Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KUNJUNGAN

MATA KULIAH PILIHAN BIOENERGI


SUB-MATERI BIOETANOL

Dosen Pembimbing : Ir. Margaretha Tuti S., MP


Disusun oleh Kelas A angkatan 2008

Program Studi Diploma III Teknik Kimia


Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Etanol atau yang lebih dikenal dengan alkohol dengan rumus kimia
C2H5OH. Fermentasi merupakan salah satu upaya untuk mengubah senyawa
karbohidrat menjadi etanol dengan bantuan mikroorganisme. Molase (tetes tebu)
merupakan hasil samping dari industri pengolahan gula yang masih mengandung
gula cukup tinggi. Kandungan gula molase terutama sukrosa berkisar 48-55%,
sehingga merupakan bahan baku yang cukup potensial untuk pembuatan etanol.
Kandungan gula sebesar 10-18% dalam medium fermentasi umumnya
menghasilkan etanol yang cukup memuaskan.
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia yang disebabkan oleh
aktivitas mikroba ataupun oleh aktiviatas enzim yang dihasilkan mikroba. Jalur
metabolisme karbohidrat yang pernah diselidiki adalah sistem fermentasi etanol
oleh khamir. Jenis khamir yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae.
Dalam fermentasi ini glukosa didegradasi menjadi etanol dan CO2 melalui suatu
jalur metabolisme yang disebut glikolisis.
Sebagaimana diketahui bahwa ethanol/bio-ethanol mempunyai nilai oktan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan premium. Ethanol/bio-ethanol apabila
dicampur dengan premium dapat meningkatkan nilai oktan, dimana nilai oktan
untuk ethanol/bio-ethanol 98% adalah sebesar 115, selain itu mengingat
ethanol/bio-ethanol mengandung 30% oksigen, sehingga campuran ethanol/bio-
ethanol dengan gasoline dapat masuk katagorikan high octane gasoline (HOG),
dimana campuran sebanyak 15% bioethanol setara dengan pertamax (RON 92)
dan campuran sebanyak 24% bioethanol setara dengan pertamax plus (RON 95).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bioetanol
Bioetanol merupakan etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung
komponen pati atau selulosa seperti singkong dan tetes tebu. Etanol umumnya
digunakan dalam industri sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran
minuman keras seperti sake atau gin, dan bahan baku farmasi dan kosmetika.
Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu
a. Grade industri (teknikal) dengan kadar alkohol 90-94%;
b. etral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk
minuman keras atau bahan baku farmasi:
c. Grade bahan bakar dengan kadar alkohol 99,5 – 100%. grade bahan
bakar dengan kadar alkohol 99,5 – 100%.

2.2. Molase
Bahan sisa dari industri gula banyak dijumpai disamping hasil utamanya.
Dari berbagai bahan sisa yang dihasilkan industri gula,molase merupakan bahan
dasar yang berharga sekali untuk industri dengan fermentasi. Molase adalah
sejenis sirup yang merupakan sis dari proses pengkristalan gula pasir. Molase
tidak dapat dikristalan karena mengandung glukosa dan fruktosa yang sulit untuk
dikristalkan. Molase merupakan produk limbah dari industri gula di mana produk
ini masih banyak mengandung gula dan asam-asam organik, sehingga merupakan
bahan baku yang sangat baik untuk industri pembuatan etanol. Bahan ini
merupakan produk sampingan yang dihasilkan selama proses pemutihan gula.
Kandungan gula dari molase terutama sukrosa berkisar 40-55%.
Molase masih mengandung kadar gula yang cukup untuk dapat
menghasilkan etanol dengan proses fermentasi, biasanya pH molase berkisar
antara 5,5-6,5. Molase yang masih mengandung kadar gula sekitar 10-18% telah
memberikan hasil telah memberikan hasil yang memuaskan untuk pembuatan
etanol. Jeniss miroorganisme yang berperan dalam proses ini dalam golongan
khamir Saccharomyces cereviae.
Molase dari tebu dapat dibedaka menjadi 3 jenis. Molase kelas 1 , kelas 2
dan “black strap”. Molase kelas 1 didapatkan saat pertama kali jus tebu
dikristalisasi. Saat dikristalisasi tredapat sisa jus tidak mengkristalkan dan bewrna
bening. Maka sis jus ini langsung diambil sebagai molase kelas 1. Kemudian
molase kelas 2 atau biasanya disebut dengan “Dark” diperoleh saat proses
kristalisasi kedua. Warnanya agak kecoklatan sehinga sering disebut juga dengan
istilah “Dark”. Dan molse kelas terakhir, “Blak Strap” dipeeroleh dari kristalisasi
terakhir. Warna “Black Strap” ini memang mendekati hitam (coklat tua) sehingga
tidak salah jika diberi nama “blak strap” sesuai dengan warnanya. “blak
strap”ternyata memiliki kandungan zat yang berguna. Zat-zat tersebut antara lain
kalsium, magnesium, potasium, dan besi. “blck strap” memiliki kandungan kalori
yang cukup tinggi, karena terdiri dari glukosa dan fruktosa
Tabel Komposis kimia molase
Komposisi Presentase
(%)
Bahan Kering 77 – 84
Total Gula Sebagai Gula 52 – 67
Invert
C -
N 0,4 – 1,5
P2O5 0,6 – 2,0
CaO 0,1 – 1,1
MgO 0,03 – 0,1
K2O 2,6 – 5,0
SiO2 -
Al2O3 -
Fe2O5 -
Total Abu 7 - 11

2.3. Ragi
Ragi atau dikenal juga dengan sebutan “Yeast” merupakan semacam
tumbuh – tumbuhan bersel 1 yang tergolong dalam keluarga cendawan. Ragi akan
bekerja bila ditambahkan gula dan kondisi suhu yang hangat. Kandungan
karbondioksida yang dihasilkan akan membuat suatu adonan menjadi
mengembang dan berbentuk pori – pori. Ada 2 jenis ragi dipasaran yaitu ragi
padat dan ragi kering. Jenis ragi kering ini ada yang berbentuk butiran kecil –
kecil dan ada yang berbentuk bubuk halus. Jenis ragi yang butirannya halus dan
berwarna kecoklatan ini umumnya digunakan dalam pembuatan roti. Sedangkan
ragi padat yang berbentuk bulat pipih, sering digunakan dalam pembuatan tapai.
Ragi ini dibuat dari tepung beras, bawang putih dan kayu manis yang diaduk
hingga halus, lalu disimpan dalam tempat yang gelap selama beberapa hari hingga
terjadi proses fermentasi. Setelah tumbuh jamur yang berwarna putih susu
kemudian ragi ini dijemur kembali hingga benar – benar kering.
Ragi padat memilik aroma yang sangat tajam dengan aroma alkohol yang
sangat khas. Yeast adalah group non filmentus fungi, uniseluler dan berkembang
biak dengan cara “building” . Khamir yang memproduksi askospora termasuk
dalam golongan Ascomycetes. Saccharomycess cereviseae adalah khamir yang
digunakan untuk fermentasi alkohol (Muslimin , 1996)

Manfaat dan Penggunaannya:


 Ragi padat, selain dimanfaatkan untuk fermentasi pembuatan tapai terkadang
juga untuk mengempukkan ikan atau membuat pindang bandeng. Dalam
penggunaannya, ragi padat harus d’haluskan sebelum ditaburkan dalam
bahan lainnya.
 Ragi kering yang terbentuk butiran dan bubuk ini bisa membuat adonan roti
menjadi mengembang, empuk dan mulus.
 Untuk pemakainnya, ragi kering bentuknya butirab harus dicampur dengan
air hangat dan gula agar terbentuk “adonan biang” sebelum dicampur dengan
adonan tepung.
Sedangkan ragi kering yang bentuknya butiran halus atau ragi instan, cara
pemakaiannya bisa langsung dicampur dalam adonan tepung, gula, air dan bahan
lainnya (Tim Penulis UNAIR 2007)
Proses pembuatan ragi tape cukup sederhana yaitu bahan-bahan seperti
laos, bawang putih, air tebu, ubi kayu, jeruk nipis dan bahan lainnya dicampur
menjadi satu, kemudian ditambahkan air sampai terbentuk adonan, kemudian
didiamkan pada suhu kamar selama 3 hari dalam keadaan terbuka, dipisahkan
kotorannya dan diperas untuk mengurangi airnya, setelah itu dibentuk bulatan-
bulatan lalu dikeringkan. Selama 3 hari akan tumbuh ragi dan kapang secara
alami, dalam hai ini dapat ditambahkan ragi pasar untuk mempercepat
pertumbuhan kapang dan ragi tersebut (Tim Penulis IPB, 2006).
Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri
dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein
yakni sekitar 40 – 50 %, jumlah protein ragi tersebut tergantung dari jenis bahan
penyusunnya (Susanto dan Saneto, 1990).

2.3.1. Saccharomycess cereviseae


Pemilihan mikroorganisme biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat
yang digunakan sebagai medium. Untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula
digunakan khamir Saccharomycess cereviseae. Pemilihan tersebut bertujuan agar
didapatkan mikroorganisme yang mampu tumbuh dengan cepat dan mempunyai
toleransi terhadap konsentrasi gula yang tinggi, mampu menghasilkan alkohol
dalam jumlah yang banyak dan tahan terhadap alkohol tersebut. (Sa’id, 1987)
Saccharomycess cereviseae mempunyai bentuk sel bundar, oval atau
elongasi. Berkembang biak secara vegetatif dengan membentuk tunas dan
membentuk spora aseksual pada askus 1 – 4 spora dengan bentuk yang beragam.
Reproduksi generatif berlangsung dengan konjugasi isogami maupun heterogami.
Menurut Fraenkel (1982), temperatur pertumbuhan yang optimum untuk
Saccharomycess cereviseae adalag 28 – 30oC dan pH optimum untuk
pertumbuhan sel khamir 4,5 – 5,5 (Moat and Foster, 1988)
Menurut Sofer and Zaborsky (1981), konsentrasi etanol maksimum yang
dapat dihasilkan mikrobia adalah berkisar 11 – 14 %.

2.3.2. Urea
Urea adalah senyawa yang larut dalam air, CO(NH3)2, dengan sebagian
besar adalah kandungan nitrogen yang merupakan komponen utama dari urine
mamalia dan organisme lain seperti fungi, sebagai hasil akhir dari metabolisme
protein. Pupuk Urea ini diproduksi dan disiapkan dalam bentuk curah dan butiran.

2.3.3. NPK
NPK ini memiliki keunggulan seperti meningkatkan hasil lebih dari 40%,
mudah ditebar dan langsung meresap, batang lebih kokoh dan tahan rebah, cocok
untuk segala jenis tanaman, tanah menjadi lebih subur, hara tersedia lengkap dan
berimbang, terbuat dari bahan bermutu, serta aman untuk lingkungan sehingga
dapat digunakan sebagai nutrisi pada fermentasi tetes

2.4. Sumber energi


Untuk keperluan hidupnya khamir memerlukan bahan – bahan organik dan
anorganik. Khamir mendapatkan energi dari ikatan karbon untuk pertumbuhan
dan perkembangbiakannya yang berasal dari molekul sederhana seperti gula, asam
organik atau alkohol yang diubah menjadi senyawa kompleks seperti protein,
polisakarida, lemak dan lignin.
Menurut Buckle, et aL, (1984) karbon dan energi dapat diperoleh dari gula
karbohidrat sederhana seperti glukose. Karbohidrat merupakan sumber karbon
yang paling banyak digunakan dalam fermentasi oleh sel khamir.
Khamir merupakan bahan – bahan organik dan anorganik yang diserap dan
digunakan sel dalam proses metabolisme. Energi yang dihasilkan digunakan untuk
aktivitas sel. Fungsi fisiologik dari karbon adalah sebagai bahan dasar materi sel
organik.

 Kegunaan etanol :
Kegunaan etanol dalam dunia industri yaitu:
1. Untuk membuat minuman keras seperti bir dan wisky.
2. Seebagai obat antiseptik pada luka dengan kadar 70%.
3. Untuk membuat barang industri misalnya zat warna, parfum,
essence buatan dan lainnya.
4. Untuk kepentingan industri dan sebagai pelarut bahan bakar
ataupun diolah kembali untuk menjadi bahan lain.
5. Untuk kepentingan lain dan alkohol.
 Syarat mutu etanol
Didalam perdagangan dikenal etanol menurut kualitasnya yaitu :
a) Alkohol teknis (96,5o GI) terutama digunakan untuk kepentingan
industri dan sebagai pelarut bahan bakar.
b) Alkohol murni (96-96,5o) alkohol yang lebih murni, digunakan
terutama untuk kepentingan farmasi, minuman keras dan alkohol.
c) Spiritus (88oGI) bahan ini merupakan alkohol terdenaturasi dan
diberi warna umumnya digunakan untuk pemanasan dan
penerangan.
d) Alkohol absolut atau alkohol adhidra (99,5-99,8o GI) tidak
mengandung air sama sekali. Digunakan untuk kepentingan
farmasi dan untuk bahan bakar kendaraan.

 Sifat-sifat fisika etanol


Etanol memiliki banyak manfaat bagi masyarakat karena
memiliki sifat yang tidak beracun. Selain itu etanol juga memiliki
banyak sifat-sifat, baik secara fisika maupun kimia. Adapun sifat-
sifat fisika etanol dapat dilihat pada tabel

Berat molekul 46,07


gr/grmol
Titik lebur -112oC
Titik didih 78,4oC
Densitas 0,7893 gr/ml
Indeks bias 1,36143 cp
Viskositas 20oC 1,17 cp
Panas penguapan 200,6 kal/gr
Tidak berwarna
Larut dalam air dan
eter
Memiliki bau khas
Tabel Sifat Fisika Etanol
 Sifat-sifat kimia etanol
Etanol selain memiliki sifat-sifat fisika juga memiliki sifat-
sifat kimia. Sifat –sifat kimia tersebut adalah :
1. Merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik
2. Mudah menguap dan mudah terbakar
3. Bila direaksikan dengan asam halida akan membentuk alkil
halida dan air
CH3CH2OH + HC=CH CH3CH2OCH=CH2 + H2O
4. Bila direaksikan dengan asam karboksilat akan membentuk ester
dan air
CH3CH2OH + CH3COOH CH3COOCH2CH3 + H2O
5. Dehidrogenasi etanol menghasilkan asetaldehid
6. Mudah terbakar di udara sehingga menghasilkan lidah api
(flame) yang berwarna biru muda dan transparan dan
membentuk H2O dan CO2

BAB III
METODOLOGI

3.1. Cara kerja pembuatan bioetanol :


3.1.1. Proses fermentasi
Tetes yang telah disiapkan sebanyak 30 L dimasukkan dalam alat
fermentor kemudian ragi 100 gr , NPK 1 sendok makan, urea 2 sendok
makan dan air gula hangat 50 ml, dicampur dan diaduk sampai merata.
Proses fermentasi dilakukan selama minimal 1 minggu. Setelah 1 minggu
tetes di fermentasi dilakukan proses distilasi untuk penyulingan antara
alkohol dengan air.
3.1.2. Proses distilasi
Proses distilasi dilakukan dalam distilator yang digunakan dalm
UKM Agromakmur yang berkapasitas 90 L. di dalam distilator
dimasukkan 30 L tetes yang telah di fermentasi serta ditambahkan air
sebanyak 60 L. Proses distilasi dilakukan pada suhu 85-90oC. Setelah
proses pemanasan alkohol menguap kemudian didinginkan menggunakan
pendingin AC. Hasil dari penyulingan menghasilkan bioetanol dengan
kadar 85 %. Untuk mengetahui kadar alkohol yang dihasilkan digunakan
alkoholmeter.

Alat : Bahan :
 Fermentor  Tetes 30 L
 Distilator  Ragi 100 gr
 Alcoholmeter  Urea 2 sendok makan
 Air conditioner  NPK 1 sendok makan
 Tangki penampung alkohol  Air gula hangat 50 ml
 Air 60 L
Gb. Instalasi Alat Distilasi (alat suling) UKM Agromakmur

3.1.3. Membuat kurva standar hubungan antara rE vs XE etanol- air


pada berbagai komposisi :
Membuat larutan 10% berat etanol dalam air dengan volume total 30 ml
1. Hitung volume etanol absolute yang diperlukan dengan persamaan:

a. Ukur volume etanol absolute dengan volume etanol terhitung yang


dibulatkan sampai satu angka desimal di belakang koma.
b. Tambahkan aquades ke dalam etanol absolut yang sudah diukur
volumenya, hingga mencapai volume 30 ml
2. Tentukan densitas larutan 10% berat etanol dalam air
3. Ulangi langkah di atas untuk larutan 20% sampai 100%
4. Buat kurva hubungan massa jenis komponennya vs komposisi
komponennya
3.2. Menentukan kadar etanol teknis:
1. Tentukan densitas etanol teknis menggunakan picnometer
2. Plotkan data densitas etanol teknis pada kurva standar (rho)E vs XE
3. Baca dan catat kadar etanol teknis (XE)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Konsentrasi Gula Dalam Tetes/Molase

Kecenderungan yang terjadi yaitu semakin naiknya konsentrasi gula akan


menghasilkan produktivitas etanol yang makin tinggi. Hal ini disebabkan semakin
banyaknya substrat yang tersedia untuk digunakan dalam metabolisme yeast
sehingga akan menghasilkan metabolit yaitu etanol yang semakin banyak pula.
Proses kontinyu selama distilasi UKM Agromakmur menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi karena dengan proses kontinyu substrat
ditambahkan secara terus menerus kedalam sistem fermentasi sehingga kebutuhan
sumber kabon serta nutrisi-nutrisi lain yang diperlukan oleh yeast selalu tersedia.
(Ergun dan Mutlu, 2000)
Telah dijelaskan bahwa dengan kenaikan konsentrasi substrat akan
menaikkan perolehan etanol, namun tetap saja ada batas maksimal konsentrasi
substrat untuk proses fermentasi etanol. Menurut Roukas (1996), penurunan
produksi etanol pada konsentrasi gula berlebih merupakan efek dari inhibisi
subtrat. Konsentrai subtrat yang tinggi akan mengurangi jumlah oksigen terlarut.
Selama proses penyiapan media dalam fermentasi, oksigen tetap
dibutuhkan walaupun dalam jumlah yang sedikit. Saccharomyces cereviseae
membutuhkan oksigen untuk mempertahankan kehidupan dan menjaga
konsentrasi sel tetap tinggi. (Hepworth 2005; Nowak 2000; Tao dkk, 2005).
Fungsi oksigen disini adalah untuk memproduksi ATP dalam glikolisis
dan dalam fosforilasi oksidatif. Proses fosforilasi oksidatif merupakan proses yang
paling menonjol dalam produksi ATP. Bila tidak ada oksigen (anaerob), NADH
dalam mitokondria tidak dapat dioksidasi kembali maka daur asam sitrat,
pembentukan ATP serta pemecahan nutrisi akan terhenti.
4.3. Pemanfaatannya sebagai Bahan Bakar Kendaraan

Sejauh ini dalam UKM Agromakmur penggunaannya antara lain untuk


susbtitusi premium, etanol merupakan bahan yang paling menjanjikan. Etanol
yang diproduksi dari tumbuhan (disebut bioetanol) diperoleh dari fermentasi gula
dan pati. Gula bisa berasal dari tebu, sorgum manis atau bit. Pati diperoleh dari
jagung, gandum, singkong, umbi-umbian dan bahan tanaman berpati lain.
Produksi etanol dari tanaman akan menurunkan emisi CO2, karena tanaman
membutuhkan gas tersebut bagi pertumbuhannya. Untuk setiap 4 milyar galon
etanol yang dihasilkan dari tanaman, akan ditangkap CO2 sebanyak 26 juta m3.
Pemakaian etanol lebih ramah lingkungan. Etanol memiliki angka oktan
117 atau lebih tinggi dibanding premium yang hanya 87-88. Oleh karena itu,
etanol bisa menggantikan peran Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Methyl Tertiary
Buthyl Ether (MTBE) yang mengandung timbal. Penggunaan etanol murni akan
menghasilkan CO2 13% lebih rendah dibanding premium. Selain itu, emisi CO
dan UHC pada pemakaian etanol juga lebih sedikit dari premium. Etanol yang
berasal dari tebu dalam beberapa hal lebih prospektif dibanding tanaman lain.
Tabel Perbandingan Sifat thermal, kimia dan fisika dari
ethanol/bioethanol
dan premium

4.4. Prioritas Pemanfaatan Sumber Bahan Etanol


Data Lamlet (Latin America Thematic Network on Bioenergy)
menunjukkan biaya produksi etanol paling murah. Untuk setiap m3 etanol yang
dihasilkan dari tebu diperlukan biaya $160. Bandingkan dengan sumber lain. Dari
jagung, misalnya, untuk jumlah yang sama perlu $ 250-420, dari gandum $ 380-
480, dari kentang $ 800-900, dari singkong $ 700, dan dari gula bit $300-400.
Produksi etanol asal tebu butuh energi relatif sedikit. Rasio output/input energi
etanol dari tebu sekitar 2,5.9,0. Sementara dari jagung 1,3, sorgum manis
Selain itu, reduksi emisi CO2 dalam hal pemakaian etanol asal tebu
sebagai substitusi premium mencapai 50-90%. Untuk etanol dari jagung hanya
20-40% dan gula bit 30-50%. Etanol dari tebu bukan hanya bisa diperoleh dari
tetes tetapi juga bisa berasal dari ampas (bagasse) dan daun. Ini sekaligus untuk
menepis kritik soal etika berkaitan persaingan penggunaan sumber pangan dan
energi. Pengunaan bahan-bahan yang bisa langsung dikonversi menjadi etanol
seperti tetes, jagung, singkong, gandum, dan umbi-umbian sejauh ini menuai
banyak kritik karena akan menurunkan suplai bahan pangan. Apabila kembali ke
tebu, maka hal tersebut bisa dihindari. Ampas (32% tebu) dan trash (14% tebu)
merupakan senyawa lignoselulosa. Lignoselulosa dipecah menjadi selulosa, lignin
dan hemiselulosa. Selulosa diuraikan menjadi glukosa terus menjadi etanol.
Selulosa didegradasi menjadi silosa yang bisa diubah lebih lanjut menjadi silitol
(silitol merupakan pemanis alternatif yang baik bagi kesehatan karena berkalori
rendah dan tidak merusak gigi). Dengan cara ini, produksi etanol per ha tebu akan
meningkat 2-3 kali lipat. Bila hanya mengandalkan tetes, produksi etanol per ha
tebu kira-kira 1.200 liter. Dengan konversi ampas dan trash akan dihasilkan lebih
dari 2.500 liter etanol per ha.
Kondisi saat ini memang belum memungkinkan konversi ampas dan trash
ke etanol. Ampas di Pabrik Gula (PG) masih dipakai sebagai bahan bakar
pembangkit uap. Kelebihan ampas hanya terjadi di PG yang memiliki efisiensi
pengunaan energi tinggi. Bahkan di beberapa wilayah, trash pun dipakai sebagai
suplesi ampas untuk bahan bakar. Meskipun bahan baku lignoselulosa relatif
murah, namun konversi bahan tersebut menjadi etanol perlu teknologi lebih
tinggi. Dalam hal etanol dari tebu, masih ada peluang lain melalui penanaman
tebu genjah. Berbeda dengan tebu giling yang dipanen umur 1 tahun, tebu genjah
bisa dipanen umur 8 bulan. Artinya, tebu ini dalam 2 tahun bisa dipanen 3 kali.
Untuk keperluan pembuatan etanol, tebu genjah tidak perlu menghasilkan sukrosa
(gula kristal) tinggi, tetapi yang penting berkadar gula banyak.
Gula yang diperlukan untuk fermentasi etanol tidak hanya terbatas
sukrosa, tetapi bisa berupa glukosa dan fruktosa. Oleh karena itu, faktor iklim
yang selama ini menjadi faktor pembatas budidaya tebu khususnya pada periode
penimbunan sukrosa pengaruhnya menjadi tidak dominan. Ini akan
menguntungkan karena tebu genjah tidak perlu ditaman pada masa tanam optimal
(Mei-Agustus). Hal lain yang menguntungkan, karena target produksi tebu genjah
bukan sukrosa tetapi total gula, maka tebu ini kemungkinan bisa ditanam di lahan-
lahan kritis dan marjinal. Lahan-lahan seperti ini berserakan jutaan hektar di
seantero tanah air. Akan tetapi, bagaimanapun memang akan sangat berat bila
kebutuhan etanol ke depan sepenuhnya tergantung kepada tanaman tebu. Bila
etanol diproduksi dari tetes, maka guna memenuhi kebutuhan 3,6 milyar liter
dibutuhkan area 3 juta ha. Pengembangan area tebu dari 400 ribu ha ke 3 jt ha
dalam waktu 3 tahun mustahil dilakukan. Oleh karenanya, pengembangan
produksi etanol memerlukan koordinasi dari operator sektor pertanian, industri,
energi, perdagangan, transportasi dan BUMN.

4.5. Kendala dalam pengembangan Bioethanol

Dalam memenuhi program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan


bakar kendaraan, pemerintah telah membuat road map teknologi bio-ethanol,
yaitu pada periode tahun 2005-2010 dapat memanfaatkan bio-ethanol sebesar 2%
dari konsumsi premium (0.43 juta kL), kemudian pada periode tahun 2011-2015,
persentase pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 3% dari konsumsi
premium (1.0 juta kL), dan selanjutnya pada periode tahun 2016-2025, persentase
pemanfaatan bio-ethanol ditingkatkan menjadi 5% dari konsumsi premium (2.8
juta kL). Namun untuk merealisasikan road map bioteknologi. Dalam Prospek
Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak, pengembangan
ethanol harus melibatkan banyak pihak baik dari sisi Pemerintah maupun Swasta.

Mengingat sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu
dokumen rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul
beberapa kendala yang harus diatasi. Beberapa kendala tersebut, meliputi:
a. Rencana pengembangan lahan untuk tanaman penghasil bahan
baku bioethanol yang dibuat oleh Departemen Pertanian dan
Departemen Kehutanan belum terkait langsung dengan rencana
pengembangan bioethanol di sektor energi

b. Rencana Pemerintah dalam pengembangan energi dan instrument


kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan bio-ethanol
belum terkait langsung dengan rencana dari para pihak pelaku
bisnis bio-ethanol dan pengelola lahan pertanian yang sangat luas
untuk menghasilkan bahan baku

c. Ketidakpastian resiko investasi dalam komersialisasi


pengembangan bioethanol dan belum terbentuknya rantai tata
niaga bio-ethanol. Agar kendala tersebut dapat diatasi harus
didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai pertanian dan
kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif
bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan
pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi
pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.
BAB V
KESIMPULAN

1. Alkohol/bio-ethanol dapat diproduksi dari sisa pembuatan gula yang


disebut dengan Molase yang menngandung banyak sukrosa dan dapat
dikonversikan secara mudah. Selanjutnya dilakukan proses peragian atau
fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.

2. Faktor ekonomi program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan


bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium
saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku pembuatan ethanol/bio-
ethanol, oleh karenanya produksi ethanol/bioethanol harus
mempertimbangkan faktor ekonominya dari dua sisi kepentingan, yaitu
sisi produsen ethanol/bio-ethanol dan dari segi petani penghasil bahan
baku.

3. Sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen
rencana strategis yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul
beberapa kendala yang harus diselesaikan. Namun agar kendala tersebut
dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai
pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan baik di
sektor tanaman tebu maupun subtitusinya pada singkong, kebijakan
insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan
pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi
pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.
DAFTAR PUSTAKA

Amerine, M. A. , Berg and M. V. Croes, 1972. The Technology of Wine Making,


The Avi Publishing Company, Westport, Connecticut.
Buckle, K.A. R A. Edwards G. H. Fleet dan M. Wotton, 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.
Muslimin, L. W.,1996. Mikrobiologi Lingkungan. IPB-Press, Bogor

Anda mungkin juga menyukai