Pendahuluan - April 2010
Pendahuluan - April 2010
Pendahuluan - April 2010
PENDAHULUAN
besar di Provinsi Jawa Barat. Perkembangan produksi ikan laut dari tahun 1991
hingga 2006 di Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang diilustrasikan pada Tabel 1
menunjukkan bahwa setiap tahun lebih dari separuh pasokan produksi ikan
lainnya.
Dimana, salah satu target kebijakan dari Kantor Kementrian dan Perikanan adalah
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
catch atau jenis ikan di luar target tangkapan yang berjumlah besar, bahkan bisa
yang menjadi habitat ikan untuk berkembang biak. Oleh karena itu, langkah
dua jenis Peraturan Daerah. Pertama, Peraturan Daerah (Perda) No. 16/2005
tentang Usaha Perikanan, dan kedua, Perda No. 14/2006 tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan Penataan Fungsi Pulau Biawak,
1
UU 31/2004 dirubah dengan UU 45/2009. UU 31/2004 dipandang belum sepenuhnya
mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka
pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Namun demikian, Pasal 6 Ayat 1
dalam undang-undang sebelumnya tidak mengalami perubahan.
Gosong dan Pulau Candikian. Mengacu pada Perda tersebut, penggunaan alat
tangkap terlarang akan dikenakan denda dan hukuman penjara, dua resiko yang
harus dihadapi oleh nelayan pengguna alat tangkap terlarang. Keberadaan Perda
termasuk nelayan perorangan harus memiliki izin usaha yang dibuktikan dengan
tersebut, sejak awal Pemerintah Daerah dapat melakukan seleksi penggunaan alat
tangkap.
di masa mendatang. Beberapa media cetak dan hasil survey melaporkan adanya
penggunaan alat tangkap terlarang pada waktu dan lokasi yang berbeda di
September 2002). Selanjutnya, pada tahun 2003, Dinas Perikanan Provinsi Jawa
penggunaan bahan peledak. Hasil survey Nurasa (2005) di Desa Ilir, mencatat
mini trawl.
Pada tahun 2008, nelayan Indramayu mendesak pemerintah khususnya
Tentara Nasional Indonesa Angkatan Laut (TNI AL) untuk segera melakukan
2008). Terakhir, pada tahun 2009, pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina
menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jaring arad dan pukat harimau masih
dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan ekosistem laut (Kompas,
2009). Kemudian, KUD Nelayan Mina Bahari melaporkan data bahwa sekitar 400
perahu dari total 800 perahu memakai jaring arad (Kompas, 19 Februari 2009).
mengabaikan ancaman sosial dan pidana. Bercermin pada kejadian tahun 2002
dan 2008, nelayan pengguna alat tangkap destruktif akan menghadapi aksi protes
dari nelayan lain, dan bila tertangkap akan diancam dengan hukuman pidana
berdasarkan Perda No. 16/2005 dan Perda No. 14/2006. Namun demikian, laporan
pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kedua ancaman tersebut seolah tidak
menjadi cermin bagi nelayan lain untuk menghindari penggunaan alat tangkap
terlarang yang bisa menimbulkan kerusakan lingkungan laut, dan menjadi sinyal
sebagian nelayan lain tampaknya mentaati peraturan alat tangkap yang berlaku.
sebuah pilihan bagi nelayan. Hasil temuan Nurasa (2005) di Desa Ilir Kabupaten
tangkap. Motif keuntungan ekonomi dari alat tangkap terlarang yang lebih besar
peluang digunakannya alat tangkap terlarang seperti fakta yang telah ditampilkan
yang digali melalui penelitian empiris. Oleh karena itu, rencana penelitian yang
perlu diajukan adalah mengkaji mengkaji implikasi ekonomi dari pilihan alat
tangkap, yang tidak menutup kemungkinan ada yang legal dan terlarang. Variasi
penggunaan beberapa jenis alat tangkap tersebut timbul karena terdapat perbedaan
musim penangkapan ikan yang membedakan target jenis ikan yang akan
terlarang, sebagian lainnya mungkin beberapa bulan dalam satu tahun, dan
sebagian lainnya sama sekali tidak pernah menggunakan alat tangkap terlarang.
Mengacu pada dua macam peraturan, diidentifikasi beberapa jenis alat
tangkap yang rentan untuk dikenakan sanksi denda dan pidana. Berdasarkan Pasal
Jaring Insang (gill net) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, alat tangkap
terlarang tersebut mencakup : mini trawl (termasuk dogol dan arad), jaring insang
lingkar, jaring insang klitik, jaring insang tiga lapis, bahan peledak dan bahan
peracun. Menurut Dahuri (2003), trawl tidak selektif dan dapat merusak dasar
habitat dasar kadang kala dapat melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
meter selama satu jam, dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam dapat merusak
Pengelola, yaitu suatu forum yang dibentuk oleh Bupati, dan diberi kewenangan
dan instansi terkait turut juga melakukan pengawasan dalam rangka pencegahan
yang cukup besar menjadi daya tarik bagi sebagian nelayan. Akan tetapi, data
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009, seperti disajikan pada Tabel 2, terungkap data
jumlah alat tangkap dan produksi salah satunya adalah alat yang terlarang yaitu
trawl. Bila dibandingkan dengan kemampuan produksi pukat pantai, sejak tahun
2005, rataan produksi trawl lebih rendah dari pukat pantai. Tahun 2007, per unit
pantai akan lebih besar dari trawl. Jenis ikan yang mampu ditangkap oleh trawl
dan pukat pantai, dan struktur biayanya akan menentukan berapa besar
keuntungan kedua jenis alat tangkap tersebut. Selanjutnya, terdapat fakta yang
dapat membantu fokus pertanyaan penelitian, yaitu bermula dari tahun 2004
apakah keuntungan ekonomi dari trawl lebih rendah dari pukat pantai sehingga
besar perbedaan keuntungan ekonomi antara alat tangkap legal dan terlarang ?
Pertanyaan ini muncul karena pola serupa terjadi pada produksi jaring insang
penggunaan alat tangkap itu. Jumlah trawl yang sedikit belum menjamin
tekanan besar terhadap ekosistem laut. Pola pergantian musim penangkapan ikan
dapat menjadi kondisi yang menentukan adanya perbedaan penggunaan jenis alat
dalam dunia kenelayanan dikenal adanya empat macam musim, yaitu musim barat
– Juni), dan musim selatan (Juni – September). Musim barat dikenal sebagai
dari jumlah trip setiap jenis alat tangkap seperti disajikan pada Tabel 3
sebelumnya. Pada tabel tersebut terlihat bahwa trip pukat dogol memiliki trend
Trend ini memiliki pola yang serupa dengan trend jumlah produksinya. Setiap trip
alat tangkap memiliki perbedaan, ada yang tripnya satu hari seperti sero, dan ada
alat tangkap tentu menyimpan beberapa alasan, mengingat setiap jenis alat
tangkap memiliki kemampuan atau daya tangkap yang berbeda beda yang
Pada musim paceklik, desakan kebutuhan ekonomi akan relatif besar, dan
mereka membutuhkan uang kas yang cukup besar juga. Kondisi ini berpotensi
ekonomi yang bersifat mendesak. Hal ini dapat mengurangi bobot pertimbangan
mereka untuk mematuhi aturan alat tangkap yang diwujudkan oleh besarnya
bisa turun atau sama sekali akan menggunakan alat tangkap legal, bila mereka
contoh empiris mengenai studi ekonomi illegal fishing atau penangkapan ikan
secara tidak syah. Belajar dari Nikijuluw (2008) dan hasil studi literatur, tampak
Secara praktis, hasil akhir penelitian ini diharapkan memiliki potensi untuk
terhadap pilihan alat tangkap legal dan terlarang masih sulit ditemukan di
Kabupaten Indramayu.
Obyek yang akan menjadi kajian empiris penelitian ini adalah perikanan di
tersebut menjadi dasar untuk menentukan kerangka sampel atau contoh penelitian.
nelayan Anak Buah Kapal (ABK). Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki
asset penangkapan ikan seperti kapal perikanan dan alat tangkap, sedangkan
nelayan ABK merupakan pekerja pada nelayan pemilik. Tidak jarang nelayan
pemilik juga ada yang mencurahkan waktunya untuk menangkap ikan bersama
ABK. Dalam penelitian ini, nelayan pemilik dipilih menjadi unit analisisnya.
Rencana penelitian ini mengembangkan kerangka kerja ekonomi illegal
umum, frase illegal fishing tersebut diartikan sebagai tindakan nelayan yang tidak
output. Pengertian ini disintesa dari beberapa sumber pustaka mengenai ekonomi
illegal fishing. Kerangka kerja tersebut dapat menjelaskan alasan logis mengapa
usaha perikanan menggunakan alat tangkap legal di satu pihak, dan mengapa
multinomial.
Tabel :Y