tentang posisi yang mempengaruhi kestabilan tubuh.

Posisikan tangan (Lumbrical position), lakukan koreksi pada jari-jari agar menggenggam
dengan sempurna, kemudian lakukan gerakan kedepan dan kebelakang (fleksi-ekstensi pada
pergelangan tangan. Gerakan ini akan membantu stabilitas dan mobilitas pergelangan tangan
dan jari-jari. Sehingga fungsi jari-jari (prehension) bekerja dengan baik.

Catatan : Keberhasilan latihan bagi pasien stroke dengan berbagai metode apapun hanya dapat
dicapai jika pasien AKTIF dan bukan PASIF  melakukan gerakan dan fisioterapis
memfasilitasi agar pola gerak sesuai dengan "normal Pattern".

Latihan pada stroke = Pembelajaran sensomotorik pada Sistam Saraf.


              Aktif = Proses pembelajaran
              Pasif = Tidak ada Proses Pembelajaran.

Selamat mencoba, semoga bermanfaat !

Ditulis oleh : Muh. Irfan, SKM, SSt


Fakultas Fisioterapi

Sumber : http://www.fisiosby.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=48&Itemid=1

http://dhaenkpedro.wordpress.com/fisioterapi-pada-stroke/

Physio
Edukasi tentang Stroke
Berbagai metode penanganan fisioterapi yang diberikan di Rumah sakit, klinik dan pusat
pelayanan lainnya menjadi kurang optimal, atau mungkin dirasakan tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tata cara penanganan
stroke di rumah yang tidak tepat. Perlu diketahui bahwa, penanganan fisioterapi pada
stroke adalah proses pembelajaran sensomotorik berupa pembentukan pola gerak
normal. Interaksi pasien dengan fisioterapis amat sangat terbatas sehingga boleh jadi
pembentukan pola gerak dalam latihan menjadi tidak berarti dibandingkan pola gerak
tidak normal yang terbentuk dalam aktivitas keseharian pasien di rumah.

Pasien dalam 1 bulan pasca serangan akan mengalami perkembangan yang cukup
signifikan sehingga sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan terapi. Perlu diketahui
bahwa hal ini bersifat normatif karena setiap stroke akan terjadi fase diaschisis dimana
merupakan kehilangan komunikasi antar neuron dan sifatnya sementara. Gangguan
nyata biasanya dapat kita lihat sejak 2 bulan setelah serangan.
Penanganan fisioterapi pasca stroke adalah kebutuhan yang mutlak bagi pasien untuk
dapat meningkatkan kemampuan gerak dan fungsinya. Berbagai metode intervensi
fisioterapi seperti pemanfaatan electrotherapy, hidrotherapy , exercise therapay (Bobath
method, Proprioceptive Neuromuscular Facilitation, Neuro Developmental Treatment,
Sensory Motor Integration, dll..) telah terbukti memberikan manfaat yang besar dalam
mengembalikan gerak dan fungsi pada pasien pasca stroke. Akan tetapi peran serta
keluarga yang merawat dan mendampingi pasien juga sangat menentukan keberhasilan
program terapi yang diberikan.

Dampak lain adalah dengan penanganan yang salah akan menghasilkan proses
pembelajaran sensomotorik yang salah pula. Hal ini justru akan memperlambat proses
perkembangan gerak.

Untuk itu dengan program “edukasi bagi keluarga pasien stroke” mengenai tata cara
penanganan pasien stroke di rumah (home programe) akan sangat bermanfaat dalam
mengembalikan kemampuan gerak dan fungsi pada pasien pasca stroke. Penanganan
yang tepat sebagai wujud cinta kasih dalam keluarga.

Beberapa hal yang perlu diketahui antara lain :

Secara umum kondisi pasien pasca stroke sering sekali mengalami masalah pada
kestabilan emosional karena adanya perubahan kemampuan dalam melakukan aktivitas.
Hal ini harus anda sadari sehingga tetap untuk melakukan pendekatan kooperatif.
Penanganan dini yang tepat akan mengurangi tekanan psikologis tersebut.

Seorang pasien stroke selalu merasa putus asa karena pasien merasa kelumpuhan
seakan-akan pasti tdk dapat dipulihkan lagi. Berikan keyakinan kalau potensi untuk
sembuh selalu ada.

Motivasi pasien mungkin akan menjadi lebih meningkat jika pasien dapat merasakan
adanya perubahan yang positif setiap diberikan tindakan, karena yang paling tahu
tentang peningkatan kemampuan gerak adalah pasien sendiri. Untuk itu terapi yang
diberikan haruslah tepat.

Pada pasien pasca stroke yang mengalami kelemahan biasanya hanya pada daerah
lengan dan tungkai sementara untuk tubuh tidak mengalami kelemahan atau tidak
selayu anggota geraknya. Biasanya pasien mampu duduk dengan tegap. Banyak yang
mengkondisikan tubuhnya ikut lemah padahal harusnya pasien bisa melakukan aktivitas
duduk.

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan (Jika kondisi umum stabil), antara lain :
Hindari posisi tidur terlentang sebab posisi tidur terlentang akan membuat otot-otot
postur tidak bekerja dan berdampak semakin cepatnya terjadi penurunan kekuatan otot.
Cobalah denga posisi duduk atau minimal posisi tidur miring.

Berikan posisi tidur miring dengan cara :

Jika posisi tidur miring kekanan maka berikan topangan pada lengan kiri dan tungkai kiri
dengan menggunakan bantal. Usahakan posisi kepala sejajar dengan tulang belakang

Jika posisi miring ke kiri maka posisikan lengan kiri ibu anda lurus dan geser tulang
belikat agak kedepan. Posisi kaki kiri lurus dan kaki kanan ditekuk dengan sanggahan
bantal. Usahakan kepala sejajar dengan tulang belakang.

Berikan perubahan posisi setiap 1 jam.

Berikan beberapa bentuk latihan berikut ini :

Gerakkan semua sendi pada lengan dan tungkai secara perlahan


yaitu lurus dan menekuk sebanyak 5 – 7 kali.

Gerakan yang diberikan secara perlahan agar pasien dapat ikut aktif melakukanya.

Posisikan duduk dan berikan pegangan pada


tangan pasien  Anjurkan untuk melakukan gerakan disekitar pinggang dan pinggul

Gerakan yang diharapkan adalah gerakan rotasi (beputar) foreward dan backward dan
bukan gerakan mendorong kedepan dan kebelakang.

Lakukan secara perlahan gerakan mengangkat lengan dan


mintalah pasien untuk ikut melakukannya dan berusaha agar siku tidak terdorong
keluar. Dan tubuh tetap tegak. Dengan kata lain pasien berusaha tidak  melakukan
gerakan kompensasi dengan tetap menjaga kestabilan tubuh serta mengontrol lengan
agar  selama gerakan dilakukan siku tidak terdorong kesamping. lakukan sebanyak 7
kali pengulangan.

Berikan gerakan-gerakan pada jari-jari dan jangan memberikan


regangan berlebihan. Gerakan yang  diberikan antara lain gerakan menekuk kebelakang
(dorsal fleksi) pada pergelagan tangan, menekuk  kedepan (fleksi) pada sendi antara
punggung tangan dan jari-jari (metacarpo phalangeal joint) dan  meluruskan sendi pada
jari-jari. Dapat dilakukan secara terpisah ataupun bersama-sama dengan pola  seperti
diatas. lakukan sebanyak 7 kali pengulangan.
Lakukan gerakan dan peregangan pada jari-jari kaki. Hal ini perlu
dilakukan, karena pada pasien stroke  sering mengalami masalah pada penumpuan
(Base of Support). Gangguan penumpuan berupa   kecenderungan tumpuan hanya pada
sisi tepi lateral) telapak kaki. Hal tersebut mengakibatkan gangguan  informasi tentang
posisi yang mempengaruhi kestabilan tubuh.

Posisikan tangan seperti pada gambar disamping (Lumbrical


position), lakukan koreksi pada jari-jari agar  menggenggam dengan sempurna,
kemudian lakukan gerakan kedepan dan kebelakang (fleksi-ekstensi  pada pergelangan
tangan. Gerakan ini akan membantu stabilitas dan mobilitas pergelangan tangan dan
jari-jari. Sehingga fungsi jari-jari (prehension) bekerja dengan baik.

Catatan : Keberhasilan latihan bagi pasien stroke dengan berbagai metode


apapun hanya dapat dicapai jika pasien AKTIF dan bukan PASIF  melakukan
gerakan dan fisioterapis memfasilitasi agar pola gerak sesuai dengan “normal
Pattern”.
Latihan pada stroke = Pembelajaran sensomotorik pada Sistam Saraf.
Aktif = Proses pembelajaran
Pasif = Tidak ada Proses Pembelajaran.

Konsultasi via e-mail : dhaenkpedro@ymail.com

http://gerontiklansia.blogspot.com/2008_09_01_archive.html

Senin, 15 September 2008


GANGGUAN PERKEMIHAN PADA LANSIA
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak retroperitoneal, di kedua sisi
kolumna vertebralis daerah lumbal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri
karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi kosta 12, sedangkan kutub atas
ginjal kiri terletak setinggi kosta 11. Setiap ginjal terdiri dari 600.000 nefron. Nefron terdiri atas
glomerulus dengan sebuah kapiler yang berfungsi sebagai filter. Penyaringan terjadi di dalam sel-sel
epitelial yang menghubungkan setiap glomerulus.

Ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal mempunyai beberapa
fungsi seperti : mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara
menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta
mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan sampah metabolisme
(seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi,
ginjal juga mensekresi renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif vitamin
D yaitu penting untuk mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang penting untuk sintesis darah.

Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya 25 sampai 30 cm, yang berjalan dari ginjal sampai
kandung kemih. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan kemih ke kandung kemih. Kandung kemih
adalah salah satu kantong berotot yang dapat mengempis dan berdilatasi, terletak di belakang
simpisis pubis. Kandung kemih memiliki 3 muara antara lain dua muara ureter dan satu muara
uretra. Dua fungsi kandung kemih adalah sebagai tempat penyimpanan kemih dan mendorong
kemih keluar dari tubuh melalui uretra. Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, yang
berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh. Panjangnya pada wanita sekitar 4 cm dan pada
pria sekitar 20 cm.

PERUBAHAN SISTEM GINJAL PADA LANJUT USIA

Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia muda. Pada usia 90 tahun
beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan dengan pengurangan ukuran ginjal.

Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman tentang panjang, luas dan kemampuan untuk
berkembang dari ginjal yang mendapat urogram i.v, mereka menemukan bahwa panjang ginjal
berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya usia, banyak
jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang
30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif setelah 40 tahun,
dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari
1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun.

Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri
aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang
terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris
sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan
meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan
pengaturan sistem keseimbangan.

A.Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia

Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit darah dari 40%
hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di
glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular
ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5
liter per hari.

Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setelah usia 20
tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal
pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal
terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi
pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang
berhubungan dengan usia.

B.Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia

Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan predisposisi
untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat
merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun dan 60
tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena berkurangnya jumlah nefron dan
tidak adanya kemampuan untuk regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada
lanjut usia antara lain : (Cox, Jr dkk, 1985)

1.Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.


2.Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia
muda.
3.Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun.
Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang berkurang. Maka yang
paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine
Clearance.
4.Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 tahun.

C.Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia


Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR). Pada usia
lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan
pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan
bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia
30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.

Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan
dengan penurunan bersihan kreatinin.

Untuk menilai GFR/creatinine clearance rumus di bawah ini cukup akurat bila digunakan pada usia
lanjut.

Cratinine Clearance (pria) = (140-umur) X BB (kg) ml/menit


72 X serum cretinine (mg/dl)

Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria


D.Perubahan fungsi tubulus pada lanjut usia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari usia 40 ke 90-an.
Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada
usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat)
menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR.

Penemuan ini mendukung hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi,
misalnya hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan pada
transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas total untuk transpor
menurun.

Transpor glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock pada kelompok usia antara
20-90 tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance. Pengurangan TmG
sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap pada beberapa dekade.

Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron yang masih berfungsi, kapasitas total untuk
transpor menurun sejalan dengan atrofi nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal
untuk glukosa meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak dapat dijelaskan
tetapi mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.

E.Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia

Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka pengaturan
metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh
menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada
laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak
dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang
mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul
terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.

Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan dengan usia muda yang
menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk
mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat
mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

PENYAKIT GINJAL DAN TRAKTUS URINARIUS PADA


LANJUT USIA

A. INFEKSI SALURAN KEMIH

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi
mikroorganisme pada saluran kemih. Prevalensi ISK di masyarakat makin meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Pada usia 40-60 tahun mempunyai angka prevalensi 3,2 %, sedangkan pada usia
sama atau di atas 65 tahun kira-kira mempunyai angka prevalensi ISK sebesar 20 %. Infeksi saluran
kemih dapat mengenal baik laki-laki maupun wanita dari semua umur, baik anak-anak, remaja,
dewasa maupun lanjut usia. Akan tetapi dari kedua jenis kelamin, ternyata wanita lebih sering dari
pria dengan angka populasi umum, kurang lebih 5-15%.

Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin. Bakteriuria yang disertai dengan
gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria simptomatis. Sedangkan yang tanpa gejala disebut
bakteriuria asimptomatis. Dikatakan bakteriuria positif pada pasien asimptomatis bila terdapat lebih
dari 105 koloni bakteri dalam sampel urin midstream, sedangkan pada pasien simptomatis bisa
terdapat jumlah koloni lebih rendah.

Prevalensi ISK yang tinggi pada usia lanjut antara lain disebabkan karena:
Sisa urin dalam kandung kemih meningkat akibat pengosongan kandung kemih kurang efektif.
Mobilitas menurun.
Pada usia lanjut nutrisi sering kurang baik.
Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral.
Adanya hambatan pada aliran urin.
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Etiologi

ISK pada usia lanjut dipandang dari segi penatalaksanaan sering dibedakan atas: (Russel, B.M., 1989;
Tolkoff, Rubu N.E. dan Rubin R.H., 1989).

a.ISK uncomplicated (simple)


ISK yang sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing baik anatomi maupun
fungsionil normal. ISK sederhana ini pada usia lanjut terutama mengenai penderita wanita dan
infeksi hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih. Penyebab kuman tersering (90%) adalah
E. coli.

b.ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kuman penyebab sulit diberantas, kuman
penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotik, sering terjadi bakteriemia, sepsis,
dan syok. Penyebab kuman pada ISK complicated adalah Pseudomonas, Proteus, dan Klebsiela. ISK
complicated terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
Kelainan abnormal saluran kemih, misalnya batu (pada usia lanjut kemungkinan terjadinya batu
lebih besar dari pada usia muda). Refleks vesiko urethral obstruksi, paraplegi, atoni kandung kemih,
kateter kandung kemih menetap, serta prostatitis menahun.
Kelainan faal ginjal, baik gagal ginjal akut (GGA) maupun gagal ginjal kronis (GGK).

Bermacam-macam mikroorganisme dapat menyebabkan ISK. Mikroorganisme yang paling sering


adalah bakteri aerob. Saluran kemih normal tidak dihuni oleh bakteri atau mikroba lain, karena itu
urin dalam ginjal dan buli-buli biasanya steril. Walaupun demikian uretra bagian bawah terutama
pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya makin kurang pada bagian yang mendekati
kandung kemih. Selain bakteri aerob, ISK juga dapat disebabkan oleh virus, ragi, dan jamur.
Penyebab terbanyak adalah Gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus yang
kemudian naik ke sistem saluran kemih. Dari Gram-negatif ternyata E.Coli menduduki tempat
teratas, yang kemudian diikuti oleh Proteus, Klebsiela, Enterobacter, dan Pseudomonas.

Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan entercoccus dan
Staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut
dengan hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan
Staphylococcus aureus dalam urin harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal. Demikian
juga Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih melalui jalur hematogen dan pada
kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi Salmonella pada urin. Bakteri lain yang dapat
menyebabkan ISK melalui jalur hematogen ialah Brusella, Nokardia, Actinomyces dan
Mycobacterium tuberculosae.

Virus juga sering ditemukan pada urin tanpa ada gejala ISK akut. Adenovirus tipe 11 dan 12 diduga
sebagai penyebab sistitis hemoragik. Sisititis hemoragik dapat juga disebabkan oleh Schistosoma
hematobium yang termasuk golongan cacing pipih. Candida merupakan jamur yang paling sering
menyebabkan ISK terutama pada pasien dengan kateter, pasien DM atau yang mendapat
pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Candida yang paling sering ialah Candida albicans dan
Candida tropicalis. Semua jamur sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen.

Patogenesis

Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat melalui:


Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat infeksi tersebut.
Hematogen
Limfogen
Eksogen sebagai akibat pemakaian alat berupa kateter atau sistiskopi.

Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan asending, tetapi dari kedua cara ini
asendinglah yang paling sering terjadi. Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan
daya tahan tubuh yang rendah atau pasien yang sementara mendapat pengobatan imunosupresif.
Infeksi asending dapat terjadi mulai dari kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina, masuknya
mikroorganisme dalam kandung kemih, multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan
kandung kemih kemudian naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal.

Gejala Klinis

Gejala klinis ISK tidak khas dan bahkan pada sebagian pasien tanpa gejala. Gejala yang sering
ditemukan ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan. Nyeri
suprapubik dan daerah pelvis juga ditemukan. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih tidak dapat
menampung urin lebih dari 500 ml karena mukosa yang meradang sehingga sering kencing.
Stranguria, tenesmus, nokturia, sering juga ditemukan enuresis nokturnal sekunder, prostatismus,
nyeri uretra, kolik ureter dan ginjal. Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang
terinfeksi sebagai berikut
Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa rasa sakit atau rasa panas di uretra sewaktu
kencing dengan air kemih sedikit-sedikit serta rasa tidak enak di daerah suprapubik.
Pada ISK bagian atas dapat ditemukan gejala sakit kepala, malaise, mual, muntah, demam,
menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang.

Pemeriksaan Laboratorium

1. Urinalisis
a.Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah ISK.
Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya
leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya
leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa
infeksi.

b.Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB
sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan
glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

2. Bakteriologis
a.Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram. Dinyatakan positif bila
dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak emersi.
b.Biakan bakteri

Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna
sesuai dengan criteria Cattell, 1996:
Wanita, simtomatik
>102 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau
> 105 organisme pathogen apapun/ml urin, atau
Adanya pertumbuhan organisme pathogen apapun pada urin yang diambil dengan cara aspirasi
suprapubik
Laki-laki, simtomatik
>103 organisme patogen/ml urin
Pasien asimtomatik
> 105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin berurutan.

3. Tes kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar mikroba
kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini
dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1%
untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat,
diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter.

4. Tes Plat-Celup (Dip-slide)


Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan padat khusus
dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan
kembali ke dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman
semalaman pada suhu 37° C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola
pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan
kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin
yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan
kepekaannya tidak dapat diketahui.

5. Pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lainnya


Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang
merupakan faktor predisposisi ISK. Dapat berupa pielografi intravena (IVP), ultrasonografi dan CT-
scanning.

Diagnosis Banding

Infeksi atau iritasi pada periuretra atau vagina.

Komplikasi

Pielonefritis akut
Eptikemia
Kerusakan ginjal.

Penatalaksanaan

Pasien dianjurkan banyak minum agar diuresis meningkat, diberikan obat yang menyebabkan
suasana urin alkali jika terdapat disuria berat dan diberikan antibiotik yang sesuai. Biasanya
ditujukan untuk bakteri Gram-negatif dan obat tersebut harus tinggi konsentrasinya dalam urin.

Wanita dengan bakteriuria asimtomatik atau gejala ISK bagian bawah cukup diobati dengan dosis
tunggal atau selama 5 hari. Kemudian dilakukan pemeriksaan urin porsi tengah seminggu kemudian,
jika masih positif harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pada pria, kemungkinan terdapat kelainan saluran kemih lebih besar, sehingga sebaiknya diberikan
terapi antibiotik selama 5 hari, bukan dosis tunggal dan diadakan pemeriksaan lebih lanjut.
Terdapat 2 jenis ISK rekuren. Yang paling sering adalah kuman baru pada setiap serangan, biasanya
pada wanita dengan gejala sistitis akut rekuren atau pasien dengan kelainan anatomi. Pasien diminta
banyak minum agar sering berkemih dan dianjurkan untuk minum antibiotik segera setelah
berhubungan intim. Pada kasus sulit dapat diberikan profilaksis dosis rendah sebelum tidur setiap
malam, misalnya nitrofurantoin, trimetroprim dan sulfametoksazol, biasanya 3-6 bulan.

Jenis kedua adalah dimana infeksi terjadi persisten dengan kuman yang sama. Di luar kemungkinan
resistensi kuman ini biasanya merupakan tanda terdapat infeksi seperti batu atau kista. Biasanya
dibutuhkan antibiotik jangka panjang.

B.INKONTINENSIA URIN

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien
geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat
dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah
inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria.

Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan
tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin diklasifikasikan :


1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan
teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia
urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke,
arthritis dan sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu
inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan
nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat
juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist
adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim
di bawah ini :
D à Delirium
R à Restriksi mobilitas, retensi urin
I à Infeksi, inflamasi, Impaksi
P à Poliuria, pharmasi

2. Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena
dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :


a.Inkontinensia urin stress :
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk,
bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan
penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa,
batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

b.Inkontinensia urin urgensi :


Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin
jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity).
Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke,
penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk
sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia
urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas
75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang
terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih
sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe
lain sehingga penanganannya tidak tepat.
c.Inkontinensia urin overflow :
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal
ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya
kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin
tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

d.Inkontinensia urin fungsional :


Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor
di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat,
faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik
lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua
komponen.

Evaluasi Inkontinensia Urin

Tujuan evaluasi awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan mengenali penyebab-
penyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang bisa
memulai pengobatan tanpa memerlukan uji-uji yang canggih.

Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan
tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.

a.Lama dan karakteristik inkontinensia urin


Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)
Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.
Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih.
Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.

b.Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya


Riwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi
vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat
sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih.
Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan.
Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik,
adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan
obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.
Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan
patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap
abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau
riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa
genitalia. Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala,
dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat
dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa,
vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi
neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus
anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-
penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan
fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan
apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.

Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin

1.Tes diagnostik pada inkontinensia urin


Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe
inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan
pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes
lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi.
Tes urodinamik à untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra à mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
Imaging à tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

2. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca
berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan
dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat
juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada
desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi
litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh
antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih
tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan
kondisi yang menyebabkan poliuria.

4. Catatan berkemih (voiding record)


Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk
mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan
gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai
sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu
terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,


mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi,
latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang
keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah
dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi
yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan
keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval
waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta
dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada
lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin,
Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis
seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin,
dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil
mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air
seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab,
selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter
sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.
Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini
juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak
dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta
membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

C.HIPERTROFI PROSTAT JINAK

Berdasarkan angka otopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik
anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar
80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Etiologi

Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen, karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan
adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahan juga terjadi secara perlahan-lahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat
meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi
otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.

Gambaran klinik
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih
berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi tersebut menetes pada akhir,
pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan
hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan,
dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau
gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu
lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi
lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, withdraw ureter, hidronephrosis, dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat
terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
dapat terjadi pielonephritis.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum,
kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur
harus diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas
atas dapat diraba.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan.
Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin
dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih seteleh miksi. Sisa urin >100
cc dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.

Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi,
disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik,
sedang maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi
infravesika tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih.

Pemeriksaan Pencitraan

Dengan pemeriksaan radiologik seperti foto polos perut dan pielografi intravena dapat diperoleh
keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronephrosis, atau divertikel
kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat
dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran
prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau
ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk
sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat
dilakukan sistogram retrograd.

Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonogarphy


= TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi dapat pula
menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel,
tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostat untuk menentukan
jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi
suprapubik.

Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberi gambaran
kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang
dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatika dan melihat
penonjolan prostat ke dalam urethra.

Diagnosa banding

Proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan
tonus ototnya, dan resistensi urethra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga
faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih
neurologik) misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang
mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor
ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan
resistensi urethra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung
kemih, batu di urethra, atau striktur urethra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan sistoskopi.

Penanggulangan

Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan keluhan klinik. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang
disebut WHO PSS (WHO Prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawababan penderita atas
delapan pertanyaan mengenai miksi.

Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu dianjurkan dilakukan
kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila
timbul obstruksi.

Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara
penanganan. Penderita derajat I biasanya belum memerlukan tindakan bedah diberikan pengobatan
konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosi dan
terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hyperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah
obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopi
melalui urethra (transurethral resection = TUR). Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan
konservatif.

Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup berpengalaman.
Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam,
sebaiknya dilakukan pembedahan kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.

Pada hipertrofi derajat IV tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dilakukan
pemeriksan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau
pembedahan terbuka.

Penderita yang keadaan umunya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan dapat
diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Kesulitan pengobatan konservatif ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek
samping obat.

Pengobatan lain yang invasif minimal ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara ini
yang disebut transurethral microwave thermotherapy (TUMT) diperoleh hasil perbaikan kira-kira
75% untuk gejala obyektif.

Pada penanggulangan invasif minimal lain digunakan cahaya laser, yang disebut transurethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) juga diperoleh hasil yang cukup memuaskan.

Urethra di daerah prostat juga dapat didilatasi dengan memakai balon yang dikembangkan di
dalamnya (transurethral balloon dilatation = TUBD). TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang
bersifat sementara.

DAFTAR PUSTAKA

Anderton JL. Basic Nephrology, Gudang Harapan SDN : Malaysia, 1996


Braunwald et.al. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2000
Braunwald et.al. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume 3, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2000
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 3, jil. I, Balai Penerbit FKUI: Jakarta, 2001
Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 17. England Upploten and Lange, 1998
Hanno PM, Wein AJ. Clinical Manual of Urology, second ed.,USA: McGraw-H ill International Editions
Hazzard WR, et al. Principle of Geriatric Medicine and Gerontology, seconded., McGraw-Hill: USA,
1990
R. Boedhi Darmojo, H. Hadimartono. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai Penerbit
FKUI : Jakarta, 1999
Staf Pengajar Bagian PA FKU1. Patologi, Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 1998

Yatim, Faisal. Pengobatan Terhadap Penyakit Usia Senja, Andropause dan Kelainan Prostat. Pustaka
Populer Obor : Jakarta, 2004

Sjamsuhidajat, R; Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi Revisi). Jakarta: Buku Kedokteran EGC,
1997

Diposkan oleh Asuhan Keperawatan di 02.38 0 komentar

CVA
TINJAUAN PUSTAKA

A.Defenisi

Cerebro vascular accident (CVA) atau stroke adalah gangguan suplai oksigen ke sel-sel syaraf yang
dapat disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya satu atau lebih pembuluh darah yang
memperdarahi otak, dan terjadi dengan tiba-tiba. Dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: trombosis,
emboli, dan perdarahan serebral (Keperawatan P.K. Sint Carolus, 1994). Sedangkan menurut Lynda
Juall Carpenito (1995) cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit neurologis
karena insufiensi suplai darah ke suatu bagian dari otak. Insufiensi suplai darah disebabkan oleh
trombus, biasanya sekunder terhadap aterosklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain
dalam tubuh, atau terhadap ruptur arteri (aneurisma).
Menurut WHO (1989) stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak
yang terganggu.
Menurut patologi anatomi stroke dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadianya saat melakukan aktifitas atau
saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun.
2.Stroke Non Haemorhagi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama
beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi perdarahan
namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Kesadaran umumnya baik.
Sedangkan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya stroke terdiri dari:
1.TIA (trans iskemik attack) gangguan neurologis stempat yang terjadi selama beberapa menit
sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam
waktu kurang dari 24 jam.
2.RIND stroke yang proses terjadinya 24-72 jam.
3.Stroke involusi, yaitu stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis
terlihat semakin berat dan bertambah buruk dengan gejala yang belum menetap, proses dapat
berjalan lebih dari 72 jam atau beberapa hari.
4.Stroke komplit dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen, sesuai
dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

B.Etiologi
Beberapa keadaan di bawah ini yang dapat menyebabkan stroke antara lain:
1.Trombosis Cerebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia
jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti disekitarnya. Trombisis biasanya
terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini akibat penurunan aktifitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala
neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis. Keadaan yang dapat menyebabkan
trombosis otak antara lain:
a.Arteriosklerosis
Arteriosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas
dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis arteriosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat
terjadi melalui mekanisme berikut:
Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis.
Merupakan tempat terbentuknya trombus, kemudian melepaskan kepingan trombus (embolus).
Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan.
b.Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas , hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran
darah serebral.
c.Arteritis (Radang pada arteri)

2.Emboli
Abnormalitas pada jantung kiri, seperti endokarditis inefektif, penyakit jantung reumatik, dan infark
miokard, serta infeksi pulmunal adalah tempat-tempat di asal emboli. Mungkin saja bahwa
pemasangan katup jantung prostetik dapat mencetuskan stroke, karena terdapat peningkatan
insiden embolisme setelah prosedur ini. Resiko stroke setelah pemasangan katup jantung dapat
dikurangi dengan terapi antikoagulan pascaoperatif. Kegagalan pacu jantung, fibrilasi atrium, dan
kardioversi untuk fibrilasi atrium adalah kemungkinan penyebab lain dari emboli serebral dan stroke.
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi
serebral.

3.Haemoragi
Kebanyakan perdarahan serebral disebabkab oleh pecahnya arteriosklerosis dan hipertensi
pembuluh darah. Pecahnya menyebabkan jumlah perdarahan yang banyak, sementara pecahnya
vena atau kapiler menyebabkan perdarahan yang lebih sedikit. Tergantung pada lokasi dan luasnya
perdarahan dapat terjadi gangguan fungsi yang pemulihanya lambat, atau otak dapat mengalami
hernia yang dapat mengakibatkan kematian dalam tiga hari pardarahan pertama. Lokasi perdarahan
bisa terjadi di serebral, ekstradural, subdural, subarachnoid, dan intraserebral.
4.Hipoksia Sistemik
a.Hipertensi yang parah
b.Cardiac pulmonary arrest
c.Cardiac output turun akibat aritmmia.

5.Hipoksia Setempat
a.Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b.Vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

C.Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai fungsi ke area tertentu di otak. Luasnya infark
bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah yang tersumbat. Suplai
darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli,
perdarahan, dan spasme vaskular) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan
paru dan jantung). Arterosklerosis sering atau cenderung sebagai faktor penting terhadap otak,
trombus dapat berasal dari flak arterosklerosis, atau darah beku pada area yang stenosis, dimana
aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah
terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus dapat mengakibatkan:
1.Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan.
2.Edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyababkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark itu sendiri. Edema
dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang beberapa hari. Dengan berkurangnya
edema, pasien mulai menunjukkan parbaikan, CVA. Karena trombosis biasanya tidak fatal, jika
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema
dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah
maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang
tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyababkan perdarahan
serebral, jika aneurisama pecah dan ruptur. Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur
arteriosklerosis dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intrserebral yang sangat luas akan
menyababkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit serebro vaskuler. Jika sirkulasi
serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia
serebral dapat reversibel untuk jangka 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10
menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya cardiac
arrest.

A.Manifestasi Klinis
Stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran jumlah darah
kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor pada salah asatu sisi
tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.
Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang
lain.
Diawal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis dan hilang atau
menurunya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalan ini muncul kembali (biasanya dalam
48 jam), peningkatan tonus disertai dengan spatisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada
ekstremitas yang terkena dapat dilihat .
Kehilangan komunikasi.Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi.Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat
dimanifestasikan oleh hal berikut:
1.Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan
oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
2.Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.
3.Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat
ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
Gangguan persepsi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan difungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan
kehilangan sensori.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)
sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Kehilangan sensori karena stroke dapat berubah
kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan
untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimuli visual, taktil, dan auditorius.
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik. Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal,
mempelajari kapasitas, memori, atau fungsi intelektual, kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional,
bermusuhan, frustasi, demdam, dan kerang kerjasama.
Disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urianarius
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
menggunakan urinal atau bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang
setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalanm respon terhadap
pengisian kandung kemih.

B.Faktor Resiko Stroke


Dalam upaya pencegahannya maka diperlukan identifikasi karakteristik epidemiologiknya yang dapat
merupakan sebagai faktor resiko stroke. Faktor resiko ini menyebabkan orang menjadi lebih rentan
atau mudah mengalami stroke. Faktor-faktor resiko yang selama ini telah diidentifikasi dapat berupa
hipertensi, diabetes militus, riwayat stroke sebelumnya, obesitas dan kebiasaan merokok. Selain itu,
disebutkan juga beberapa faktor yang dicurigai berkaitan dengan stroke seperti alkohol, kontrasepsi
hormonal, trauma dan herpes zoster.
Diantara faktor resiko diatas, dapat disebutkan 4 major risk factors dari stroke:
1.Hipertensi
2.Transient Ischemic Attack(TIA)
3.Hipercholesterolemia
4.Diabetes Militus

C.Pemeriksaan Diagnostik
1.Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik. Seperti perdarahan,
atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur.
2.CT Scan: memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
3.Pungsi lumbal:menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli serebral,
dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik
subaraknoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis
sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
4.MRI: menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MVA).
5.Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri
karotis,arteriosklerotik).
6.EEG: mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan
daerah lesi yang spesifik.
7.Sinar X Tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas.

D.Penatalaksanaan Umum Stroke


1.Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut
Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan
a.Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang sering,
oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b.Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk berusaha memperbaiki hipotensi
dan hipertensi.
2.Rehidrasi yang cukup.
3.Assessment gangguan menelan dan tata cara pemberian nutrisi bila ada gangguan menelan.
4.Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
5.Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
6.Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin pasien harus
dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
7.Perbaikan adanya komplikasi sistemik.
8. Penanganan daerah Penumbra (jaringan iskemik yang tanpa dilakukan upaya pengobatan akan
menjadi infark). Karena daerah ini akan terjadi rantai reaksi metabolic antara lain masuknya ion
kalsium dan laktat kedalam cel sehingga terjadi edema cel dan akhirnya necrosis.

Tindakan
Upaya perbaikan status umum (TD, gula darah, hydrasi, keseimbangan cairan asam basa, kardio
respirasi)
Anti trombosis (heparin, wafarin) untuk mencegah perluasan infark bila waktu masih dalam
”theurapeutik win-down” (<6 jam).
Perbaikan metabolic sekitar lesi sampai saat ini masih eksperimental.

Tindakan Konsevatif
1. vasodilasator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi maknanya :pada
tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2.Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3.Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi
trombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
Tindakan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
1.Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis di
leher.
2.Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh
pasien TIA.
3.Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4.Utasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

E.Asuhan keperawatan
1.Pengkajian
Lembar alir neurologik dipertahankan untuk menunjukkan parameter pengkajian keperawatan
dibawah ini:
a.Perubahan pada tingkat kesadaran atau responsivitas yang dibuktikan oleh gerakan, menolak
terhadap perubahan posisi, dan respon terhadap stimulasi: berorientasi terhadap tempat, waktu,
dan orang.
b.Adanya atau tidak adanya gerakan volunter atau involunter ekstremitas: tonus otot; postur tubuh;
dan posisi kepala
c.Kekakuan atau flaksiditas leher.
d.Membuka mata, ukuran pupil komparatif dan reaksi pupil terhadap cahaya, dan posisi okular.
e.Warna wajah dan ekstremitas; suhu dan kelembaban kulit.
f.Kualitas dan frekuensi nadi dan pernafasan; gas darah arteri sesuai indikasi, suhu tubuh, dan
tekanan arteri.
g.Kemampuan untuk bicara.
h.Volume cairan yang diminum atau diberikan dan volume urin yang dikeluarkan setiap 24 jam.
Ketika pasien mulai sadar, tanda keletihan dan konfusi ekstrem tampak sebagai akibat edema
serebral yang mengikuti stroke. Bila terjadi lesi pada hemisfer dominan pasien juga mengalami
afasia. Lesi hemisfer non dominan dapat mengakibatkan apraksia (ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan yang dipejari sebelumnya).
Setelah fase akut, perawat mengkaji fungsi-fungsi berikut: satus mental (memori, lapang perhatian,
persepsi, orientasi, afek, bicara atau bahasa), sensasi atau persepsi(biasanya pasien mengalami
penurunan kesadaran terhadap nyeri dan suhu); kontrol motorik (gerakan ekstremitas atas dan
bawah); dan fungsi kandung kemih.

2.Diagnosa Keperawatan
a.Penururnan perfusi jaringan otak berhubungan dengan menurunnya supplay darah serebral
adanya oklusi otak, perdarahan, vasospasme dan edema otak.
b.Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tidak sadar atau menurunnya refleks batuk.
c.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan parestesia, flaciad, paralisis sekunder rusaknya
sistem motorik
d.Kerusakan komunikasi verbal atau tulis berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral,
gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, kehilangan memori, dan
kelemahan secara umum.
e.Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan mobilitas fisik .
f.Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan mobilitas yang lama.
Diposkan oleh Asuhan Keperawatan di 02.36 0 komentar

Jumat, 12 September 2008


ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN DIABETES MELITUS
DIABETES MELLITUS

Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Etiologi
Diabetes tipe I:
Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau
kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada
diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
Obesitas
Riwayat keluarga

Tanda dan Gejala


Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM lansia umumnya tidak ada.
Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik
pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses
menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan
komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena
katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada
tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
Katarak
Glaukoma
Retinopati
Gatal seluruh badan
Pruritus Vulvae
Infeksi bakteri kulit
Infeksi jamur di kulit
Dermatopati
Neuropati perifer
Neuropati viseral
Amiotropi
Ulkus Neurotropik
Penyakit ginjal
Penyakit pembuluh darah perifer
Penyakit koroner
Penyakit pembuluh darah otak
Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul
keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien
DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu
tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut
dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya
bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas
hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia.
Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak
umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan
kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang
merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah sewaktu
Kadar glukosa darah puasa
Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
Darah kapiler
< 100
<80
<110
<90
100-200
80-200
110-120
90-110
>200
>200
>126
>110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat
(2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar
glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
Diet
Latihan
Pemantauan
Terapi (jika diperlukan)
Pendidikan
Pengkajian
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa,
bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk
menanggulangi penyakitnya.
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang
penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
Integritas Ego
Stress, ansietas
Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Masalah Keperawatan
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
Kekurangan volume cairan
Gangguan integritas kulit
Resiko terjadi injury
Intervensi
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan
oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat
dihabiskan pasien.
Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan
yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika
pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin,
denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
Kolaborasi dengan ahli diet.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat
diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar
elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Pantau masukan dan pengeluaran
Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat
ditoleransi jantung
Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan
laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
Kaji tanda vital
Kaji adanya nyeri
Lakukan perawatan luka
Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
Hindarkan lantai yang licin.
Gunakan bed yang rendah.
Orientasikan klien dengan ruangan.
Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
DAFTAR PUSTAKA
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta
: EGC, 1999.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta :
EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC,
2002.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga,
Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2002

Diposkan oleh Asuhan Keperawatan di 08.44 0 komentar

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN BROKOPNEUMONIA


KONSEP TEORI
BRONKOPNEUMONIA

Definisi
Pneumonia merupakan peradangan perenkim paru-paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi.
(Price,1995)
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat (Zul, 2001)
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran
berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi dalam bronki dan meluas ke parenkim
paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2001).
Perubahan system respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan
fungsi paru meliputi:
Peningkatan diameter anteroposterior dada.
Kolaps osteoporotik vertebrae yang mengakibatkan kifosis (peningkatan kurvatura konveks tulang
belakang).
Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta.
Penurunan efisiensi otot pernapasan.
Peningkatan rigiditas paru.
Penurunan luas permukaan alveoli.
Klasifikasi pneumonia
Klasifikasi menurut Zul Dahlan (2001):
Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas:
Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan opasitas lobus atau lobularis.
Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan gambaran infiltrate
paru bilateral yang difus.
Berdasarkan faktor lingkungan
Pneumonia komunitas
pneumonia nosokomial
pneumonia rekurens
pneumonia aspirasi
pneumonia pada gangguan imun
pneumonia hipostatik.
Berdasarkan sindrom klinis
Pneumonia bakterial berupa: pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim
paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe
campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai konsolidasi paru.
Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan mycoplasma, clamydia
pneumoniae atau legionella.
Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001):
Community Acquired Pneumonia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan bisa berkembang
menjadi pneumonia. Pneumonia streptococcal merupakan organisme penyebab umum. Tipe
pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.
Hospital Acquired pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial. Organisme seperti ini
aeruginisa pseudomonas. Klebsiella atau aureus stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab
Hospital Acquired pneumonia
Lobar dan bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Sekarang ini
pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen penyebabnya, kultur
sensifitas dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme perusak.
Etiologi
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime gram positif seperti:
streptococcus pneumonia, s. aureus dan s. pyogenesis. Bakteri gram negative seperti Haemophilus
influenza, klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam
hal ini dikenal sebagai penyabab utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang
mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos
Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang
mengalami imunosupresi. (Reeves,2001).
Pathways
TERLAMPIR
Manifestasi klinis
Kesulitan dan sakit pada saat pernapasan.
Nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea.
Bunyi nafas di atas area yang mengalami konsolidasi.
Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronki, egofoni.
Gerakan dada tidak simetris
Menggigil dan demam 38,80 C sampai 41,1o C, delirium
Diaforesis
Anoreksia
Malaise
Batuk kental, produktif
Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat.
Gelisah
Sianosis
Area sirkumoral, dasar kuku kebiruan.
Masalah-masalah psikososial: disorientasi, ansietas, takut mati.
Pemeriksaan penunjang
Sinar X: mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infilrat, empiema
(stapilococcus);infiltrate menyebar atau terlokalisasi (bacterial);atau penyebaran/perluasan infiltrate
nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar X dada mungkin bersih.
GDA: tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang
ada.
Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal,
bronkoskopi fiberotik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infekksi virus, kondisi
tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin.
LED: meningkat
Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps); tekanan jalan napas
mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.elektrolit natrium dan klorida mungkin
rendah.
Bilirubin mungkin meningkat.
Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan
sitoplasmik (CMV) (Doenges, 1999).
Penatalaksanaan
Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan kuman penyebab infeksi (hasik kultur
sputum dan tes sensitivitas kuman teradap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan
secara oral, sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi
ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu
penyesuaian dosis (Harasawa,1989)
Pengobatan umum
Terapi oksigen
Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral.
Fisioterapi, penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari
pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.
Pengkajian
Aktivitas/istirahat
Kelemahan, kelelahan, insomnia. Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
Sirkulasi
Riwayat gagal jantung kronis, takikardia, penampilan terlihat pucat.
Integritas ego
Banyak stressor, masalah finansial.
Makanan/cairan
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, riwayat DM. Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit
kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrisi.
Neurosensori
Sakit kepala, perubahan mental.
Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala , nyeri dada meningkat dan batuk myalgia.
Pernafasan
Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori,
pelebaran nasal. Sputum berwana merah muda, berkarat atau purulen.
Perkusi: pekak di atas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural. Bunyi nafas: menurun atau tidak
ada di atas area yang terlibat atau nafas bronchial. Fremitus: taktil dan vocal meningkat dengan
konsolidasi.. Warna: pucat, atau sianosis pada bibir/kuku.
Keamanan
Riwayat gangguan sistem imun, demam. Berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan
mungkin pada kasus rubella/varisela.
Penyuluhan
Riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis.
Diagnosa keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan
oedema, peningkatanan produksi sputum, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan.ditandai
dengan perubahan frekuensi kedalaman pernafasan, bunyi nafas tidak normal, penggunaan otot
aksesori, dispnea, sianosis, batuk efektif/tidak efektif dengan atau tanpa produksi sputum.
Kriteria hasil: menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas, menunjukkan jalan nafas
paten dengan bunyi nafas bersih, tidak ada dispnea atau sianosis.
Intervensi keperawatan:
Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
Auskultasi paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles,
mengi)
Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
Berikan cairan sedikitnya 2500ml/hari.
Kolaborasi:
Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain.
Berikan obat sesuai indikasi: mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgesik.
Berikan cairan tambahan
Awasi seri sinar X dada, GDA, Nadi oksimetri.
Bantu bronkoskopi/torakosintesis bila diidikasikan.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler (efek
inflamasi) dan gangguan kapasitas oksigen darah ditandai dengan dispnea, sianosis, taikardia,
gelisah,/perubahan mental, hipoksia.
Kriteria hasil:
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan
tidak ada gejala distress pernapasan
Berpastisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen.
Intervensi keperawatan:
Mandiri:
Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas.
Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku.
Kaji status mental.
Awasi status jantung/irama
Awasi suhu tubuh, sesuai indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan
menggigil.
Pertahankan istirahat tidur.
Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif.
Kaji tingkat ansietas.
Dorong menyatakan masalah/perasaan.
Kolaborasi
Berikan terapi oksigen dengan benar.
Awasi GDA
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi, penurunan kompliance paru, nyeri
ditandai dengan dispnea, takipnea, penggunaan otot aksesori, perubahan kedalaman nafas, GDA
abnormal.
Kriteria hasil:
Menunjukkan pola pernafasan normal/efektif dengan GDA dalam rentang normal.
Intervensi keperawatan:
Mandiri:
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
Auskultasi bunyi nafas.
Tinggikan kepala dan bahu.
Obsrvasi pola batuk dan karakter sekret.
Dorong/bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif.
Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan.
Awasi DGA.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya proses infeksi.
Kriteria hasil:
pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh, tidak menggigil, nadi normal.
Intervensi keperawatan:
Mandiri:
Obsevasi suhu tubuh (4 jam).
Pantau warna kulit.
Lakukan t

Anda mungkin juga menyukai