Anda di halaman 1dari 8

PERLUNYA PERSATUAN DAN KESATUAN DALAM KEMAJEMUKAN

BANGSA

MARHAMAH ISTIANA

(GIB 009 010)

PROGRAM STUDY FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS MATARAM

2010
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk sekaligus religius. Masyarakat Indonesia
bukanlah masyarakat yang atheis yang tidak mengenal agama, karena bangsa ini memang
terbentuk dari berbagai budaya dan agama yang beragam. Ketika bangsa ini mengalami krisis
kebangsaan, tidak mengetahui dan memhami tentang sejarah bangsa dan lemahnya kebanggaan
atas bangsa, maka salah satu penyebabnya adalah masyarakat Indonesia telah jauh dari
agamanya masing-masing. Kita menyadari bahwa usaha mengembalikan jati diri bangsa adalah
dengan usaha pengenalan dan pengaktualisasi kembali ideologi dan asas-asas negara. Akan tetapi
bangsa Indonesia juga harus menyadari peran penting agama sebagai salah satu faktor untuk
menuju pemahaman dan pengaktualisasian ideologi dan asa negara tersebut, demi
mengmebbalikan jati diri bangsa.

Agama adalah keyakinan masing-masing individu. Tidak ada yang berhak mendikte,
apalagi memaksa untuk ikut dalam keyakinan orang lain. Agama adalah kebenaran mutlak bagi
yang memeluknya. Tidak pantas menganggap bahwa tidak ada kebenaran pada agama lain,
karena parameter yang digunakan tidak sama. Keragaman manusia adalah gambaran paling
terang pada manusia betapa hakikatnya manusia itu satu sama lain berbeda. Perbedaan yang
memang didesain oleh Sang Pencipta dengan tujuan agar saling menghormati dan menghargai
sesama serta menyadarkan manusia untuk hidup rukun dan tidak saling menindas.

Masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah dijamin oleh Pancasila dan UUD
1945. Artinya, kebebasan beragama mutlak harus ditangani secara baik oleh negara. Jangan
sampai, regulasi yang ada jauh sekali dengan semangat Pancasila, UUD 1945, dan reformasi.
Apakah UU No. 1 Tahun 1965 itu harus dicabut begitu saja, sehingga hal yang banyak
dikeluhkan ini benar-benar hilang, kemudian masyarakat betul-betul menikmati kebebasan
beragama tanpa aturan sama sekali? Ini tentu saja kurang bijaksana. Masyarakat tanpa hukum
cenderung liar dan berbuat seenaknya dengan alasan kebebasan.
Bagi bangsa ini, multikulturalisme ini penting digalakkan karena setidaknya mempunyai
empat peran bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, berfungsi
sebagai sarana altematif pemecahan konflik. Kedua, memproteksi seseorang agar tidak tercerabut
dari akar budayanya. Ketiga, nilainya cukup relevan dalam kehidupan bernegara yang
demokratis. Keempat, menciptakan masyarakat Indonesia yang multikultural.

Harus disadari bahwa cara pandang yang sempit dalam melihat kebersamaan akan
berakibat pada sikap partikularis, yang tentunya bertentangan dengan pluralitas. Padahal,
pluralitas merupakan fakta yang eksis sejak adanya manusia itu sendiri dan tidak mungkin dapat
dihindarkan. Pluralitas senantiasa menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang
kehidupan, termasuk dalam persoalan agama dan iman.

Kemajemukan yang dimiliki Indonesia yang taken for granted ini seharusnya dapat
menjadi energi positif untuk mambangun sebuah kemajuan. Di sinilah pentingnya setiap orang
bertransformasi menjadi sosok yang bisa menjalin hubungan kemanusiaan tanpa terhalangi oleh
batas-batas baik etnis, budaya, maupun agama. Sepanjang seseorang memiliki toleransi, rasa
saling menghormati, kerendahan hati, simpati, kepedulian, dan kemauan untuk bekerja sama satu
sama lain, dipastikan Indonesia menjadi harmoni.

B. PERMASALAHAN

Masalah pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi berdasarkan agama masih


aktual menghiasi persada negeri ini. Sejak November tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK)
menggelar sidang uji materiil Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini disinyalir menjadi penghambat kebebasan
beragama sekaligus akar masalah dari terjadinya pelanggaran dan tindakan intoleransi.
BAB II

PEMBAHASAN

UU No. 1 Tahun 1965 memang lahir pada masa pra reformasi. UU ini berbeda dengan
spirit konstitusi pasca amandemen dan sejumlah regulasi susulan yang cenderung lebih
membuka ruang bebas pada kehidupan beragama. Sebut saja UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi konvenen
internasional hak sipil dan politik. Langkah MK perlu diapresiasi, tapi tetap perlu dicermati baik-
baik agar keputusan MK nantinya benar-benar keputusan negara yang memayungi semua, tanpa
meninggalkan gurat kekecewaan di satu pihak.

Di negeri seperti Indonesia yang majemuk, heterogen, dan pluralistik, dengan


konfigurasi masyarakat pemeluk agama yang tidak berimbang, sehingga lahir istilah mayoritas
minoritas, persoalan kebebasan beragama memang rentan melahirkan banyak masalah. Hal ini
ditambah lagi dengan persoalan payung UU yang multitafsir dan karet, serta penegakan hukum
yang terkesan tebang pilih atau pilih-pilih kasih. Dalam situasi seperti ini, yang selalu
tersudutkan biasanya yang minoritas. Padahal, tidak selalu yang mayoritas itu benar dan harus
dibela.

Beragama dan menganut kepercayaan kepada Tuhan adalah hak paling asasi dimiliki
oleh setiap manusia. Beragama adalah fitrah dan naluri alamiah manusia. Bahkan, masyarakat
paling primitif pun meyakini adanya Tuhan dan berupaya keras untuk membuat ritual yang
menurut mereka bisa menjadi sarana komunikasi dengan Tuhan yang diyakini.

Agama atau kepercayaan sudah ada, bahkan ketika orang belum mengenal istilah negara
atau yang sejenisnya. Dalam konteks logika radikal semacam ini, negara tidak berhak merecoki
urusan yang paling asasi ini selain berdiri dalam posisi memberikan jaminan keamanan dan
payung yang nyaman untuk umat beragama, tidak yang lainnya.

Semangat regulasi negara berkaitan dengan kehidupan beragama dengan demikian perlu
mengakomodasi kepentingan semua pihak, sehingga tidak lahir kecemburuan dan perasan
jumawa karena merasa lebih dibela. Istilah mayoritas minoritas secara psikologis juga perlu
dicermati secara hati-hati, karena sedikit banyak sebetulnya agak rasis.

Mereka yang disebut mayoritas akan merasa di atas, berkuasa, dan paling berhak dibela.
Sementara minoritas dianggap sebagai berada di bawah, dikuasai, dan tidak punya pilihan. Istilah
ini akan lebih baik tidak digunakan karena bisa memecah belah dan menghancurkan relasi sosial.

Era reformasi sekarang ini mestinya menjadi momentum perbaikan dan koreksi terhadap regulasi
yang ada jika memang dalam perjalanannya telah banyak menimbulkan polemik dan masalah.
UU No. 1 Tahun 1965 sering digunakan sebagai senjata untuk melakukan tindakan-tindakan
yang kontra produktif dengan semangat reformasi.

Reformasi sendiri mengandung arti membuat bentuk baru yang mengakomodasi kepentingan
bersama, melindungi kemajemukan, serta menghargai perbedaan pendapat dan keyakinan.
Negeri ini sesungguhnya dibentuk oleh heterogenitas suku, budaya, dan agama.

Agama adalah keyakinan masing-masing individu. Tidak ada yang berhak mendikte,
apalagi memaksa untuk ikut dalam keyakinan orang lain. Agama adalah kebenaran mutlak bagi
yang memeluknya. Tidak pantas menganggap bahwa tidak ada kebenaran pada agama lain,
karena parameter yang digunakan tidak sama. Keragaman manusia adalah gambaran paling
terang pada manusia betapa hakikatnya manusia itu satu sama lain berbeda. Perbedaan yang
memang didesain oleh Sang Pencipta dengan tujuan agar saling menghormati dan menghargai
sesama serta menyadarkan manusia untuk hidup rukun dan tidak saling menindas.

Masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah dijamin oleh Pancasila dan UUD
1945. Artinya, kebebasan beragama mutlak harus ditangani secara baik oleh negara. Jangan
sampai, regulasi yang ada jauh sekali dengan semangat Pancasila, UUD 1945, dan reformasi.
Apakah UU No. 1 Tahun 1965 itu harus dicabut begitu saja, sehingga hal yang banyak
dikeluhkan ini benar-benar hilang, kemudian masyarakat betul-betul menikmati kebebasan
beragama tanpa aturan sama sekali? Ini tentu saja kurang bijaksana. Masyarakat tanpa hukum
cenderung liar dan berbuat seenaknya dengan alasan kebebasan.

Di sinilah peran sentral negara yang sudah sama-sama dibentuk dan diberi mandat untuk
menjaga harmoni perbedaan. Kehidupan beragama harus tetap diatur hukum. Akan tetapi, hukum
yang lahir setelah melalui apa yang disebut Habermas sebagai diskursus publik, sehingga bobot
yang dihasilkan bisa diterima semua pihak.

Negara harus memosisikan diri sebagai payung bagi semua kalangan, tidak
menganakemaskan yang satu dan menganaktirikan yang lainnya. Karena negara memang punya
kewajiban untuk melindungi semua. Lebih dari itu, negara harus berperan menjadi kreator
terciptanya kehidupan beragama yang bebas, toleran, harmoni, damai, serta saling menghargai
dan saling menghormati. Negara harus menjadi payung kemajemukan kehidupan beragama.
BAB III

KESIMPULAN

Masalah pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi berdasarkan agama masih


aktual menghiasi persada negeri ini. Beragama dan menganut kepercayaan kepada Tuhan adalah
hak paling asasi dimiliki oleh setiap manusia. Beragama adalah fitrah dan naluri alamiah
manusia. Masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah dijamin oleh Pancasila dan
UUD 1945. Artinya, kebebasan beragama mutlak harus ditangani secara baik oleh negara.
Jangan sampai, regulasi yang ada jauh sekali dengan semangat Pancasila, UUD 1945, dan
reformasi.

Agama adalah keyakinan masing-masing individu. Tidak ada yang berhak mendikte,
apalagi memaksa untuk ikut dalam keyakinan orang lain. Agama adalah kebenaran mutlak bagi
yang memeluknya. Tidak pantas menganggap bahwa tidak ada kebenaran pada agama lain,
karena parameter yang digunakan tidak sama.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai