Anda di halaman 1dari 7

FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang

Anggunan

ZAKAT SAHAM DAN OBLIGASI

Pengertian Saham dan Obligasi

Saham (sero atau andil) adalah surat bukti yang menyatakan bahwa seseorang turut serta dalam
suatu perseroan terbatas (PT). Pemilik saham (pesero) berhak atas sebagian laba yang dihasilkan
perusahaan yang dijalankan oleh PT yang bersangkutan. Pesero juga berhak berpendapat dalam urusan-
urusan mengenai pimpinan perusahaan. Obligasi adalah surat bukti turut serta dalam pinjaman kepada
perusahaan atau badan pemerintahan. Bunga obligasi telah lebih dahulu ditetapkan, dan biasanya dibayar
setengah tahun sekali dengan menukar tanda bukti yang bernama kupon.1

Saham adalah bagian dari modal suatu perusahaan di mana seorang pemegang saham itu
termasuk pemilik aset perusahaan. Sedangakan Obligasi adalah perjanjian tertulis dari bank, perusahaan,
atau pemerintah kepada pembawanya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan
bunga tertentu pula.2

Perbedaan Saham dan Obligasi

Antara saham dan obligasi terdapat beberapa perbedaan. Saham merupakan bagian kekayaan
bank atau perusahaan sedangkan obligasi merupakan pinjaman kepada perusahaan, bank, atau
pemerintah. Saham memberikan keuntungan sesuai denga keuntungan perusahaan atau bank, yang bisa
banyak atau sedikit sesuai dengan keberhasilan perusahaan atau bank itu, tetapi juga menanggung
kerugiannya sedangkan obligasi memberikan keuntungan tertentu atas pinjaman tanpa bertambah atau
berkurang. Pembawa obligasi berarti pemberi hutang atau pinjaman kepada perusahaan, bank, atau
pemerintah sedangkan pembawa saham berarti pemilik sebagian perusahaan dan bank itu sebesar nilai
sahamnya. Obligasi dibayar setelah waktu tertentu, sedangkan saham hanya dibayar dari keuntungan
bersih perusahaan. Antara saham dan obligasi ini tidaklah sama, obligasi mengandung bunga yang
berkategori riba yang dilarang, meskipun demikian obligasi tetap merupakan kekayaan dari pemiliknya
yang sama saja dengan saham.3

Kalau pemegang saham suatu perusahaan turut memiliki perusahaannya dan nilai/kurs saham-
sahamnya bisa naik-turun, sehingga pemilik sahamnya bisa untung dan rugi, seperti mudharabah (profit
and loss sharing), maka berbeda dengan pemilik obligasi sebab ia hanya memberi pinjaman kepada
pemerintah, bank, dan lain-lain yang mengeluarkan obligasi dengan diberi bunga tertentu dan dalam
1
M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyah II), cetakan
ke-IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003., h. 57-58
2
Yusuf Qardawy, Hukum Zakat, cetakan ke-X, Pustaka Litera AntarNusa,Bogor, 2007., h. 490
3
Ibid., h. 490-491

Hal 1
FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang
Anggunan

jangka waktu tertentu berlakunya obligasi itu. Menurut Mahmud Syaltut, eks Rektor Universitas Al-
Azhar Mesir, Islam tidak membolehkan obligasi, karena termasuk ribal fadhl, kecuali kalau benar-benar
dalam keadaan terpaksa.4

Dalil dan Syarat Wajib zakat Saham dan Obligasi

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui. (QS Al-baqarah: 261)

"Sayidina Ali telah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: Apabila kamu mempunyai (uang
simpanan) 200 dirham dan telah cukup haul (genap setahun), maka diwajbkan zakatnya 5 dirham. Dan
tidak diwajibkan mengeluarkan zakat (emas) kecuali kamu mempunyai 20 dinar. Dan apabila kamu
memiliki 20 dinar dan telah cukup setahun, maka diwajibkan zakatnya setengah dinar. Demikian juga
kadarnya jika nilainya bertambah, dan tidak diwajibkan zakat suatu harta kecuali genap setahun". (HR
Abu Daud)

Syarat wajib zakat saham dan obligasi

1. Islam

2. Merdeka

3. Milik sendiri

4. Cukup haul

5. Cukup nisab5

Cara Pengeluaran Zakat Saham dan Obligasi

Pemilik saham wajib menzakati saham-sahamnya menurut kurs waktu mengeluarkan zakat
beserta penghasilannya yang lain dan juga harta bendanya yang lain yang terkena zakat, apabila
semuanya itu (saham dan lain-lain) telah mencapai nisabnya dan Jatuh temponya (haulnya).

4
http://s3s3p.wordpress.com/2009/12/20/zakat-saham-dan-obligasi/
5
http://www.ydsf.or.id/panduan.php?mn=zakat&id=4

Hal 2
FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang
Anggunan

a. Pendapat yang menyatakan bahwa zakat saham dan obligasi dipandang sama dengan zakat
pertanian

Menurut Syekh Abdurrahman lsa tidak semua saham itu dizakati. Apabila saham-saham itu
berkaitan dengan perusahaan perseroan yang menangani langsung perdagangan, seperti impor dan ekspor
berbagai komoditas nonmigas atau memproduksi tekstil untuk diperdagangkan, maka wajib dizakati
seluruh sahamnva. Tetapi apabila saham-saham itu berkaitan dengan perusahaan perseroan yang tidak
menangani langsung perdagangan atau tidak memproduksi barang untuk diperdagangkan, seperti
perusahaan bus angkutan umum, penerbangan, pelayaran, perhotelan, dan lain lain di mana nilai saham-
saham itu terletak pada pabrik-pabrik, mesin-mesin, bangunan-bangunan dengan segala peralatannya dan
lain-lain, maka pemegang saham tidak wajib menzakati saham-sahamnya, tetapi hanya keuntungan dari
saham-saham itu digabung dengan harta lain yang dimiliki oleh pemegang saham yang wajib
dizakatinya.6

Menurutnya, zakat baru bisa ditentukan setelah melihat apakah saham itu dikeluarkan atau
dimiliki seseorang untuk industri murni (tidak melakukan kegiatan dagang) atau usaha lain yang
mengadakan kegiatan dagang. Dalam masalah ini, yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah keuntungan
yang diperoleh dari usaha-usaha tersebut, sama halnya dengan zakat pertanian yang dikeluarkan adalah
hasilnya bukan zakat tanahnya. Dengan demikian, zakatnya pun ada kemungkinan 10% atau 5% dari
keuntungan bersih perusahaan. Untuk menentukan 10% atau 5% sangat bergantung kepada berat-
ringannya, atau besar-tidaknya biaya yang dikeluarkan. Di sinilah hati nurani bicara dan memegang
peranan (masalah ijtihadi), apakah memilih 10% atau 5%.7

Tentang obligasi, menurut Malik dan Abu Yusuf adalah semacam cek berisi pengakuan bahwa
bank, perusahaan atau pemerintah berhutang kepada pembawanya sejumlah tertentu dengan bunga
tertentu pula. Dengan demikian pemilik obligasi sesungguhnya pemilik piutang yang ditangguhkan
pembayarannya tetapi harus segera dibayar bila temponya sampai. Waktu itu zakatnya wajib dibayar
untuk setahun bila obligasi itu sudah berada ditangannya setahun atau lebih.

Obligasi bertumbuh dan memberikan kepada pemilik obligasi tersebut bunga, sekalipun bunga itu
haram, namun haramnya bunga tidak bisa dijadikan alasan untuk membebaskan pemilik obligasi dari
kewajiban membayar zakat, oleh karena mengejakan perbuatan terlarang tidak bisa memberikan kepada

6
http://s3s3p.wordpress.com/2009/12/20/zakat-saham-dan-obligasi/
7
M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyah II), cetakan
ke-IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003., h. 59

Hal 3
FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang
Anggunan

yang mengerjakan keistimewaan. Oleh karena itu para ulama fiqh sepakat mewajibkan zakat atas
perhiasan haram, tetapi tidak satu pendapat tentang yang diperbolehkan.8

b. Pendapat yang menyatakan zakat saham dan obligasi dipandang sama dengan zakat
perdagangan.

Abu Zahra, Abdurrahman Hasan, dan Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa saham dan
obligasi adalah kekayaan yang diperjual-belikan, karena pemiliknya memperjual-belikan dengan menjual
dan membelinya dan dari pekerjaannya itu pemilik memperoleh kuntungan persis seperti pedagang
dengan barang dagangnya, karena harga yang sebenarnya yang berlaku dipasar berbeda dari harga yang
tertulis dalam kegiatan jual-beli tersebut. Berdasarkan pandangan itu, maka saham dan obligasi termasuk
kedalam kategori barang dagang, karena itu benar bila termasuk objek zakat seperti kekayaan-kekayaan
dagang lain dan dinilai sama dengan barang dagang. Hal itu berarti bahwa zakat dipungut tiap
dipenghujung tahun sebesar 2,5% dari nilai saham-saham, sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan
setelah ditambah dengan keuntungan, dengan syarat pokok dan keuntungannya itu cukup senisab atau
ditambah dengan dari sumber lain cukup senisab.9 Misalnya, seseorang memiliki saham senilai Rp. 200
juta dan keuntungan pada akhir bulan diperoleh Rp. 40 juta, jadi saham dan keuntungan menjadi Rp. 240
juta. Zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5% X Rp 240.000.000 = Rp. 6.000.000,-.10

Mengenai zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan uang
obligasinya, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya, maka ia tidak wajib
menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki secara penuh, karena masih diutang, belum
di tangan pemiliknya. Demikianlah pendapat Malik dan Abu Yusuf. Apabila sudah bisa dicairkan uang
obligasinya, maka wajib segera dizakatinya sebanyak 2,5%.11

Dalam masalah zakat saham dan obligasi ini kita kita lihat perbedaan pendapat yang masing-
masing ulama itu mempunyai alasan-alasan yang dipandang kuat. Sepanjang terdapat perbedaan
pendapat, para pemberi zakat boleh memilih dari pendapat-pendapat tersebut, dan inilah yang disebut
masalah ijtihadi, asal zakat itu dikeluarkan tulus ikhlas dan tidak mencari helah supaya bebas dari zakat
atau supaya mencari jalan untuk memilih pengeluarannya sangat kecil.

8
Yusuf Qardawy, Hukum Zakat, cetakan ke-X, Pustaka Litera AntarNusa,Bogor, 2007., h.
494-495
9
Ibid., h. 495-496
10
M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyah II), cetakan
ke-IV, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003., h. 59
11
http://s3s3p.wordpress.com/2009/12/20/zakat-saham-dan-obligasi/

Hal 4
FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang
Anggunan

ZAKAT BARANG AGUNAN

Dalam penjanjian hutang-piutang, jaminan atau agunan adalah aset pihak peminjam yang
dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika
peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan tersebut. Dalam pemeringkatan
kredit, jaminan sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun
perusahaan. Bahkan dalam perjanjian kredit gadai, jaminan merupakan satu-satunya faktor yang dinilai
dalam menentukan besarnya pinjaman.

Pasal 8 UU 10/1998 menyatakan kewajiban bagi bank –dalam memberikan pembiayaan syariah,
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan
Nasabah Debitur mengembalikan pembiayaan. Terdapat lima pokok yang perlu dikaji seksama oleh Bank
sebelum memberi fasilitas pembiayaan terhadap nasabahnya, yakni: watak, kemampuan, modal, agunan
dan prospek usaha.

Agunan merupakan salah satu kewajiban yang dipersyaratkan Undang-undang untuk


diperjanjikan antara Bank dengan Nasabahnya dalam pembiayaan. Agunan sendiri ditetapkan menjadi 2
jenis, yang wajib serta agunan tambahan. Agunan wajib dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih
yang dibiayai dengan pembiayaan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang yang tidak berkaitan
langsung dengan obyek yang dibiayai.

Dalam perspektif syariah, pengambilan jaminan diperkenankan. Prinsip Rahn, dalam prakteknya
biasa dipergunakan baik sebagai perjanjian untuk menggadaikan barang atau sebagai jaminan. Secara
tradisional, pengecualian hanya ditentukan atas akad yang bersifat bagi hasil, yakni: Mudharabah dan
Musyarakah. Artinya untuk Mudharabah dan Musyarakah, jaminan bagi pengembalian modal merupakan
hal yang tidak sah. Namun perkembangan di dalam praktek perbankan syariah, dan telah masuk ke dalam
peraturan perundangan-undangan, jaminan bagi Mudharabah dan Musyarakah pun diperkenankan. Fatwa
DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) menyatakan pada Ketetapan
Pertama: Ketentuan Pembiayaan butir 7: “Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada
jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.”12

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya mampu membayar upah jasa
simpanan saja, maka Pegadaian Syariah akan melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual
12
http://mhugm.wikidot.com/artikel:011

Hal 5
FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang
Anggunan

lelang. Selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang
kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil
uang kelebihan, namun jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian
Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS .

Berakhirnya Akad Rahn (pergadaian)

Akad rahn akan berakhir dengan beberapa ketentuan, antara lain :

1. Barang (agunan) telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.

2. Rahin telah melunasi hutangnya.

3. Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahim.

4. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan pihak rahin.

Jika marhun kemudian mengalami kerusakan yang disebabkan oleh murtahin maka murtahin
wajib mengganti marhun tersebut. Namun jika bukan disebabkan oleh murtahin maka tidak wajib
menggantinya dan piutangnya tetap menjadi tanggungan rahin. Dan jika rahin meninggal atau mengalami
pailit maka murtahin lebih berhak (preferen) atas marhun daripada semua kreditur. Apabila hasil
penjualan marhun tidak mencukupi piutangnya, maka murtahin memiliki hak yang sama bersama para
kreditur terhadap harta peninggalan rahin.13

Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 283 yang artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan
sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian,
karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”

Sabda nabi Muhammad SAW yang artinya “Rasulullah membeli makanan dari seseorang yahudi
dengan menjadikan baju besinya sebagai barang agunan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti
Abu Bakar)

13
http://rimbobujang.wordpress.com/2009/03/02/rahn-gadai-islami/

Hal 6
FIQH ZAKAT: Zakat Saham dan Obligasi serta Barang
Anggunan

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Hasan, M. Ali, Zakat, Pajak Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyah II), cetakan ke-IV, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003
Qardawy, Yusuf, Hukum Zakat (terjemahan dari Fiqhuz-Zakat), cetakan ke-X, Pustaka Litera AntarNusa,
Bogor, 2007., h. 494-495
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. CV. Haji MasAgung, Jakarta. 1994
http://s3s3p.wordpress.com/2009/12/20/zakat-saham-dan-obligasi/

http://www.ydsf.or.id/panduan.php?mn=zakat&id=4

http://rimbobujang.wordpress.com/2009/03/02/rahn-gadai-islami/

http://mhugm.wikidot.com/artikel:011

Hal 7

Anda mungkin juga menyukai