Anda di halaman 1dari 9

Semalam Bersama Nelayan Parengreng

By:
Tua Hasiholan Hutabarat
Kurik Lompo, 31 Desember 2010

Sore kira-kira pukul lima lewat separuh, dan matahari sudah berencana bersembunyi di sebalik daun-daun
bakau di sebelah barat. Seperti biasa jika melewati jalan ini, sejauh mata memandang hanya terlihat
hamparan empang berbentuk segi empat. Jalanan juga masih seperti beberapa bulan yang lalu waktu aku
pertama kali datang ke dusun ini. Badan jalan bagai kubangan kerbau, dan akupun terpaksa meliuk-liukkan
roda motor, mencari sela-sela sempit agar tak terperosok ke dalam kubangan berair keruh. Sebenarnya
jalan dari kantor Desa Nisombalia ke dusun ini tidaklah terlalu jauh, hanya kira-kira 6 kilometer. Tapi
susunan batu yang tidak rata dan tidak sama besar, ditambah dengan kubangan besar besar itu membuat
perjalanan terasa sangat melelahkan.
Setelah hampir 20 menit, akupun sampai di kedai Kepala Dusun Kurik Lompo. Seperti biasanya ibu dusun
sedang duduk di depan warungya yang sangat padat berisi jualan-jualan sehari-hari dan jajanan anak-anak.
Senyum lebar pun langsung menghias wajah si ibu dusun yang setiap kali aku datang hampir tetap duduk di
posisi yang sama. Setelah menanyakan kabar dan keberadaan Pak Dusun, aku pun permisi dan
melanjutkan perjalanan ke rumah nenek, ibu Kepala Dusun yang selalu siap menyambutku di rumahnya.

Dari jauh kulihat di sekitar rumah nenek, air pasang telah menggenangi seluruh jalan. Walau hanya setinggi
5 senti di atas mata kaki, tapi tetap saja jalan dan halaman depan rumah panggung nenek sudah terendam
semuanya. Kupaksakan si kumkum masuk ke genangan. Aku fikir, itulah gunanya motor seperti ini, bisa
menembus medan-medan rusak, kubangan air dan air pasang seperti ini. Kuparkirkan motor dan langsung
menapaki tangga menuju pintu rumah nenek yang menghadap ke timur. Pintu terlihat terbuka lembar,
namun kelihatannya tidak ada orang di dalam. Setelah mengucapkan salam, kudengar suara orang di depan
rumah yang mengatakan nenek sedang mengutip setoran warga yang mencicil pakaian dari bisnis kecil si
nenek.

Akupun langsung turun kembali, dan berjalan ke arah ujung timur kampung, dekat dermaga kecil dimana
ada hampir sepuluh parengreng ditambatkan.
Sambil menyapa ibu-ibu dan anak gadis yang kukenal bernama Nur Jannah yang sedang duduk di dekat
tangga rumahnya, aku melihat seorang pria yang sebelumnya pernah aku ajak berbincang-bincang
seminggu yang lalu. Beberapa detik aku mengingat-ingat namanya sambil melangkah menuju ke arahnya
yang menunggu setelah aku panggil. Setelah bersalaman, barulah aku ingat. Namanya Sampara, sebuah
nama yang cukup aneh bagiku. Dia adalah seorang anak muda berumur 28 tahun yang selama 6 bulan ini
bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan Potere, Makassar. Kami pun kemudian berjalan menuju rumah
nomor 3 paling ujung, dan naik ke atas. “Mari Masuk Ki…” Kata si ibu dari atas sambil melambaikan
tangannya. Kami berdua pun naik dan duduk di sebelah deretan jerigen berisi minyak solar.

Tak sampai 10 menit kami duduk, bau harum kopi dan sepiring ubi goreng pun keluar dari pintu dengan
senyum manis ibu si empunya rumah yang tampaknya sedang sakit bisul di dagunya. Ah…luar biasanya
orang-orang dusun ini…dalam hatiku. Tak akan pernah ada keramahan seperti ini yang bisa aku rasakan di
kota. Beruntung aku bisa berkenalan dan berkunjung ke kampung ini. Sedetik aku teringat dengan kata-kata
seorang teman lama. Katanya begini; “…Jika aku boleh memilih dan minta pada Tuhan, aku ingin Surga tak
terbuat dari emas, berlian dan semua yang indah-indah. Aku hanya ingin ketika hujan, aku bisa minum kopi,
ditemani sepiring ubi goreng dan sebungkus rokok kesukaannya di Surga nanti. Sebuah harapan yang
sangat sederhana, tapi bagi orang lain tak akan cukup membuat manusia berlomba-lomba berebut jalan ke
Surga.

Semenit kemudian, hujan pun turun. Seakan mendengar doaku, Tuhan memberikan hujan sebagai
pelengkap kopi, rokok dan ubi goreng yang renyah dan rapuh saat aku gigit. “Inikah Surga! Dalam hatiku!!.

Tiga buah batang rokok favoritku pun habis sudah. Kopi hangat dan ubi goreng pun mulai berkurang. Entah
lapar atau terbawa suasana surga, aku pun seperti kelaparan menyantap hidangan sederhana itu. Akupun
berbincang-bincang terus dengan Sampara yang tampaknya masih tidak terlalu banyak bicara denganku.
Yah, mungkin karena ini pertemuan kedua, jadi dia mungkin kaku untuk ngobrol lepas denganku.

Kulihat sesekali ia menatap jauh ke arah empang yang sudah hampir setahun ini ditinggalkan pemilik dan
penyewanya. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya. Ia bilang, ia tidak sanggup lagi bekerja melaut,
karena badannya sudah tidak kuat. Walaupun masih muda, ternyata ia sudah mengidap penyakit yang tak
bersahabat dengan laut. Bertahun-tahun ia pernah bekerja di Kalimantan, sebagai buruh pabrik, kebun, dan
buruh pelabuhan. Bertahun-tahun di perantauan tanpa hasil apa-apa, kembali ke Kurik Lompo seperti
keadaan semula sebelum berangkat. Ia tinggal dengan adiknya yang telah bersuami dan memiliki 2 orang
anak. Kakak iparnya hanya bekerja sebagai buruh bangunan di Pangkep, yang hanya sekali seminggu
menjenguk adik dan ponakannya, sedangkan adiknya hanya seorang ibu rumah tangga dan pencari tirang.
Aku tidak tau apa yang difikirkan Sampara pada saat itu. Yang aku tau, ia sebenarnya tidak menatap apa-
apa. Ia hanya menikmati hujan, kopi, rokok dan sepiring ubi goreng…sama denganku. Sedangkan di luar,
hujan semakin lebat saja. Kulihat burung-burung berwarna putih dan abu-abu terbang kesana-kemari,
hinggap di tiang Perahu Parengreng dan sebentar kemudian berlindung di bawah pohon bakau. Aku berfikir,
jika hujan ini tak berhenti, maka gagallah rencanaku untuk melaut dengan nelayan Parengreng mencari
udang.

Pasang semakin tinggi ketika hujan semakin reda. Akupun permisi dan jalan menuju rumah nenek kembali.
Kulihat ternyata nenek sudah dirumah, dan Pak Kepala Dusun bersamanya. Kusalam mereka, dan
kuutarakan maksud kedatanganku yang hanya bermain-main dan ingin melaut mencari udang. Setelah
dipersilahkannya aku makan siang, Pak Dusun pun sibuk mencari warga yang akan melaut. Setelah
setengah jam, ia memberi kabar gembira, karena cuaca sudah semakin baik, dan akan ada nelayan yang
melaut. Beruntung aku mendapatkan perahu Parengreng yang agak besar.

Lama aku berbicang-bincang dengan Pak Dusun. Mulai dari Kalahnya Indonesia dengan Malaysia, sampai
pemanfaatan empang terlantar di belakang dusun. Akhirnya jam 9:30 beberapa Parengreng mulai bergerak.
Suara Klotok…klotok mesin diesel Parengreng bersahut-sahutan di belakang rumah mengarah ke muara.
Akupun diantar Pak Dusun berangkat ke dermaga kecil di sebelah rumah nenek.

Sepuluh menit kemudian Parengreng yang kutumpangi datang. Life Jacket, ransel berisi pakaian dan
kamera pun ku letakkan di atap perahu. Ternyata aku bertiga malam ini, dan ternyata si Nahkoda adalah
Bapak Si Nur Jannah, ditemani anaknya laki-laki yang masih SMK. Sambil tersenyum melihatku yang sibuk
mengenakan dan mengancing Life Jacket, kami pun berlayar mengarah ke laut lepas, tepat ke arah tengah-
tenga Pulau Balang Lompo dan Balang Caddi.

Setelah 15 menit perjalanan, kulihat kota Makassar dan lampu-lampu kerlap-kerlip yang menghiasinya. Saat
mereka yang semuanya terlelap tidur tersembunyi di sebalik lampu-lampu warna-warni itu, di sini kami mulai
mengarungi malam ditemani bintang-bintang dan sedikit lampu di dua pulau di depan kami. Hampir 1 jam
mesin hidup dengan kecepatan sedang. Tidak lama, dengan senternya besarnya, si Bapak turun ke buritan
perahu dan mulai merapikan jaring trawl yang sebentar akan ditebar. Kecepatan perahu pun diperlambat,
dan si Bapak mulai menebarkan trawl yang tertarik ke belakang se cepat jalannya perahu.
Tidak sampai 5 menit, jaring sudah terendam di air, yang diikiat dengan tali besar yang diikatkan di tiang
bagian depan kapal. Panjang tali kurang lebih 100 meter, bahkan bisa lebih. Setelah mengarahkan
senternya sebentar ke arah trawl yang telah tenggelam, si Bapak kembali ke kemudi kapal, sedangkan
anaknya laki-laki ternyata kutahu sudah tiduran di dalam.

Kami pun kemudian berbincang-bincang berdua sambil menikmati dinginnya malam dan beberapa batang
rokok. Satu hal yang kuingat benar dari ceritanya adalah, perahu ini bukan miliknya, namun milik seseorang
bergelar Haji yang hobby memancing dan kasihan karena si Bapak tak punya kapal lagi akibat tenggelam
beberapa tahun yang lalu di sekitar pulau dekat sini. Ia heran, si pemilik perahu sudah beberapa bulan ini
tidak pernah datang lagi untuk diantar memancing di sekitar pulau.

Seperti biasanya jika kita berbincang-bincang dengan nelayan, bahasanya tetap sama. Cerita mereka hanya
berada di sekitar kesulitan hidup yang tak mau lepas dari kehidupan mereka. Si bungsu Nur Jannah tak bisa
melanjutkan niatnya untuk mendaftar ke sekolah perawat, karena untuk mendaftarnya saja butuh uang 15
juta, belum lagi uang SPP yang menurut si Bapak tak akan pernah ia sanggup membiayainya.

Hasil tangkapan pun sudah semakin menurun dan tidak lagi menjanjikan. Semuanya serba tidak pasti.
Cuaca laut yang memang dari dulu tak bersahabat kini seakan semakin bermusuhan dengan nelayan.
Waktu melaut sudah semakin pendek. Jika dahulu mereka bisa pastikan dalam bulan-bulan tertentu,
terutama di bulan Maret sampai Juni mereka bisa setiap hari ke laut dan mendapatkan hasil lumayan, kini
tak pernah lagi bisa mereka nikmati. Sebelumnya, jam 7 malam mereka sudah bisa berangkat, namun
karena hujan deras dan besarnya gelombang akibat angin kencang, waktu melaut sudah semakin pendek.
Kadang mereka harus berangkat jam 10 malam, bahkan sering tidak melaut.

Telingaku sebenarnya sudah cukup panas mendengar keluhan-keluhan seperti itu. Tidak ada cerita bahagia
dan ceria yang keluar dari mulut nelayan ketika bicara tentang hidupnya. Yang ada hanya keluhan, pilu, dan
ketidakpastian hidup saja. Beda dengan mereka-mereka, termasuk aku yang hidup di kota yang masih bisa
bicara santai dan refreshing setelah merasa lelah bekerja. Tapi apa boleh buat, memang inilah tujuanku,
mendengar cerita-certa dan bahasa-bahasa sederhana tatkala mengungkapkan keseharian mereka.
Satu setengah jam sudah terlewati. Kulihat ia sudah mengantuk. Berkali-kali kemudian mengajak aku untuk
turun ke bawah dan tidur. Kufikir, sia-sia dan percuma aku ikut melaut malam ini jika kuhabiskan untuk tidur.
Kutahan kantukku dan kutatap dua pulau di depan, dan kerlap-kerlip lampu kota Makassar dan orang-orang
di sebalinya yang sudah tertidur lelap. Kupaksa si bapak supaya tidur duluan, dan aku memilih untuk
terlentang menatap bintang-bintang yang cahanya tak terlalu terang.

Hampir tiga jam terlewati, dan kurasakan ternyata kapal berputar-putar. Sebentar kuliah Kota Makassar di
sebelah kiri dan dua pulau di sebelah kanan, namun kemudian semuanya berubah posisi. Lama-kelamaan
kantukku semakin hilang saat teringat dengan semua orang-orang di daratan sana. Benci, marah, kecewa,
dan sakit hati dan sedikit rasa senang berputar-putar di kepala. Untuk apa semua kata dan tindakan ini jika
tak menyentuh mereka-mereka yang dilanda ketidakpastian seperti mereka yang sedang tidur di bawahku
duduk. Untuk apa semua tenaga dan waktu yang terlewat jika anak-anak nelayan yang pulas di pelukan
ibunya di kampung nelayan sana tak akan ikhtiar orang-orang kota. Sebentar kemudian kulihat ke arah air di
sebelah kapal dan knalpot kapal yang menebarkan bau solar terbakar. Hanya kami bertiga di sini bersama
dingin dan bau asap yang keluar dari knalpot kapal.

Tidak terasa akupun tertidur di geladak perahu. Walau tidak terlalu lelap, 1 jam terlewat, dan kemudian
terbangun waktu tiba-tiba kurasakan mesin kapal mati. Ternyata si Bapak dan anak laki-lakinya sudah
bangun dan berada di buritan kapal. Meraka menarik trawl yang kelihatannya tak terlalu berat. Kuambil
kamera dan kuarahkan ke mereka berdua yang terus menerus menarik tali jaring trawl. Akhirnya, tidak
sampai 15 menit, seluruh jaring terangkat, dan kulihat ujung jaring membentuk seperti karung. Ditumpahkan
mereka isi jaring ke lantai buritan. Maka berserakanlah ikan-ikan kecil bercampur udang, ular, ikan bete-
bete, anak kepiting, ikan poso-poso, kepiting kecil, buntal, ikan-ikan kecil yang tidak kutau namanya, seekor
cumi, beserta bonus beberapa plastik, botol air mineral, kayu busuk, bahkan sebuah keset kaki.
Tak lama berselang, tangan-tangan mereka berdua dengan cekatan memisah-misahkan semua benda dan
ikan-ikan kecil dengan udang yang mereka masukkan ke keranjang. Hampir 1 jam mereka mengerjakan itu
semua hingga selesai. Setelah selesai, si Bapak pun mulai membersihkan dan merapikan trawl, dan anak
laki-lakinya mulai menghidupkan mesin dan menjalankannya dengan kecepatan sedang. Setelah semua
jaring terendam di air, si Bapak pun duduk bersila di dekatku kembali. Tidak ada kata-kata yang keluar dari
mulutnya tentang hasil tangkapan tadi, kecuali hanya memaksaku untuk tidur di bawah. Setelah dua kali
kutolak, akupun terpaksa menurutinya. Akhirnya kami pun selama 4 jam ke depan tertidur pulas, sedangkan
kapal tetap berputar-putar menarik trawl yang menjerat ikan-ikan kecil, sampah dan udang kecil di bawah
sana.

Kira-kira jam 5:30 kami pun semua terbangun dan mereka mengulangi hal yang sama. Mereka menarik tali
pengikat trawl bersama-sama. Kulihat ternyata matahari sudah mulai muncul di timur. Kusapu pandanganku
ke sekitar, dan ternyata ada 3 sampai empat Perahu Parengreng dengan jarak masing-masing 300 sampai
400 meter saja. Kubayangkan jika setiap perahu yang berputar-putar akibat tertidurnya semua nelayan
bertabrakan. Apa jadinya?

Kali ini mereka tak berusaha memisah-misahkan ikan dan udang, kecuali sampah-sampah dan benda-
benda asing yang terikut oleh jaring trawl mereka. Sesaat kemudian mesin pun menyala lebih kuat, dan
haluan kapal di putar mengarah ke muara. Itu tanda kami akan kembali. Matahari pun semakin menunjukkan
senyum hangat dan cerianya, sedangkan kami membelakanginya. Ternyata di depan, belakang, samping
kanan dan kiri telah berbaris beberapa perahu Parengreng yang menuju arah yang sama. Kulihat si Bapak
membersihkan jaring trawl yang kotor oleh lumpur, dan mengepak-kepakkanya di air laut di buritan kapal.
Entah senyum atau ekspresi apa yang ditunjukkan seorang nelayan yang beriringan di sebelah kami.
Kuambil kamera untuk mengabadikan wajahnya tatkala membelokkan perahunya yang semakin berhimpitan
dengan perahu kami. Semenit kemudian ia pun teriak memanggil, menunjukkan sarung dan
mengibarkannya. Seakan-akan itulah bendera kemenangannya, bendera sarung seorang nelayan
Parengreng dengan membawa beberapa sampah, ikan-ikan kecil, kepiting kecil, dan udang yang beratnya
tidak seberapa.
Baginya, mungkin tidak ada hasil yang sempurna selain bisa membawa diri selamat pulang bertemu anak
dan istrinya. Sama dengan kami yang tak bisa tersenyum puas dengan hasil udang yang ketika dijual tak
bisa membuat mereka lebih cepat beranjak dari masalah hidup mereka.

Ada beberapa perahu Parengreng yang secara teratur memasuki muara yang semakin surut. Di kiri kulihat
dua Passodo yang berperahu kecil melawan arah, tanda bahwa mereka enggan pulang pagi ini. Seakan
semua nelayan memiliki komando untuk berada di jalur yang sama, yakni jalur yang cukup dalam untuk bisa
mereka lewati. Sesekali perahu kami yang cukup besar menggesek lumpur di bawah kapal. Tidak ada
banyak cerita waktu kami pulang, kecuali senyum dan tawa melihat nelayan berbendera sarung kotak-kotak
tadi.

Akhirnya kami pun merapat ke pelabuhan kecil. Kulemparkan life jacket dan ranselku, agar ringan terasa
melompat ke dermaga. Sesaat kemudian kulambaikan tangan, dan ucapan terimakasih karena membawaku
pada sebuah pengalaman mencari udang dengan perahu Parengreng di Kuriklompo. Pengalaman yang
mungkin menurut banyak orang adalah pengalaman biasa-biasa saja, bahkan mungkin sama sekali tidak
menarik untuk dirasakan. Tapi itulah rahasia dari sesuatu yang biasa-biasa, karena aku bisa melihat tawa
dan senyum, walau ikan kecil, kepiting kecil, dan tumpukan sampah yang mereka bawa pulang.

Anda mungkin juga menyukai