Anda di halaman 1dari 2

Dzikr dan ‘Ilmu Hudhuriy

Ia, – Allah-, hakikat semua yang maujud, menunjukkan diri-Nya Yang Mahasejati kepada semua
yang maujud dengan diri-Nya sendiri. Bukan dengan apapun selain diri (baca juga; Zat) – Nya.
Bukan pula dengan semua intellegebles yang ada dalam alam mental manusia yang dikreasi
secara hushuliy (representasional) oleh mental manusia. Subhanalloohi ‘amma yashifuun. (Maha
Suci Allah atas apa semua yang mereka sifatkan)   . Mereka sifatkan, mereka merupakan bentuk
jamak dan jelas menunjukkan bahwa subyek pensifatan yang batil ini bukan Ia sendiri. Illa
‘ibaadalloohil-mukhlashiin. (Kecuali hamba-hamba Allah yang ikhlas). Mukhlashiin, bentuk
pasif yang bukan merupakan pelaku (fa’il) tapi yang dikenai pekerjaan (maf’ul), kenapa? Karena
mutlak yang merupakan pelaku sebenarnya penyifatan Allah yang benar adalah diri-Nya sendiri.

Maka orang yang telah mencapai al-faqr (kefakiran ruhani), tidak merasa memiliki apapun.
Semua kebaikan, keagungan, kebenaran, – baginya-, benar-benar milik Allah belaka. Dan Allah
– pun akan mengingat (baca juga; melakukan dzikr) atas Zat – Nya sendiri melalui para fakir
ruhani ini dengan menggetarkan segenap manifestasi wujud sang fakir dengan Nama-Nama –
Nya.

Sebaliknya banyak orang yang telah berzuhud meninggalkan dunia tapi merasa memiliki satu
kedudukan rohani (baca; maqam) tertentu di sisi Allah. Ibadahnya terasa amat lezat dengan
bertambahnya kedudukannya di sisi Allah. Alih – alih mereka berjalan di muka bumi dengan
teramat rendah hati, di balik cahaya benderang wajahnya yang menawan di relung terdalam hati
terselip satu pandangan bahwa amalannya atau minimal kondisi hatinya cukup baik , dan lebih
baik dari rata – rata manusia di dunia. Ohh…, apakah mereka lupa setitik sombong akan
mencegah mereka dari surga. Dan apakah mereka lupa, Pemimpin Orang-Orang Beriman, Imam
‘ Ali bin Abi Thalib (a.s.) merintih; wa khoda’atnii dunya bi ghuruurihaa, wa nafsii bi
jinaayatihaa wa mithoolii , dan dunia telah memperdayakanku dengan tipuan-tipuannya, dan
diriku (telah tepedaya) karena ulahnya ?

Dimitri sebagai dimitri tak mengenal apa-pun, buta dalam lautan relativisme uber ales (baca;
relativisme dalam segala hal) . Kehadiran diri – Nya dalam “bayangan kosong dimitri” lah yang
merupakan kebenaran absolut dan merupakan satu – satunya yang pantas disebut sebagai ilmu. 
Contohnya ? Prinsip identitas, prinsip non-kontradiksi, dan lain-lain. Jadi ? Semua ‘ilmu adalah
‘ilmu hudhuriy, saat Allah mengingat diri – Nya sendiri melalui pancaran Nama-Nama – Nya.
Apa artinya? Subyeknya Allah, Obyek Yang Diketahuinya -pun Allah, maka terucaplah yaa man
dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi, wahai yang menunjukkan atas Zat-Nya dengan Zat-Nya !

Dan bagaimana untuk memperkuat intensitas ilmu hudhuriy seiring dengan menambah kesadaran
kita akan kefakiran mutlak kita? Bukankah Qur’an Suci telah menyatakan; “ Dan sesungguhnya
mengingat Allah (dzikrullah) adalah  lebih besar.”  Atau; “ Ingatlah kamu kepada – Ku, niscaya
aku akan ingat kepadamu.”   Maka, jika kita mengingat Allah, – yang bahkan meliputi seluruh
manifestasi wujud kita-, Allah akan menghadirkan ingatannya kepada diri kita. Sebagaimana
dikisahkan ketika satu dari ahli dzikir yang amat tekun, – Maha Guru Husein bin Mansur Al –
Hallaj -, di penjara pada hari pertama beliau menghilang dari penjara, sedang pada hari kedua
penjaranya hilang. Maka di hari ketiga penjaga menanyakan kepadanya tentang hal tersebut,
beliau menjawab, “ Hari pertama aku pergi ke hadhirat Tuhan maka aku menghilang, sedang di
hari kedua Tuhan hadir sehingga penjara pun hilang.”

wallohu a’lam bish-showwab

http://filsafatislam.net/?p=49

Anda mungkin juga menyukai