Anda di halaman 1dari 36

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara mengenai manusia aspek fisik, menarik. Demikian pula berbicara
mengenai aspek dalam, terutama berkaitan dengan upaya membenahi bagian ini, tidak
kurang menariknya. Justru bagian dalam manusialah yang menjadi sasaran utama,
diturunkannva agama.
Alexis Carrel menjelaskan tentang kemusykilan untuk mengetahui tentang
hakekat manusia. Bahwa pengetahuan manusia tentang makhluk-makhluk hidup
umumnya dan manusia khususnya belum laga mencapai kemajuan seperti yang telah
dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Sungguh pun begitu manusia telah
mencurahkan segenap perhatian dan usaha yang sangat serius untuk mendalami telah
cukup banyak hasil pengkajian dan penelitian para ilmuwan, tetapi ternyata manusia
itu hanya baru mampu mengetahui beberapa segi saja dari dirinya.
Keterbatasan kemampuan manusia adalah menjawab pertanyaan yang
diajukan para ahli masih tetap tanpa jawaban tuntas disebabkan oleh 3 hal :
Pertama, bahwa pembahasan tentang manusia agak terlambat dilakukan,
karena pada mulanya perhatian manusia lebih tertuju pada penyelidikan tentang
alam materi. Kedua, ciri khas akal manusia yang lebih tertarik dan cenderung
memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal yang
dinyatakan oleh Bergson, tidak mampu mengetahui hakekat hidup. Ketiga, karena
multikompleksnya masalah-masalah manusia.
Terkait dengan penjelasan di atas, Allah berfirman dalam hal ini: “Mereka
bertanya kepadamu (Muhmmad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan
Tuhanku. Sedangkan kamu diberikan pengetahuan (Tentangnya) hanya sedikit”. (QS.
Al-Isra’/17:85).
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada
arti manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam atau dzurriyati adam, dan al-insan.
Semua istilah itu diindonesiakan dengan arti “manusia”.
Pertama, kata “basyar” yang dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 36 kali,
umumnya mengandung makna “manusia” sebagai makhluk fisikal-biologis, yang
biasanya berhubungan dengan kebutuhan makan dan minum, kebutuhan biologis, dan
persebarannya dalam konteks mecari makan dan perjodohan.
Ilmu Antropologi mencatat, persebaran manusia yang disebut nomaden,
bertujuan untuk mencari makan atau perjodohan.
Kedua, kata “al-nas” dalam Al-Qur’an digunakan dengan konotasi sebagai
makhluk social, makhluk yang menurut realitas kehadirannya dalam kehidupan,
berkecenderugan hidup berkelompok, bermasyarakat dan berbangsa. Firman-Nya:
“Wahai manusia (al-nas), sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal”. (QS. Al-Hujurat/49: 13). Di ayat
ini, tampak jelas, kata al-nas digunakan dalam konotasi makhluk yang memang dari
kejadian wataknya cenderung berkelompok, menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Al-nas (Manusia), dengan demikian lebih mengesahkan makhluk
sosial.
Ketiga, kata bani adam atau dzurriat adam yang secara harfiah artinya “anak
keturunan Adam”, adalah untuk mengesankan bahwa manusia sebagai makhluk
intelektual. Nabi Adam merupakan seorang yang menerima pengajaran dari Allah.
Dia (Tuhun)-lah yang menyatakan: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-
nama objek semuanya..” (QS. al-Baqarah/2: 31). Keturunan Nabi Adam adalah
manusia yang memiliki bakat intelektual. Tegasnya, bani adam makna konotatifnya
adalah manusia dengan dimensi intelektual, mengingat mereka adalah keturunan
seorang intelektual, yakni Adam yang belajar berbagai objek yang banyak.
Keempat, kata al-insan, yang dalam kitab suci disebutkan sebanyak ±65 kali,
mempunyai makna konotatifnya pula, sesuai penggunaannya dalam sebagian ayat Al-
Qur’an, yang dalam hidupnya cenderung mendekatkan diri, dan berusaha menuju
Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Wahai manusia
(al-insan), sesunqquhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu
akan menemuiNya”. (QS. al-Insyiqaq/84: 6). Firman-Nya pula di surah lain:
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia (al-insan) dalam paradigma tertinggi”.
(QS.al-Tin/95: 4).
Dari ayat-ayat tersebut dapat dilihat jelas, bahwa manusia dengan sebutan al-
insan mempunyai makna sebagai makhluk yang mendekatkan diri kepada Tuhan,
yang ditegaskan Allah, “maka kamu akan menemuiNya”.
Posisi manusia dalam paradigma kemakhlukan sebagai berikut:
Allah SWT
manusia
malaikat
makhluk hewan
makhluk tumbuhan
makhluk benda mati
Manusia adalah tertinggi posisi dan kedudukannya mengungguli makhluk-
makhluk yang lain. Hanya Allah SWT yang ada di atas manusia. Ini juga bermakna
bahwa al’insan (manusia) sebagaimana disebutkan surah al-Tin, adalah makhluk
spiritual, yang dekat dengan Allah swt.
Kebutuhan manusia sebagai makhluk spiritual ialah keinginan untuk berusaha
mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai mahkluk yang bersifat fisik, manusia sesungguhnya memerlukan
pembinaan yang baik. Pembinaan yang baik pastinya datangnya dari Tuhan. Karena
Dialah yang Maha Mengetahui ke arah mana dan bagaimana manusia itu diberi
pernbinaan.
Dari ayat-ayat tersebut, Al-Qur’an membina dan mengarahkan manusia untuk
mencari rezekinya di muka bumi, secara halal, dan tidak mengambilnya dengan batil.
Prinsip halal dan baik sangat ditekankan oleh Al-Qur’an.
Sebagai makhluk sosial, manusia juga sangat membutuhkan bimbingan, perlu
memahami kepribadian bagaimana yang perlu Muslim miliki, agar pergaulan dengan
sesamanya dalam bermasyarakat berjalan baik dan harmonis, serta sukses.
Sebagai makhluk biologis. Tuhan memerintahkan manusia menyalurkan
dorongan biologisnya melalui jalan pernikahan bukan mengikuti langkah syaitan
yang merupakan musuhnya. Tuhan berfirman: “Sungguh, syaitan itu musuh yang
nyata bagi manusia”. (QS. Yusuf/12: 5). Menyalurkan dorongan biologis dengan cara
di luar pernikahan yang dibenarkan agama, jelas mengikuti langkah syaitan itu,
semisal kumpul kebo, dan lain-lain.
Selanjutnya, sebagai makhluk intelektual-psikologis, manusia perlu
memahami jiwa qur’ani, yaitu jiwa yang menerapkan sitat-sifat baik yang diajarkan
Al-Qur’an, untuk kebaikan hidupnya.
Sebagai makhluk spiritual, yang memiliki hati nurani yang cenderung dekat
dengan Tuhan, manusia memerlukan penjelasan-penjelasan mengenai: menghidupkan
hati, mengembangkan hati dalam cinta, membuka hati agar dekat dengan Allah,
menghilangkan penyakit hati, membersihkan hati dengan zikrullah.

TENTANGA KEPRIBADIAN
A. Pengertian
“Kepribadian” adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris “personality” yang
pada mulanya berasal dari kata bahasa latin “per” dan “sonare” yang kemudian
berkembang menjadi kata “persona” yang berarti topeng.
Definisi yang umum dipergunakan tentang kepribadian: Personality is the
dynamic organization within the individual of those psychophysical system that
determine his unique adjustments to his environment (Kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang menentukan caranya yang
khas (unik) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya). (GW Allport,
Personality: A Psychological Interpretation, 1973, h.48)
Sebagai sistem psikofisik artinya bahwa kepribadian bukanlah semata-mata
faktor mental (kejiwaan), dan juga bukan semata-mata faktor fisik.
Oleh karena itu, kepribadian adalah sesuatu yang mendorong dan
mendinamisasi dilakukannya sesuatu. (Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian,
1986, h.240-241). Segala tindakan manusia, baik positif maupun negatif, tidak lepas
dari dorongan atau pengaruh kepribadiannya. Tindakan-tindakan manusia, pastinya,
merupakan refleksi dan manifestasi sifat-sifat kepribadiannya itu.

B. Pengembangan Kepribadian
Abraham Maslow menyebutkan bahwa seseorang dapat mengaktualisasikan
dirinya. Seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri sebelum ia mempunyai saran
yang cukup untuk memberi kepuasan terhadap tuntutan-tuntutan esensial seperti
pemuasan terhadap tuntutan fisiologis, rasa aman, afiliasi, pengakuan dan
penghargaan. Pribadi yang dapat mengaktualisasikan diri, sebagai mana
dideskripsikan Maslow, dapat dioperasionalkan sebagai berikut:
1. Dapat menerima dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitar.
2. Berpandangan realistic.
3. Banyak bersikap pasrah (pasif).
4. Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya, dll.
Karel Rogerz, menjelaskan ciri-ciri umum kepribadian seimbang yang
disimpulkan dari problem dan perjalanannya dalam proses produksi, yakni sebagai
berikut:
1. Bersikap terbuka, menerima berbagai pengalaman, dan
berusaha memahami perasaan-perasaan internalnya.
2. Hidup secara eksistensialistik, yakni memiliki kepuasan batin
bahwa tiap saat ia menginginkan pengalaman baru. Ini berarti
memiliki perasaan internal bahwa ia bergerak dan tumbuh.
3. Dalam struktur keanggotaannya, ia menemukan hal yang
dipercaya untuk mencapai tingkah laku yang paling banyak
memberikan kepuasan dalam tiap kondisi nyata.
Karen Horney berpendapat bahwa anak, jika belum memperoleh rasa cinta,
terkadang mengaktualisasikan potensi dan dominasi terhadap orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian. Horney membuat tabel tentang beberapa
kebutuhan untuk memecahkan problem kegoncangan hubungan manusia. Kebutuhan
ini disebut “nervousness”. Dinamakan demikian sebab merupakan pemecahan
(solusi) yang tidak logis terhadap masalah-masalah tersebut. kebutuhan-kebutuhan itu
adalah:
a. Kebutuhan akan cinta dan diterima orang lain, dengan
memuaskan orang lain dan memenuhi keinginan
mereka.
b. Kebutuhan akan mitra yang memikul tanggung jawab
pribadi. Orang seperti ini menghamburkan uang untuk
meraih kecintaan yang lain dan takut jika ia diasingkan
(terisolir).
c. Kebutuhan akan pengendalian diri dalam kehidupannya
dalam skala yang sempit. Dia puas dengan yang serba
sedikit. tidak mempunyai tuntutan apa pun. Lebih suka
merendah dan mengalah terhadap orang lain.
d. Kebutuhan akan kekuatan, yaitu senang berkuasa,
selalu unggul, tidak menghormati dan menghargai
orang lain, menggunakan daya pikir dan keunggulannya
untuk menguasai dan mengeksploitir yang lain.
Erich Fromm membatasi lima klasifikasi kepribadian manusia, sebagai
berikut:
Pertama, kepribadian yang selalu bersikap pasrah dan pasif. Ia yakin bahwa
apapun yang diinginkannya harus tercapai tanpa usaha atau kegiatan untuk
memperolehnya, dan harus diperolehnya dengan cara pasif dan pasrah. Dia merasa
kurang mampu dan condong kepada siapa saja yang memberinya kasih sayang.
Kedua, kepribadian Vasted Interest. Berusaha memperoleh segala sesuatu dari
orang lain baik dengan cara tipuan maupun kekerasan, dan menganggap semua orang
sebagai sasaran baginya. Perbedaannya dengan orang yang bersikap pasrah dan pasif
adalah orang yang vested interest selalu ragu, cemas, iri, cemburu dan selalu
meremehkan atau merendahkan orang lain.
Ketiga, kepribadian yang suka menyimpan bersifat lemah iman terhadap
setiap perolehan sesuatu dari luar. Kikir harta, pikiran dan perasaan, Baginya, cinta
adalah memiliki. Tidak mampu berpikir kreatif, tidak percaya pada “masa” depan
secara emosional sangat dipengaruhi masa lalu dan banyak berprasangka.
Keempat, kepribadian berorientasi pasar, Menyerupai kepribadian penjual.
Menurutnya, orang yang sukses adalah yang bernilai jual. Pada umumnya, perasaan
mereka kosong dan kacau.
Kelima, kepribadian produktif. Fromm berpendapat bahwa manusia bukan
saja makhluk berakal dan makhluk sosial, tetapi juga makhluk produktif. Untuk
hidup, ia harus berproduksi. Dengan mengeksplorasi akal dari daya imajinasi,
manusia dapat mengubah bahan mentah menjadi bahan produksi.

C. Kepribadian Yang Kuat


Ciri-ciri khusus dari tingkah laku individu disebut sifat-sifat kepribadian
(personality traits). Suatu sifat kepribadian didefinisikan sebagai suatu kualitas
tingkah laku seseorang yang telah menjadi karakteristik atau sifat yang khas (unik)
dalam seluruh kegiatan individu, dan sifat tersebut bersifat menetap (lihat. Robert M.
Liebert dan Michael D. Spiegler. 1974, h.15).
Dalam perspektif psikologi dijelaskan bahwa karena kepribadian manusia
pada garis besarnya ada yang positif dan ada juga yang negatif, maka sifat-sifat
kepribadian yang merupakan sumber penyebab, ada yang positif dan ada yang
negatif. Termasuk ke dalam sifat-sifat utama kepribadian positif, al.:
1. Adventurous, yakni sifat berani karena benar. Sifat ini muncul dari dalam diri
seseorang karena rasa percaya diri, dan terlatih menghadapi perjuangan membela
kebenaran.
2. Energetic, yakni bersemangat tinggi. Individu yang memiliki sifat ini biasanya
cenderung berapi-api dan lazimnya senang tampil sebagai penggerak,
menggerakkan orang lain.
3. Consciention, yakni sifat jiwa yang mendorong untuk jujur dalam bertindak
sesuai dengan kata hati, alias mengikuti kata hati.
4. Responsible, yakni bertanggung jawab atas segala kepercayaan yang diberikan
kepada dirinya.
5. Sociable, yakni supel dan pandai bergaul. Orang yang bersifat demikian biasanya
banyak temannya dan cenderung disukai/dicintai orang banyak.
6. Ascendant, yakni mempunyai kecenderungan memegang pimpinan, keinginannya
menjadi pemimpin, besar.
7. Intelligent, yaitu cerdas, yang berarti berpikir encer dan berwawasan luas.
8. Generous, yakni yang berjiwa pemurah, memiliki sakhawah (kedermawanan) dan
suka menolong orang lain.
9. Talkactive, yakni ringan dan mudah berbicara. Pembicaraannya berisi dan
ditunggu orang banyak.
10. Persistent, yakni gigih dalam berusaha, tidak tidak setengah-setengah, tetapi
dengan total, mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki.
11. Tenderhearted, yakni rendah hati, alias tidak sombong.
12. Realible, yakni dapat dipercaya, bahkan enak dan aman dipercaya.

D. Kepribadian Manusia dalam Al-Qur’an


Pada dasarnya, menurut tabiat dan bentuk kejadiannya manusia diberi bekal
kebaikan dan keburukan, serta petunjuk dan kesesatan. Ia mampu membedakan
kebaikan dan keburukan serta mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan
keburukan. Sebenarnya kemampuan ini secara potensial telah ada pada dirinya.
Melalui bimbingan-bimbingan dan berbagai faktor lain, bekal tersebut dibangkitkan
dan terbentuk. Ia adalah ciptaan yang fitri, makhluk yang tabi’i, dan misteri yang
diilhamkan.
Selain orang yang mendaagunakan potensi tersebut untuk meningkatkan
kualitas jiwa, menyucikannya, serta mengembangkan potensi kebaikan dan
mengalahkan potensi keburukan, maka ia beruntung. Sedangkan orang yang
memendam, menyesatkan dan melemahkan potensi tersebut, ia sangat merugi. Allah
SWT berfirman. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyudkan jiwa dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” . (QS. asy-Syams/91: 9-10).
Sebagai manifestasi kasih sayang pada manusia, Allah tidak membiarkan
bekal fitri dan potensi kepekaan tersebut dalam bentuk final. Ia membantu manusia
dengan risalah-risalah suci yang baku dan lengkap, menunjukkan hal-hal yang
mendorong beriman, termasuk bukti-bukti pada diri dari alam sekitar, serta
membeberkan kabut-kabut hawa nafsu hingga dapat melihat kebenaran. Karena itu,
jelaslah baginya jalan yang terang, tidak ada yang diragukan lagi. Pada saat itu,
potensi kepekaan keluar dari lubuk hati dan kesadaran atas kebenaran pandangan
yang menjadi pilihannya. “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang
menciptakan. dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). Dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. al-A’la/87: 1-3).
Pengetahuan keilhaman ini tidaklah diberikan kepada semua manusia dalam
segala lingkungan dan tingkatan ilmu, melainkan dicapai ketika jendela-jendela hati
terbuka dan ketika tali-talinya bangkit untuk menghadapi sinyal-sinyal alam semesta.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah berkera dengan sungguh-sungguh menuju
Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqaq/84: 6).
Sedikit apapun pekerjaan seseorang, tidak akan disia-siakan oleh Allah
Dengan kosep ini, nilai-nilai kemanusiaan akan terealisir pada diri manusia yang
didasarkan atas eksistensinya sebagai makhluk utama, bertanggungjawab, dan
independent. Ia diberi kesempatan bekerja dan memanen hasilnya. Maka, akan
terwujudlah ketentraman bersendikan keadilan.
E. Pola-pola Kepribadian Manusia dalam Al-Qur’an
Manusia adalah makhluk yang “berkeyakinan” yaitu meyakini adanya benar
dan salah. Ia dibekali beberapa sifat untuk mendekati kekuatan yang paling sempurna,
ditandai dengan adanya rasa takut, cinta dan tunduk.
Dimensi kepercayaan ini mengorganisir hubungan manusia dengan dirinya,
bahkan hingga dimensi sosial. Kepercayaan itulah yang memberi manusia posisi
antara dirinya dan sesuatu. Maka, dalam hal ini manusia dibagi menjadi dua kategori,
yaitu: yang percaya terhadap sesuatu, dan yang mengingkarinya. Mereka
diperlakukan berdasarkan prinsip dasar ini.
Al-Qur’an mengklasifikasikan manusia berdasarkan akidah menjadi tiga
kelompok, yaitu: al-mukminun, al-kafirun, dan al-munafiqun.
Al-Qur’an menjelaskan setiap pola dari ketiganya dengan ciri-ciri khusus
untuk membedakan secara tegas antara satu pola dengan yang lain. Berikut ciri-ciri
khusus terpenting yang dinukil dari Al-Qur’an.
a. Al-Mukminun (orang-orang mukmin)
Jika kita kumpulkan ciri-ciri khusus orang mukmin yang terdapat dalam Al-
Qur’an, kemudian kita coba mengklasifikasikannya, tentu akan kita temukan usur
esensial perilaku manusia.
b. Al-Kafirun (orang-orang kafir)
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menunjukkan perilaku orang-orang kafir.
Gambaran kepribadian orang-orang kafir menurut Al-Qur’an adalah mereka tidak
mempercayai akidah tauhid, para rasul dan kitab-kitab yang diturunkan, hari
akhir, hari kebangkitan, perhitungan surga, dan neraka.
c. Al-Munafiqun (orang-orang munafik)
Orang-orang munafik adalah kelompok manusia yang berkepribadian lemah.
Sikapnya tidak jelas, posisi keimanannya juga tidak jelas.

F. Kepribadian Qur’ani
Kepribadian Qur’ani adalah kepribadian (personality) yang dibentuk dengan
susunan sifat-sifat yang sengaja diambil dari nilai-nilai yang diajarkan Allah dalam
Al-Qur’an, sehingga bisa dibayangkan strukturnya terbangun dari elemen-elemen
ajaran Al-Qur’an itu.
Bila ditambah dengan penerapan nilai-nilai atau sifa-sifat yang diajarkan Al-
Qur’an tentulah semakin lengkap.
Nilai-nilai itu diterapkan dalam jiwa individu sedemikian rupa, sehingga nyata
menjelma menjadi sifat kepribadiannya. Nilai-nilai yang dimaksud harus melekat
menjadi warna jiwa, yakni, al.:
a. Jiwa yang beriman, adalah jiwa yang mendorong secara kuat lahirnya
perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi individu maupun
masyarakat.
b. Jiwa yang Tenang (muthma’innah). yakni jiwa yang mempunyai
kecenderungan semakin dekat dengan Tuhan, penuh ridla dan diridlai,
senang bergabung dengan orang-orang salih, dan jiwa yang sesuai
sebagai calon penghuni syurga.
c. Jiwa yang Rela, yaitu jiwa yang puas dalam menerima segala
pembagian dan pemberian Tuhan, sehingga orang yang memilikinya
merasa kaya, puas dan berbahagia.
d. Jiwa yang Sabar, yaitu jiwa yang tekun dan bersungguh-sungguh
dalam mencapai cita-cita, sebab tiada keberhasilan yang luar biasa
selain suatu cita-cita yang diraih dengan kesabaran.
e. Jiwa yang Tawakkal, yaitu jiwa individu yang setiap kali melakukan
dan memperjuangkan sesuatu perbuatan, dipasrahkannya perbuatan
itu kepada Tuhan, dan penuh optimisme kepadaNya bahwa amal-
perbuatannya akan mendapatkan balasan dari padaNya.
f. Jiwa yang Jujur, yaitu jiwa yang mendorong tercetusnya penuturan
atau perbuatan secara jujur, sesuai kata hati, tidak terbesit untuk
berkata atau berbuat secara curang sehingga orang lain tidak
dirugikan.
g. Jiwa yang Amanah, yakni jiwa yang tidak hanya jujur, tetapi juga
teguh untuk mengemban kepercayaan yang diberikan kepada
individu, serta menyadari bahwa amanah yang diterimanya itu berasal
dari Tuhan.
h. Jiwa yang Syukur, yaitu jiwa yang menjadi sumber pendorong untuk
mengelola dan mentasarufkan segala yang dianugerahkan Tuhan
sesuai tuntunannya demi memperoleh keridlaanNya.
i. Jiwa yang Cerdas, yaitu jiwa manusia yang menjadi inspirator
lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan
mengasihi pihak/orang lain, serta menghindari impuls yang meledak-
ledak.
j. Jiwa yang Berani, yaitu jiwa yang mendorong sifat keberanian
(syaja’ah) dan tidak diliputi oleh rasa takut, sehingga tindakan hidup
individu dinamis, penuh rasa percaya diri dan sukses serta dengan rasa
aman.
k. Jiwa yang Optimistis, yaitu jiwa orang yang melihat kehidupan ini
penuh peluang dan harapan, sehingga melahirkan sikap jiwa yang
besar dan pikiran positif terhadap ke Maha Kuasaan Tuhan yang
selalu menjamin kebutuhan-kebutuhan hambaNya.
l. Jiwa yang Pemurah, yaitu jiwa yang mendorong untuk suka memberi,
menolong, dan membantu orang lain yang tidak lagi dikuasai oleh
sifat pelit yang merupakan suatu penyakit jiwa yang tidak baik untuk
kepentingan pergaulan hidup bersama.
m. Jiwa yang Tobat, yaitu jiwa yang setiap kali terjadi tindakan salah
menurut pandangan agama dan masyarakat, segera kembali ke jalan
kebenaran, dengan jalan menyesali tindakan salahnya, tidak
mengulanginya, secara lestari berencana melakukan kebaikan-
kebaikan, dan serta-merta meninggalkan kejahatan yang dilakukan.
n. Jiwa yang Takwa, yaitu jiwa individu yang dalam kehidupan ini
berkomitmen untuk secara sungguh- sungguh menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan buruk yang memang dilarang Tuhan, dan
melengkapinya dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkanNya.
Orientasi hidup yang paling utama adalah hidup bersih.
o. Jiwa yang Ihsan, yaitu jiwa yang senantiasa mendorong peningkatan
amal-amal lebih baik ketimbang sebelumnya dan setiap amal
dikerjakan seolah-olah Allah menyeksikan kinerja yang dilakukan.
Orientasi utamanya adalah peningkatan amal lebih berkualitas dan
bagus, seraya Tuhan diyakini menyeksikan perbuatannya itu.
p. Jiwa yang Konsisten (Istiqamah), yaitu jiwa yang selalu merasa sadar
untuk taat asas dan berpegang teguh pada apa yang diyakini, serta
berpegangan pada pedoman yang ada. Jika kebenaran agama yang
diyakini, maka agamalah yang dijadikan rujukannya. Jika Tuhan yang
diyakini sebagai sumber ajaran. maka tuntunan-Nyalah yang
diutamakannya.
q. Jiwa yang Bahagia, yaitu jiwa yang merasakan suasana baik,
menyenangkan, dan menggembirakan, dimana segala yang terjadi dan
dirasakan dalam kehidupan sesuai dengan keinginan yang ada.
Kemajuan dan perkembangan jiwa manusia ke arah tingkat yang semakin
tinggi, amat tergantung pada penerapan sifat-sifat yang mengikuti kata jiwa tersebut.
Sifat-sifat kepribadian Qur’ani dapat dibentuk melalui pembiasaan-
pembiasaan, dan amat tergantung pada kesungguhan pelatihan dan pembiasan diri
dengan sifat-sifat yang diajarkan Al-Qur’an itu. Pembiasaan diri itu tentu tidak
melahirkan hasil secara tiba-tiba, melainkan memakan waktu yang lama, bahkan
seseorang bisa jadi jatuh-bangun dalam menuju keberhasilan perjuangan membentuk
kepribadiannya itu, sesuai dengan yang diajarkan Al-Qur’an al-karim.
JIWA QUR’ANI
A. Jiwa yang Beriman
Manusia, sebagai makhluk fisikal-biologis, makhluk sosial, intelektual-
psikologis, dan spiritual-teologis --dapat dikatakan sejahtera hidupnya apabila apa
yang menjadi kebutuhan jasmani dan rohani terpenuhi secara seimbang. Dia sejahtera
hidupnya jika segala kebutuhan yang bersifat fisik (materi). kebutuhan jiwa yang
berupa kedamaian dan kesentosaan, kebutuhan sosial yang berwujud keharmonisan,
dan kebutuhan spiritual yang berupa ketenteraman hati (Ithmi’nan al-qalb) tercapai
dengan seimbang.
Jiwa disebut beriman manakala hati individu yang bersangkutan telah
dimasuki keimanan, hal-hal yang berhubungan dengan dimensi keimanan, seperti
Allah, malaikat, para Nabi, Kitab-kitabNya dan hari akhir. Kalau semuanya belum
masuk ke dalam hati, misalnya baru berada di wilayah jiwa, maka manusia
bersangkutan belum beriman, karena tempat iman di dalam hati.
Jiwa yang beriman adalah jiwa yang tidak cenderung kepada tindakan-
tindakan zhalim (aniaya), karena pada dasarnya iman yang benar (al-iman al-shahih)
tidaklah wajar dicampur dengan kezhaliman, karena kezhaliman tidak mungkin
menyatu dengan iman, karena keimanan memiliki kecenderungan pada kebaikan,
keadilan, kedamaian, keselamatan dan kepada penunaian hak-hak seperi diajarkan
oleh agama (Tuhan Yang Maha Baik).

B. Jiwa yang Tenang


Kitab suci Al-Qur’an, mejelaskan tentang jiwa manusia yang meliputi tiga
kategori atau tingkatan, yaitu: Pertama, disebut al-nafs al-ammarah. Sebagaimana
disebutkan dalam surah Yusuf: 53. Jiwa tingkatan ini merupakan keinginan rendah
manusia yang cenderung memerintah/mendorong manusia berbuat keburukan.
Kedua adalah jiwa yang disebut al-nafs al-lawwamah seperti disebut dalam
surah al-Qiyamah/75: 2. Jiwa kategori ini merupakan jiwa yang mencela atau
menyalahkan diri sendiri.
Ketiga adalah jiwa yang disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang)
seperti disebut dalam surah al-Fajr/89: 27. Jiwa muthma’innah inilah merupakan jiwa
yang dikecualikan di dalam firmanNya inna al-nafsa la’ammarat bi al-suu’ illa ma
rahima rabbi (sesungguhnya nafsu/keinginan rendah itu pastilah memerintah berbuat
hal yang buruk kecuali nafsu/jiwa yang dirahmati Tuhanku). Jiwa yang dirahmati
Tuhan adalah jiwa yang beruntung karena dialah jiwa yang tenang itu. Manusia yang
memiliki jiwa ini, dalam rangkaian ayat 27 s/d 30 surah al-Fajr. diindikasikan
memiliki karakteristik jiwa yang tenang sebagai berikut ini:
1. Cenderung ingin kembali dan ingin dekat kepada Tuhan
atau ingin sesuai dengan yang digariskan Tuhan, dalam
menempuh kehidupan.
2. Menerima dengan rela dan puas segala apa yang
digariskan Allah kepadanya, dan menjalankan
semuanya dengan perasaan puas pula.
3. Batinnya tidak cemas, lagi bersedih. karena merasa
optimis untuk memperoleh rahmat Tuhan.
4. Kecenderungannya bergabung dengan hamba-hamba
Allah yang salih, untuk mencari kabaikan-kebaikan dan
mencontoh keteladanan merekau.
5. Merasa mantap, atas dasar iman yang benar, amal-amal
salih yang nyata dan atas keyakinan bahwa ia pasti
dibalasi oleh Tuhan di akhirat, dialah orangnya yang
bakal masuk syurga-Nya.
Jiwa yang tenang (yang muthma’innah) adalah jiwa yang dimiliki orang-orang
yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman, yang banyak mengerjakan
amal salih dengan ikhlas dan dengan yakin dan optimis bahwa tuhan pasti akan
membalasi amal-amalnya di alam akhirat.

C. Jiwa yang Rela


Kata ‘rela” berasal dari bahasa Arab, ridla. Artinya senang, sukacita, atau
puas, puas dalam menerima segala yang diberi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Menerima dengan puas dan mensyukuri apa yang dimiliki (sesuai
jangkauan/kemampuan) benar-benar penting sekali. Segala usaha dan kerja serta
perjuangan, sedikit atau banyak tentulah ada hasil yang dicapai, baik langsung
maupun tidak langsung; yang rutin maupun incidental.

D. Jiwa yang Sabar


Jiwa yang sabar adalah jiwa yang dimiliki oleh orang yang sabar. Dalam Al-
Qur’an al-Karim, orang-orang yang sabar disebut al-shaabirun (orang-orang sabar).
Secara etimologis, sabar berasal dari bahasa Arab shabara yang arti dasarnya
menahan (al-habs), seperti habs al-hayawan (mengurung hewan), menahan diri dan
mengendalikan jiwa (lihat, Ibn Mahzhur. Lisan Arab, jilid IV, h.438).
Selanjutnya, disebutkan pandangan Imam Ghazali mengenai lingkup wilayah
aplikasi sabar. yaitu meliputi 3 (tiga) wilayah. yaitu: 1) al-shabr fi al-thaa’ah (sabar
dalam terus menerus menjalankan ketaatan). 2) al-shabr’an al-ma’shiyyah (sabar
dalam rangka menghindarkan diri dari maksiat), dan 3) al-shabr al-mushibah (tegar
dan sabar dalam menghadapi musibah). Kesabaran yang dimiliki manusia mestinya
menghasilkan sebuah sikap aktif dalam hal-hal: terus-menerus dalam menjunjung
sikap taat kepada Allah, terus-menerus berusaha menghindarkan diri dari tindakan-
tindakan maksiat kepada Allah, dan tetap tegar dan optimis serta tabah dalam
menghadapi hal-hal yang secara lahiriah tidak menyenangkan yakni bersabar dalam
menghadapi keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan.

E. Jiwa yang Tawakkal


Kata “tawakkal” berasal dari tawakkala –yatawakkalu –tawakkulan, yakni
tawakkul.
Jadi, jiwa yang tawakal adalah jiwa yang dalam setiap mengisi kehidupan,
dalam perbuatan aspek apa pun dalam kehidupan, menyadarkannya atau
melaporkannya kepada Allah selaku Al-Wakil (Tuhan tempat bersandar).
Demikian pula perintahNya, mengingat semua rahasia langit dan bumi ada di
genggamanNya: “Milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya
segala urusan dikembalikan. Maka, sembahlah Dia, dan bertawakallah kepadaNya.
Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan”. (QS. Hud/11: 123).
Tujuan bertawakal adalah menciptakan optimisme dalam jiwa bahwa semua
perbuatan, lahir dan batin, disandarkan kepada Zat yang memang sebagai sebaik: baik
tempat menyandarkan segala urusan manusia, dengan harapan (al-raja’) kiranya
semua perbuatan yang direncanakan, sedang, dan akan diperbuat, tidaklah muspra
dan sia-sia.
Al-Ghazali (w.504 H.) mengatakan: “Tawakal merupakan kondisi jiwa
seseorang yang lahir dari keyakinan tawahid; tawhid itulah yang mempengaruhinya
dalam bertindak”.
Al-Ghazali membagi tawakal atas tiga tingkatan, secara tamsilan, yaitu,
pertama, tawakal kepada Allah laksana seorang yang menyerahkan kekuasaan kepada
wakilnya dalam suatu urusan; kedua, tawakal kepada Allah seperti anak kecil
menyerahkan segala persoalan kepada ibunya; ketiga, tawakal kepada Allah laksana
mayat di tangan orang yang memandikannya.
Tawakal tingkat tertinggi ialah ketika orang bertawakal merasa bahwa hanya
Allah (al-wakil) Yang Maha Menentukan dan Maha Kuasa, sementara kekuasaan
makhluk tidak memberi bekas sedikit pun jika tanpa izin Allah.

F. Jiwa yang Jujur


Kata “jujur” meskipun telah menjadi tuturan sehari-hari, untuk tahu artinya,
harus dilihat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “jujur” artinya “lurus hati”,
“tidak curang”, dan “disegani”.
Dalam istilah keagamaan, jujur dianggap identik dengan kata al-shidqu, yang
makna aslinya, “benar”
G. Jiwa yang Amanah
Kata “amanah” berasal dari amina –ya manu –amnan –wa amanatan, yang
secara harfiah berarti aman. Dalam hal amanah terdapat tiga hal yang berhubungan:
pihak yang memberi amanah, hal yang diamanahkan, dan pihak yang menerima
amanah.
Amanah tidak hanya membutuhkan kejujuran, tetapi juga tekad yang teguh
unguk memelihara dan menjaga sebaik-baiknya segala apa yang diamanahkan
sehingga tetap terjaga dengan aman.
Jadi, jiwa yang amanah, menurut konsep Al-Qur’an, adalah jiwa yang tidak
hanya jujur tetapi juga teguh untuk mengemban kepercayaan yang diberikan
kepadanya, serta menyadari amanah yang diterimanya itu berasal dari Tuhan.
Tuhanlah yang hakekatnya mengangkat seseorang memperoleh kedudukan, derajat.
pangkat, jabatan dan apa pun dalam kehidupan dunia. Allah menyebutkan itu, lagi-
lagi dengan ungkapan kata Kami: “Kami tinggikan derajat siapa yang Kami
kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana. Maha Mengetahui”. (QS. al-
An’am/6: 83).
Dalam konsep Islam, mengkhianat suatu amanah berarti berkhianat kepada
Tuhan, sebab tak ada suatu amanah kecuali dari Allah.
Terdapat tiga kategori amanah. 1) amanah manusia dengan Tuhannya, 2)
amanah manusia dengan sesamanya, dan 3) amanah manusia pada dirinya sendiri.

H. Jiwa yang Syukur


Kata “syukur” berasal dari syakara –yaskuru –syuk(an). yang artinya “terima
kasih”. Namun, tidak sekedar ucapan di bibir, “terima kasih”.
Nikmat Allah yang diberikan kepada manusia tak terhingga, tak dapat
dikalkulasi, tak dapat dihitung. Firman Allah: “Sekiranya kamu menghitung nikmat
Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya. manusia itu
sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat).” (QS. lbrahim/14: 34); “Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.
Sungguh Allah benar-benar Maha Pengampun. Maha Penyayang.” (QS. al-Nahl/16:
18). Memang tak terhitung. Bahkan hidup dan mati kita juga termasuk nikmat, sebab
yang disebut hidup dan juga mati, dalam penegasan Al-Qur’an, ternyata
“dihidupkan” dan juga “dimatikan”. Tuhanlah Yang Menghidupkan dan Yang
Mematikan (yuhyi wa yumitu). Jadi, hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia
pastinya juga nikmat dariNya. yang juga wajib disikapi oleh jiwa, yaitu syukur.
Mensyukuri nikmat harta dengan mengeluarkan zakatnya sungguh melegakan
jiwa.
Begitu pula jiwa si miskin akan mencetuskan rasa terima kasihnya kepada
Allah: “Terima kasih ya Allah, meskipun Engkau takdirkan kami miskin, tetapi
ternyata Engkau titipkan rezeki dariMu kepada saudaraku si kaya.

I. Jiwa yang Cerdas


Istilah “cerdas” lazimnya dinisbahkan pada akal, karena akal yang memiliki
sifat itu, yakni akal yang cerdas (al-‘aqlal-dzakiy).
Jiwa yang cerdas adalah jiwa manusia yang menjadi inspirator lahirnya
tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi serta menghindari
impuls yang meledak-ledak.
Untuk mencapai keberhasilan dalam kehidupan, terdapat ciri-ciri lain, yang
berhubungan dengan jiwa yang cerdas, kecerdasan emosional.
Tentang kecerdasan emosional yang dimiliki Rasulullah, Al-Qur’an
menggambarkan dengan gamblang dan jelas: “Sunggun, telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri, (yang memiliki empati) berat terasa o/ehnya
penderitaan yang kamu a/ami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, lagi penyantun dan penyayang terhadap orang-orang
beriman”. (QS. al-Taubah/9: 128).
Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti
kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai
kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka.

J. Jiwa yang Berani


Dalam Al-Qur’an, keberanian atau rasa tidak takut atau rasa aman muncul
sebagai buah dari iman yang rasa aman. Orang yang imannya mantap cenderung
berani dan tidak terlanda oleh rasa cemas dan takut. Sifat berani yang diidealkan
adalah berani dalam membela dan menegakkan kebenaran.
Karena itu, banyak penegasan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang betul-betul
beriman tidak akan merasa takut, dan tidak pula merasa kuatir (QS. Al-An’am/6: 48).
Maka bergembira dan berbahagialah orang yang dari jiwanya telah hilang rasa
takut. Tidak mungkin seseorang mengembangkan keberanian kalau jiwanya masih
diliputi atau dibelenggu rasa takut, sebab rasa takutlah yang menghalangi seseorang
bersikap berani. Rasa takutlah yang menjadi penyekat bagi setiap orang untuk
bertindak berani.
Sikap ini juga akan berdampak luas dan banyak sekali dalam kehidupan.
Antara lain kita akan menjadi manusia penuh rasa percaya diri (self convidence).

K. Jiwa yang Optimistis


Jiwa yang optimistis adalah jiwa yang selalu mendorong keberhasilan yang
benar dihadapan kita, dengan perasaan serba menjanjikan. Jiwa optimistis adalah jiwa
besar dengan berpikir positif.
Inti dasarnya, optimis berarti memandang kehidupan serba cerah dan penuh
harapan.
Al-Qur’an sangat melarang putus asa. Itu berarti Al-Qur’an melarang sikap
pesimistik. Kalau Al-Qur’an melarang pesimisme berarti sebaliknya Al-Qur’an
menganjurkan optimisme. Itu pasti. Larangan Al-Qur’an: “Dan jangan kamu
berputus asa dan kemungkinan memperoleh pertolongan Allah. Sesungguhnya yang
berputus asa dan pertolongan Allah, hanyalah orang-orang yang mengingkari
(kekuasaan) Allah”. (QS. Yusuf/12: 87).
Pada akhirnya, jiwa optimistik adalah jiwa orang beriman. Orang yang
beriman kepada Allah adalah orang kuat. Atau begitulah seharusnya, kuat batin dan
jiwanya, sehingga ia tidak pernah gentar menghadapi hidup, dengan berbagai
cobaannya.
Jadi iman yang kuat menghasilkan rasa optimistik di jiwa. Tidak adanya
harapan merupakan indikasi kurangnya iman. Orang yang tidak berpengharapan,
pesimis, adalah orang yang tidak menaruh kepercayaan kepada Allah.

L. Jiwa yang Pemurah


Kata “pemurah” dalam Kamus Umum. artinya “suka memberi”; “tidak pelit”.
Jiwa yang tidak pelit, yakni jiwa yang tidak menyebabkan terjadinya sikap pelit, alias
kikir.
Allah swt berfirman: “Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Mereka yang banyak dan besar infak
dan sedekahnya, semakin makmur dan sejahtera saja hidupnya. Allah swt yang
membuatnya demikian, karena ia telah menyatakan: “Perumpamaan orang yang
menginfakkan hartanya dijalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh
bulir. Pada setiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia
kehendaki; dan Allah Maha Luas (bantuanNya). lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah/2: 261).
Contoh teladan kepemurahan yang ideal tidak lain ialah rasulullah saw, yang
telah tampil dalam kehidupan, dengan contoh teladan yang bagus. Semua
kecemerlangan dan sifat-sifat kepribadian yang hebat terpadu dalam kepribadiannya.

M. Jiwa yang Tobat


Kata “tobat” berasal dari bahasa Arab, “taubat”, al-taubah. Menurut
pengertian syara’, melepaskan diri (al-takhalliy) dari segala perbuatan maksiat dan
dosa, dengan jalan menyesali (al-nadm) semua dosa yang telah dilakukan serta
bertekad kuat (al-‘azmu) untuk tidak melakukan kembali perbuatan dosa/maksiat
pada waktu-waktu selanjutnya. Tegasnya.
Jiwa yang tobat adalah jiwa yang secara kuat mendorong pemiliknya
melakukan upaya konkrit untuk segera berada kembali di jalan Tuhan dengan
ketaatan yang sebenar-benarnya dan dengan kesadaran yang penuh untuk tidak lagi
berada di jalur berbuat maksiat dan dosa.
Dalam dunia tasawuf. tobat (al-taubah) merupakan tangga (maqam) pertama
dari sejumlah maqam yang harus ditempuh oleh seseorang muslim yang ingin
menempuh jalan atau kehidupan sufi.
N. Jiwa yang Takwa
Kata “yang takwa” setelah kata “jiwa” merupakan sifat yang positif dan
melekat pada jiwa, sehingga jiwa yang takwa kualitasnya sangat berbeda dari jiwa-
jiwa yang lain yang tidak takwa.
Selanjutnya untuk memahami jiwa yang disifati dengan takwa perlu dilihat
apa sebenarnya takwa itu. Makna generic kata “taqwa” tidak terpisah dari makna akar
katanya. Akar kata “taqwa” adalah waqaa-yaqii— wiqaayah, yang artinya
“memelihara” atau “menjaga”. Bentuk perintahnya qi yang artinya “peliharalah” atau
“jagalah”. Misalnya, Allah berfirnan: Yaa ayyuhalladzina aamanuu quu anfusakum
wa ahliikum naar (an) (Hai orang-orang yang beriman. jagalah dirimu dan
keluargamu dari (siksa) api neraka) (QS. AI-Tahrim/66: 6).
Secara terminologis, takwa diartikan “menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya” (imtitsalu awaamirillaah wa ijtinaabu nawaahiihi).
Melalui takwa, kita menyadari kehadiran Allah dalam hidup. Inti takwa adalah
kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita.

O. Jiwa yang Ihsan


Jiwa yang ihsan adalah jiwa yang tunduk kepada Tuhan dengan sepenuh
ketundukan. sehingga amal-amal ibadat yang dikerjakan selalu diserahkan kepada-
Nya karena ia disadari selalu melihatnya.
Kata ihsan adalah bahasa Arab, berasal ahsana—yuhsinu—ihsanan yang
artinya “membaguskan.” Kata hasuna artinya “bagus”, sedangkan ahsana—ihsan(an)
artinya membaguskan amal. Boleh jadi, amal yang dilakukan sudah bagus, tetapi
tetap ditingkatkan kebagusannya sehingga semakin bertambah bagus, baik yang
berkenaan dengan teknis, maupun yang berhubungan dengan apresiasi jiwanya.
Ihsan adalah segala usaha/upaya seorang mukmin untuk membaikkan amalnya
seraya ia merasa dan meyakini Tuhan melihat dirinya sewaktu melakukan perbuatan
itu.
Objek ihsan sesungguhnya tidak terbatas pada masalah ibadat dalam arti yang
sempit, tetapi meliputi semua human activities (aktivitas manusia) yang luas, ritual,
social, dan hidup secara bermoral.
Perbuatan ihsan kepada kedua orang tua sangat diperintahkan, terutama ketika
keduanya sudah berusia lanjut. Ketika keduanya berumur lanjut, seorang anak diberi
taklif (beban kewajiban) untuk melaksanakan lima hal sebagai realisasi perbuatan
ihsan, yaitu 1) tidak mengucapkan kepada keduanya perkataan kasar (uff, ah, dll.).
2) tidak membentak mereka. 3) mengucapkan perkataan yang mulia (dengan nada
memuliakan), 4) merendahkan hati dan diri di hadapan keduanya karena semata-mata
kasih-sayang, dan 5) mendo’akan keduanya agar mendapatkan curahan rahmat Allah
SWT (QS. al-Isra717: 23-24).
Manfaat bagi orang yang berbuat ihsan dalam kehidupannya, yaitu:
a. Orang yang berbuat ihsan memperoleh kebaikan di dunia dan di
akhirat (QS. al-Nahl/16: 30).
b. Orang yang berbuat ihsan memperoleh surga (QS. Al-Maidah/5: 85).
c. Orang yang berbuat ihsan akan memperoleh rahmat Allah swt (QS. al-
Araf/7: 56).
d. Orang yang berbuat ihsan mendapatkan hidayah Allah (QS.
Luqman/31: 3-5).
e. Orang yang berbuat ihsan memperoleh keberuntungan (QS.
Luqman/31: 5).
f. Orang yang berbuat ihsan memperoleh ampunan Allah terhadap dosa
dan kesalahan yang dilakukan di dunia.
g. Orang yang berbuat ihsan mendapatkan pahala dari Allah.
h. Orang yang berbuat ihsan mendapat hikmat dan ilmu dari Allah (QS.
Yusuf/12: 22).
Ihsan membuahkan hikmah, yaitu memberikan keuntungan kepada orang
yang melakukannya. Ihsan merupakan puncak kesempurnaan amal.

P. Jiwa yang Istiqamah


“Istiqamah” artinya taat asas atau teguh pendirian, tidak mudah terpengaruhi
oleh situasi yang berkembang, sehingga tetap pada apa yang diyakini sebelumnya.
Sikap jiwa yang teguh pendirian sangat penting dalam segala aspek
kehidupan; dalam berkeyakinan, beragama, belajar, berkarir, berumah tangga,
berbisnis. Tegasnya, istiqamah perlu diterapkan dalam semua bentuk perjuangan
manusia. apabila perjuangannya ingin berhasil.

Q. Jiwa yang Bahagia


Kata “bahagia” adalah terjemahan dari bahasa Arab “al-sa’adah”. yang
dalam kamus artinya “bahagia”, “mujur”.
Jiwa bahagia adalah jiwa yang merasakan suasana baik dan menyenangkan,
serta menggembirakan, dimana segala yang diraih dalam kehidupan sesuai dengan
keinginan.
Ditemukan dalam surah Hud/11, ayat 108: “Dan adapun orang-orang yang
berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga. Mereka kekal di dalamnya selama
ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai
karunia yang tidak putus-putusnya”.
Dari ayat tersebut dapat dimengerti bahwa yang namanya al-sa’adah
(kebahagiaan) adalah suasana sangat menyenangkan, yang dirasakan penghuni
syurga.
MENGHIDUPKAN HATI
A. Menghidupkan Hati
Tidak semua orang yang beragama hatinya betul-betul hidup. Ada di
antaranya yang hatinya mati, seolah-olah tidak berisi apa-apa. Hati disebut mati,
karena tidak mampuh mendorong lahirnya tindakan-tindakan ruhaniah yang lazimnya
muncul dari hati yang telah beriman kepada Tuhan.
Salah satu pertanda manusia hatinya mati ialah bahwa hatinya tidak
mempunyai perasaan, tidak peka atas keadaan yang melingkupi, sehingga banyak
tertawa; meskipun seharusnya tidak demikian. Harus ada perhatian terhadap
lingkungan, terhadap keadaan yang berkembang. Upaya menghidupkan hati yaitu
dengan mendinamisasi iman yang ada dalam hati, atau menghadirkan kembali
kedalamnya, dengan menghidupkan kembali kesadaran agama yang telah ditanamkan
Tuhan, atau singkatnya dengan mengamalkan ajaran-ajaran agama dari tuhan.
Iman dinamis yaitu keyakinan yang dengan kuat mendorong lahirnya
tindakan-tindakan positif. yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat. Tindakan-tindakan demikian itulah yang membuktikan adanya iman,
keyakinan, yang berarti adanya hati yang memuat iman itu memang hidup.

B. Mengembangkan Hati dalam Jiwa


Perkataan “cinta” berasal dari bahasa Al-Qur’an al-hubb atau mahabbah, yang
artinya “cinta dan kasih saying”.
Orang yang punya hati (kalbu) pasti merasakan cinta. Cinta adalah perasaan
yang dimiliki semua orang yang hidup.
Menurut Al-Qur’an, dan juga hadits, seorang Mukmin mestilah
mengembangkan cintanya untuk Allah dan RasulNya, karena Dialah yang telah
memberi segalanya dan berbuat sesuai dengan keputusanNya yang terbaik bagi
hambaNya. Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang beriman (tentunya) lebih
besar cintanya kepada Allah”. (QS. al-Baqairah/2: 165).
Allah sendiri menghendaki, kalau benar-benar beriman semestinya seorang
Mukmin (Mukminah juga) meletakkan prioritas cintanya untuk Allah dan Rasulullah.
Setelah cinta kepada Allah dan rasulNya, silahkan cinta kepada yang lain: ayah,
putera/i, saudara kandung, kerabat terdekat, kekayaan, perdagangan, tempat tinggal
yang bagus, atau yang lainnya, seperti cewek/cowok yang diidamkan.
Jatuh cinta kepada selain Allah, haruslah dilandaskan cinta kegada Allah,
karena kalau tidak, akan mendatangkan, penyimpangan yang berbahaya. Cinta kepada
selain Allah yang tidak berlandaskan cinta kepada Allah, akan tak terarah. Bahkan
akan tersungkur ke jurang pelanggaran, yang berujung kerugian dan penyesalan.
“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohon
kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan
mampu menghitungnya...” (QS. Ibrahim/14: 34).
Cinta kepada Allah dengan berbagai konsekwensinya merupakan sesuatu yang
niscaya, tidak boleh tidak, sehingga upaya pengembangan hati menuju cinta kepada
Allah pastinya merupakan upaya terpuji dan mulia. Hasilnya berupa kualitas cinta di
hati yang berujung pada ketaatan yang tinggi kepadaNya.

C. Membuka Hati agar Dekat dengan Allah


Membuka hati untuk beriman merupakan syarat mutlak untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Tanpa kerelaan diri membuka hati, mustahil seseorang bisa dekat
dengan Allah, karena hakekatnya ia tidak beriman kepada Allah belum masuk dalam
kalbunya.
D. Menghilangkan Penyakit Hati
Hati yang kita miliki harus dijaga dari berbagai penyakit yang sangat
merugikan, dan wajib dijaga dengan sebaik-baiknya agat cahaya Ilahi disana
ditempatkan, yakni iman. Iman yang akan membawa kita memperoleh rahmat dan
ridhoNya wajib kita jaga dan suburkan.
Demi kesehatan hati, yang sekaligus kesehatan si mukmin secara keseluruhan,
mukmin wajib menghilangkan penyakit-penyakit hatinya yang antara lain syirik,
sikap ragu (al-syakk), sombong (al-kibr), iri, dengki (al-hasad), ‘ujub, merasa diri
besar (istikbar), pengecut (al-jubn), bakhil/pelit (al-syuhh), nifaq (kemunafikan), dan
lain-lain penyakit hati yang mengindikasikan lemahnya keyakinan/iman.

E. Menjaga Hati dari Gangguan Setan


Yang dimaksud dengan “Menjaga Hati” tentulah menjaga atau memelihara
apa yang bertahta di dalamnya, yakni iman.
Termasuk dalam faktor gangguan internal pada manusia ialah keinginan-
keinginan rendahnya yang sering mendorong manusia berbuat durhaka kepada Tuhan.
Allah SWT. Sedangkan yang termasuk faktor gangguan eksternal antara lain adalah
setan.
Kitab suci Al-Qur’an secara berulang menyebutkan. “Sesungguhnya setan
bagi manusia merupakan musuh yang nyata”. (QS. Yusuf/12: 5; Al-lsra’/17: 53:
Fathir/35: 6).
Kita diperintah Allah SWT untuk memohon perlindungan: “Katakanlah
(Muhammad, dan juga umatnya), Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Maha
Raja Manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (gangguan) setan yang
tersembunyi: yang membisikkan (kejahatan) ke dalam hati manusia; yaitu dari
(golongan) Jin dan manusia”. (QS. Al-Naas/114: 1-6).
Menjaga hati dari hal-hal yang dapat mengotori berarti kita berupaya
maksimal untuk menjauhkan diri dari tindakan-tindakan maksiat, munkarat, dan
segala perbuatan jahat.
F. Membersihkan Hati dengan Dzikrullah
Proses upaya pembersihan hati/diri tentu terkait dengan proses peningkatan
kualitas diri manusia Mukmin, yaitu al-Takhalliy, al-Tahalliy, dan al-Tajalliy milik
sufisme Islam.
Takhalliy adalah proses pengosongan/pembersihan diri dari bekasan-bekasan
kedurhakaan dan pengingkaran (dosa) atau dari berbagai penyakit kronis hati, dengan
jalan melakukan tobat Tahalliy merupakan proses pengisian diri dengan dzikrullah.
Tajalliy merupakan tahapan di mana Allah menampilkan diri seluas-luasnya
kepada hamba yang dikehendakinya.
Tahap pembersihan diri, secara khusus mempunyai tujuan untuk dapat
mengenali, menguasai, dan membersihkan diri (hati) dari sifat-sifat, cara berpikir,
kebiasaan buruk, dan bekasan-bekasan negatif (termasuk dosa) yang sudah melekat
pada diri seseorang.
Hati yang senantiasa melakukan dzikrullah laksana sebidang tanah pertanian
yang selalu disirami dengan air bersih dan diberi pupuk kandang/urea, tentu akan
menjadi kawasan yang subur dan menghasilkan tanaman yang indah dan bersih.

G. Hati yang Bersih dalam Sejarah


Menurut pandangan Al-Qur’an, tidak hanya Nabi Muhammad saw satu-
satunya yang menjadi uswah hasanah, tetapi juga Nabi-Nabi yang lain yang kisahnya
diungkapkan Allah,
“Sungguh, pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) terdapat teladan yang
baik bagimu sekalian; (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (pahala) Allah dan
(keselamatan pada) hari kemudian...” (QS. al-Mumtahanah/60: 6).
Dengan demikian berarti dalam kisah-kisah para Nabi terdapat teladan yang
baik dan terdapat pelajaran yang amat berharga bagi siapa pun yang hendak
mengambil pelajaran darinya. Dalam kisah-kisah itu tentu termasuk kisah Nabi
Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Ayyub, Nabi Isa, dan tidak kalah pentingnya
kisah Nabi Ibrahim as.
Nabi Ibrahim betul-betul mempercayai dan mengimani Allah dengan hati
yang bersih; bersih dari syirik dan segala kotoran/penyakit hati. Tegasnya, menurut
Ibn al-jawziy. istilah qalbun salim maksudnya adalah bersih dari:
a. Syirik (menyekutukan Allah);
b. Keraguan (al-Syakk);
c. Kemunafikan, dusta, bohong. dan khianat;
d. Hatinya sarat dengan rasa takut kepada Allah;
e. Malapetaka dan kekacauan masalah harta dan anak;
f. Berbagai penyakit hati. baik yang besar tingkat keburukannya maupun
yang ringan.
Singkatnya, Nabi Ibrahim as mengikhlaskan hatinya kepada Allah dengan
sepenuhnya. Dalam kata lain, Nabi Ibrahim memiliki iman tauhid yang sempurna.
Kalau di dunia, seseorang telah memiliki hati yang bersih, maka ketika
menghadap Tuhan di akhirat, ia menghadapNya dengan hati yang bersih itu.

H. Mewaspadai Bolak-Balinya Hati


Kondisi hati itu tidak tetap, tetapi bergolak dan selalu berubah, selalu dalam
keadaan fluktuatif. Keadaan hati yang bolak-balik perlu memperoleh kewaspadaan
yang serius dalam rangka memperoleh hasil akhir (final) yang menguntungkan dalam
arti mencapai husn al-khatimah (akhir yang baik) bukan su’u al-khatimah (akhir yang
buruk). Hati kita terkadang condong pada iman, di lain waktu bahkan condong pada
kekafiran.
Jika iman diutamakan oleh seorang Mukmin, ia akan mendapatkan nikmat dan
manisnya iman. Jadi, iman itu nikmat. Rasulullah saw bersabda: “Ada tiga perkara,
siapa yang betul-betui memiliki tiga perkara itu, maka ia akan merasakan manisnya
iman, yaitu:
1. Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya;
2. Ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah semata;
3. Dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke
neraka.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

I. Hati yang Bersih akan Menerima Rahmat Allah


Term “Hati yang Bersih” ditemukan dalam Al-Qur’an dengan istilah qalb(un)
salim(un), (hati yang bersih dan sehat).
Orang yang dating dengan hati yang bersih itulah yang akan memperoleh
surga. Oleh karena itu surga didekatkan (uzfilat) kepada orang-orang yang taqwa
(yang sudah tentu hatinya bersih). (QS. al-Syu’ara/26: 90).
Hati yang bersih (qalbun salim) yang amat penting dalam memasuki surga itu
adalah hati yang bersih dari:
1. penyakit syirik;
2. penyakit kufur;
3. penyakit nifaq (yang di dalamnya dusta, khianat, ingkar janji);
4. penyakit ragu (al-Syakk);
5. penyakit sombong (al-Kibr);
6. penyakit dengki (al-Hasad);
7. penyakit iri;
8. penyakit kikir (al-Syuhh);
9. penyakit pengecut (al-Jubn);
10. penyakit buruk akhlak; dan
11. penyakit-penyakit lainnya yang menggambarkan kelemahan iman, misalnya, al,
cinta dunia (hubb al-dunya’), yang secara bersamaan merupakan akhirat.
Untuk memperoleh kasih-sayang (rahmat) dan cinta/hubb Allah SWT, yaitu
yang berikut;
a) Meraih Rahmat Allah
Dalam sabdanya yang lain, Nabi menerangkan. Kata beliau: “Orang-
orang penting/terhormat umatku tidaklah masuk surga dengan sebab banyaknya
salat dan juga banyaknya puasa, tetapi yang menyebabkan mereka masuk surga
adalah karena hati yang salim (bersih), kedermawanan jiwa, dan karena sifat
rahmat dan kasih sayang mereka kepada kaum Muslimin.” (al-Hadits, dalam
kitab Mukasyafat al-Qulub).
b) Meraih Cinta Allah
Untuk meraih cinta Allah (hubb Allah), kita mesti mengembangkan cinta
kita kepada Allah. Al-Qur’an memberi arahan: “Katakanlah (Muhammad), jika
kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran/3:
31).
Untuk meraih keduanya (Rahmat dan CintaNya) di samping upaya
sungguh-sungguh membersihkan hati, manusia pun harus berusaha menunjukkan
kemampuan secara nyata mengembangkan kasih sayang kepada sesama manusia
dan makhluk pada umumnya dan mengembangkan cintanya kepada Allah dengan
jalan ittiba’ al-Rasul (mengikuti dan meneladani cara hidup Rasulullah).

PESAN MEMBUMIKAN AL-QUR’AN


A. Al-Qur’an Hidayah Allah
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat yang diturunkan
olehNya kepada manusia. melalui Jibril, dengan perantaraan rasul terakhir
Muhammad, berfungsi utama sebagai petunjukNya bagi manusia. Firman Tuhan :
“Turunnya Al-Qur’an itu tidak ada keraguan di dalamnya, (yaitu) dari Tuhan
seluruh alam” (QS. Al-Sajdah/32: 2).
Fungsi utama sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia dalam mengelola
hidupnya di dunia secara baik, rahmat untuk alam semesta, pembeda antara yang hak
dan yang batil, juga sebagai penjelas terhadap segala sesuatu, akhlak, moralitas.

B. Al-Qur’an Suatu Kekayaan Sempurna


Firman Allah: “...Dan Kami turunkan kitab (AI-Qur’an) kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi
orang yang berserah diri”. (QS. Al-Nahl/16: 89).
Apa pun yang dibutuhkan manusia dalam hidup dan kehidupannya ada dalam
Al-Qur’an. Berarti pula, Al-Qur’an semacam kekayaan yang sempurna yang
memenuhi segala kebutuhan manusia, dahulu, sekarang, dan nanti.
Yang terbaik bagi umat Islam ialah mengamalkan petunjuk Al-Qur’an, dengan
paling tidak menerapkan berbagai etik yang diajarkannya.
C. Akhlak Nabi Muhammad saw Al-Qur’an
Muhammad-lah yang menggerakkan pendidikan dan menganjurkan “mencari
ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Sebagai orang yang cinta damai, beliau memberi teladan kepada dunia untuk
diikuti.
Selama hayatnya, nabi telah melaksanakan tugas yang sangat berat. Yaitu
mempersatukan suku-suku bangsa Arab yang suka berperang, membentuk mereka
menjadi suatu kekuatan yang mendorong terciptanya revolusi terbesar dalam sejarah
umat manusia.
Seandainya, bukan karena petunjuk Allah (Al-Qur’an) sesungguhnya
Muhammad dalam kebingungan, seperti firmanNya: “Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, laluDia memberikan petunjuk”. (QS. Al-Duha/93: 7).
Bersamaan dengan penerimaan Al-Qur’an sebagai ajaran dan pedoman hidup,
yang telah dinyatakan selesai dan lengkap, dalam rangkaian pelaksanaan haji wada’
(perpisahan) yang terkenal itu. rasulullah menyampaikan wasiatnya, antara lain: “Aku
tinggalkan untuk kamu sekalian dua perkara penting, selagi kalian berpegang teguh
dengan keduanya, niscaya kalian tidak sesat, yaitu kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah
nabiNya. (HR. Bukhari & Muslim).

D. Kebahagiaan dan Kesengsaraan dalam Al-Qur’an


“kebahagian”, “kesengsaraan”. Dua hal ini merupakan realita yang terbentang
di hadapan mata setiap hari.
Al-Qur’an dengan tegas membantah anggapan yang demikian, Rasul disuruh
menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu tidak datangkan untuk menyusahkan atau
membawa kesengsaraan. “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
(Muhammad) agar engkau menjadi susah: melainkan sebagai peringatan bagi orang
yang takut (kepada Allah)”. (QS. Thaha/20: 2-3). Bahkan, dijelaskan lebih lanjut misi
kedatangan Rasul mengantarkan Al-Qur’an semata-mata merupakan rahmat bagi
semua (QS. al-Anbiya’/21: 107).
Al-Qur’an secara bertahap mendidik mereka untuk dapat memahami nilai
kebahagiaan yang hakiki.
Konsep Sa’aadat al-Daarain
Konsep kebahagiaan (sa’aadah) yang berkesinambungan dari alam yang satu
ke alam yang lain atau dari alam dunia ke alam baqa’ (al-daarain) bertitik tolak dari
ajaran Islam tentang kehidupan itu sendiri.
Ajaran Islam memperkenalkan adanya dua jenis “kehidupan”. Pertama, yaitu
kehidupan manusia di bumi yang sangat terbatas ruang dan waktunya, yang dikenal
dengan kehidupan di alam dunia (al-hayaat al-dun-yaa).
Kedua, yaitu kehidupan di alam akhirat yang mutunya lebih tinggi karena
tidak terbatas dan kekal abadi sifatnya; segala kenikmatan yang ada di dalamnya
sempurna.
Al-Qur’an adalah Sangat realistik membicarakan perikehidupan manusia dan
keberadaannya dalam realita alam dunia (‘alam al-syahaadah).

E. Upaya Membumikan Al-Qur’an dalam Kehidupan Keseharian I


Pada zaman Nabi, umat Islam lebih banyak mengandalkan hafalan Al-Qur’an
dibandingkan dengan penulisannya. Al-Qur’an disampaikan oleh Nabi saw dan
dihafal oleh para sahabat.
Ketika Nabi saw wafat, atas usul sahabat Nabi Sayyidina Umar ra, maka
Sayyidina Abu Bakar ra memerintahkan agar naskah-naskah yang ditulis dihadapkan
Nabi saw itu dikumpulkan kembali.
Al-Qur’an yang disebarkan pada masa Usman ra ditulis dengan apa yang
kemudian dikenal dengan Rasem Ustmany.
Alhasil Al-Qur’an sangat terpelihara otensititasnya. Bagi umat Islam,
keontetikan Al-Qur’an tidak saja berdasar fakta-fakta sejarah yang sangat
meyakinkan, tetapi juga karena adanya jaminan pemeliharaan Allah, sesuai
firmanNya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr/15: 9). Dari sini kita
dapat berkata bahwa jenis AI-Qur’an hanya satu tidak ada jenisnya yang lain.

Keluwesan Al-Qur'an dan Kekenyalan Al-Qur'an


Al-Qur’an Al-Karim sekali menunjuk dirinya dengan kata dzalika/itu dan
dikali lain dengan kata hadza/lni ketinggian kedudukannya sedang yang kedua
tentang kedekatannya kepada manusia.
Keluwesan/fleksibilitas ajarannya itulah yang mampu menjadikannya sesuai
dengan perkembangan positif masyarakat kapan dan dimana pun. Itu antara lain
karena:
1. Al-Qur’an memperkenalkan dua macam nilai ajarannya. Pertama langgeng tidak
berubah dan ada juga kenyal/fleksibel, kedua praktis, lokal dan temporal.
2. Al-Qur’an tidak menekankan bentuk-bentuk formal menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
3. Al-Qur’an memperkenalkan apa yang dinamai ijtihad, yakni upaya sungguh-
sungguh untuk menemukan hukum/tuntunan agama melalui dalil-dalil Al-Qur’an
dan sunah.
4. Al-Qur’an dan sunah memperkenalkan apa yang dapat dinamai “Hak Veto”.
Kaitan Al-Qur’an dan penafsirannya, terdapat sekian banyak persoalan yang
pernah dipertanyakan oleh ulama masa lalu dan mereka bertawaqquf.

F. Upaya Membumikan Al-Qur’an dalam Kehidupan Keseharian II


Al-Qur'an adalah wahyu llahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan
• Al-Qur’an diturunkan untukdijadikan petunjuk.
• Nilai-nilai dasar Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia.
• Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan.
• Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains
modern, sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam.

Al-Qur’an Bukan Kitab Antik


• Al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan,
• Al-Qur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental.
• Seolah-olah nilai-nilai Al-Qur’an yang diaddresskan untuk manusia berhadap-
hadapan dengan realitas itu.
Perbedaan Metode Ilmu Al-Qur’an dan llmu Sosial
Penafsiran Al-Qur’an sebagai bagian dari ilmu agama bertolak dari perspektif
transendental, ilmu-ilmu sosial beranggapan segala sesuatu harus dapat diterangkan
secara rasional.

G. Upaya Membumikan Al-Qur’an dalam Kehidupan Keseharian III


“Membumikan Al-Qur’an adalah agar Al-Qur’an yang merupakan pesan dari
langit, hidayah Allah swt, betul-betul dibuktikan oleh manusia yang tinggal di bumi
sebagai pedoman hidupnya (way of life).
Kitab suci umat Islam ini, sejak di kodifikasi pada masa Utsman Ibn Affan
(khalifah ketiga) hingga kini, masih terjaga orisinalitas dan otentisitasnya.
Keaslian Al-Qur’an al-karim diyakini berbeda dengan keaslian kitab suci lain.
Kitab suci lain, ada yang ditegaskan oleh Al-Qur’an sebagai kitab yang ditulis
oleh mereka yang melakukan intervensi, perubahan-perubahan dan memasukkan hal-
hal yang dipandang mengandung hypocrifat (keraguan).
“Maka celakalah orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka
(sendiri), kemudian berkata, “ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk menjualnya
dengan harga murah. Celakalah mereka, dan celakalah mereka karena apa yang
mereka perbuat.” (QS. Al-Baqarah / 2: 79).
Kebangkitan atau kemajuan umat Islam, sangat bergantung pada sejauh mana
mereka berpedoman dan berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran,
aturan-aturan, etika-etika dan norma-norma Al-Qur’an.
Melalui jalur pemahaman atau penafsian Al-Qur’an dipandang akan memakan
waktu sangat lama, maka ada cara lain, yaitu meniru bangsa-bangsa yang telah maju.
Bangsa-bangsa Eropa Mereka mencapai kemajuan-kemajuan di segala bidang.
Etika-etika baik yang mereka telah budayakan dalam kehidupan, antara lain,
kejujuran dan keterpercayaan.
Sebaliknya, ternyata umat Muslim di mana-mana mengalami kemunduran
disebabkan karena mereka tidak lagi berpegang pada Al-Qur’an.
Petunjuk Al-Qur’an tidak hanya menyangkut ajaran ibadat/ritual semata, dan
tidak hanya tentang keyakinan (keimanan), tetapi juga meliputi banyak sekali aspek
kehidupan manusia yang luas.
“Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, jangan kamu ikuti
jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. A-
An’am/6: 153). Menurut tafsir, penegasan ayat ini menerangkan bahwa Rasulullah
saw diperintahkan untuk menjelaskan kepada manusia bahwa Al-Qur’an yang
mengajak ke jalan Tuhan, mendorong mereka agar mengikuti Al-Qur’an, demi
kepentingan hidup mereka, karena Al-Qur’an adalah pedoman dan petunjuk dariNya
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhaiNya (Al-Qur’an dan
Tafsirnya, Depag RI, Jilid III. hal.274).

Anda mungkin juga menyukai