Anda di halaman 1dari 19

Orang yang berhadats tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf al Qur’an.

‫) اَل يَ َم ُّسهُ إِاَّل‬78( ‫ون‬ ٍ ُ‫ب َم ْكن‬ ٍ ‫) فِي ِكتَا‬77( ‫إِنَّهُ لَقُرْ آَ ٌن َك ِري ٌم‬
)80( ‫ين‬ َ ‫) تَ ْن ِزي ٌل ِم ْن َربِّ ْال َعالَ ِم‬79( ‫ُون‬
َ ‫ْال ُمطَهَّر‬
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan, diturunkan dari Rabbil ‘alamiin” (QS al Waqiah 77-80).

Di antara hal yang menguatkan bahwa orang-orang yang suci dari hadats tercakup
dalam ayat ini adalah inilah pemahaman Salman al Farisi terhadap ayat di atas.

‫ان قَا َل ُكنَّا َم َعهُ فِى َسفَ ٍر‬ َ ‫َع ْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن يَ ِزي َد َع ْن َس ْل َم‬
‫ت أَىْ أَبَا َع ْب ِد هَّللا ِ تَ َوضَّأْ لَ َعلَّنَا‬ ُ ‫ضى َحا َجتَهُ ثُ َّم َجا َء فَقُ ْل‬ َ َ‫فَا ْنطَل‬
َ َ‫ق فَق‬
ُ‫آن فَقَا َل َسلُونِى فَإِنِّى الَ أَ َم ُّسهُ إِنَّهُ الَ يَ َم ُّسه‬ ِ ْ‫آى ِم َن ْالقُر‬
ٍ ‫ك َع ْن‬ َ ُ‫نَسْأَل‬
َ ‫ُون فَ َسأ َ ْلنَاهُ فَقَ َرأَ َعلَ ْينَا قَ ْب َل أَ ْن يَتَ َوضَّأ‬ َ ‫إِالَّ ْال ُمطَهَّر‬.
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, Kami bepergian bersama Salman. Suatu
ketika beliau pergi untuk buang hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau,
“Wahai Abu Abdillah, berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang
ayat-ayat al Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan
menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang
yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kamipun mengajukan beberapa pertanyaan
kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami sebelum beliau
berwudhu (Diriwayatkan oleh al Hakim no 3782 dan dinilai shahih oleh al Hakim
dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 45
PENGERTIAN HADATS KECIL
Sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melakukan shalat dan dia wajib wudhu bila
hendak sholat.

A. MENYENTUH AL-QUR’AN BAGI ORANG YANG BERHADATS KECIL.

Didalam masalah ini ulama berbeda faham dalam menetapkan hukumnya.

Pendapat Golongan Pertama :

Mereka berpendapat bahwa hukumnya “Haram” dengan dasar-dasar :

‫الَ يَ َم ُّسهُ اِالَّ ْال ُمطَهَّر ُْو َن‬


1. Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an) melainkan orang yang suci. [Al-Waqiah : 79]

َ ‫الَيَ َمسُّ ْالقُرْ َء‬


‫ان اِالَّ طَا ِه ٌر‬
2. Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang thohir/suci [HR Daruquthni, Hakim,
Baihaqi dari Amr bin Hazm]

َ ‫ ْالقُرْ َء‬  ُّ‫ الَ تَ َمس‬: ‫ال‬


َّ‫ان إِال‬ َ َ‫ق‬  ‫ إِلَى ْاليَ َم ِن‬.‫ لَ َّما بَ َعثَنِى َرس ُْو ُل هللاِ ص‬:‫ال َح ِك ْي ُم ب ُْن ِح َز ٍام‬
َ َ‫ق‬
…‫ الطبرنى‬- ‫ر‬ ٌ ‫ت طَا ِه‬ َ ‫َواَ ْن‬

3. Hakim bin Hizam berkata : Ketika Rasulullah SAW mengutus saya ke Yaman, beliau
berpesan : Janganlah sekali-kali engkau menyentuh Al-Qur’an kecuali apabila engkau
thohir/suci.

Pendapat Golongan Kedua :

Mereka berpendapat bahwa hukumnya boleh dan tidak terlarang, dan mereka menyanggah
dasar-dasar pendapat golongan pertama sebagai berikut :

1.    Firman Allah di surat Al-Waqiah 79 itu bila dilihat dari sebab turun serta rangkaian ayat
sebelum dan sesudahnya adalah merupakan penolakan dari Allah kepada tuduhan orang
kafir, yang menuduh bahwa Al-Qur’an itu diturunkan oleh syetan. Maka dengan ayat tersebut
Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu di tempat yang terpelihara dan tidak menyentuhnya
melainkan makhluq suci (para malaikat)

‫ تَ ْن ِز ٌل ِّم ْن َربِّ ْال َعالَ ِمي َْن‬.‫ الَ يَ َم ُّسهُ إِالَّ ْال ُمطَهَّر َُن‬.‫ب َّم ْكنُ ْو ٍن‬ ٌ ‫إِنَّهُ لَقُرْ َء‬
ٍ ‫فِى ِكتَا‬.‫ان َك ِر ْي ٌم‬
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. (Yang terdapat) pada kitab
yang terpelihara (Lauhil Mahfuz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Diturunkan dari Tuhan semesta alam. [Al-Waqiah : 77-80]

Sedang bila dilihat dari kandungan dan makna ayat tersebut, maka maksudnya sebagai
berikut :

“Tidak akan tersentuh oleh makna dan pengertian yang sebenarnya dari Al-Qur’an, kecuali
orang-orang yang telah disucikan hatinya/jiwanya dari gejolak hawa nafsunya”

Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang merupakan gambaran sifat hawa
nafsu, firman-Nya di surat Yusuf 53 :

َ ‫إِ َّن النَّ ْف‬


‫س الَ َء َّم َرةٌ بِالس ُّْو ِء‬
“Sesungguhnya hawa nafsu itu cenderung kepada kejahatan”

Dan juga sabda Nabi SAW :

‫– الترمذى‬ …ُ ْ‫الَي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتــَّى يَ ُك ْو َن هَ َواهُ تَبَعًالِ َما ِجئــ‬


‫ت بـــِ ِه‬
“Tidak beriman seorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mau tunduk dengan apa yang
datang bersamaku (Al-Qur’an)” [HR Tirmidzi]

2.    Hadits kedua yang dipakai sebagai hujjah golongan pertama adalah lemah. Demikian pula
hadits ketiga, karena kedua-duanya dalam isnadnya terdapat seorang yang bernama :
Suwaid Abu Hatim, yang dilemahkan oleh imamimam Bukhari, Nasa’I, Abu Zar’ah, dan kata
Ibnu Hibban : “Dia kerap kali meriwayatkan hadits-hadits palsu”. Maka hadits ‘Amr bin Hazm
serta Hakim bin Hizam itu dilemahkan oleh Imam Ibnu Hazm, Nasa’I, Ibnu Katsir dan Syekh
Muhyiddin.

Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Daruquthni dan Thabarani dari jalan Ibnu ‘Umar yang
menurut Imam Al Hafidh bin Hajar Atsqalani di kitabnya Talkhisul Kabir, isnadnya boleh
diterima. Tetapi pendapat ini tidak benar, karena sebenarnya dalam isnad hadits tersebut
terdapat seorang bernama Sulaiman bin Musa Al-Asydaq yang menjadi pembicaraan diantara
para ahli hadits tentang kelemahannya, maka menurut ilmu hadits berlaku qo’idah :

‫اَ ْلجُرْ ُح ُمقَ َّد ٌم َعلَى التـــ َّ ْع ِدي ِْل‬


“Celaan itu lebih baik didahulukan dari pada pujian”

Oleh karena itu hadits tersebut tidak dapat dipakai hujjah.

Demikian pula diriwayatkan dari Utsman bin Abil Ash oleh Imam Abu Dawud tetapi isnadnya
munqathi’ (terputus). Sedang hadits yang sama yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dalam
isnadnya ada seorang yang tidak dikenal, dan juga riwayat Ali bin Abdul ‘Aziz dari Tsauban
pada isnadnya terdapat Hashib bin Jahdar, padahal dia itu tidak dipercaya riwayatnya oleh ahli
hadits.

Imam Malik meriwayatkan hadits tadi dari Abdullah bin Abu Bakar, seorang tabi’in, maka
riwayatnya Mursal.

B. MEMBACA AL-QUR’AN BAGI ORANG YANG BERHADATS KECIL.

Demikian pula masalah membaca Al-Qur’an bagi orang yang berhadats kecil. Karena tidak
adanya larangan yang jelas dan kuat dari nabi, maka tidak mengapa bagi seorang yang
berhadats kecil untuk membaca Al-Qur’an.

CATATAN :

Surat Al-Waqiah ayat 79 : Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an) melainkan orang yang suci. 
bukan dimaknai secara harfiah. Tapi sesuai dengan ayat sebelum dan sesudahnya,
maka semestinya dimaknai bahwa isi kandungan yang terdapat di dalam Al-Quran itu
akan menyentuh hati dan jiwa pembaca/pendengarnya sehingga menggerakkan diri
untuk merealisasikan dalam tindakan yang nyata apabila orang tersebut mau
menyingkirkan hatinya dari kebencian, kedengkian, kecurigaan atas Islam. Bila
sebelumnya sudah ada sikap menolak, atau benci, maka bacaan apapun tidak akan
masuk ke relung hati dan jiwa, justru akan menambah permusuhan. Mengapa? Karena
dia mendahulukan hawa nafsu atau sudah terjerat oleh motif2 duniawi. Bila demikian,
jelas bahwa Al-Quran itu tidak akan menyentuh diri pembaca/pendengar yang dia tidak
mau membersihkan/mensucikan pikirannya.
Najis Mughallazhah

‫ أَ َّن َرسُو َل هَّللا ِ صلى هللا‬، ‫َع ْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه‬
ُ‫ب ْال َك ْلبُ فِي إنَا ِء أَ َح ِد ُك ْم فَ ْليَ ْغ ِس ْله‬
َ ‫ إ َذا َش ِر‬: ‫عليه وسلم قَا َل‬
ً ‫ َسبْعا‬.
‫ب‬ِ ‫ أُوالهُ َّن بِالتُّ َرا‬: ‫ َولِ ُم ْسلِ ٍم‬.
“Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda;
jika anjing minum di dalam bejana seseorang dari kalian
maka basuhlah tujuh kali”. Di dalam riwayat Muslim
dikatakan, “Yang pertama dengan debu”

‫ أَ َّن َرسُو َل‬: ‫ث َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ُم َغفَّ ٍل رضي اله عنه‬ِ ‫َولَهُ فِي َح ِدي‬
ِ ‫ إ َذا َولَ َغ ْال َك ْلبُ ِفي‬: ‫هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم قَا َل‬
‫اإلنا ِء‬
ِ ‫ فَا ْغ ِسلُوهُ َسبْعا ً َو َعفِّرُوهُ الثَّا ِمنَةَ بِالتُّ َرا‬.
‫ب‬
“Dan juga di dalam riwayat Muslim, dari Abdullah bin
Mughaffal, bahwa Rasulullah saw bersabda; Jika anjing
minum di dalam bejana maka basuhlah tujuh kali, dan
lumurilah dengan debu pada kali yang kedelapan”.
Jenis/Macam-Macam Najis - Mukhaffafah, Mutawassithah
dan Mughallazhah
Dalam agama islam mengajarkan kita untuk selalu bersih dari kotoran atau najis,
terutama pada saat hendak melakukan ibadah kepada Allah SWT. Najis bisa
menempel di badan/tubuh, di pakaian atau di suatu tempat. Najis terbagi atas
beberapa tingkatan dari mulai yang ringan sampai yang berat.

1. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)

Yang termasuk najis ringan ini adalah air seni atau air kencing bayi laki-laki yang
hanya diberi minum asi (air susu ibu) tanpa makanan lain dan belum berumur 2
tahun. Untuk mensucikan najis mukhafafah ini yaitu dengan memercikkan air
bersih pada bagian yang kena najis.

2. Najis Mutawassithah (Najis Biasa/Sedang)

Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang/hewan
adalah najis biasa dengan tingkatan sedang. Air kencing, kotoran buang air besar
dan air mani/sperma adalah najis, termasuk bangkai (kecuali bangke orang, ikan
dan belalang), air susu hewan haram, khamar, dan lain sebagainya.

Najis Mutawasitah terdiri atas dua bagian, yakni :


- Najis 'Ainiyah : Jelas terlihat rupa, rasa atau tercium baunya.
- Najis Hukmiyah : Tidak tampat (bekas kencing & miras)

Untuk membuat suci najis mutawasithah 'ainiyah caranya dengan dibasuh 1 s/d 3
dengan air bersih hingga hilang benar najisnya. Sengankan untuk najis hukmiyah
dapat kembali suci dan hilang najisnya dengan jalan dialirkan air di tempat yang
kena najis.

3. Najis Mughallazhah (Najis Berat)

Najis mugholazah contohnya seperti air liur anjing, air iler babi dan sebangsanya.
Najis ini sangat tinggi tingkatannya sehingga untuk membersihkan najis tersebut
sampai suci harus dicuci dengan air bersih 7 kali di mana 1 kali diantaranya
menggunakan air dicampur tanah.

Tambahan :
Najis Ma'fu adalah najis yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit
dibedakan mana yang kena najis dan yang tidak kena najis. Contoh dari najis mafu
yaitu seperti sedikit percikan darah atau nanah, kena debu, kena air kotor yang
tidak disengaja dan sulit dihindari. Jika ada makanan kemasukan bangkai binatang
sebaiknya jangan dimakan kecuali makanan kering karena cukup dibuang bagian
yang kena bangkai saja.

Pengetahuan tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena berkaitan
erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang
sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh
benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.

Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus
diperhatikan keberadaannya khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan
dengan ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa ta`ala. Contoh yang paling mudah,
ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri
dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.

Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum


mengetahui dengan benar masalah najis ini – walaupun sebenarnya permasalahan
ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun
penjelasan macam-macamnya secara rinci. Terkadang sesuatu yang najis disangka
sebagai sesuatu yang bukan najis. Pada kali yang lain, sesuatu yang sebetulnya
tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan
pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.

Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang
najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib
dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai sesuatu. Di
antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati oleh para ulama bahwa
perkara itu adalah najis, dan ada pula yang diperselisihkan tentang kenajisannya,
apakah hal itu termasuk sesuatu yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah
ta`ala, kita akan mengupasnya satu per satu.

Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para
ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.

1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia

Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari


sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu‘anhu. Beliau menceritakan
bahwasanya Rasulullah ‘alaihish Shalatu Wasallam pernah shalat bersama para
shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas
sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh
para shahabat. Ketika selesai shalat beliau mempertanyakan perbuatan para
shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan beliau melepas sandal karena
Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau ada kotoran dan beliau bersabda:

Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan
dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya
digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan berkata Syaikh Muqbil rahimahullah tentang hadits ini dalam karya
beliau al-Jami’ush Shahih Mimma Laysa fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah
hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal Shahih al-Bukhari)

Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas


radliyallahu‘anhuma yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diazab. Dikatakan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam :

Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya.
(HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)

Masalah kenajisan kotoran dan kencing manusia ini banyak ataupun sedikit-
disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau
berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan.
Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia baik banyak ataupun
sedikit adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan
kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi rahimahullah dalam
Syarh Muslim. Sedangkan apa yang datang dari Abu Hanifah adalah pendapat
yang tertolak.

Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum
makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah
sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-
gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan.
Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka
bermudah-mudah dalam hal ini.

Walaupun memang di sana ada perselisihan ulama dalam masalah najisnya


kencing anak laki-laki yang dalam keadaan seperti ini, akan tetapi pendapat yang
kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum
makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi
rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya
diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu
Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 223) dan Imam
Muslim (no.287) :

Ummu Qais bintu Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan
belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu
Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di
baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya
(hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam
lafaz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut).

Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan
mengguyurkan air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di
atas.

Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, kita akan mendapatkan
adanya perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan
bahwa kotoran hewan – baik yang dimakan dagingnya maupun tidak adalah najis,
sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat,
yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara
pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab –
ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali
ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan
pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’
Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim an-
Nakha’i dan asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh al-Imam Asy-Syaukani
di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan ad-Daraari.

Dengan apa yang telah diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua yang
kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya.
Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu
bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak
itu memang termasuk kotoran.

Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Sebagaimana kita
ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan didapati riwayat
dari Anas bin Malik radliyallahu‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana termaktub
dalam Shahihain (Shahih Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan
lainnya :

Sekelompok orang dari Bani ‘Akl atau Bani ‘Urainah datang menemui Nabi
namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa
mereka maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar
didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka
minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah
sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang
siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada
siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan
agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan ke
tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak
diberi minum.

2. Madzi

Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih tipis
(encer) dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika
seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar
jima’.

Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Imam
an-Nawawi dalam al-Majmu’. Juga datang dalil yang menunjukkan najisnya madzi
dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam
Muslim (hadits no. 303) rahimahumallah dari hadits ‘Ali radliyallahu ‘anhu ketika
‘Ali menyuruh seorang shahabi, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang
madzi ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Beliau menjawab :

Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.

Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari hadits ini
diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”

Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita,
namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.
3. Wadzi

Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang
air besar. Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan
Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitab beliau al-Majmu
menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah
bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadzi.”

4. Darah Haid dan Nifas

Darah haid dan nifas adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum
wanita. Namun mungkin ada di kalangan mereka yang belum mengetahui, apakah
darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan, sementara ini adalah perkara yang
sangat penting bagi mereka.

Telah datang dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’
bintu Abi Bakr radliyallahu ‘anha. Beliau menceritakan :

Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia


berkata, “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada
pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari
kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia shalat
memakai pakaian tersebut.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
no. 330, 331 dan Muslim no.110 )

Berkata Imam As Shan`ani rahimahullah di dalam Subulus Salam setelah


membawakan hadits di atas: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan
najisnya darah haid“.

Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash
yang ada ini dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma` dalam hal ini.
Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.

5. Bangkai

Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya


sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga
Imam Nawawi dalam Al Majmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :

Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya. (HR. Muslim no.
105)

Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis
sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja
dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan
kenajisannya.

Dikecualikan dari bangkai ini adalah :

1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:

Sesungguhnya mukmin itu tidak najis. (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)

2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah ta`ala :

Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut…
(Al Maidah : 96)

Imam Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas rahimahumullah tafsir dari ayat di atas,
yakni yang dimaksud dengan ُ‫ص ْي ُده‬ َ adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan
hidup dan ُ‫ طَ َعا ُمه‬adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi
bangkai) .

Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :

Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus
Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau Ash Shahihah 1/480)

3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika
hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya.
Berdalil dengan hadits :

Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia
mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya. (HR. Bukhari no.
3320)

Imam Ash Shan`ani rahimahullah berkata: “Dimaklumi bahwa lalat akan mati
apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya
dalam keadaan panas. Maka sendainya lalat itu menajisi makanan tersebut
niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam
memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya“.
(Subulus Salam)

Ketiga point di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya,


namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis,
wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam


agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat agar tidak terjatuh
dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusakkan ibadahnya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala.

Hukum Asal Segala Sesuatu Itu Suci

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :

- Setiap yang halal itu suci

- Setiap yang najis itu haram

- Tidaklah setiap yang haram itu najis (Asy Syarhul Mumti, 1/77)

Menyambung pembicaraan kami dalam edisi terdahulu tentang pembahasan najis


yang sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama , maka
dalam edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yang sepanjang pengetahuan
kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan penjelasan mana yang
rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu najis atau bukan najis, wallahu al
muwaffiq.

Air liur anjing

Telah datang riwayat dalam shahihain dan selain keduanya dari kitab-kitab hadits,
menyebutkan hadits Abu Hurairah radliallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda :

“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia
mencucibejana tadi sebanyak tujuh kali”.) (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no.
279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan :

“cucian yang pertama dicampur dengan tanah“.

Pencucian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur
anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana yang dipegangi oleh Abu
Hanifah, Ats Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syaukani di dalam
kitab-kitabnya.

Sebagaimana yang kami sebutkan di atas bahwa di dalam permasalahan najis yang
kami bahas di sini ada perselisihan, maka demikian juga masalah air liur anjing ini.
Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmu berpendapat seluruh
tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dengan berdalil
hadits yang telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan : “Karena air liur itu
keluar dari mulut anjing (yang dia itu najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama
lagi untuk dihukumi kenajisannya“.

Dan yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah
mencucinya adalah sekedar perkara ta`bbudiyah (ibadah) bukan karena
kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi Imam Malik dan yang
lainnya..

Mani

Ada dua pendapat dalam masalah mani ini. Pendapat pertama mengatakan najis
sedang pendapat kedua mengatakan yang sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat
dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi
oleh Imam Ahmad, Syafi`i dan selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu
suci“. (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal 198).

Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radliallahu anha yang hanya mengerik
bekas mani yang telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tanpa mencucinya. (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya no. 288, 290). Walaupun didapatkan pula riwayat Aisyah
radliallahu anha mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam
shahihnya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289)
Namun kedua riwayat ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau
mencuci). Hal ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah :
“Hadits yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang menempel pada pakaian
dan hadits yang menunjukkan dikeriknya mani tersebut tidaklah saling
bertentangan karena bisa dikumpulkan antara keduanya dengan jelas bagi yang
berpendapat sucinya mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada hukum istihbab
(disenanginya mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian) dalam rangka
kebersihan bukan karena kewajiban. Ini merupakan cara yang ditempuh oleh
Imam Syafi`i, Ahmad dan ashabul hadits “. (Fathul Bari juz 1 hal. 415)

Berkata Imam Nawawi rahimahullah: “Seandainya mani itu najis niscaya tidak
cukup menghilangkannya dengan sekedar mengerik”. (“Syarah Shahih Muslim juz
3, hal. 198)

Darah

Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas
yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam
pembahasaan terdahulu.. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan
namun yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya kita menengok pembahasan
yang dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: “(Mereka yang berpendapat
najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari yang dipanah oleh seorang
musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang
menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia
tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu`allaq (terputus
sanadnya dari Imam Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul
(bersambung sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam
“Shahih Sunan Abu Daud” (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu` (sampai kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak memperhatikan hal ini.

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu
‘alaihi wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda keterangan
pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau
dianggap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui perbuatan
shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang
tersembunyi dari Allah ta`ala. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan
wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-nya sebagaimana hal ini
jelas tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam
Bukhari sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu`allaq,
yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapatnya
Ibnu Hazm”.

Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa
ditinjau sebagai berikut:

Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah
manusia dan darah dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang
jelas sekali dari dua sisi ;

1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur’an dan As Sunnah,
sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.

2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As Sunnah.


Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al Anshari
yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya.
Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas`ud
radliallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta
tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan
shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abdurrazzaq “Al Mushannaf” 1/125,
Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath Thabrani “Mu`jamul Kabir” 9/284 dengan sanad
yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baghawi “Al Ja`diyaat”
2/887/2503).

Uqbah meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy`ari: “Aku tidak peduli seandainya aku
menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya.
Lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air”. Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dlaif
(lemah).

Kemudian beliau melanjutkan :

Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis
atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak
ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari membatalkan pendapat
ini. (Lihat Tamamul Minnah hal, 51-52)

Orang kafir

Ibnu Hazm dan orang-orang dari kalangan ahlu dhahir berpegang dengan apa yang
dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguhnya orang islam itu tidak najis” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim
no.371)

Untuk menyatakan orang kafir itu najis tubuhnya dan mereka perkuat pendapat ini
dengan firman Allah ta`ala dalam surat At Taubah ayat 28 :

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis“. (QS. At Taubah : 28)

Namun jumhur ulama membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang
dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang muslim itu
suci anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya dari najis, adapun
orang musyrik tidak menjaga diri dari najis. Sedang yang dimaksud dengan ayat di
atas adalah orang musyrik itu najis dalam hal keyakinannya dan dalam
kekotorannya.

Juga dengan dalil bahwasanya Allah Ta`ala dalam Al Qur’an membolehkan kaum
muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang menyetubuhi
istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat istrinya,
bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami untuk bersuci karena
bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena jima`. Juga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu dari tempat air minum wanita
musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan
lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487, Nailul Authar 1/45, Sailul Jaraar 1/38,39, Asy
Syarhul Mumti` 1/383)

Dan pendapat jumhur inilah yang rajih.

Khamar

Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan baik terbuat dari anggur,
kurma, gandum atau yang selainnya. Khamar ini haram hukumnya sebagaimana
ditunjukkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin.
Lalu apakah khamar ini najis ?

Jumhur ulama berpandangan khamar ini najis berdalil ayat Allah subhanahuwa
ta`ala :

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar , judi, berkorban untuk


berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah rijs dari perbuatannya
setan…”. (QS. Al Maidah : 90)
Mereka memaknakan rijs di sini dengan najis, namun yang benar dari pendapat
yang ada, khamar bukanlah najis dan ini merupakan pendapatnya Rabi`ah Ar
Ra’yi, Al Laits, Al Muzani, Syaukani, Syaikh Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan
selain mereka.

Adapun yang dimakud dengan ayat Allah dalam surat Al Maidah di atas, kata
Imam Syaukani rahimahullah : “Tatkala khamar di sini digandengkan
penyebutannya dengan ‫ األنص…………اب‬dan ‫ األزالم‬maka kata yang menyertai ini
memalingkan makna rijs (dalam ayat) kepada selain najis yang syar`i”. (Ad Darari,
hal. 20)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menerangkan tentang makna ayat dalam
surat Al Maidah ini bahwa yang dimaksud najis di sini adalah najis maknawi
(secara makna) bukan najis hissiyah (indrawi) dari dua sisi :

1. Khamar disertakan dengan ‫ األزالم‬, ‫ األنص……اب‬dan ‫ الميسر‬dan najis di sini secara


maknawi.

2. Sesungguhnya rijs di sini dikaitkan dengan firman-Nya : ((‫))من عم……ل الش……يطان‬


sehingga maknanya rijs amali (perbuatannya) bukan rijs `aini (bendanya yang
najis) yang dengannya semua perkara ini dihukumi najis.

Muntah manusia

Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang menyatakan
kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu najis telah dibantah
oleh Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau
menyatakan: “Aku telah menyebutkan padamu di awal kitab Thaharah bahwa
segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari hukum
asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan pantas untuk
dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang. Bila kita dapatkan dalil tersebut
maka tentunya baik sekali, namun kalau kita tidak mendapatkannya wajib bagi kita
untuk tawaqquf (berdiam diri) di tempat yang kita dilarang untuk berbicara
tentangnya. Kemudian kita katakan kepada orang yang menganggap muntah itu
najis bahwasanya dengan anggapannya ini berarti :

- Allah subhanahu wa ta`ala telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu


kewajiban.

- Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci


- Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.

Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.

Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits Ammar :

“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah


darah dan mani“.

Maka kami jawab hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi
hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa
dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan
oleh hadits Ammar ini sementara hadits tersebut tidak pantas untuk dijadikan
penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun atas satu individu pun
dari hamba-hamba Allah..

Kalau orang ini berkata lagi : “Telah datang hadits bahwasanya muntah itu
membatalkan wudhu “.

Maka kami jawab : “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah


membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis“.

Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk
mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).

Kalau kamu mengatakan bahwa telah berkata sebagian ahlul furu` (ahli fiqih)
bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.

Maka kami jawab apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa
menguatkan pendapatnya terhadap seseorang ?

Kalau kamu katakan iya berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang
tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan tidak,
maka kami nyatakan : kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak digunakan
oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain

Anda mungkin juga menyukai