Anda di halaman 1dari 3

A.

Judul Jurnal:
Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah
B. Penulis:
Puji Wibowo, Ak. MIDEc 1

C. Komentar Dengan Perspektif Ekonomi Politik Pembangunan:


Kontribusi yang positif tentang desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
telah dibahas secara mendalam selama beberapa tahun terakhir.Meskipun dampak dari
penyerahan tanggungjawab fiskal kepada pemerintah lokal dalam merangsang
pertumbuhan ekonomi daerah dianggap baik secara teori, kenyataan di lapangan tidak
selalu sama dengan yang diprediksikan.Pada pembahasan yang ada mempelajari tentang
hubungan antara degenerasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia selama
periode transisi pembentukan ulang desentralisasi fiskal dalam kurun waktu tahun 1999-
2004.
Sebagaimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara teori
desentralisasi fiskal bagus dalam kerangka merangsang pertumbuhan ekonomi daerah,
akan tetapi dampak pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah terhadap tingkat
kesejahteraan penduduk tidak disertai dengan bukti empiris yang nyata.Dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi desentralisasi fiskal terhadap pembangunan
daerah sangat tergantung pada dimensi ruang dan waktu.Artinya, dampak positif
desentralisasi fiskal yang terjadi pada suatu daerah dalam periode dan waktu tertentu tidak
bisa dijadikan tolak ukur bahwa transfer keuangan antara publik antarpemerintahan akan
memberikan dampak yang positif pada daerah yang lain dalam periode dan waktu yang
sama.
Hubungan fiskal antar pemerintahan di Indonesia telah mengalami pasang surut dalam
menemukan pola ideal untuk mempresentasikan keadilan, bukan hanya di pemerintahan
pusat, tapi juga pemerintahan daerah.Sejak mengadopsi pola desentralisasi berdasarkan
UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah, perkembangan ke arah desain fiskal
antarpemerintahan yang lebih terdesentralisir dinilai sangat lamban oleh sebagian
kalangan.Silver et al (2001:346) berpendapat bahwa pemerintah orde baru mempunyai
kontrol yang sangat tinggi atas dana-dana yang akan dialokasikan kepada pemerintah
daerah mengingat pada waktu itu pemerintah pusat sangat meragukan kredibilitas
pemerintah daerah dalam mengolah sumber daya yang ada.Disamping itu terdapat
anggapan bahwa pemerintah daerah kurang memiliki kompetensi administrasi agar bisa
lebih independen dalam masalah keuangan.Sebelum era baru desentralisasi fiskal

1
digulirkan pada tahun 2001, setiap daerah tingkat I dan II mepunyai dua jenis penerimaan
daerah guna membiayai pengeluaran mereka, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat.Krisis ekonomi dan politik telah memicu
pemerintah daerah untuk mengambil peran dan tanggungjawab yang lebih besar dalam
mengatur urusan daerahnya masing-masing.Fitrani et al (2005:60) mengungkapkan bahwa
menyusul lengsernya presiden Suharto terdapat tekanan untuk menyusun ulang kebijakan
yang berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme.Salah satu kebijakan yang dimaksud adalah
beberapa daerah yang mempunyai Sumber daya Alam yang berlimpah namun memperoleh
bagi hasil pendapatan yang tidak fair dari pemerintah pusa.Untuk itu presiden Habibie
yang meneruskan kursi kepemimpinan berinisiatif untuk melakukan perombakan ulang
kebijakan menuju era desentralisasi dan demokrasi.Pada tahun 1999 pemerintahan Habibie
meluncurkan dua Undang-Undang yang fenomenal, yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Dua kebijakan tersebut disusun untuk
menciptakan otonomi antardaerah dan untuk mendorong sistem pemerintahan yang lebih
demokratis.Dalam paradigma desentralisasi fiskal yang baru, propinsi dan kabupaten/kota
mengambil alih semua peran pemerintah pusat kecuali lima hal, yaitu:
1.pertahanan dan keamanan
2.kebijakan luar negeri
3.peradilan
4.kebijakan ekonomi makro
5.perencanaan nasional
Kerangka desentralisasi fiskal yang baru telah memungkinkan pula adanya proses
pembentukan pemerintahan daerah yang baru.Mengacu pada UU No. 25 tahun 1999, pada
era desentralisasi fiskal, setiap daerah mempunyai sumber penerimaan yang
beragam.Pertama, sebagaimana dalam sistem yang sebelumya, pemerintah daerah
mempunyai otoritas untuk memungut penerimaan pajak dan retribusi daerah.Berdasarkan
UU no. 34 tahun 2000, pemda diperbolehkan untuk menyusun instrumen pendapatan
daerah setelah memperoleh persetujuan dari pemerintah pusat.Kedua, Pemda tk. I dan II
mendapatkan dana perimbangan yang lebih menguntungkan.Sebagai contoh, penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan yang pendistribusiannya lebih banyak diperuntukkan
pemerintah daerah yaitu sebanyak 90%.Dalam hal lain, proporsi bagi hasil pendapatan dari
pajak maupun Sumber Daya Alam mulai menunjukkan pola yang fair dan lebih
menguntungkan pemerintah daerah.Reformasi hubungan fiskal antar pemerintah tersebut

2
ditandai dengan pengenalan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK).DAU merupakan penyaluran dana pemerintah pusat yang bersifat lump sum
dimana formulanya didasarkan pada beberapa variabel antara lain:
a.jumlah penduduk
b.luas daerah
c.kemampuan fiskal daerah yang bersangkutan
Dana ini disalurkan dalam rangka mengurangi ketimpangan antar propinsi dan antar
kabupaten/kota.DAK merupakan transfer dana yang bersifat khusus untuk daerah-daerah
tertentu dalam rangka komitmen nasional dan hanya dibagikan kepada Pemda tk. I dan
II.Namun menurut Podger (2001) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal orde reformasi
memunculkan banyak daerah yang mempunyai tanggung jawab besar namun tidak di iringi
dengan kapasitas fiskal yang memadai.Brojonegoro (2001) juga menyatakan bahwa
kendati daerah memperoleh dana perimbangan yang lebih besar, namun hal ini diikuti
dengan merosotnya jumlah Penerimaan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan pada riset yang dilakukan oleh penulis, dapat ditarik kesimpulan antara
lain:
• Desentralisasi fiskal yang dilakukan di Indonesia secara umum telah memberikan hasil
yang positif terhadap pembangunan daerah dalam kurun waktu 19999-2004.
• Era baru desentralisasi fiskal yang diluncurkan sejak tahun 2001 ternyata memberikan
dampak yang yang relatif lebih baik terhadap pembangunan daerah dibandingkan
denagn rezim desentralisasi fiskal sebelumnya.
• Keadaan otonomi fiskal mengalami perbaikan pada era sesudah tahun 2001 yang
ditandai dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi daerah seiring dengan penerapan
otonomi fiskal.
• Terdapat dua alasan yang menjelaskan fenomena otonomi fiskal yang kurang baik
sebelum periode reformasi fiskal, yaitu:
1. kurangnya kompetensi para aparatur negara dan politisi daerah dalam menetapkan
instrumen pendapatan daerah.
2. monitoring pemerintah pusat atas penerapan perda tentang pajak dan retribusi daerah
yang kurang efektif.

Anda mungkin juga menyukai