Anda di halaman 1dari 2

Pesantren dan Perubahan Alam

Senin, 27 Desember 2010 14:03

Magelang, NU Online
Pondok pesantren di tengah isu global perubahan iklim berkepentingan untuk ikut
berpartisipasi aktif di dalamnya. Sebagai bagian integral di tengah masyarakat dunia,
pesantren mempunyai tugas penting mendorong masyarakat untuk sadar terhadap
lingkungan hidup yang menopang kehidupan sehari-harinya.

Hal ini penting dilakukan mengingat kehidupan manusia sangat tergantung pada
kelestarian alam di sekitarnya. Gagasan tersebut kuat mengemuka dalan even tradisional
yang gegap gempita bernama Suran Tegalrejo bertajuk “Jamasan alam” diselenggarakan
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API), Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah,
Jumat malam (24/12).

KH Muhammad Yusuf Chudlory  atau Gus Yusuf, penggagas Jamasan Alam sekaligus
pengasuh Pesantren API Tegalrejo, mengakui pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan.

“Melalui kesenian tradisional Jamasan Alam ini, marilah kita niati agar mampu berdamai
dengan alam,” kata Gus Yusuf.

Malam itu, ribuan warga tumplek  menyaksikan kegiatan unik yang diisi pentas
kebudayan oleh belasan grup kesenian lokal, teater, dan pidato kebudayaan ini.

Latarbelakang even ini, antara lain, didorong oleh hadirnya fenomena alam letusan
gunung berapi (Merapi), aliran lahar dingin, dan berbondong-bondongnya warga
mengungsi ke tempat lain akibat alam. Namun lebih dari itu, makna Jamasan Alam ini
merupakan dakwah ala pesantren kontemporer bagi rakyat agar mampu berdamai dengan
alam.

Tak pelak, acara ini juga menjadi ruang refleksi sekaligus kritik rakyat kepada penguasa.
Adalah Sutanto Mendut, Presiden Lima Gunung, melontarkan kritik arif kepada
pemerintah soal tanggap bencana gunung Merapi yang cenderung terpasung pada standar
kaku yang membuat rakyat sulit memahami secara teknis. Tanggap bencana itu adalah
kategorisasi langkah berupa “waspada”, “siaga”, dan “awas”. 

Kata Sutanto, setiap Merapi “bertingkah” kebijakan yang disampaikan pemerintah selalu
terpaku pada tiga kata itu sebagai upaya melindungi rakyat. Akan tetapi tidak dibarengi
dengan penjelasan teknis yang detail terhadap Gunung Merapi. Sehingga usaha
melindungi rakyat tidak terlaksana secara baik, justru sebaliknya.

Dikatakan, tanpa dibarengi keterangan komplit dari pejabat, lalu rakyat mencari
pemahaman sendiri tentang kebijakan pemerintah itu sehingga makna “waspada”,
“siaga”, dan “awas” ditafsirkan sendiri-sendiri oleh rakyat.

“Jangan heran, rakyat berusaha mandiri mengambil langkah cerdas menyelamatkan diri
tanpa peduli ada awas, waspada, maupun siaga. Makanya, pejabat harus berguru pada
rakyat,” katanya.  (mmn)

Anda mungkin juga menyukai