Anda di halaman 1dari 3

TUGAS SEMESTER

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah


Cross Culture Understanding

Dosen Pembimbing:
Bayu Senjahari

Oleh:
Latifah Amelia (0755101)
Semester VII.B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


JURUSAN TARBIYAH
PRODI S-1 BAHASA INGGRIS
Curup Bengkulu
Januari 2011
Ini adalah saat pengalaman saya mengenai Culture Shock. Saat itu saya
masih kecil. Saya pergi ke desa kelahiran orang tua saya. Desa itu bertempat
ditempat di Pinggiran Sumatera Selatan. Disana bisa dibilang desa terpencil.
Berjarak sekitar 60 km dari jalan lintas Sumatra, melewati pesawangan dan kebun
karet sepanjang jalan.

Ini bukan kali pertama saya datang ke sana, tetapi baru kali ini saya
memahami dan mengerti keadaan lingkungan sekitar saya. Budaya dan kebiasaan
disana sangatlah berbeda dengan budaya kebiasaan ditempat saya biasa tinggal.
Hal itu membuat saya yang masih kecil bingung dan terheran-heran dengan
lingkungan disana.

Yang pertama kali saya tidak mengerti adalah bahasa warga disana.
Bahasanya sulit dimengerti. Intonasi gaya bicara mereka pun berbeda. Gaya
bicara dan suara saat berbicara sedikit keras. Terkadang membuat saya sedikit
terkejut saat mereka mengajak saya berbicara

Anak-anak kecil disana mempunyai kebiasan mandi sore di sungai.


Disanalah mereka berkumpul dan bertemu dengan teman-teman mereka. Awalnya
saya merasa jijik karena sungai-sungai itu kotor. Disungai itu juga direndam karet
hasil panen warga sekitar yang baunya sangat menyengat. Ditambah lagi, banyak
anak-anak yang tidak menggunakan pakaian saat mandi disana. Remajanya pun
tidak sungkan mandi bersama disana, padahal remaja putrinya hanya mengenakan
basahan (semacam kain yang dililit dibadan) yang bakalan ‘nyeplak’ saat basah
dan tak jarang sedikit tranpasran. Tetapi anak-anak itu sama sekali tidak segan
mandi bersama disana..

Setelah seusia ini, saya masih merasakan sedikit Culture Shock walapun
saya sudah berkali-kali datang kesana. Ada saja budaya baru yang saya temukan
setiap datang kesana. Warga disana punya kebiasaan keluar rumah dimalam hari.
Tidak hanya remaja seusia saya, tapi juga orang-orang dewasa disana. Saat itulah,
mereka bertemu dengan teman dan sesama warga. Mereka biasanya disibukkan
dengan mengelola kebun disiang hari. Tak heran malam hari disanapun menjadi
sangat ramai.
Saya juga sempat terkejut waktu melihat banyak MOGE (motor gede)
yang harganya terbilang mahal terlihat tak terurus disana. Motor-motor yang biasa
digunakan remaja daerah saya untuk ‘Ngeceng’ alias pamer-pameran itu penuh
lumpur dan kotor, bahkan banyak yang sudah berkarat. Tapi sayangnya, motor-
motor bagus itu tidak digunakan dengan baik. Jalan-jalan setapak yang buruk
membuat motor-motor itu hancur. Tak jarang mereka juga menggunakan motor-
motor itu untuk pergi kekebun yang terkadang penuh dengan genangan air.

Selain itu masih ada budaya yang terbilang cukup baik disana. Setiap ada
pemuda daerah atau warga yang sudah tinggal diluar kota pulang ke desa itu,
mereka akan menyambut baik warga itu, biasanya dengan cara bertamu hingga
larut malam atau bahkan menjamu mereka untuk makan malam.

Awalnya saya memang sedikit bingung dan terkadang sedikit terganggu


dengan budaya mereka, tapi sekarang saya sudah mulai beradaptasi dengan
keadaan disana. Saya mulai melihat hal-hal positif seperti hidup gotong royong
yang masih sangat kental disana. Tenggang rasa dan peduli pada sesama yang
sudah berangsur-angsur memudar diperkotaan juga sangat saya rasakan disana.
Begitu juga rasa kekeluargaannya.

Gaya bicara yang sedikit kasar saya maklumi sebagai kebiasaan mereka,
saya mengerti bahwa mereka tidak bermaksud untuk mengasari lawan bicaranya.
Begitupun juga dengan budaya mandi beramai-ramai di sungai dan keluar malam,
saya memahami itu sebagai gaya hidup mereka bertetangga dan berinteraksi antar
warga tersebut.

Hidup yang makmur, dengan mayoritas warga mempunyai perkebunan


karet dan pengolahan yang baik serta pikiran yang maju, membuat saya cukup
mengagumi mereka, mereka biasanya menyekolahkan anak-anak mereka sampai
keperguruan tinggi diluar kota demi mendapatkan anak-anak yang berpendidikan
tinggi. Saya rasa, saya sudah merasa cukup memahami warga disana dan saya
juga sudah merasa nyaman jika ikut orangtua saya pulang kesana.

Anda mungkin juga menyukai