Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di era tahun 50-an, Negara-negara di dunia


terpolarisasi kedalam dua kutub. Ketika itu
terjadi pertarungan yang kuat antra Timur dan
Barat terutama sekali pada era perang dingin
(cold war) antara Amerika Serikat dan Uni
Sovyet.

Pertarungan ini adalah merupakan upaya


untuk memperluas sphere of interest dan
sphere of influence. Dengan sasaran utama
perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah
potensial di dunia dengan berkedok pada
ideology anutan masing-masing.

Sebagian Negara masuk dalam Blok


Amerika dan sebagian lagi masuk dalam Blok
Uni Sovyet. Aliansi dan pertarungan didalamnya
memberikan akibat fisik yang negative bagi
beberapa Negara di dunia seperti misalnya
Jerman yang sempat terbagi menjadi dua
bagian, Vietnam dimasa lalu, serta
Semenanjung Korea yang sampai saat
sekarang ini masih terbelah menjadi Korea
Utara dan Korea Selatan.

Dalam pertarungan ini Negara dunia ketiga


menjadi wilayah persaingan yang amat
mempesona buat keduanya. Sebut saja
misalnya Negara-negara di kawasan Asia Timur
dan Tenggara seperti Indonesia, Malaysia,
Thailand, Jepang serta Negara-negara di
kawasan lain yang kaya akan energi dunia
seperti Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar.

Dalam kondisi yang seperti ini, lahir


dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia
ketiga untuk dapat keluar dari tekanan dua
Negara tersebut. Soekarno, Ghandi dan
beberapa pemimpin dari Asia serta Afrika
merasakan polarisasi yang terjadi pada masa
tersebut adalah tidak jauh berbeda dengan
kolonialisme dalam bentuk yang lain.

Akhirnya pada tahun 1955 bertempat di


Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia
dan Afrika bertemu membahas masalah dan
kepentingan bersama, termasuk didalamnya
mengupas secara serius tentang kolonialisme
dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini
disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika
RKM/2005 2
atau sering disebut sebagai Konferensi
Bandung. Konferensi inilah yang menjadi
tonggak lahirnya Gerakan Non Blok.

B. TUJUAN
Dengan didasari semangat Dasa Sila
Bandung, Gerakan Non Blok dibentuk pada
tahun 1961 dengan tujuan utama
mempersatukan Negara-negara yang tidak ingin
beraliansi dengan Negara-negara adidaya
peserta Perang Dingin yaitu USA dan Uni
Sovyet.

BAB II
LAHIRNYA GERAKAN NON BLOK

A. KONFERENSI ASIA AFRIKA

Konferensi Asia Afrika merupakan gagasan


oleh lima Negara yaitu Indonesia, India,
Pakistan, Burma dan Sri Lanka. Persiapan
pertama dilakukan di Kolombo pada tanggal 28
RKM/2005 3
April – 2 Mei 1954. Persiapan kedua dilakukan
di Bogor pada tanggal 29 Desember 1954.
Melalui persiapan ini maka kemudian Konferensi
Asia Afrika dilaksanakan.

Akhirnya pada tanggal 18 April 1955,


dimulailah Konferensi Asia Afrika yang
diselenggarakan di kota Bandung. Konferensi ini
berlangsung hingga tanggal 25 April 1955 dan
diikuti oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.

Tujuan utama konferensi ini adalah


membentuk kubu kekuatan negara-negara dunia
ketiga untuk menghadapi dua kubu adidaya,
Barat dan Timur. Di akhir konferensi,
ditandatangani Deklarasi Bandung yang isinya
kesepakatan untuk mengadakan kerjasama
ekonomi dan budaya di antara negara-negara
dunia ketiga serta mengakui adanya hak untuk
menentukan nasib bangsa-bangsa Asia dan
Afrika. Selain itu, konferensi ini juga
mengeluarkan resolusi menentang penjajahan,
di antaranya penjajahan Perancis atas Guinea
Baru. Konferensi Asia Afrika juga menjadi
pendahuluan dari terbentuknya Organisasi
Gerakan Non-Blok.

Dalam Pertemuan tersebut, 29 kepala


Negara Asia dan Afrika bertemu membahas
RKM/2005 4
masalah dan kepentingan bersama, termasuk
didalamnya mengupas secara serius tentang
kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”.
Pertemuan ini disebutkan pula sebagai
Konferensi Asia Afrika atau sering pula disebut
sebagai Konferensi Bandung.

Dari Konferensi ini dihasilkan 10 prinsip


yang disepakati bersama yang sering juga
disebutkan sebagai Dasa Sila Bandung, yaitu :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan
tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat
di dalam piagam PBB;
2. Menghormati kedaulatan dan integrits
territorial semua bangsa;
3. Mengakui persamaan ras dan persamaan
semua bangsa baik besar maupun kecil;
4. Tidak melakukan intervensi atau campur
tangan dalam soal-soal dalam negeri orang
lain;
5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk
mempertahankan diri sendiri secara sendiri
atau kolektif sesuai dengan piagam PBB;
6. a. Tidak menggunakan peraturan-
peraturan pertahanan kolektif untuk

RKM/2005 5
bertindak bagi kepentingan khusus
salah satu Negara besar.
b. Tidak melaukan tekanan terhadap
Negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau
ancaman agresi ataupun penggunaan
kekerasan terhadap integritas territorial atau
kemerdekaan politik suatu Negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan
internasional dengan jalan damai, seperti
perundingan, persetujuan, arbitrase atau
penyelesaian hukum, atau cara damai lain
berdasarkan pilihan pihak-pihak yang
bersangkutan sesuai dengan piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja
sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-
kewajiban internasional.

Di dalam komunike akhir konferensi itu,


digarisbawahi kebutuhan untuk membangun
kerjasama yang saling menguntungkan antar
negara-negara Asia-Afrika dalam hal
pembangunan ekonomi untuk melepaskan diri
dari ketergantungan melalui industrialisasi.
Kerjasama ini dilaksanakan dengan
membangun komitmen penyediaan asistensi
RKM/2005 6
teknis dalam proyek-proyek pembangunan,
selain pertukaran teknologi, pengetahuan, dan
pembangunan pelatihan regional dan lembaga-
lembaga penelitian.

B. TERBENTUKNYA GERAKAN NON BLOK

Seperti diketahui, pembangunan Gerakan


Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia,
Afrika, Eropa, dan Latin Amerika
diselenggarakan di Biograd (Belgrade),
Yugoslavia pada tahun 1961. Pemimpin
kharismatik dari Yugoslavia, Presiden Broz Tito,
menjadi pemimpin pertama dalam Gerakan
Non-Blok. Sejak pertemuan Belgrade tahun
1961, serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi
Gerakan Non Blok telah diselenggarakan di
Kairo, Mesir (1964) diikuti oleh 46 negara
dengan anggota yang hadir kebanyakan dari
negara-negara Afrika yang baru meraih
kemerdekaan, kemudian Lusaka, Zambia
(1969), Alzier, Aljazair (1973) saat terjadinya
krisis minyak dunia, Srilangka (1977), Cuba
(1981), India (1985), Zimbabwe (1989),
Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan, dan
terakhir di Malaysia pada tahun 2003. Dengan
didasari oleh semangat Dasa Sila Bandung,
maka pada tahun 1961 Gerakan Non Blok
RKM/2005 7
dibentuk oleh Josep Broz Tito, Presiden
Yugoslavia saat itu

Penggunaan istilah “Non-Alignment”


(Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan
Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam
pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam pidato
ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan lima
pilar prinsipil, empat pilar diantaranya
disampaikan oleh Petinggi Tiongkok Chou En-
lai, yang dijadikan pedoman bagi hubungan
antara Tiongkok dengan India. Lima prinsip itu
disebut dengan “Panchshell”, yang kemudian
menjadi basis dari Gerakan Non-Blok. Kelima
prinsip tersebut adalah:

1. Saling menghormati kedaulatan teritorial


2. Saling tidak melakukan agresi
3. Saling tidak mencampuri urusan dalam
negeri
4. Setara dan saling menguntungkan, serta
5. Berdampingan dengan Damai

Melihat kenyataan di atas, keberadaan


Gerakan Negara-Negara Non-Blok secara tegas
mengacu pada hasil-hasil kesepakatan dalam
RKM/2005 8
Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955.
Penggunaan istilah bangsa-bangsa non-blok
atau “tidak memihak” adalah pernyataan
bersama untuk menolak melibatkan diri dalam
konfrontasi ideologis antara Barat-Timur dalam
suasana Perang Dingin. Lebih lanjut, bangsa-
bangsa yang tergabung dalam Gerakan Non-
Blok lebih memfokuskan diri pada upaya
perjuangan pembebasan nasional,
menghapuskan kemiskinan, dan mengatasi
keterbelakangan di berbagai bidang. Dengan
demikian, jelas terang bagi kita besarnya
kontribusi Konferensi Bandung bagi
perkembangan Gerakan Non-Blok sebagai
gerakan politik dari negara-negara yang
menentang perang dingin.

C. PERTEMUAN – PERTEMUAN
Pertemuan-pertemuan tingkat tinggi yang
diadakan oleh Negara-negara Non Blok meliputi :
1. Summit Conferences (Konferensi Tingkat
Tinggi/KTT);
Pertemuan ini merupakan pertemuan tertinggi dan
dihadiri oleh para Kepala Negara/Kepala
Pemerintahan seluruh Negara anggota Non Blok.
Pertemuan ini merupakan pertemuan puncak dan
sering disebut dengan Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT). Keputusan-keputusan penting akan
diputuskan dalam pertemuan tersebut. Pertemuan
tingkat tinggi ini diselenggarakan setiap tiga tahun.
RKM/2005 9
Dalam membahas masalah-masalah yang ada,
pertemuan ini dibagi menjadi dua komite yaitu
Komite mengenai issue-issue politik dan Komite
mengenai issue-issue ekonomi dan social.

Sampai saat ini telah diselenggarakan KTT


sebanyak 13 kali dan bertempat di Negara-negara
anggota GNB, yaitu :

KTT I : 01 – 06 September 1961 di Belgrade,


Yugoslavia
KTT II : 05 – 10 Oktober 1964, Kairo, Mesir
KTT III : 08 – 10 September 1970, Lusaka,
Zambia
KTT IV : 05 – 09 September 1973, Aljir, Aljazair
KTT V : 16 – 19 Agustus 1976, Colombo,
Srilanka
KTT VI : 03 – 09 September 1979, Havana,
Kuba
KTT VII : 07 – 12 Maret 1983, New Delhi, India
KTT VIII : 01 – 06 September 1986, Zimbabwe
KTT IX : 04 – 07 September 1989, Belgrade,
Yugoslavia
KTT X : 01 – 07 September 1992, Jakarta,
Indonesia
KTT XI : 18 – 20 Oktober 1995, Cartagena,
Kolombia
KTT XII : 02 – 03 September 1998, Durban,
Afrika Selatan
KTT XIII : 02 – 25 February 2003, Kuala Lumpur,
Malaysia

2. Ministerial Conferences;
RKM/2005 10
Konferensi ini merupakan pertemuan para menteri,
yang bertujuan :
• Meninjau/memeriksa perkembangan-perkem-
bangan dan implementasi dari keputusan-
keputusan yang dihasilkan KTT.
• Menyiapkan KTT berikutnya
• Mendiskusikan hal-hal yang dianggap penting
yang akan dibawa ke KTT.

Konferensi tingkat menteri terdiri dari :


• Ministerial Meetings in New York;
• Extraordinary Ministerial Meetings;
• Ministerial Meetings of the Coordinating Bureau;
• Meetings of the Ministerial Committee on
Methodology;
• Meetings of the Standing Ministerial Committee
on Economic Cooperation;
• Ministerial Meetings in various fields of
International Cooperation.

Selain pertemuan tingkat tinggi tersebut diatas,


pertemuan lainnya yang diselenggarakan adalah
working group, task forces, contact groups and
Committee.

D. NEGARA ANGGOTA

Setelah hampir 50 tahun sejak disepakati


“Dasasila Bandung” yang menjadi landasan semangat
RKM/2005 11
antikolonialisme di Asia Afrika, lalu dilanjutkan dengan
Konferensi di Beograd yang merumuskan GNB, secara
kuantitas GNB berhasil menggalang anggota dari 25
negara pada tahun 1961 dan saat ini menjadi 116
negara (terlampir) ditambah 17 negara pengamat yaitu
Antiqua & Barbuda, Armenia, Azerbaijan, Belarus,
Brazil, China, Costa Rica, Croatia, Dominica, Dominican
Rep., El Salvador, Kazakhstan, Kyrgyztan, Mexico,
Paraguay, Uruguay dan Ukraine.

Hal tersebut diatas membuktikan menguatnya


sentiment antikolonialisme pasca Perang Dunia II.
Format politik GNB selanjutnya berusaha
mempertahankan posisi sebagai zona netral karena
dalam periode Perang Dingin, Negara Asia Afrika dan
Amerika Latin membutuhkan banyak waktu untuk tidak
terjebak peperangan. Selain itu, kebutuhan bagi Negara-
negara Asia Afrika lainnya untuk merasakan kehidupan
bersama sebagai black side area tatanan dunia baru
telah menjadikan nasionalisme sebagai factor
terpenting. Meski demikian, GNB masih diwarnai
inkonsistensi.

E. MASALAH-MASALAH ANTAR NEGARA

Disadari bahwa meskipun Negara-negara


anggota GNB sendiri berupaya memegang teguh
prinsip-prinsip dan cita-cita yang dianut oleh GNB
sebagaimana tertuang dalam Dasasila Bandung, namun
bukan berarti bahwa selama ini tidak ada masalah-
masalah internal GNB.

RKM/2005 12
Diantara masalah-masalah yang menonjol adalah
adanya berbagai perselisihan yang terjadi diantara
Negara-negara anggota GNB sendiri.

Perselisihan antara Negara anggota tertentu itu,


selain mengganggu suasana kerjasama intern GNB,
juga adakalanya menghambat jalannya sidang-sidang
GNB. Disamping itu, disadari pula adanya kesulitan
dalam mencapai kesepakatan untuk hal-hal tertentu
yang disebabkan juga oleh penerapan prinsip
konsensus secara kaku.

RKM/2005 13
BAB III
PERANAN INDONESIA DALAM GERAKAN NON BLOK

A. INDONESIA DAN GNB


Bagi Indonesia, Gerakan Non Blok merupakan
wadah yang tepat bagi Negara-negara berkembang
untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu
Indonesia senantiasa berusaha secara konsisten dan
aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian
tujuan dan prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa
Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara
netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh
sebab itu maka penjajahan diatas dunia haurs
dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Selain itu
diamanatkan pula bahwa Indonesia ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat
tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB.
Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan
aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya
sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian
dunia dengan mengadakan persahabatan dengan
segala bangsa.
RKM/2005 14
Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang
bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara
pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan
commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB.
Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan Indonesia
dalam kiprahnya pada masa kepemimpinan Indonesia
pada tahun 1992 – 1995 diawal era pasca perang
dingin. Pada masa itu, Indonesia telah berhasil
membawa GNB untuk mampu menentukan arah dan
secara dinamis menyesuaikan diri pada setiap
perubahan yang terjadi dengan menata kembali
prioritas-prioritas lama dan menentukan prioritas-
prioritas baru dan menetapkan orientasi serta
pendekatan yang baru pula.

B. TUAN RUMAH KTT X GNB


Indonesia pernah menjadi tuan rumah KTT GNB
yaitu KTT X yang berlangsung pada tanggal 1 – 7
September 1992 di Jakarta dan Bogor.
Selama tiga tahun dipimpin Indonesia, banyak
kalangan menyebut, GNB berhasil memainkan peran
penting dalam percaturan politik global. Lewat Jakarta
Message, Indonesia memberi warna baru pada gerakan
ini. Antara lain, dengan meletakkan titik berat kerjasama
pada pembangunan ekonomi dengan menghidupkan
kembali dialog Selatan-Selatan.
Hal tersebut diatas, dirasa sangat perlu sebab
Komisi Selatan dalam laporannya yang berjudul “The
Challenge to the South” (1987), menegaskan bahwa
negara-negara Selatan harus mengandalkan
kemampuannya sendiri, kalau sekedar berharap pada
kerjasama Utara-Selatan ibarat pungguk merindukan
RKM/2005 15
bulan. Sebaliknya, dialog Selatan-Selatan akan
memperkuat posisi tawar (bargaining-position) Negara-
negara berkembang meski hal ini masih harus
dibuktikan.
Kendati lebih mengedepankan kepentingan
ekonomi, tetapi politik dan keamanan Negara-negara
sekitar tetap menjadi perhatian. Dengan profil positifnya
selama ini, Indonesia dipercaya untuk turut
menyelesaikan berbagai konflik regional, antara lain :
Kamboja, gerakan separatis Moro di Filipina dan
sengketa di Laut Cina Selatan.
Konflik Kamboja mereda setelah serangkaian
pembicaraan Jakarta Informal Meeting (I & II) serta
Pertemuan Paris yang disponsori antara lain oleh
Indonesia.
KTT X GNB di Jakarta berhasil merumuskan
“Pesan Jakarta” yang disepakati bersama. Dalam
“Pesan Jakarta” tersebut terkandung visi GNB yaitu :
 Hilangnya keraguan sementara anggota
khususnya mengenai relevansi GNB setelah berakhirnya
Preang Dingin dan ketetapanhati untuk meningkatkan
kerjasama yang konstruktif serta sebagai komponen integral
dalam “arus utama” (mainstream) hubungan internasional;
 Arah GNB yang lebih menekankan pada kerjasama
ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang telah
berhasil dicapai melalui cara-cara politik yang menjadi cirri
menonjol perjuangan GNB sebelumnya.
 Adanya kesadaran untuk semakin meningkatkan
potensi ekonomi Negara-negara anggota melalui peningkatan
kerjasama Selatan-Selatan.
RKM/2005 16
Setelah KTT Jakarta, GNB dapat dikatakan telah
memperoleh kembali kekuatan dan keteguhannya serta
kejelasan akan tujuan-tujuannya yang murni.

Selama mengemban kepemimpinan GNB,


Indonesia telah melakukan upaya-upaya penting dalam
meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan,
menghidupkan kembali dialog Utara-Selatan dan
berupaya untuk penghapusan hutang Negara-negara
berkembang serta memperjuangkan revitalisasi dan
restrukturisasi PBB. Demikian pula, Indonesia telah
berhasil membawa GNB kearah pendekatan baru
berupa kemitraan, dialog dan kerjasama dengan
meninggalkan sikap konfrontasi serta retorika. Dengan
pendekatan baru itu, GNB mampu berkiprah secara
konstruktif dalam percaturan dunia, terutama dalam
interaksinya dengan Negara-negara maju dan
organisasi/lembaga internasional.

Dalam bidang ekonomi, selama menjadi Ketua


GNB, Indonesia juga secara konsisten telah
mengupayakan pemecahan masalah hutang luar negeri
negara-negara miskin baik pada kesempatan dialog
dengan Ketua G-7 maupun dengan menyelenggarakan
Pertemuan Tingkat Menteri GNB mengenai Hutang dan
Pembangunan yang diselenggarakan di Jakarta pada
bulan Agustus 1994 serta berbagai seminar mengenai
penyelesaian hutang luar negeri.

Dari upaya-upaya tersebut telah dicapai beberapa


kemajuan yaitu antara lain telah disepakatinya upaya
untuk melakukan pengurangan substansial terhadap
hutang bilateral.
RKM/2005 17
Sedangkan untuk hutang multilateral, dimana lembaga
Bretton Woods semula enggan untuk membahasnya,
pada akhirnya telah mendapatkan perhatian Bank Dunia
dan Dana Moneter Internasional dengan diluncurkannya
Prakarsa HIPCs (Heavily Indebted Poor Countries);
Peningkatan Fasilitas Penyesuaian Struktural
(Enhanced Structural Adjustment Facility) dan
pembentukan Dana Perwalian oleh Bank Dunia serta
komitmen negara-negara Paris Club bagi penyelesaian
hutang bilateral dengan menaikkan tingkat pengurangan
beban hutang dari 67% menjadi 80%. Hal ini merupakan
suatu keberhasilan upaya GNB dalam kerangka
memerangi kemiskinan.

Melalui pendekatan baru yang dikembangkan


sewaktu Indonesia menjadi Ketua, GNB telah berhasil
mengubah sikap negara-negara anggota GNB tertentu
yang pada intinya menerapkan standard ganda terhadap
lembaga Bretton Woods. Disatu pihak secara bilateral
negara-negara anggota GNB termasuk ingin
memanfaatkan dana yang tersedia dari Bretton Woods,
tetapi secara politis menunjukkan sikap apriori terhadap
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Seperti
diketahui, bahwa pengambilan keputusan pada lembaga
Bretton Woods pada prinsipnya didasarkan atas
besarnya jumlah kekayaan anggota, dan ini dapat berarti
selalu merugikan kepentingan negara-negara
berkembang. Namun sekarang, dapat dikatakan bahwa
telah terjalin hubungan yang baik dimana lembaga
Bretton Woods telah mau mendengarkan argumentasi
dan mempertimbangkan usulan-usulan GNB.

RKM/2005 18
Meskipun sekarang, Indonesia tidak lagi menjabat
sebagai Ketua maupun Troika GNB (kepemimpinan
GNB terdiri dari Ketua satu periode sebelumnya, Ketua
sekarang dan Ketua yang akan datang), namun tidak
berarti bahwa penanganan oleh Indonesia terhadap
berbagai permasalahan penting GNB akan berhenti atau
mengendur. Sebagai anggota GNB, Indonesia akan
tetap berupaya menyumbangkan peranannya untuk
kemajuan GNB dimasa yang akan datang dengan
mengoptimalkan pengalaman yang telah didapat selama
menjadi Ketua dan Troika GNB.

C. PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN NEGARA


ANGGOTA GNB
Ekspor
Ekspor Indonesia ke Negara anggota GNB
periode Januari – Nopember 2004 bernilai US$
16,760.03 juta atau sekitar 33% dari total ekspor non
migas Indonesia yang bernilai US$ 50,653.17juta.
Negara tujuan ekspor yang utama antara lain Singapore,
Malaysia, India, Thailand dan Philipina. Dibandingkan
pada periode yang sama pada tahun 2003 dimana
ekspor non migas ke Negara GNB senilai US$
14,013.06 maka terjadi peningkatan sebesar US$
2,747.57 juta atau 19,61%.
Peningkatan tersebut terutama terjadi di Negara-
negara : Jordan, Venezuela, Eritrea, Bolivia, Belarus,
Malawi, Vanuatu dan Laos. Meskipun di Negara-negara
tersebut peningkatan ekspornya cukup tinggi berkisar
100 – 300% tetapi secara keseluruhan ekspor ke
Negara GNB hanya meningkat 19,61%, hal ini
dikarenakan terjadi pula penurunan ekspor ke Negara-
RKM/2005 19
negara tertentu seperti : Nigeria, Benin, Cote d’Ivoire,
Madagaskar, Senegal, Mongolia, Afrika Tengah dan
Uzbekistan yang berkurang sekitar 20-35%, sedangkan
ekspor ke Guinea Bissau bahkan terhenti sama sekali.

Ekspor Indonesia ke Negara GNB

40,000.00
35,000.00
30,000.00
US$ juta

25,000.00
20,000.00
15,000.00
10,000.00
5,000.00
0.00
J an-Agst 2003
Total Ekspor
J an- Agst 2004 Ekspor ke GNB

Sumber : Analisa Posisi Perdagangan Indonesia di Beberapa Kawasan/


Kerjasama Perdagangan Internasional Edisi April 2005, Set.
Ditjen KPI.

Impor

Selama periode Januari – Nopember 2004, impor


Indonesia dari Negara-negara anggota GNB berjumlah
US$ 7,826.97 juta atau sekitar 25,23% dari total impor
non migas Indonesia yang bernilai 31,017.24 juta.
Negara pengimpor yang utama adalah Singapore,
Thailand, Malaysia, India dan Afrika Selatan.

RKM/2005 20
Pada periode yang sama tahun 2003, impor non
migas dari Negara anggota GNB berjumlah US$
5,579.82 juta berarti untuk tahun 2004 terjadi
peningkatan sebesar 40,27%.

Impor Indonesia dari negara GNB

25,000.00

20,000.00
US$ juta

15,000.00

10,000.00

5,000.00

0.00
Total Impor Impor dari
Jan- Agst2003
Jan- Agst2004
GNB

Sumber : Analisa Posisi Perdagangan Indonesia di Beberapa


Kawasan/Kerjasama Perdagangan Internasional Edisi April
2005, Set. Ditjen KPI.

RKM/2005 21
BAB IV
KTT XIII GNB 2003 MALAYSIA

A. LATAR BELAKANG
Konferensi Tingkat Tinggi XIII telah
diselenggarakan pada tanggal 20 – 25 Februari 2003 di
Putra Jaya, Malaysia. Seharusnya KTT tersebut
diselenggarakan di Bangladesh tetapi sebulan sebelum
pelaksanaan, Bangladesh membatalkan pertemuan
secara sepihak dengan alasan terjadi krisis politik di
Negara tersebut.

KTT XIII sebenarnya berlangsung pada bulan Juli


2002 di Jordania, akan tetapi KTT batal dilaksanakan
pada tahun itu karena kondisi politik dan keamanan di
Timur Tengah yang tidak kondusif. Akibat dari
pembatalan kedua Negara tersebut, para delegasi yang
bersidang di Durban akhirnya memutuskan untuk
menyerahkan pelaksanaan KTT kepada Malaysia.

Malaysia menyanggupi pelaksanaan KTT


tersebut dan secara serius mempersiapkan
pelaksanaannya. Bahkan Malaysia berambisi
menjadikan KTT di Kuala Lumpur menjadi yang terbaik
dibanding dengan pelaksanaan yang sebelumnya.

B. PELAKSANAAN KTT XIII

KTT Gerakan Non Blok ke-13 di Kuala Lumpur


kali ini terselenggara ditengah isu besar yang menjadi
perhatian dunia internasional. Rencana serangan AS
terhadap Irak telah menimbulkan polemik dan
RKM/2005 22
kontroversi yang sangat hebat di berbagai Negara.
Pernyataan AS yang mengatakan bahwa Irak
menyimpan senjata pemusnah massal mendapat
tentangan keras termasuk dari warga negaranya sendiri.

Protes dan demonstrasi besar-besaran marak


diberbagai tempat sebagai bentuk penolakan serangan
AS tersebut. Penolakan bertambah kuat karena
beberapa Negara sekutu AS di Eropa seperti Jerman
dan Perancis dengan tegas menolak rencana serangan
AS tersebut.

Dewan Keamanan PBB sejauh ini juga tidak meloloskan


rekomendasi yang mengizinkan AS menggunakan
kekuatan militer di Irak.

Menyikapi hal tersebut, Negara-negara yang


bersidang dalam KTT GNB di Kuala Lumpur, sepakat
menjadikan krisis AS-Irak sebagai salah satu tema
utama pembicaraan. Mereka menghendaki GNB
mengeluarkan suatu resolusi yang secara tegas
menyatakan penolakan (condemn) terhadap rencana
serangan AS tersebut. Pernyataan ini sangat penting
untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa
keberadaan GNB masih penting dan perannya tidak
dapat dikesampingkan. PBB juga diharapkan dapat
memperhatikan pernyataan Negara-negara GNB
tersebut mengingat mayoritas anggota PBB yang
berjumlah 196 negara merupakan anggota GNB.

Kekompakan Negara anggota GNB dapat


dijadikan momentum baru untuk mempersatukan
seluruh anggota. Indikasi ini terlihat dari antusiasme
RKM/2005 23
para Kepala Negara/Pemerintahan yang menghadiri
KTT di Kuala Lumpur ini. Total ada 52 Kepala
Negara/Pemerintahan yang mengikuti Konferensi
termasuk Presiden RI Megawati Soekrnoputri. Ini
merupakan “rekor baru” karena selama pelaksanaan
KTT sebelumnya jumlah yang hadir lebih sedikit dari
yang sekarang.

Melihat begitu banyaknya Kepala


Negara/Pemerintahan yang hadir dalam KTT ini
perhatian dunia internasional tertuju ke Kuala Lumpur
guna mencermati perkembangan dan menelaah resolusi
yang dihasilkan dalam KTT ini.

Disamping menghasilkan resolusi mengenai krisis


AS-Irak, konferensi juga menghasilkan pernyataan
bersama untuk menyikapi keadaan yang terjadi di Korea
Utara.

Dalam bidang ekonomi, agenda yang tidak boleh


dilupakan adalah melakukan perbaikan dan
pemberdayaan ekonomi. Data yang ada menunjukkan
sebagian besar Negara anggota GNB kinerja
ekonominya belum memuaskan. Memang ada beberapa
Negara yang berhasil mencatat prestasi ekonomi yang
mengesankan seperti yang terjadi di Negara Asia timur,
beberapa Negara Afrika serta Negara-negara Asia
Tenggara termasuk tuan rumah Malaysia. Namun
secara keseluruhan GNB harus bekerja keras agar
mereka dapat mensejajarkan diri dengan Negara maju.

RKM/2005 24
Masalah lain yang muncul adalah besarnya
ketimpangan ekonomi antar beberapa Negara anggota.
Sebagai gambaran misalnya, perbandingan antara dua
Negara anggota yaitu Ghana dan Korea Selatan. Pada
tahun 1960-an data-data ekonomi kedua Negara relative
sama, namun kondisi ekonomi antar keduanya sekarang
sangat berbeda, bagaikan bumi dan langit. Fenomena
ini bisa muncul karena Korea Selatan mampu mejawab
tantangan zaman dengan tepat. Mereka bekerja keras,
bertarung dengan Negara lain dengan menghasilkan
produk yang murah dan kompetitif sehingga bisa
bersaing di pasar internasional. Sesuatu yang belum
dilakukan oleh Ghana dan sebagian besar Negara
anggota lainnya.

Kekuatiran para anggota gerakan non blok


menyangkut meningkatnya kesenjangan globalisasi
adalah hanya merugikan Negara-negara sedang
berkembang.

Secara keseluruhan, para pengamat politik


menganalisa hasil sidang ke-13 KTT Non Blok adalah
gerakan positif dalam kegiatan organisasi ini. Pendirian
para Negara anggota untuk menentang kebijakan AS
menunjukkan realitas bahwa mayoritas Negara-negara
dunia menentang kebijakan militerisme AS yang
membenarkan langkah-langkah yang tidak logis dan
tidak dapat diterima.

RKM/2005 25
BAB V
50 TAHUN KONFERENSI ASIA AFRIKA

Seperti telah disebutkan pada bab terdahulu, Konferensi


Asia-Afrika yang dikenal dengan sebutan “Konferensi Bandung”
diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi ini
digagas bersama oleh Indonesia, Burma, Srilangka, India, dan
Pakistan. Hadir dalam konferensi itu 29 pemimpin Negara, 23
di antaranya dari kawasan Asia dan 6 dari kawasan Afrika.
Pemimpin-pemimpin besar dunia, seperti Soekarno dari
Indonesia, Chou Enlai dari Republik Rakyat Tiongkok, Perdana
Menteri Jawaharal Nehru dari India, Mohamad Ali dari
Pakistan, U Nu dari Burma, Gamal Abdul Nasser dari Mesir,
tercatat sebagai hadirin yang mengikuti konferensi tersebut.

Konferensi dilaksanakan dalam situasi ketika dunia


terbelah ke dalam dua blok kekuatan adidaya dunia yang saling
berseteru dalam perang dingin, yakni “Blok Barat” yang
dipimpin Amerika Serikat dan “Blok Timur” yang dipimpin oleh
Uni Soviet. Blok-blok kekuatan adalah buah dari tidak
terselesaikannya kontradiksi dalam panggung politik dunia
antara kekuatan imperialis Barat dengan kekuatan negara-
negara Sosialis yang pada saat berlangsungnya perang
imperialis, bersekutu menumbangkan blok kekuatan fasisme
yang terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang.

Kini setelah 50 tahun Konferensi Asia Afrika I


berlangsung, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan
Pemerintah Afrika Selatan telah melaksanakan Konferensi II
Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika. Konferensi ini dilaksanakan
bertepatan dengan momentum 50 tahun Konferensi Asia-Afrika
Bandung pada 18-24 April 2005.

RKM/2005 26
Negara-negara yang diundang pada peringantan 50
tahun Konferensi Asia Afrika, berjumlah 25 negara yaitu :
Afgnistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat
Tingkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold coast),
Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya,
Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand, Turki,
Vietnam Utara, Vietnam Selatan dan Yaman.

Peringatan serupa sebenarnya bukan hanya milik


Pemerintah RI atau Pemerintah Afrika Selatan. Momentum
Konferensi Asia-Afrika sesungguhnya adalah momentum
seluruh Rakyat dari seluruh dunia, terutama dari Negara-
negara yang saat ini berada secara langsung maupun tidak
langsung dalam dominasi imperialisme, khususnya
imperialisme Amerika Serikat (AS). Karenanya berbagai
kalangan masyarakat sipil, baik organisasi massa maupun
organisasi sosial non-pemerintah, juga turut menyibukan diri
untuk melaksanakan peringatan emas 50 tahun Konferensi
Asia Afrika (KAA).

Pertemuan puncak dari Konferensi tersebut


dilaksanakan pada tanggal 22-23 April 2005 di ibukota Jakarta,
tepatnya di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC).
Pertemuan itu berupa Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri
oleh pemimpin-pemimpin negara yang turut serta dalam
Konferensi Asia-Afrika II. Melalui KTT tersebut, dicetuskan
“Deklarasi Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (New Asian-
African Strategic Partnership/NAASP)”.

Deklarasi ini memfokuskan kerjasama Asia-Afrika


secara konkret dan komplementer demi tercapainya
perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kedua benua.
Gagasan NAASP pertama kali dicetuskan pada pertemuan
RKM/2005 27
Asian-African Sub Regional Organization Conference
(AASROC) I di Bandung 29-30 Juli 2003. Berdasarkan NAASP,
kemitraan Asia-Afrika akan didasarkan pada tiga pilar
kemitraan yaitu antarpemerintah, antarorganisasi sub-regional
dan antarkelompok masyarakat yang terdiri atas (pelaku bisnis,
akademisi dan masyarakat madani).

Kemitraan strategis yang baru ini diharapkan dapat


memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan
di kawasan Asia-Afrika yang mengarah pada upaya-upaya
meningkatkan sejumlah mekanisme yang sudah ada, seperti
NEPAD (New Partnership for African Development), TICAD
(Tokyo International Conference on African Development),
China-Africa Cooperation Conference Forum, India NEPAD
Fund, dan lain-lain.

Selain di Jakarta, Konferensi juga berlangsung di Bogor


dan mengahsilkan 4 tujuan pokok Konferensi Asia Afrika,
yaitu :

1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan


kerjasama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika, untuk
memajukan kepentingan-kepentingan bersama, serta
untuk menciptakan dan meningkatkan persahabatan.
2. Untuk meningkatkan kerjasama dibidang sosial, ekonomi,
dan kebudayaan.
3. Untuk mempertimbangkan hal-hal yang merupakan
kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika,
misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan
nasional dan masalah-masalah rasialisme dan
kolonialisme.

RKM/2005 28
4. Untuk memajukan kedudukan rakyat Asia dan Afrika
didalam dunia dewasa ini serta sumbangan yang dapat
mereka berikan guna memajukan perdamaian serta
kerjasama di dunia.
BAB VI
PENUTUP

Semenjak Uni Sovyet runtuh dan pecah terbagi menjadi


beberapa Negara, Gerakan Non Blok terasa kurang
relevansinya. Kejatuhan Uni Soviet tersebut kemudian diikuti
dengan krisis politik yang melanda Negara-negara sekutunya di
belahan Eropa Timur. Yugoslavia terpecah menjadi beberapa
Negara, Jerman Barat bergabung dengan Jerman timur dan
Negara-negara Eropa Timur lainnya melakukan reformasi
politik dan ekonomi mengikuti fenomena sejarah yang terjadi
saat itu.

Organisasi pertahanan Pakta Parsawa dibubarkan,


bahkan beberapa Negara yang dulu bergabung didalamnya
kemudian bergabung menjadi anggota NATO yang dulu
merupakan pesaing beratnya. Fenomena ini menandai
berakhirnya era perang dingin antara Blok Barat yang
dikomandani AS dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni
Sovyet. Situasi politik internasional berubah drastis dengan
menampilkan AS sebagai satu-satunya super power dunia.

Motivasi utama pendirian Gerakan Non Blok pada tahun


1961 adalah untuk menghindarkan perang serta memperkokoh
perdamaian. Persaingan kekutan militer yang sangat tajam
antara AS dan Uni Soviet menimbulkan kekhawatiran berbagai
Negara bahwa kemungkinan akan pecah perang terbuka
antara kedua pihak.
RKM/2005 29
Untuk menyikapi keadaan tersebut beberapa Negara
melakukan inisiatif dan memprakarsai sebuah gerakan yang
diposisikan netral, tidak memihak serta tidak berada di kedua
belah pihak. Pendirian GNB didasari oleh semangat Dasasila
Bandung yang dihasilkan pada Konferensi Asia Afrika (KAA) di
Bandung. Pada saat masih berlangsung perang dingin, tujuan
GNB memiliki relevansi yang sangat kuat. Keberadaannya
secara politik agak surut ketika terjadi revolusi politik besar-
besaran di Uni Sovyet dan Negara-negara Eropa Timur.

Namun jika dikaji lebih dalam, surutnya peran GNB itu


sebenarnya lebih bersifat di permukaan, Setelah berakhirnya
era perang dingin, bukan berarti dunia terbebas dari konflik dan
peperangan. Di beberapa Negara/wilayah, terjadi berbagai
konflik baik bersifat local maupun regional. Perseteruan politik
yang disertai dengan pergantian kepemimpinan nasional terjadi
dibeberapa Negara Afrika. Bahkan peristiwa yang hampir sama
juga dialami Indonesia, sebagai salah satu pelopor berdirina
gerakan ini.

Perang antara Israel dan Palestina tetap berlangsung


sampai saat ini, India dan Pakistan yang sama-sama anggota
GNB juga mengalami hubungan yang tidak harmonis. Hal yang
sama terjadi terhadap dua Negara bersaudara di Semenanjung
Korea yaitu Korea Selatan dan Korea Utara. Sementara itu
penyerangan AS kepada Irak yang merupakan salah satu
Negara anggota GNB juga tidak dapat dihindarkan.

Meskipun mayoritas anggota PBB yang berjumlah 196


negara merupakan anggota Gerakan Non Blok (144 negara),
tetapi GNB tidak mempunyai “kekuatan”. Terbukti ketika
akhirnya AS berhasil menyerang Irak dengan alasan Irak
RKM/2005 30
menyimpan senjata pemusnah massal. Padahal seperti
diketahui, dalam KTT GNB ke-13 di Kuala Lumpur, Malaysia,
Negara-negara anggota telah sepakat menjadikan krisis AS –
Irak sebagai salah satu tema utama.
Negara anggota menghendaki GNB mengeluarkan satu
resolusi yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap
rencana serangan AS tersebut. Pernyataan tersebut sangat
penting untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa
keberadaan GNB masih penting dan peranannya tidak dapat
dikesampingkan. Kenyataannya resolusi GNB ini tidak
bermakna karena AS tetap melancarkan aksinya di Irak.

Keadaan semacam ini harusnya menyadarkan Negara-


negara anggota GNB bahwa tantangan yang dihadapi tidak
berkurang bahkan semakin berat di masa depan.

**************

RKM/2005 31

Anda mungkin juga menyukai