Shock Culture
Shock Culture
Dosen Pembimbing:
Bayu Senjahari
Oleh:
Latifah Amelia (0755101)
Semester VII.B
Ini bukan kali pertama saya datang ke sana, tetapi baru kali ini saya
memahami dan mengerti keadaan lingkungan sekitar saya. Budaya dan kebiasaan
disana sangatlah berbeda dengan budaya kebiasaan ditempat saya biasa tinggal.
Hal itu membuat saya yang masih kecil bingung dan terheran-heran dengan
lingkungan disana.
Yang pertama kali saya tidak mengerti adalah bahasa warga disana.
Bahasanya sulit dimengerti. Intonasi gaya bicara mereka pun berbeda. Gaya
bicara dan suara saat berbicara sedikit keras. Terkadang membuat saya sedikit
terkejut saat mereka mengajak saya berbicara
Setelah seusia ini, saya masih merasakan sedikit Culture Shock walapun
saya sudah berkali-kali datang kesana. Ada saja budaya baru yang saya temukan
setiap datang kesana. Warga disana punya kebiasaan keluar rumah dimalam hari.
Tidak hanya remaja seusia saya, tapi juga orang-orang dewasa disana. Saat itulah,
mereka bertemu dengan teman dan sesama warga. Mereka biasanya disibukkan
dengan mengelola kebun disiang hari. Tak heran malam hari disanapun menjadi
sangat ramai.
Saya juga sempat terkejut waktu melihat banyak MOGE (motor gede)
yang harganya terbilang mahal terlihat tak terurus disana. Motor-motor yang biasa
digunakan remaja daerah saya untuk ‘Ngeceng’ alias pamer-pameran itu penuh
lumpur dan kotor, bahkan banyak yang sudah berkarat. Tapi sayangnya, motor-
motor bagus itu tidak digunakan dengan baik. Jalan-jalan setapak yang buruk
membuat motor-motor itu hancur. Tak jarang mereka juga menggunakan motor-
motor itu untuk pergi kekebun yang terkadang penuh dengan genangan air.
Selain itu masih ada budaya yang terbilang cukup baik disana. Setiap ada
pemuda daerah atau warga yang sudah tinggal diluar kota pulang ke desa itu,
mereka akan menyambut baik warga itu, biasanya dengan cara bertamu hingga
larut malam atau bahkan menjamu mereka untuk makan malam.
Gaya bicara yang sedikit kasar saya maklumi sebagai kebiasaan mereka,
saya mengerti bahwa mereka tidak bermaksud untuk mengasari lawan bicaranya.
Begitupun juga dengan budaya mandi beramai-ramai di sungai dan keluar malam,
saya memahami itu sebagai gaya hidup mereka bertetangga dan berinteraksi antar
warga tersebut.