Anda di halaman 1dari 6

Dampak Riba terhadap Keterpurukan Ekonomi Indonesia (1)

(Studi Kasus 1997 – 2004)


Pendahuluan
Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun
Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang
mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai
perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160). Selain Al-quran, sangat banyak pula
hadits Nabi yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis dan para saksinya
(H.R.Muslim). Riba menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan
dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan
daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).
Nabi Muhammad Saw dalam masa kerasulannya dengan gigih memberantas riba yang
demikian meluas di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa
perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang
berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam
lainnya terbatas. Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu
sudah tergolong maju dan kaya. Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang
internasional yang dilalui tiga jalur besar perdagangan dunia, Pertama, lalu lintas
perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang
Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang Utara,
Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah
sebagai pusat dagang inyternasional, maka tidak heran jika mayoritas penduduk Mekkah
berprofesi sebagai pedagang.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab
bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas
diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham.
Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya
Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah
ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang
Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak
benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya
untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang
dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba
inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu
lebih dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi
yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian
sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah.
Praktek ekonomi bebas riba tersebut harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di
tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi saat ini.
Sejak berabad-abad kaum muslimin di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi
ribawi kapitalisme akibat penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam
sistem ekonomi negara-negara muslim melalui lembaga perbankan, asuransi dan
koperasi. Indonesia termasuk negara yang mempraktekkan sistem riba tersebut, sejak
kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila saat ini sistem
ekonomi ribawi begitu masih dominan dalam sistem perekonomian Indonesia. Undang-
Undang yang mengatur tentang perbankan di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang
hanya membenarkan sistem bunga. Baru pada tahun 1992, keluar UU No 7/1992 yang
menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia dapat menggunakan sistem bagi
hasil. Pada tahun 1992 itu juga lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Selama lima enam
tahun berkembang di Indonesia, BMI masih menjadi pemain tunggal sebagai bank
syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang mengakibatkan bank-
bank konvensional mengalami goncangan hebat yang pada akhirnya sebagian besar di
antaranya ditutup (dilikuidasi), karena mengalami negative spread, sedangkan sebagaian
lainnya masuk bengkel BPPN.
Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat
dari bagai krisis tersebut. Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem
bagi hasil Penerapan bagi hasil di bank syari`ah, membuat bank-bank syari`ah lebih
tangguh dan tahan dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar negeri.
Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa¬nan
nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan
tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas
bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
Banyak kalangan menilai bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997,
disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu
sisi memang benar, namun harus diakui bahwa faktor sistem moneter konvensional yang
memakai instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin
terpuruknya ekonomi Indonesia.
Makalah ini akan membahas pengaruh bunga perbankan tersebut terhadap keterpurukan
ekonomi Indonesia, yang secara khusus menganalisa kasus krisis moneter 1997 yang
berlanjut sampai tahun 2004. Tulisan ini diawali dengan paparan ringkas tentang riba
dalam perspektif historis dan argumentasi pengharaman riba. Selanjutnya dibahas
pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk lebih melengkapi
tulisan ini, dipaparkan juga tentang ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank yang
disertai dengan eksplanasi mengenai solusi instrumen bagi bagi hasil sebagai pengganti
bunga.
Makalah ini secara sengaja tidak membahas defenisi riba dan bunga, karena defenisi
keduanya sangat jelas. Sangat banyak kajian dan literatur yang telah mengulas defenisi
riba dan bunga tersebut. Kata Prof.Dr.Azfalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader,
“Tidak ada gunanya membuang-buang waktu untuk mendefenisikan bunga dan riba,
karena kedua sangat identik dan saling menggantikan. Islam tidak membedakan interetres
dan usury. Riba mencakup keduanya. Karena itu bunga bank sekarang ini memenuhi
defenisi riba”
Sejarah Ringkas Bunga
Menurut pakar sejarah ekonomi, kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak
tahun 2500 sebelum Masehi, baik yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir Kuno.
Demikian juga pada tahun 2000 sebelum Masehi, di Mesopotamia ( wilayah Iraq
sekarang ) telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 Tahun sebelum Masehi
Temple Of Babillion mengenakan sistem bunga sebesar 20 % setahun.
Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang
keras peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya Politics telah
mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan
mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa
bunga merupkan sistem yang tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa
bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya
ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah
derajatnya. Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga dan
memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosofi Yunani yang paling terkemuka
itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosofi Yunani tentang
bunga.
Selanjutnya, pada tahap- tahap awal, kerajaan Romawi Kuno, juga melarang keras setiap
pungutan atas bunga dan pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya
suku bunga melalui undang – undang. Kerajaan romawi adalah negara pertama yang
menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen. Kebiasaan bunga
juga brkembang di tanah arab sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul. Catatan sejarah
menunjukan bahwa bangsa Arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini digambarkan
dalam Al- qur’an dalam surat al – quraisy dan buku – buku sejarah dunia. Bahkan kota
Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur – jalur
perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India, dan China, serta Syam dan Yaman.
Suatu hal yang tak bisa di – bantah, bahwa dalam rangka menunjang arus perdagangan
yang begitu pesat, mereka membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna
menunjang kegiatan produksi. Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan
sistem bunga. Tegasnya, pinjaman uang pada saat itu, bukan semata untuk konsumsi,
tetapi juga untuk usaha – usaha produktif. Sistem bunga inilah selanjutnya yang dilarang
Al- Qur’an secara bertahap.
Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi
kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak
dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan. Gaung Raja Hendri VIII
itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia,mereka menyebar luaskan
pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang Indonesia yang melarang dan
mempraktekkan bunga. Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba
sama saja. Ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 30 yang melarang riba yang berlipat
ganda, belum selesai (tuntas). Sebab setelah itu, turun ayat lagi tentang riba yang
mengharamkan segala bentuk riba, baik riba yang berlipat ganda maupun yang ringan
bunganya (Q.S. 2 : 275 : 279).
Argumentasi larangan riba
Larangan riba merupakan salah satu pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan
ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam telah banyak
dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah.
Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya “Factor Pricing and Income
Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic
Economics, menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya,
disebabkan oleh empat alasan;
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat
terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau
tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para
peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan
mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus
membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam
keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa
tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya
ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh
para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat)
hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah
yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat
menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat
dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para
penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya
tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk
berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank
karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang
menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa
perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula.
Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat
semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini
secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis
ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti
disebutkan di atas.
Tak bisa dibantah bahwa sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi
masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang
menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para
pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan
atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal
pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara,
maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan
semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi
ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para
peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya.
Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif
dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah
uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting
bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap
bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi
akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi
ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana
yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang
(currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang
tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat
para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana
tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam
istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah
tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8
%, maka tingkat bunga riel adalah 4% (12% - 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga
nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini
tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada
dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
bunga riel di negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya
permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah
permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan
mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu
juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar,
sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan
sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman
asing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang
asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin
berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana
dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang
memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah
penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang
tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis
ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin
memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif
murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata
uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab
kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari
bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang
mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan
biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal
sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini
menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing
eksport Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam
diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan
dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal
sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga
tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.
DIPOSTING OLEH Agustianto | April 19, 2008

Anda mungkin juga menyukai