PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai manusia aspek fisik, menarik. Demikian pula berbicara
mengenai aspek dalam, terutama berkaitan dengan upaya membenahi bagian ini, tidak
kurang menariknya. Justru bagian dalam manusialah yang menjadi sasaran utama,
diturunkannva agama.
Alexis Carrel menjelaskan tentang kemusykilan untuk mengetahui tentang
hakekat manusia. Bahwa pengetahuan manusia tentang makhluk-makhluk hidup
umumnya dan manusia khususnya belum laga mencapai kemajuan seperti yang telah
dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Sungguh pun begitu manusia telah
mencurahkan segenap perhatian dan usaha yang sangat serius untuk mendalami telah
cukup banyak hasil pengkajian dan penelitian para ilmuwan, tetapi ternyata manusia
itu hanya baru mampu mengetahui beberapa segi saja dari dirinya.
Keterbatasan kemampuan manusia adalah menjawab pertanyaan yang
diajukan para ahli masih tetap tanpa jawaban tuntas disebabkan oleh 3 hal :
Pertama, bahwa pembahasan tentang manusia agak terlambat dilakukan,
karena pada mulanya perhatian manusia lebih tertuju pada penyelidikan tentang
alam materi. Kedua, ciri khas akal manusia yang lebih tertarik dan cenderung
memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal yang
dinyatakan oleh Bergson, tidak mampu mengetahui hakekat hidup. Ketiga, karena
multikompleksnya masalah-masalah manusia.
Terkait dengan penjelasan di atas, Allah berfirman dalam hal ini: “Mereka
bertanya kepadamu (Muhmmad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan
Tuhanku. Sedangkan kamu diberikan pengetahuan (Tentangnya) hanya sedikit”. (QS.
Al-Isra’/17:85).
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada
arti manusia, yaitu basyar, al-nas, bani adam atau dzurriyati adam, dan al-insan.
Semua istilah itu diindonesiakan dengan arti “manusia”.
Pertama, kata “basyar” yang dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 36 kali,
umumnya mengandung makna “manusia” sebagai makhluk fisikal-biologis, yang
biasanya berhubungan dengan kebutuhan makan dan minum, kebutuhan biologis, dan
persebarannya dalam konteks mecari makan dan perjodohan.
Ilmu Antropologi mencatat, persebaran manusia yang disebut nomaden,
bertujuan untuk mencari makan atau perjodohan.
Kedua, kata “al-nas” dalam Al-Qur’an digunakan dengan konotasi sebagai
makhluk social, makhluk yang menurut realitas kehadirannya dalam kehidupan,
berkecenderugan hidup berkelompok, bermasyarakat dan berbangsa. Firman-Nya:
“Wahai manusia (al-nas), sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal”. (QS. Al-Hujurat/49: 13). Di ayat
ini, tampak jelas, kata al-nas digunakan dalam konotasi makhluk yang memang dari
kejadian wataknya cenderung berkelompok, menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Al-nas (Manusia), dengan demikian lebih mengesahkan makhluk
sosial.
Ketiga, kata bani adam atau dzurriat adam yang secara harfiah artinya “anak
keturunan Adam”, adalah untuk mengesankan bahwa manusia sebagai makhluk
intelektual. Nabi Adam merupakan seorang yang menerima pengajaran dari Allah.
Dia (Tuhun)-lah yang menyatakan: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-
nama objek semuanya..” (QS. al-Baqarah/2: 31). Keturunan Nabi Adam adalah
manusia yang memiliki bakat intelektual. Tegasnya, bani adam makna konotatifnya
adalah manusia dengan dimensi intelektual, mengingat mereka adalah keturunan
seorang intelektual, yakni Adam yang belajar berbagai objek yang banyak.
Keempat, kata al-insan, yang dalam kitab suci disebutkan sebanyak ±65 kali,
mempunyai makna konotatifnya pula, sesuai penggunaannya dalam sebagian ayat Al-
Qur’an, yang dalam hidupnya cenderung mendekatkan diri, dan berusaha menuju
Allah Tuhan Yang Maha Kuasa. Firman Allah dalam Al-Qur’an: “Wahai manusia
(al-insan), sesunqquhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu
akan menemuiNya”. (QS. al-Insyiqaq/84: 6). Firman-Nya pula di surah lain:
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia (al-insan) dalam paradigma tertinggi”.
(QS.al-Tin/95: 4).
Dari ayat-ayat tersebut dapat dilihat jelas, bahwa manusia dengan sebutan al-
insan mempunyai makna sebagai makhluk yang mendekatkan diri kepada Tuhan,
yang ditegaskan Allah, “maka kamu akan menemuiNya”.
Posisi manusia dalam paradigma kemakhlukan sebagai berikut:
Allah SWT
manusia
malaikat
makhluk hewan
makhluk tumbuhan
makhluk benda mati
Manusia adalah tertinggi posisi dan kedudukannya mengungguli makhluk-
makhluk yang lain. Hanya Allah SWT yang ada di atas manusia. Ini juga bermakna
bahwa al’insan (manusia) sebagaimana disebutkan surah al-Tin, adalah makhluk
spiritual, yang dekat dengan Allah swt.
Kebutuhan manusia sebagai makhluk spiritual ialah keinginan untuk berusaha
mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai mahkluk yang bersifat fisik, manusia sesungguhnya memerlukan
pembinaan yang baik. Pembinaan yang baik pastinya datangnya dari Tuhan. Karena
Dialah yang Maha Mengetahui ke arah mana dan bagaimana manusia itu diberi
pernbinaan.
Dari ayat-ayat tersebut, Al-Qur’an membina dan mengarahkan manusia untuk
mencari rezekinya di muka bumi, secara halal, dan tidak mengambilnya dengan batil.
Prinsip halal dan baik sangat ditekankan oleh Al-Qur’an.
Sebagai makhluk sosial, manusia juga sangat membutuhkan bimbingan, perlu
memahami kepribadian bagaimana yang perlu Muslim miliki, agar pergaulan dengan
sesamanya dalam bermasyarakat berjalan baik dan harmonis, serta sukses.
Sebagai makhluk biologis. Tuhan memerintahkan manusia menyalurkan
dorongan biologisnya melalui jalan pernikahan bukan mengikuti langkah syaitan
yang merupakan musuhnya. Tuhan berfirman: “Sungguh, syaitan itu musuh yang
nyata bagi manusia”. (QS. Yusuf/12: 5). Menyalurkan dorongan biologis dengan cara
di luar pernikahan yang dibenarkan agama, jelas mengikuti langkah syaitan itu,
semisal kumpul kebo, dan lain-lain.
Selanjutnya, sebagai makhluk intelektual-psikologis, manusia perlu
memahami jiwa qur’ani, yaitu jiwa yang menerapkan sitat-sifat baik yang diajarkan
Al-Qur’an, untuk kebaikan hidupnya.
Sebagai makhluk spiritual, yang memiliki hati nurani yang cenderung dekat
dengan Tuhan, manusia memerlukan penjelasan-penjelasan mengenai: menghidupkan
hati, mengembangkan hati dalam cinta, membuka hati agar dekat dengan Allah,
menghilangkan penyakit hati, membersihkan hati dengan zikrullah.
TENTANGA KEPRIBADIAN
A. Pengertian
“Kepribadian” adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris “personality” yang
pada mulanya berasal dari kata bahasa latin “per” dan “sonare” yang kemudian
berkembang menjadi kata “persona” yang berarti topeng.
Definisi yang umum dipergunakan tentang kepribadian: Personality is the
dynamic organization within the individual of those psychophysical system that
determine his unique adjustments to his environment (Kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang menentukan caranya yang
khas (unik) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya). (GW Allport,
Personality: A Psychological Interpretation, 1973, h.48)
Sebagai sistem psikofisik artinya bahwa kepribadian bukanlah semata-mata
faktor mental (kejiwaan), dan juga bukan semata-mata faktor fisik.
Oleh karena itu, kepribadian adalah sesuatu yang mendorong dan
mendinamisasi dilakukannya sesuatu. (Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian,
1986, h.240-241). Segala tindakan manusia, baik positif maupun negatif, tidak lepas
dari dorongan atau pengaruh kepribadiannya. Tindakan-tindakan manusia, pastinya,
merupakan refleksi dan manifestasi sifat-sifat kepribadiannya itu.
B. Pengembangan Kepribadian
Abraham Maslow menyebutkan bahwa seseorang dapat mengaktualisasikan
dirinya. Seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri sebelum ia mempunyai saran
yang cukup untuk memberi kepuasan terhadap tuntutan-tuntutan esensial seperti
pemuasan terhadap tuntutan fisiologis, rasa aman, afiliasi, pengakuan dan
penghargaan. Pribadi yang dapat mengaktualisasikan diri, sebagai mana
dideskripsikan Maslow, dapat dioperasionalkan sebagai berikut:
1. Dapat menerima dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitar.
2. Berpandangan realistic.
3. Banyak bersikap pasrah (pasif).
4. Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya, dll.
Karel Rogerz, menjelaskan ciri-ciri umum kepribadian seimbang yang
disimpulkan dari problem dan perjalanannya dalam proses produksi, yakni sebagai
berikut:
1. Bersikap terbuka, menerima berbagai pengalaman, dan
berusaha memahami perasaan-perasaan internalnya.
2. Hidup secara eksistensialistik, yakni memiliki kepuasan batin
bahwa tiap saat ia menginginkan pengalaman baru. Ini berarti
memiliki perasaan internal bahwa ia bergerak dan tumbuh.
3. Dalam struktur keanggotaannya, ia menemukan hal yang
dipercaya untuk mencapai tingkah laku yang paling banyak
memberikan kepuasan dalam tiap kondisi nyata.
Karen Horney berpendapat bahwa anak, jika belum memperoleh rasa cinta,
terkadang mengaktualisasikan potensi dan dominasi terhadap orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian. Horney membuat tabel tentang beberapa
kebutuhan untuk memecahkan problem kegoncangan hubungan manusia. Kebutuhan
ini disebut “nervousness”. Dinamakan demikian sebab merupakan pemecahan
(solusi) yang tidak logis terhadap masalah-masalah tersebut. kebutuhan-kebutuhan itu
adalah:
a. Kebutuhan akan cinta dan diterima orang lain, dengan
memuaskan orang lain dan memenuhi keinginan
mereka.
b. Kebutuhan akan mitra yang memikul tanggung jawab
pribadi. Orang seperti ini menghamburkan uang untuk
meraih kecintaan yang lain dan takut jika ia diasingkan
(terisolir).
c. Kebutuhan akan pengendalian diri dalam kehidupannya
dalam skala yang sempit. Dia puas dengan yang serba
sedikit. tidak mempunyai tuntutan apa pun. Lebih suka
merendah dan mengalah terhadap orang lain.
d. Kebutuhan akan kekuatan, yaitu senang berkuasa,
selalu unggul, tidak menghormati dan menghargai
orang lain, menggunakan daya pikir dan keunggulannya
untuk menguasai dan mengeksploitir yang lain.
Erich Fromm membatasi lima klasifikasi kepribadian manusia, sebagai
berikut:
Pertama, kepribadian yang selalu bersikap pasrah dan pasif. Ia yakin bahwa
apapun yang diinginkannya harus tercapai tanpa usaha atau kegiatan untuk
memperolehnya, dan harus diperolehnya dengan cara pasif dan pasrah. Dia merasa
kurang mampu dan condong kepada siapa saja yang memberinya kasih sayang.
Kedua, kepribadian Vasted Interest. Berusaha memperoleh segala sesuatu dari
orang lain baik dengan cara tipuan maupun kekerasan, dan menganggap semua orang
sebagai sasaran baginya. Perbedaannya dengan orang yang bersikap pasrah dan pasif
adalah orang yang vested interest selalu ragu, cemas, iri, cemburu dan selalu
meremehkan atau merendahkan orang lain.
Ketiga, kepribadian yang suka menyimpan bersifat lemah iman terhadap
setiap perolehan sesuatu dari luar. Kikir harta, pikiran dan perasaan, Baginya, cinta
adalah memiliki. Tidak mampu berpikir kreatif, tidak percaya pada “masa” depan
secara emosional sangat dipengaruhi masa lalu dan banyak berprasangka.
Keempat, kepribadian berorientasi pasar, Menyerupai kepribadian penjual.
Menurutnya, orang yang sukses adalah yang bernilai jual. Pada umumnya, perasaan
mereka kosong dan kacau.
Kelima, kepribadian produktif. Fromm berpendapat bahwa manusia bukan
saja makhluk berakal dan makhluk sosial, tetapi juga makhluk produktif. Untuk
hidup, ia harus berproduksi. Dengan mengeksplorasi akal dari daya imajinasi,
manusia dapat mengubah bahan mentah menjadi bahan produksi.
F. Kepribadian Qur’ani
Kepribadian Qur’ani adalah kepribadian (personality) yang dibentuk dengan
susunan sifat-sifat yang sengaja diambil dari nilai-nilai yang diajarkan Allah dalam
Al-Qur’an, sehingga bisa dibayangkan strukturnya terbangun dari elemen-elemen
ajaran Al-Qur’an itu.
Bila ditambah dengan penerapan nilai-nilai atau sifa-sifat yang diajarkan Al-
Qur’an tentulah semakin lengkap.
Nilai-nilai itu diterapkan dalam jiwa individu sedemikian rupa, sehingga nyata
menjelma menjadi sifat kepribadiannya. Nilai-nilai yang dimaksud harus melekat
menjadi warna jiwa, yakni, al.:
a. Jiwa yang beriman, adalah jiwa yang mendorong secara kuat lahirnya
perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, baik bagi individu maupun
masyarakat.
b. Jiwa yang Tenang (muthma’innah). yakni jiwa yang mempunyai
kecenderungan semakin dekat dengan Tuhan, penuh ridla dan diridlai,
senang bergabung dengan orang-orang salih, dan jiwa yang sesuai
sebagai calon penghuni syurga.
c. Jiwa yang Rela, yaitu jiwa yang puas dalam menerima segala
pembagian dan pemberian Tuhan, sehingga orang yang memilikinya
merasa kaya, puas dan berbahagia.
d. Jiwa yang Sabar, yaitu jiwa yang tekun dan bersungguh-sungguh
dalam mencapai cita-cita, sebab tiada keberhasilan yang luar biasa
selain suatu cita-cita yang diraih dengan kesabaran.
e. Jiwa yang Tawakkal, yaitu jiwa individu yang setiap kali melakukan
dan memperjuangkan sesuatu perbuatan, dipasrahkannya perbuatan
itu kepada Tuhan, dan penuh optimisme kepadaNya bahwa amal-
perbuatannya akan mendapatkan balasan dari padaNya.
f. Jiwa yang Jujur, yaitu jiwa yang mendorong tercetusnya penuturan
atau perbuatan secara jujur, sesuai kata hati, tidak terbesit untuk
berkata atau berbuat secara curang sehingga orang lain tidak
dirugikan.
g. Jiwa yang Amanah, yakni jiwa yang tidak hanya jujur, tetapi juga
teguh untuk mengemban kepercayaan yang diberikan kepada
individu, serta menyadari bahwa amanah yang diterimanya itu berasal
dari Tuhan.
h. Jiwa yang Syukur, yaitu jiwa yang menjadi sumber pendorong untuk
mengelola dan mentasarufkan segala yang dianugerahkan Tuhan
sesuai tuntunannya demi memperoleh keridlaanNya.
i. Jiwa yang Cerdas, yaitu jiwa manusia yang menjadi inspirator
lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan
mengasihi pihak/orang lain, serta menghindari impuls yang meledak-
ledak.
j. Jiwa yang Berani, yaitu jiwa yang mendorong sifat keberanian
(syaja’ah) dan tidak diliputi oleh rasa takut, sehingga tindakan hidup
individu dinamis, penuh rasa percaya diri dan sukses serta dengan rasa
aman.
k. Jiwa yang Optimistis, yaitu jiwa orang yang melihat kehidupan ini
penuh peluang dan harapan, sehingga melahirkan sikap jiwa yang
besar dan pikiran positif terhadap ke Maha Kuasaan Tuhan yang
selalu menjamin kebutuhan-kebutuhan hambaNya.
l. Jiwa yang Pemurah, yaitu jiwa yang mendorong untuk suka memberi,
menolong, dan membantu orang lain yang tidak lagi dikuasai oleh
sifat pelit yang merupakan suatu penyakit jiwa yang tidak baik untuk
kepentingan pergaulan hidup bersama.
m. Jiwa yang Tobat, yaitu jiwa yang setiap kali terjadi tindakan salah
menurut pandangan agama dan masyarakat, segera kembali ke jalan
kebenaran, dengan jalan menyesali tindakan salahnya, tidak
mengulanginya, secara lestari berencana melakukan kebaikan-
kebaikan, dan serta-merta meninggalkan kejahatan yang dilakukan.
n. Jiwa yang Takwa, yaitu jiwa individu yang dalam kehidupan ini
berkomitmen untuk secara sungguh- sungguh menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan buruk yang memang dilarang Tuhan, dan
melengkapinya dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkanNya.
Orientasi hidup yang paling utama adalah hidup bersih.
o. Jiwa yang Ihsan, yaitu jiwa yang senantiasa mendorong peningkatan
amal-amal lebih baik ketimbang sebelumnya dan setiap amal
dikerjakan seolah-olah Allah menyeksikan kinerja yang dilakukan.
Orientasi utamanya adalah peningkatan amal lebih berkualitas dan
bagus, seraya Tuhan diyakini menyeksikan perbuatannya itu.
p. Jiwa yang Konsisten (Istiqamah), yaitu jiwa yang selalu merasa sadar
untuk taat asas dan berpegang teguh pada apa yang diyakini, serta
berpegangan pada pedoman yang ada. Jika kebenaran agama yang
diyakini, maka agamalah yang dijadikan rujukannya. Jika Tuhan yang
diyakini sebagai sumber ajaran. maka tuntunan-Nyalah yang
diutamakannya.
q. Jiwa yang Bahagia, yaitu jiwa yang merasakan suasana baik,
menyenangkan, dan menggembirakan, dimana segala yang terjadi dan
dirasakan dalam kehidupan sesuai dengan keinginan yang ada.
Kemajuan dan perkembangan jiwa manusia ke arah tingkat yang semakin
tinggi, amat tergantung pada penerapan sifat-sifat yang mengikuti kata jiwa tersebut.
Sifat-sifat kepribadian Qur’ani dapat dibentuk melalui pembiasaan-
pembiasaan, dan amat tergantung pada kesungguhan pelatihan dan pembiasan diri
dengan sifat-sifat yang diajarkan Al-Qur’an itu. Pembiasaan diri itu tentu tidak
melahirkan hasil secara tiba-tiba, melainkan memakan waktu yang lama, bahkan
seseorang bisa jadi jatuh-bangun dalam menuju keberhasilan perjuangan membentuk
kepribadiannya itu, sesuai dengan yang diajarkan Al-Qur’an al-karim.
JIWA QUR’ANI
A. Jiwa yang Beriman
Manusia, sebagai makhluk fisikal-biologis, makhluk sosial, intelektual-
psikologis, dan spiritual-teologis --dapat dikatakan sejahtera hidupnya apabila apa
yang menjadi kebutuhan jasmani dan rohani terpenuhi secara seimbang. Dia sejahtera
hidupnya jika segala kebutuhan yang bersifat fisik (materi). kebutuhan jiwa yang
berupa kedamaian dan kesentosaan, kebutuhan sosial yang berwujud keharmonisan,
dan kebutuhan spiritual yang berupa ketenteraman hati (Ithmi’nan al-qalb) tercapai
dengan seimbang.
Jiwa disebut beriman manakala hati individu yang bersangkutan telah
dimasuki keimanan, hal-hal yang berhubungan dengan dimensi keimanan, seperti
Allah, malaikat, para Nabi, Kitab-kitabNya dan hari akhir. Kalau semuanya belum
masuk ke dalam hati, misalnya baru berada di wilayah jiwa, maka manusia
bersangkutan belum beriman, karena tempat iman di dalam hati.
Jiwa yang beriman adalah jiwa yang tidak cenderung kepada tindakan-
tindakan zhalim (aniaya), karena pada dasarnya iman yang benar (al-iman al-shahih)
tidaklah wajar dicampur dengan kezhaliman, karena kezhaliman tidak mungkin
menyatu dengan iman, karena keimanan memiliki kecenderungan pada kebaikan,
keadilan, kedamaian, keselamatan dan kepada penunaian hak-hak seperi diajarkan
oleh agama (Tuhan Yang Maha Baik).