Anda di halaman 1dari 9

Melacak pemikiran asyariyah dalam muh.

abduh
(Studi Tentang Akal dan Wahyu dalam Risalah Tauhid)

PENGANTAR, MUNCULNYA PAHAM ASY’ARIYAH

Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini
muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah
peradaban umat Islam. Di antaranya adalah Abu Musa Asy’ari, salah seorang shahabat yang
terkenal shaleh dan mendalam keilmuannya. Sedangkan tokoh lainnya adalah Abu al-Hasan Ali
bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah al
Asy’ari, tokoh yang kemudian dinisbahkan sebagai ulama ‘pendiri’ paham Asy’ariyah.[1]

Sebelum timbulnya madzhab Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah, dalam
dunia Islam belum mengkhususkan sebuah madzhab dengan istilah ahl al Shunnah wa al
Jama’ah. Sebab semua umat Islam secara pasif dapat disebut sebagai ahl al Shunnah wa al
Jama’ah.[2] Kemunculan madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi berbagai faham yang
berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai persoalan pemikiran umat
menyebabkan Asy’ariyah disebut sebagai madzhab Ahli shunnah yang mula-mula.[3]

Abu al Hasan al Asy’ari pernah menganut paham Mu’tazilah dan bahkan menjadi murid
kesayangan Abu Ali al Jaba’i, seorang tokoh Mu’tazilah.[4] Oleh karena itulah beliau memiliki
kemampuan berbicara dan berdebat yang tidak kalah dengan gurunya. Namun kemudian beliau
berbalik menjauhkan diri dari Mu’tazilah. Seruan yang bernada penentangan terhadap pemikiran
mu’tazilah pertama kali dilakukan di masjid Bashrah pada suatu hari Jumat. Diantara seruannya
antara lain beliau menyatakan diri telah bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah yang menyakini
bahwa Al Quran adalah makhluk.

Dalam salah satu risalahnya Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa banyak diantara
pengikut Mu’tazilah dan ahli Qadar (madzhab Qadariyah) telah salah menempatkan sikap
dengan mengikuti pemimpin yang masih hidup maupun yang telah mati secara taklid buta. Abu
al Hasan mengkoreksi kesalahan metodologis yang digunakan oleh kedua kalangan tersebut
dalam menafsirkan maksud petunjuk Allah dalam Al Quran dan menjelaskan penyimpangan
pemikiran yang disebabkan oleh kesalahan metodologis tersebut.[5]

Pandangan Asy’ariyah tentang wahyu dan kedudukannya tercermin dalam pendapat Abu Hasan
al Asy’ari mengenai Al Quran sebagai berikut : “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah
yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara
kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu. Perkataan-Nya
adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya
termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan
kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan rasul-Nya melalui lafadz
menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi
adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan
yang disebut, sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.[6]

Sebagian kalangan berpendapat bahwa sumber pengambilan ilmu dalam Asy’ariyah adalah al-
Qur`an dan sunnah dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah ilmu kalam. Oleh karena dasar
yang dipakai Asy’ariyah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah adalah kaidah-kaidah ahli
kalam maka muncul beberapa penilaian terhadap konsekuensi penggunaan ilmu kalam tersebut.
Ada pun penilaian konsekuensi tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Asy’ariyah mendahulukan akal daripada naql dalam kondisi keduanya bertentangan.

2. Menolak hadits ahad dalam menetapkan perkara akidah karena, menurut Asy’ariyah, hadits
ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin. Bahkan sebagian dari kalangan Asy’ariyah dalam
sumber bertalaqqi ada yang mengambil dari kasyaf dan perasaan, jika nash bertentangan dengan
kasyaf maka kasyaf didahulukan atau nash dibelokkan agar sesuai dengan kasyaf. Ini adalah
pendapat Asy’ariyah yang tercemar oleh metode sufi di mana mereka memiliki istilah ‘ilmu
laduni’ dan slogan ‘hatiku menyampaikan kepadaku dari tuhanku’.[7]

Namun demikian kedua konsekuensi akibat penggunaan ilmu kalam dalam penafsiran wahyu
dan hadits tersebut agaknya masih memerlukan pengkajian lebih mendalam. Dalam masalah
penggunaan akal dalam penafsiran wahyu misalnya, Abu al Hasan sendiri menyarankan agar
dalam penafsiran Al Quran lebih merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan penafsiran yang
mutawatir dikalangan shahabat.[8] Dengan demikian klaim bahwa Asy’ariyah lebih
mendahulukan akal dibandingkan naql pada saat keduanya bertentangan tidak sepenuhnya benar
jika ditinjau dari pernyataan Abu al Hasan al Asy’ari. Demikian juga penolakan penggunaan
hadits ahad dalam pembahasan aqidah, mungkin saja hal tersebut benar. Namun demikian dapat
dibuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar jika pemikiran Asy’ariyah disandarkan
kepada Abu al Hasan al Asy’ari. Dalam penetangannya terhadap paham Mu’tazilah dan ahli
Qadar (Qadariyah), Abu al Hasan al Asy’ari menyatakan bahwa penyimpangan Mu’tazilah dan
Qadariyah diantaranya adalah tidak mengakui adanya syafa’at Rasulullah dan azab kubur.[9]
Dari fakta ini dapat dikatakan, Abu al Hasan al Asy’ari berpendirian bahwa mengingkari adanya
syafa’at Rasulullah dan eksistensi siksa kubur merupakan sebuah bentuk penyimpangan
pemikiran. Sementara kedua pembahasan tersebut, yaitu tentang syafaat rasulullah dan siksa
kubur, merupakan permasalahan aqidah yang disandarkan kepada hadits ahad.[10]

BIOGRAFI PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh lahir di Propinsi Gharbiyyah, Mesir pada tahun 1849.[11] Ayahnya bernama
‘Abduh bin Hasan Khairallah memiliki silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan
ibunya memiliki silsilah yang menyambung kepada Umar bin Khaththab, khalifah kedua.
Berasal dari keluarga petani sederhana yang taat beragama dan cinta ilmu. Dia belajar membaca
dan menulis dari kedua orang tuanya. Berkat otaknya yang cemerlang, Muhammad Abduh bisa
menghafal Al Quran dalam waktu 2 (dua) tahun pada usia 12 (dua belas) tahun.

Muhammad Abduh dianggap memiliki jalan berpikir yang maju. Dia banyak membaca buku-
buku filsafat dan mempelajari perkembangan berbagai paham dan pemikiran. Salah satu
pemikiran yang sempat dia pelajari adalah pemahaman kaum mu’tazilah. Barangkali hal inilah
yang menyebabkan ulama Al Azhar sempat menuduhnya telah meninggalkan mahzab Asy’ariyah
dan berpindah haluan menjadi penganut paham Mu’tazilah. Namun Muhammad Abduh
menampik tuduhan tersebut secara diplomatis dengan mengatakan : “Yang terang saya telah
meninggalkan taklid kepada Asy’ari, maka mengapa saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah
? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapa pun juga dan hanya berpegang kepada dalil yang
dikemukakan.” [12]

Selama masa belajarnya di Universitas Al Azhar, Muhammad Abduh pernah bertemu dengan
Jamaluddin al Afghani dan memperoleh pengetahuan ilmu filsafat, ilmu kalam, dan ilmu pasti
darinya.[13] Pertemuannya dengan Jamaluddin al Afghani inilah yang membuatnya kecewa
dengan metode pengajaran Al Azhar yang dinggapnya verbalis. Metode pengajaran verbalis
dianggapnya merusak akal dan daya nalar sehingga tidak berjalan sesuai fithrah akal itu sendiri.
Rasa kecewa itulah yang kemudian membangkitkan semangatnya untuk mempelajari berbagai
bidang kajian antara lain agama, sosial, politik, dan kebudayaan.[14] Salah satu implikasinya,
Muhammad Abduh terlibat dalam politik praktis[15] yang berujung pada diasingkannya dirinya
akibat tuduhan terlibat dalam pemberontakan yang dimotori oleh ‘Urabi Pasya.[16] Di kota
Paris, tempat pengasingannya, Muhammad Abduh tetap aktif mengemukakan pemikirannya
tentang dakwah dan politik Islam. Kemudian beliau menerbitkan majalah dan membuat gerakan
yang disebut al-‘Urwah al Wutsqa. Ide gerakan ini membangkitkan semangat umat Islam untuk
bangkit melawan hegemoni Barat. Umur majalah tersebut tidak berlangsung lama akibat dibredel
oleh pemerintahan colonial. Setelah itu Muhammad Abduh mengunjungi berbagai negeri Islam
seperti Tunisia dan Beirut. Muhammad Abduh banyak menulis dan menterjemahkan kitab-kitab
ke dalam Bahasa Arab di Beirut. Di kota ini pula beliau menyelesaikan kitab Risalah al Tauhid.
[17]

POSISI AKAL DAN WAHYU DALAM KITAB RISALAH TAUHID

1. Hukum Akal

Para ahli tauhid (ilmu kalam) membagi hukum akal yang disebut sebagai “maklum” (al-maklum
artinya yang dapat dicapai oleh akal) ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu wajib, mungkin, dan
mustahil.[18] Adapun wajib ialah sesuatu yang zatnya sudah semestinya ada. Mungkin ialah
sesuatu yang tidak ada wujudnya namun juga tidak dapat dikatakan tidak ada zatnya, karena zat
tersebut bisa terwujud oleh sesuatu sebab yang menyebabkan adanya. Sedangkan mustahil
menurut istilah ahli kalam adalah zat yang memang tidak mungkin ada. Pemakaian kata “al-
maklum” kepada yang “mustahil” adalah sesuatu yang majazi (bukan hakikat sebenarnya). Sebab
yang maklum itu adalah suatu hakikat yang mesti ada dalam kenyataannya, sesuai dengan ilmu.
Tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang dapat melekatkan hukum kepadanya,
sekalipun dalam bentuk yang dapat dilukiskan oleh akal, agar ia bisa menceritakan tentang hal
yang mustahil itu.[19]

Sesuatu yang wajib sifatnya sudah tentu merupakan sesuatu yang ada dan sesuatu yang mustahil
tidak tidak memiliki wujud sebab pada dasarnya dia tidak ada. Akal manusia tidak dapat
menggambarkan hakikat (mahiyah) sesuatu yang mustahil. Sebab sesuatu yang mustahil
merupakan wujud lain dari ketiadaan, baik diluar maupun didalam fikiran sendiri.[20] Maka
pembicaraan dalam Risalah Tauhid lebih banyak membicarakan tentang pembahasan mungkin
dan menggunakan pembahasan wajib dan mustahil sebagai penguat argumentasi. Hal yang wajib
memberikan argumentasi yang sukar dibantah sementara hal yang mustahil bernilai mengankat
dan menguatkan sesuatu yang wajib dan mustahil walaupun pada hakikatnya hal yang mustahil
sukar digunakan untuk menguatkan keduanya.

Diantara hukum wajib menurut akal dalam pembahasan ketuhanan antara lain bahwa Dia adalah
qadim (tidak berpermulaan) dan azali, al-hayat (hidup), al-ilmu (Maha Mengetahui), al-iradat
(berkehendak), al-qudrat (kuasa), ikhtiar (memiliki kebebasan berbuat), al-wahdah (Maha Esa),
dan sifat-sifat syam’iyah lainnya.[21]

Dalam menggunakan hukum akal wajib di atas, Muhammad Abduh membatasi penggunaan akal
dengan tidak melampaui kapasitas kemampuan akal itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataannya bahwa manusia akan mengalami kesulitan memahami hakikat sejati suatu zat
yang terdiri dari berbagai bagian, sebab untuk memahami hal tersebut manusia harus memahami
unsur bagian-bagian penyusunnya sampai unsur yang terkecil. Dalam pandangan Muhammad
Abduh, akal manusia akan mengalami keterbatasan dikarenakan puncak maksimum yang
mungkin diketahui adalah mengenal sifat dan bekas-bekas dari sesuatu.[22] Dalam upaya
penggambaran tentang pengenalan terhadap Allah, Muhammad Abduh menyitir sebuah hadits
sebagai berikut:

“Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan janganlah kamu berfikir tentang zat-Nya, niscaya
kamu celaka.” [23]

Dalam pandangan Muhammad Abduh, berfikir tentang zat Allah sama artinya dengan mencari
hakikat zat yang menjadikan dari satu sudut pandang. Hal ini terlarang bagi manusia sebab
terjadi sebuah ketidak seimbangan dua wujud yang berbeda antara wujud khalik dan wujud akal
manusia. Sedang dari sudut pandang lain hal ini merupakan sebuah kesia-siaan sebab manusia
akan gagal mengenali zat Allah sekalipun dengan mengerahkan kemampuan akalnya.[24]
Dengan demikian pandangan Muhammad Abduh tentang penggunaan hukum akal wajib dalam
pengenalan terhadap Allah bukan merupakan upaya untuk menelusur hakikat zat Allah namun
terbatas dengan mengamati ciptaan dan melihatr tanda-tanda kebesaran Allah di dalam ciptaan
tersebut. Dalam hal ini beliau juga menolak penggunaan akal secara berlebihan sehingga keluar
dari kaidah berfikir yang benar.

Adapun hukum akal mungkin bagi sesuatu zat adalah sesuatu zat tidak mungkin ada kecuali ada
sesuatu sebab. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya yaitu segala sesuatu tidak mungkin tidak ada
kcuali tanpa suatu sebab pula. Demikian pula tidak satu pun diantara dua perkara (ada dan tidak
ada) yang dimiliki oleh sesuatu zat secara bersamaan. Sebagian diantara hukum mungkin adalah
pernyataan bahwa sesuatu yang maujud adalah “baru”. Karena sudah pasti dia tidak bisa ada
(wujud) tanpa suatu sebab.[25]

Sedangkan hukum mustahil bagi sesuatu zat bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi wujudnya
karena tidak ada (‘adam). Sekiranya hal tersebut diperbolehkan wujud, maka telah tercabut
sesuatu tersebut dari kelaziman mahiyahnya. Maka sesuatu yang mustahil tentu tidak bisa
diwujudkan dan memang tidak ada dengan pasti bahkan akal tidak mungkin menggambarkan
mahiyah sesuatu yang mustahil sebab bukan merupakan sesatu yang maujud, baik diluar maupun
didalam fikiran sendiri.[26]

2. Posisi Wahyu
Muhammad Abduh membahas posisi wahyu dengan mendasarkan metode pembahasannya pada
penggunaan hukum akal mungkin. Penggunaan hukum mungkin tersebut dalam pandangannya
hanya terbatas pada ketidakmungkinan bahwa wahyu tidak ada (hukum mustahil). Dalam
pandangan tentang wahyu, Muhammad Abduh juga membahas tentang keberadaan (wujud) nabi
dan para malaikat. Hal tersebut disadari karena nabi dan malaikat tidak dapat dilepaskan
perannya dalam proses transmisi wahyu itu sendiri.

Dalam pembahasan tentang wahyu tersebut Muhammad Abduh memulai dengan sebuah
pertanyaan mendasar : “ dimanakah letak kemustahilan wahyu itu ? ”. Bahwa apa yang mungkin
tersingkap bagi seseorang belum tentu tersingkap bagi yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa
derajat akal manusia memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain dan akal yang lebih
rendah akan mengalami kesulitan guna mencapai pemikiran yang dilampaui oleh pemilik akal
yang memiliki kecerdasan lebih tinggi kecuali dengan cara sederhana dan ringkas saja. Bahkan
hal tersebut sangat dimungkinkan bukan merupakan wilayah ikhtiar manusia.[27] Hal tersebut
juga disadari masuk ke dalam pembahasan persoalan wahyu. Bahwa dengan rahmat-Nya Allah
telah menonjolkan orang yang dipilihnya diantara yang lain merupakan hal yang mungkin dalam
artian seseorang terpilih karena sesuatu sebab. Para nabi telah terpilih menjadi nabi berdasarkan
sesuatu sebab pula dan pokok sebab dalam pandangan ini berpusat pada Allah. Salah satu sebab
yang memungkinkan diutusnya nabi adalah berkaitan dengan tabiat manusia itu sendiri yang
menghajadkan keberadaan rasul guna membimbing kemashlahatannya.[28] Manusia
memerlukan bimbingan sangat menuju tingkat kedewasaan dan sempurnanya bimbingan tersebut
guna menuntunnya kepada kebahagiaan hidup. Setelah manusia mengalami kematangan tersebut
maka keberadaan kerasulan dan terkuncinya pintu kenabian setelahnya menjadi sangat beralasan
dan wajar.[29]

Sedangkan keberadaan para malaikat bukanlah hal yang mustahil, yakni setelah kita mengenal
diri kita dan memahami berbagai pengetahuan maka kesadaran bahwa terdapat wujud yang lebih
halus di alam yang ghaib dari kita. Maka sudah tentu sangat beralasan dan bukan mustahil jika
wujud halus tersebut (malaikat) memancarkan sebagian ilmu Illahi atas kehendak Allah dan para
Nabi sebagi orang terpilihlah yang mendapatrkan kehormatan untuk menerimanya. Maka apabila
terdapat dikalangan manusia, seorang Nabi yang membawa berita yang benar maka wajib bagi
manusia mengikutinya. Hal ini mencakup bahwa diantara ajaran nabi tersebut juga telah
mengesahkan tentang penutupan pintu kenabian.

Semua dalil yang dikemukan oleh para Nabi, dalam pandangan Muhammad Abduh, tidaklah
pantas menurut hukum akal bahwa mereka (para nabi) telah berdusta dalam menyampaikan
berita yang dating dari Allah, demikian juga tentang pengakuan mereka bahwa apa yang mereka
sampaikan merupakan wahyu dari Allah.[30]

Sedangkan pendapat mengenai Al Quran sebagai makhluk atau qadim, Muhammad Abduh tidak
memberikan komentar dalam bentuk apa pun. Mengingat bahwa persoalan tersebut merupakan
pembeda yang urgen dalam pemahaman Asy’ariyah terhadap paham lain dan merupakan masalah
krusial yang pernah dikemukakan oleh kalangan Mu’tazilah dan pernah muncul dikalangan umat
Islam serta besar kemungkinannya pemikiran tersebut bangkit kembali pada masa selanjutnya,
sangat mungkin beliau menganggap hal tersebut merupakan persoalan yang telah selesai dan
mencukupkan kepada pendapat Abu al Hasan al Asy’ari yang menyatakan : “Hendaknya kita
membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud
Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu
tertentu. Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan
ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah
atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan rasul-Nya
melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang dibuat adalah muhdits dan
yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja
dengan sebutan yang disebut, sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.
[31]

PENUTUP

Demikianlah kajian mengenai pemikiran Muhammad abduh terkait dengan paham Asyariyah
dalam Risalah Tauhid menyangkut posisi akal dan wahyu. Dari berbagai pembahasan di atas
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kemunculan paham Asy’ariyah merupakan sebuah bentuk respon terhadap berbagai pemikiran
yang berkembang dikalangan umat islam. Dengan demikian penggunaan akal secara berlebihan
dengan menggunakan akal dalam paham Asy’ariyah terbukti tidak sepenuhnya benar. Sebab
penggunaan akal dengan menggunakan ilmu kalam tersebut juga merupakan bentuk respon
terhadap pemikiran lain yang mengangungkan akal secara berlebihan. Dapat dipahami bahwa
untuk mematahkan kaum yang mengagungkan akal adalah dengan mematahkan argumentasi
mereka dan hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi metodologi yang mereka gunakan
sehingga kesalahan berfikir dapat dengan jelas dibuktikan.

2. Tuduhan sementara kalangan bahwa Muhammad Abduh termasuk kalangan Mu’tazilah


terbukti tidak benar, setidaknya setelah mengkaji Risalah Tauhid yang melandaskan
pembahasannya bukunya berdasarkan hukum akal sebagaimana yang digunakan dalam paham
Asy’ariyah.

3. Muhammad Abduh telah membuktikan bahwa penggunaan akal memiliki berbagai


kelemahahan termasuk ketika ditinjau dengan menggunakan pisau analisa hukum akal paham
Asy’ariyah berupa hukum wajib, mungkin, dan mustahil. Dengan demikian pengagungan akal
dan mendahulukan akal daripada naql jelas tidak dibenarkan dalam pandangan hukum akal itu
sendiri.

4. Ditinjau dari hukum akal, wahyu merupakan hal yang mungkin. Salah satu alasannya ditinjau
dari sudut pandang manusia, dalam kehidupannya manusia menghajadkan keberadaan wahyu
guna mencapai kebahagiaan hidup dan kemaslahatannya.

Wallahu a’lam bishawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syech Muhammad. 1965. Risalah Tauhid. Terjemahan. (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta
Aceh, Prof. Dr. H. Aboebakar. 1989. Sejarah Filsafat Islam. Cetakan III. Ramadhani, Surakarta

Adams, Charles C. 1993. Islam and Modernisme in Egypt. Rusell and Russel, Newyork

Ahmadi, Drs. Abu. 1977. Perbandingan Agama 2. AB. Sitti Syamsiyah, Surakarta

Asy Syak’ah, DR. Musthafa Muhammad. 1995. Islam Tidak Bermazhab. Terjemahan. Cetakan
II. Gema Insani Press, Jakarta

Baidhawy, Zakiyuddin, M. Ag. et all. 2001. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis,


Ideologi, dan Organisasi. Cetakan VI. Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta

Hourani, Albert. 1962. Arabic Thought in The Liberal Age. Oxford University Press, London

Karya, H. Soekama. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Logos, Jakarta

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Islam.
Bulan Bintang, Jakarta

Nida’, Abu. Dalam artikel Al Masih Ad-Dajjal dan Keimanan Terhadap Keluarnya di Akhir
Zaman. Majalah As-sunnah No. 09/I/1415-1994

Situs http://www.alsofwah.or.id

[1] H. Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996).
Hal. 25

[2] Abu Ahmadi. Perbandingan Agama 2. (AB. Sitti Syamsiyah, Surakarta, 1977). Hal. 63

[3] DR. Musthafa Muhammad Asy Syak’ah. Islam Tidak Bermazhab. Terjemahan. Cetakan II.
(Gema Insani Press, Jakarta, 1995). Hal. 385

[4] Lihat H. Soekama Karya. Opcit. Hal. 25. Lihat pula Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh. Sejarah
Filsafat Islam. Cetakan III. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 90

[5] Diantara kesalahan metodologis yang diungkap oleh Abu al Hasan antara lain adalah
peniadaan ilmu asbabun nuzul, penafian hadits nabi dan keterangan para shahabat dalam
penafsiran Al Quran. Sementara penyimpangan pemikiran yang terjadi akibat kesalahan
metodologis tersebut antara lain kedudukan Al quran hanya dianggap sebagai perkataan manusia,
Allah tidak mengatur qadha dan qadar manusia, pengingkaran terhadap syafa’at Rasulullah
SAW, dan lain sebagainya. Untuk lebih lengkapnya lihat Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh. Sejarah
Filsafat Islam. Cetakan III. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 91

[6] DR. Musthafa Muhammad Asy Syak’ah. Opcit. Hal. 385


[7] Situs alsofwah yang di akses pada tanggal 13 Maret 2008 jam 21.00 WIB dalam
http://www.alsofwah.or.id/index.php?
pilih=lihatfirqah&parent_id=19&parent_section=fr006&idjudul=18

[8] Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh. Opcit. Hal. 91

[9] Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh. Ibid. Hal. 91

[10] Beberapa permasalahan urgen, setidaknya 20 masalah, akan terhapus bila hadits ahad tidak
digunakan dalam pembahasan masalah aqidah. Diantara permasalahan yang terhapus tersebut
adalah Nubuwah Nabi Adam dan beberapa nabi yang tidak disebutkan dalam Al Quran,
keutamaan Nabi Muhammad dibandingkan nabi yang lain, syafa’at udhma di Mahsyar, Syafaat
Rasulullah atas dosa besar, mu’jizat Rasulullah misalnya terbelahnya bulan, hadits tentang sifat
malaikat, jin, surga, neraka, dan hajar aswad dari surga, kekhususan Rasulullah pernah masuk
surga dan menegtahui keadaan penghuninya, sepuluh orang yang diberitakan masuk surga,
pertanyaan malaikat di kubur, iman kepada siksa kubur, iman tentang keberadaan shirath yang
membentang di atas neraka, dan lain sebagainya. Untuk lebih lengkapnya baca Abu Nida’. Al
Masih Ad-Dajjal dan Keimanan Terhadap Keluarnya di Akhir Zaman. (Majalah As-sunnah No.
09/I/1415-1994). Hal. 9-10

[11] Pengantar penterjemah oleh H. Firdaus A.N., B.A. Sjech Muhammad ‘Abduh dan
Perjuangannja dalam Syech Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Terjemahan. (Penerbit Bulan
Bintang, Jakarta, 1965). Hal. 7. Namun sumber lain menyatakan bahwa beliau lahir pada tahun
1848. Lihat Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis,
Ideologi, dan Organisasi. Cetakan VI. (Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta, 2001). Hal. 12-13

[12] Pengantar penterjemah oleh H. Firdaus A.N., B.A. Opcit. Hal. 8

[13] Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Opcit. Hal. 12

[14] Albert Hourani. Arabic Thought in The Liberal Age. (Oxford University Press, London,
1962). Hal. 108

[15] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Islam. (Bulan
Bintang, Jakarta, 1975). Hal. 54-55

[16] Charles C. Adams. Islam and Modernisme in Egypt. (Rusell and Rusell, Newyork, 1993).
Hal. 52

[17] Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Ibid. Hal. 12-13

[18] Syech Muhammad Abduh. Opcit. Hal. 44

[19] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 45


[20] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 45-46

[21] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 51-69

[22] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 65-66

[23] Hadits ini telah disepakati lafadz dan maknanya. Al Hafidz ‘Iraqy dalam Takhrij
menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dengan marfu’ memakai sanad
yang dhaif. Asfahani dalam kitab Targib wa Tarhib meriwayatkan hadits ini melalui jalan yang
lebih shahih. Sementara Thabrani meriwayatkannya melalui kitab Al-Ausath dan Baihaqi dalam
Sya’bi dengan menggunakan sanad hadits Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa sanadnya harus
ditinjau kembali, sebab dalam sanadnya terdapat Wadzigh bin Nafi’ yang harus ditinggalkan.
Zabidi menambahkan dalam syarahnya : Saya berkata bahwa hadits Ibnu Umar itu lafadznya
berbunyi : “Tafakkaru fi alaaillah wa la tafakkaru fillah.” (Berfikirlah tentang pemberian-
pemberian Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Zat Allah). Beliau memandang hadits
tersebut lemah. Abu Syekh dalam kitab ‘Uzhmah meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu Abbas
dengan bunyi : “ Berfikirlah kamu tentang makhluk dan jangan berfikir tentang khaliq, karena
kamu tidak sanggup mengira-kirakan kadar-Nya. Ibnu Najar dan Rafi’i meriwayatkannya dari
Abu Hurairah dengan bunyi : “Berfikirlah kamu tentang makhluk dan jangan berfikir tentang
Allah.” Banyaknya riwayat tersebut dianggap menambah kekuatan dan makna kebenaran hadits
tersebut sebagaimana dikatakan oleh hafidz As Shawi dalam kitab Al Maqashid.

[24] Syech Muhammad Abduh. Opcit. Hal. 67-68

[25] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 49-50

[26] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 45-46

[27] Syech Muhammad Abduh. Ibid. Hal. 126

[28]Syech Muhammad Abduh. Ibid.. Hal 112-133

[29] Syech Muhammad Abduh. Ibid.. Hal. 127

[30] Syech Muhammad Abduh. Ibid.. Hal. 132

[31] DR. Musthafa Muhammad Asy Syak’ah. Opcit. Hal. 385

Anda mungkin juga menyukai