Anda di halaman 1dari 5

mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Sultan Hasanuddin
(lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12
Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang
terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.
Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla
Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki
De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia
dimakamkan di Katangka, Makassar.

Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6
November 1973.

Sejarah
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa
ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur
Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.[1]

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil
di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan
Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin
mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia.
Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan
tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil
menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada

Bung Tomo / Sutomo

Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7
Oktober 1981 pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo,
adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk
melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10
November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan
Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian
darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah
bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah
ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Masa muda
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang
dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia
terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan
untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan
pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari
kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada
usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang
mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya
dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Perjuangan
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah
kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru
yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan
Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha
membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara
NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran
radionya yang penuh dengan emosi, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah
satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.

Setelah kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an,
namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa
pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo
kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat
Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada
1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai
anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia
berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehinga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh
pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun
kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo
tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-angkat
peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan
anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya
sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia
meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi
untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan
di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Gelar Pahlawan Nasional


Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar
memberikan gelar pahlawan kepada Bung tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan
nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November
2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia
Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta. tanggal 12 Juni 1

Pattimura

Kapitan Pattimura (lahir di Negeri Haria, Porto, Pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di
Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), atau dikenal dengan nama Thomas
Matulessy atau Thomas Matulessia, adalah Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putra Frans
Matulessia dengan Fransina Silahoi. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah
berkarir dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[1] Kata "Maluku" berasal dari bahasa
Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[2]

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk
serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal
11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan
koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa
jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan
dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari
dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan [3] Kedatangan
kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan
karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat
Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang diberi gelar
Kapitan Pattimura [2] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-
raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima
perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang,
Thomas Matulessy mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil
mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat,
mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam
perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore,
raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda
dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah
seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain
Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang
menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran
di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram
Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi
hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di
tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu,
Thomas Matulessy dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh
pemerintah Republik Indonesia Pahlawan Nasional Indonesia. 669. Sultan Hasanuddin kemudian

Anda mungkin juga menyukai