Anda di halaman 1dari 16

Panduan Talk Show Radio

PNPM Mandiri Perkotaan dan Kemiskinan

PNPM Mandiri Perkotaan merupakan program pemberdayaan masyarakat untuk


memecahkan masalah kemiskinan yang merupakan pengembangan dari P2KP
(Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Pemecahan masalah yang
dilakukan oleh PNPM Mandiri Perkotaan tentu saja berdasarkan masalah –
masalah yang sudah dianalisa sebelumnya.
Dalam proses menemukenali penyebab kemikinan dan akar masalah kita temukan
penyebab kemiskinan pada dasarnya merupakan akibat dari sikap mental para
pelaku pembangunan yang negatif dan pandangan – pandangan yang merugikan
kelompok masyarakat tertentu (warga miskin). Apabila kita uraikan secara lebih
rinci kedua masalah tersebut adalah sebagai berikut :
• Tidak semua masyarakat terlibat dalam proses pembangunan dari mulai
menemukenali kebutuhan sampai memutuskan pemecahan masalah. . Di
banyak tempat program – program untuk masyarakat disusun oleh ‘Orang
Luar’ bukan oleh masyarakat setempat, sehingga banyak yang tidak tepat
sasaran dan tidak tepatguna (jadi mubazir dan tidak berkelanjutan).
• Adanya pandangan umum bahwa masyarakat tidak. mampu memecahkan
masalah sendiri,tidak mempunyai pengalaman, kurang pengetahuan
sehingga masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memecahkan
masalahnya sendiri.
• Kesempatan untuk membangun hanya diberikan kepada kelompok tertentu
begitu juga hasilnya hanya bisa dinikmati oleh kelompok tertentu, artinya tidak
semua masyarakat mendapatkan hak yang sama (tidak ada kesetaraan).
• Pelayanan publik baik bidang sosial, ekonomi maupun lingkungan hanya
bisa dinikmati sebagian orang , sebagian lainnya tidak bisa mengakses
karena mahal dan kurang informasi.
• Melemahnya solidaritas sosial yang menyebabkan memudarnya modal
sosial masyarakat.
• Sikap mental dan perilaku masyarakat yang masih menggantungkan diri
pada bantuan pihak luar, kurang bekerja keras, apatis, tidak percaya pada
kemampuan sendiri.
• Memudarnya kebersamaan, banyak pihak yang mempunyai pandangan
bahwa masalah kemiskinan hanya tanggungjawab pemerintah dan orang
miskin, sehingga banyak yang tidak peduli.
• Pada umumnya masyarakat, tidak mempunyai wadah (lembaga) yang betul
– betul memperjuangkan kepentingan masyarakat khususnya warga miskin
karena pelaku – pelaku pengambil kebijakan pada suatu lembaga yang ada
cenderung mementingkan diri sendiri, tidak perduli, dan tidak jujur.

Dengan melihat permasalahan di atas, maka boleh dikatakan ada 2 kelompok


besar masyarakat yaitu:
• Kelompok yang bisa mudah mengakses informasi, mempunyai
pengetahuan dan pengalaman karena mempunyai pendidikan yang memadai,
mempunyai sumberdaya seperti modal, penguasaan terhadap sumberdaya
alam dan lain – lain. Dengan pengetahuan, pengalaman, informasi dan
sumberdaya yang dimilikinya kelompok ini dapat menguasai kelompok
lainnya, sehingga mampu mendominasi dan sering disebut sebagai kelompok
dominan. Contohnya seringkali pemilik modal bisa mempengaruhi kebijakan
(keputusan) yang dikeluarkan oleh lembaga – lembaga keuangan. Oleh
karena itu pengetahuan, informasi dan sumberdaya tadi sering disebut
sumber kekuasaan. Apabila kelompok ini tidak mempunyai kepedulian,
mementingkan diri sendiri, tidak jujur maka akan menyebabkan warga miskin
semakin miskin.
• Kelompok yang tidak mempunyai pengetahuan, pengalaman, kurang bisa
mengakses informasi, tidak mempunyai akses terhadap sumberdaya.
Kelompok ini biasanya merupakan kelompok miskin dan perempuan yang
sering disebut kelompok yang terpinggirkan karena seringkali tidak pernah
dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk proses pembangunan.
Kelompok ini juga seringkali tidak berdaya karena tidak mempunyai sumber
kekuasaan yang dibutuhkan.
Berdasarkan permasalahan di atas perlu perubahan dari kondisi yang sekarang
(permasalahan) ke arah yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan . Artinya
perlu dilakukan proses perubahan sebagai upaya pemecahan masalah di atas.
PNPM Mandiri Perkotaan, sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, melakukan
pendampingan proses pembelajaran masyarakat melalui penyadaran kritis agar
dapat memecahkan masalah sendiri. Proses perubahan yang diharapkan terjadi
adalah dari kondisi masyarakat yang tidak berdaya, menjadi mandiri dan pada satu
saat akan menjadi masyarakat madani
Masyarakat yang tidak berdaya, warga miskin dan perempuan, harus dimampukan
dengan memberikan pengetahuan,meningkatkan keterampilan, mendapat
sumberdaya dan merubah pola pikir mereka sehingga menjadi masyarakat yang
berdaya melalui proses pemberdayaan. Di lain pihak kelompok yang selama ini
mempunyai sumber kekuasaan tadi (kelompok dominan) harus mau membagikan
pengetahuan, informasi, dan sumberdayanya bagi kelompok yang lain.
Pada kenyataannya proses di atas tidak selalu berjalan mulus, karena :
• Kelompok yang terpinggirkan ketika sudah berdaya seringkali menjadi
kelompok baru yang mempunyai kekuatan karena mereka memiliki sumber
kekuasaan. Hal ini dapat terjadi kalau orang – orang tersebut tidak
mempunyai kepedulian dan mementingkan diri sendiri.
• Kelompok yang dominan juga tidak akan serta merta dengan rela hati untuk
membagikan sumber kekuasaannya bagi pihak lain. Sama dengan di atas hal
ini juga terjadi apabila kelompok ini tidak mempunyai kepedulian terhadap
pihak lain dan mementingkan diri sendiri sehingga tidak mempunyai rasa
keadilan.
Kepedulian, sikap mau berbagi, keikhlasan menjadi landasan untuk membangun
kebersamaan (solidaritas sosial) yang menjadi kontrol/landasan dari terciptanya
ikatan – ikatan yang didasarkan saling percaya (modal sosial). Dengan demikian
sikap mental dan pola pikir kita menjadi bagian yang utama untuk mengatasi
permasalahan kemiskinan. Kedua hal inilah yang coba dipecahkan oleh PNPM
Mandiri Perkotaan, karena pada dasarnya pendampingan yang dilakukan oleh
PNPM Mandiri Perkotaan berusaha untuk menggali dan menumbuhkan sikap
mental yang positif sesuai dengan nilai – nilai luhur kemanusiaan dan
membongkar paradigma – paradigma mengenai manusia (pembangunan manusia)
yang keliru.
Oleh karena hal tersebut di atas, maka pendekatan pemberdayaan yang dipakai
oleh PNPM Mandiri Perkotaan adalah pemberdayaan sejati. Pendekatan ini
menekankan pada proses pemberdayaan agar manusia mampu menggali nilai –
nilai baik yang telah dimiliki dan mampu menggunakannya secara merdeka (tidak
tergantung kepada pendapat pihak lain yang keliru) sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan fitrahnya sebagai manusia.
Dengan dilandasi oleh nilai – nilai kesetaraan, keadilan, kejujuran, keikhlasan dan
nilai nilai kebaikan lainnya upaya perubahan untuk pemecahan masalah dilakukan
melalui:
• Pengorganisasian masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam
pengambilan keputusan penanggulangan kemiskinan mulai dari proses
menemukenali masalah, perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring
evaluasi, sebagai wujud dari partisipasi dan demokrasi. Dengan keterlibatan
masyarakat dalam keseluruhan proses tersebut, maka:
 Memberi hak yang sama (setara) kepada seluruh masyarakat untuk
mendapatkan pengetahuan, informasi dan kesempatan belajar yang
sama. Dalam hal ini terkandung nilai – nilai keterbukaan (transparansi).
 Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memahami masalah
– masalah yang mereka hadapi terutama mengenai masalah kemiskinan
dan mencari upaya pemecahan secara bersama.
 Persoalan menjadi tanggungjawab semua pihak, bukan hanya
tanggungjawab pemerintah ataupun kelompok masyarakat tertentu.
 Menentukan kelompok sasaran secara mandiri, sehingga semua
pihak diperlakukan secara adil untuk bisa terjangkau oleh pelayanan
publik
• Untuk menjamin keberlanjutan pengorganisasian masyarakat, dibutuhkan
wadah (lembaga) yang dimotori oleh pemimpin – pemimpin yang mempunyai
nilai – nilai kebaikan (sikap mental yang positif). Artinya pemimpin – pemimpin
tersebut haruslah merupakan representasi dari nilai – nilai kemanusiaan.
Diharapkan para pemimpin yang jujur, adil, ikhlas, amanah akan mampu
menjadi motor penggerak proses penanggulangan kemiskinan di
kelurahan/desa dengan dilandasi prinsip – prinsip keadilan (keputusan yang
dikeluarkan tidak berpihak), keterbukaan (transparan), bertanggungjawab
(akuntabel), keputusan tidak didasari oleh kepentingan – kepentingan pribadi
atau golongan, memberikan kesempatan dan hak yang sama kepada seluruh
masyarakat untuk terlibat dalam keseluruhan kegiatan dan sebagainya.
Terlaksananya proses di atas harus dibarengi dengan perubahan pola pikir
(paradigma) sehingga keterlibatan seluruh pelaku pembangunan dalam proses
penanggulangan kemiskinan bukan semata – mata karena proyek atau bahkan
untuk mengejar BLM, akan tetapi merupakan keterlibatan yang didasari oleh
kesadaran kritis.
Paradigma (pola pikir) yang ingin dikembangkan melalui PNPM Mandiri
Perkotaan:
 Akar persoalan kemiskinan adalah lunturnya nilai – nilai
kemanusiaan yang melahirkan ketidakadilan, keserakahan, mementingkan
diri sendiri atau golongan, ketidakperdulian dan sebagainya. Oleh karena itu
musuh bersama kemiskinan adalah ‘sifat – sifat buruk manusia’, bukan
organisasi atau lembaga.
 Keadilan, kesetaraan, keperdulian yang menjadi dasar bagi
penyelesaian masalah kemiskinan akan bisa dilaksanakan oleh orang – orang
yang berdaya ,bukan orang – orang dari golongan tertentu, wilayah tertentu
atau dari jenis kelamin tertentu.
 Manusia yang berdaya sejati adalah manusia yang mampu
menggunakan dan memberikan nilai – nilai kebaikan yang ada dalam dirinya
untuk kepentingan kesejahteraan lingkungannya.
 Manusia pada dasarnya baik, akan tetapi kebaikannya tertutup oleh
sistem serta tatanan kehidupan di sekitarnya. Kebaikan – kebaikan
manusialah yang merupakan perbedaan hakiki antara manusia dengan
makhluk lain.
 Kemiskinan merupakan masalah bersama, sehingga hanya akan
bisa dipecahkan secara bersama. Oleh karena itu perlu keterlibatan semua
pihak dalam proses pembangunan.
 Masyarakat pada dasarnya mampu dan mempunyai potensi untuk
memecahkan masalah dan menolong dirinya sendiri, sehingga mereka harus
diberi kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan.
 Demokrasi yang paling tinggi adalah pengambilan keputusan melalui
musyawarah dan mufakat yang dilandasi kesadaran klritis.
 Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut
terlibat dalam pembangunan.

Apabilala proses penyadaran kritis yang menekankan pada perubahan paradigma


dan sikap perilaku di atas dapat berkelanjutan, maka diharapkan pelan–pelan akan
terjadi perubahan masyarakat secara bertahap, yaitu:
Dari masyarakat yang tidak berdaya menjadi masyarakat berdaya. Melalui
proses belajar yang dilakukan, kelompok – kelompok yang terpinggirkan bisa
mempuyai daya (kemampuan ) untuk menggapai kebutuhan hidupnya.
Dari masyarakat berdaya menjadi masyarakat mandiri, yaitu dimana
masyarakat bisa menolong dirinya secara mandiri, tidak lagi bergantung kepada
pihak lain . Hubungan – hubungan dengan pihak lain dilandasi kesetaraan
(kesalingbergantungan).
Acuan :
♣ Parwoto : Anatomi Kemiskinan
♣ Pedoman Umum PNPM Mandiri Perkotaan

Kiat Intervensi Pengembangan Masyarakat

Beberapa kaidah dasar yang harus diperhatikan dan dilaksanakan sungguh-


sungguh oleh para pelaku P2KP dalam pelaksanaan kegiatan (intervensi)
pengembangan masyarakat, adalah sbb:

a) Kaidah Membangun Dari Dalam (development from within)


Proses pengembangan masyarakat dititikberatkan pada upaya membangun
masyarakat dari dalam melalui penggalian kembali nilai-nilai luhur yang telah
dimiliki masyarakat tetapi tidak mampu lagi diterapkan sehingga
menghancurkan kapital social dan menghasilkan berbagai kerusakan
multidimensi, termasuk kemiskinan dan masyarakat yang terkotak-kotak
(fragmented community). Pemberdayaan dalam konteks ini adalah membangun
kembali potensi manusia itu sendiri yang sudah dimiliki untuk kembali mampu
bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur tersebut yang kondusif terhadap
tumbuhnya kapital social sehingga pada gilirannya akan mampu membangun
kepedulian dan integritas yang tinggi yang melahirkan tata pengelolaan urusan
publik yang baik serta solidaritas sosial masyarakat untuk bersatu, bahu-
membahu menanggulangi kemiskinan di wilayah masing-masing secara
mandiri dan berkelanjutan, Secara singkat pembangunan dari dalam ini
menekankan penggalian terhadap nilai-nilai luhur yang telah dimiliki
manusia/masyarakat dan memberdayakan manusia/masyarakat untuk menjadi
pelaku nilai sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsi masing-masing di
masyarakat sesuai dengan martabatnya sebagai manusia yang luhur.
Hasil yang diharapkan dari proses pengembangan masyarakat ini adalah
tumbuhnya kesadaran kritis dan kesiapan masyarakat bahwa persoalan
kemiskinan di wilayahnya hanya dapat diatasi oleh mereka sendiri, dengan
cara; (1) membangun kembali nilai-nilai luhur universal sebagai landasan dari
semua keputusan dan tindakan, (2) menemukan dan menggalang pribadi-
pribadi yang komit dan memiliki integritas tinggi dalam menangulangi
kemiskinan yg sehari-harinya merupakan pelaku nilai, (3) bertumpu pada
keswadayaan masyarakat dan prinsip pembangunan organik yang
berkelanjutan.
Pada dasarnya substansi pemberdayaan masyarakat dalam konteks ini intinya
adalah perubahan perilaku pelaku sendiri. Peran dari pendampingan/ pihak luar
hanyalah sebagai pelengkap dari adanya niat, parakarsa, untuk membangun
kepedulian, dan komitmen masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, berhasil tidaknya P2KP di suatu lokasi sasaran untuk sebagian
besar justru akan sangat tergantung pada kepedulian, komitmen, motivasi dan
ikhtiar masyarakat setempat. Dengan demikian, P2KP diharapkan dapat
dijadikan sarana bagi proses pembelajaran masyarakat untuk terus melakukan
perubahan-perubahan sendiri ke arah yang lebih baik dan efektif, baik itu
menyangkut pola pikir, pola perilaku, pola tindak dan lain-lain. Inilah yang
menjadi hakekat membangun masyarakat dari dalam (development from
within).
Pada sisi lain, bagi para pendamping P2KP (fasiliatator, konsultan dll), prinsip
membangun dari dalam mengandung makna bahwa proses pendampingan
tahapan kegiatan tidak diurus dan dilaksanakan sendiri oleh para pendamping,
tetapi justru para pendamping seharusnya melakukan proses pendampingan
yang menitikberatkan pada proses pembelajaran bagi masyarakat agar selain
masyarakat akan mampu melakukan tahapan kegiatannya sendiri juga dapat
menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terhadap susbstansi mengapa, apa
dan untuk apa kegiatan itu harus mereka lakukan.
b) Kaidah Kerelawanan (Volunteerism)
Proses pengembangan masyarakat dengan prinsip membangun ’masyarakat
dari dalam’ akan membutuhkan pelopor-pelopor penggerak dari masyarakat
sendiri yang mengabdi tanpa pamrih, ikhlas, peduli, dan memiliki komitmen
kuat pada kemajuan masyarakat di wilayahnya. ’Proses membangun dari
dalam’ tidak akan terlaksana apabila pelopor-pelopor yang menggerakkan
masyarakat tersebut yang merupakan individu atau sekumpulan individu yang
hanya memiliki pamrih pribadi dan hanya mementingkan urusan ataupun
kepentingan pribadi serta golongan atau kelompoknya. Dengan kata lain,
perubahan perilaku masyarakat akan sangat ditentukan oleh relawan-relawan
atau motor penggerak setempat yang memiliki ’moral’ yang baik dan diakui
kualitaskepribadiannya, bukan hanya sekedar relawan yang pengalaman,
pendidikan tinggi atau punya kedudukan yang tinggi dll.
Didasarkan pada keyakinan inilah, P2KP mendorong masyarakat di lokasi
sasaran agar membuka kesempatan seluas mungkin bagi warga-warganya
yang ikhlas, jujur, adil, peduli dan memiliki komitmen tinggi untuk menjadi
relawan-relawan yang membantu masyarakat dalam melaksanakan seluruh
tahapan kegiatan P2KP agar bermanfaat bagi masyarakat miskin serta seluruh
masyarakat di wilayahnya.
Relawan-relawan yang diusulkan masyarakat tidak menjadi bagian dari struktur
KMW ataupun Tim Fasilitator, namun akan didampingi khusus melalui proses
penguatan kapasitas (capacity building) agar lebih mampu memahami
substansi P2KP berikut tahapan-tahapan kegiatannya, baik dengan cara
pendampingan oleh Tim Fasilitator, bimbingan/coaching, praktek, konsultasi
dan pelatihan, dll.
Relawan-relawan masyarakat ini memiliki posisi yang sama dan
tidak ada perlakuan khusus (previllage) yang melekat pada salah
satu dari mereka. Ciri utama relawan-relawan masyarakat adalah
sama, yakni; orang-orang atau warga masyarakat setempat yang
bersedia mengabdi secara ikhlas dan tanpa pamrih, tidak
digaji/imbalan secara rutin, rendah hati, berkorban, diterima
masyarakat berdasarkan kualitas kemanusiaan yang luhur atau
moralitasnya, dan memiliki kepedulian serta komitmen yang
sangat kuat bagi upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat
miskin yang ada di sekitarnya maupun bagi upaya kemajuan
masyarakat umumnya dan kondisi lingkungan wilayahnya.
Bagi Tim Fasilitator, relawan-relawan masyarakat harus dipandang sebagai
pelopor dan sekaligus pendamping mayarakat yang sangat menentukan
berhasil tidaknya masyarakat melalui seluruh rangkaian proses pembelajaran
untuk terus menerus menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur universal
kemanusiaan, prinsip-prinsip universal kemasyarakatan dan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaan P2KP sebagai pondasi yang
kokoh dalam mengembangkan berbagai upaya menanggulangi masalah
kemiskinan di wilayahnya.
c) Kaidah Pertumbuhan Alamiah (Organic Development)
Siklus kegiatan P2KP dirancang untuk mendorong tumbuhnya kesiapan dan
’kesadaran kritis masyarakat’ di kelurahan sasaran agar mampu
menanggulangi kemiskinan di wilayah masing-masing secara mandiri dan
berkelanjutan. Kaidah pertumbuhan organik menekankan bahwa dinamika
pertumbuhan/perubahan antara satu komunitas dengan yang lain berbeda
sebagai konsekwensi lojik dari kaidah pembangunan dari dalam, bukan
transplantasi. Situasi ini haruslah mampu diakomodasi oleh para pendamping
khususnya Tim Fasilitator.
Disadari bahwa proses penumbuhan kesiapan dan kesadaran kritis masyarakat
memerlukan waktu yang cukup panjang dan juga bukan merupakan proses
yang dijalankan secara instan (serba cepat, formalitas dan mekanistis).
Meskipun demikian, perlu juga diantisipasi bahwa proses tersebut
kemungkinan dapat mentimbulkan kejenuhan, kebosanan, ketidak percayaan,
ketidak yakinan, dll apabila proses yang dilaksanakan di masyarakat memberi
kesan bertele-tele dan juga tidak sistematis. Umumnya hal ini terjadi karena
adanya kegiatan di masyarakat di lokasi tertentu yang macet, vakum, dan atau
terhenti sesaat berhubung harus menunggu selesainya aktivitas yang sama di
kelurahan lain atau menunggu pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan
secara terpusat (misalnya pelatihan yang diselenggarakan KMW, dll).
Oleh karena itu, para pelaku P2KP diharapkan dapat memahami arti penting
pertumbuhan organik suatu masyarakat, yakni dengan menyelenggarakan
rangkaian aktivitas pembelajaran masyarakat di lokasi sasaran dalam
pelaksanaan P2KP secara berkesinambungan dan runtun sesuai dengan siklus
perkembangan dimasyarakat itu sendiri tanpa adanya kegiatan tambahan yang
bersifat intervensi luar yang disengaja ataupun tidak disengaja akan
menghentikan sementara aktivitas masyarakat di lokasi sasaran itu sehingga
masyarakat kehilangan momentum.
Berkaitan dengan upaya membangun pertumbuhan organik tersebut, P2KP
merancang agar proses pendampingan secara langsung dan intensif berada di
Tim Fasilitator yang berkedudukan di kecamatan sasaran. Hal ini dimaksudkan
untuk mendorong Tim Fasilitator, bersama dengan para Relawan, mampu
mendampingi masyarakat kelurahan dalam melaksanakan kegiatan secara
berkesinambungan sesuai dengan siklus perkembangan di kelurahan masing-
masing. Kalaupun dirasakan cukup berat untuk menjaga kesinambungan
kegiatan di tingkat kelurahan, maka setidaknya kesinambungan kegiatan
masyarakat secara organik dapat dikembangkan di tingkat kecamatan. Hal ini
berarti ketika seluruh kelurahan di kecamatan bersangkutan telah
melaksanakan satu siklus kegiatan P2KP dapat segera dilanjutkan dengan
siklus berikutnya. Meskipun demikian tetap akan lebih baik apabila
kesinambungan kegiatan tersebut dapat dikembangkan di tingkat kelurahan
sehingga dapat dijaga semua kelurahan tidak akan kehilangan momentumnya.
Bila kesimambungan akan diterapkan ditingkat Tim Fasilitator (kecamatan)
maka seluruh strategi pendampingan masyarakat dan pengembangan
kapasitas yang dilakukan akan bertumpu pada strategi pelaksanaan kegiatan di
tingkat kecamatan, yang dikoordinasi oleh Tim Fasilitator setempat.
Secara umum hasil yang diharapkan terjadi dalam proses pengembangan
masyarakat ini adalah :
♣ Masyarakat yang sadar akan kondisinya; potensi, kelemahan,
peluang dan persoalan yang masih harus diselesaikan bersama dan
tumbuhnya solidaritas sosial antar warga.
♣ Masyarakat menyadari bahwa untuk menyelesaikan persoalan
bersama ini secara sistematik dan efektif dibutuhkan; (1) relawan-
relawan sebagai pelopor, (2) masyarakat yang terorganisasi (organized
community), (3) dan kepemimpinan yang baik pula serta kelompok sasaran
yang terorganisasi dgn baik pula.
♣ Kondisi tersebut kemudian mendorong lahirnya para relawan,
masyarakat warga yg terorganisasi, BKM sebagai pimpinan kolektif dan
kelompok sasaran yang terorganisasi dalam bentuk KSM (Kelompok
Swadaya Masyarakat).
♣ Agar seluruh kegiatan penangulangan kemiskinan tersebut juga
terrencana dengan baik BKM mengkoordinasi perumusan PJM dan Renta
Pronangkis secara partisipatif.

Disamping ketiga kaidah tersebut di atas perlu juga dipahami bentukan-bentukan


kelembagaan yang akan dihasilkan melalui siklus P2KP ini sebagai berikut.

a) BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat)


BKM adalah lembaga pimpinan kolektif masyarakat warga/penduduk suatu
kelurahan/desa yang terdiri dari pribadi-pribadi yang dipilih dan dipercaya
warga berdasarkan kriteria luhur kemanusiaan yang disepakati bersama dan
dapat mewakili masyarakat kelurahan/desa dalam berbagai kepentingan.
Anggota BKM terdiri dari 9 sampai dengan 15 orang sesuai kesepakatan
masyarakat kelurahan/desa, yang semuanya adalah relawan dan bekerja
sebagai dewan sehingga keputusan BKM adalah keputusan kolektif
Jadi jelaslah bahwa BKM adalah suatu lembaga pimpinan kolektif dari
himpunan masyarakat warga suatu kelurahan/desa yang anggota-anggotanya
dipilih berdasarkan kriteria nilai-nilai luhur kemanusiaan dan bukan perwakilan
golongan/RT/RW sehingga memungkinkan berperan secara penuh sebagai
pemimpin masyarakat warga serta menghindarkan kecenderungan menjadi
partisan.
Kolektifitas kepemimpinan ini penting dalam rangka memperkuat kemampuan
individu untuk dapat menghasilkan dan mengambil keputusan yang lebih adil
dan bijaksana oleh sebab terjadinya proses saling asuh, saling asih dan saling
asah antar anggota kepemimpinan yang pada akhirnya akan menjamin
terjadinya demokrasi, tanggung gugat dan transparansi. Disamping itu pola
kepemimpinan kolektif ini juga merupakan disinsentif bagi para pemimpin yang
justeru ingin mendapatkan kekuataan absolute di satu tangan yang pada
gilirannya akan melahirkan anargi dan tirani yang mementingkan diri sendiri
sehingga meperkuat ketidakadilan.
Peran utama BKM adalah mengawal penerapan nilai-nilai luhur kemanusiaan
dalam proses penangulangan kemiskinan pada khususnya dan kehidupan
bermasyarakat pada umumnya di kelurahan yang bersangkutan
Pemilihan anggota BKM dilakukan tanpa pencalonan dan tiap pemilih harus
menulis sekurang-kurangnya 3 nama (sesuai kesepakatan warga) secara
rahasia, pribadi-pribadi penduduk kelurahan/desa yang dianggap memenuhi
kriteria yang telah disepakati, dikumpulkan dan dihitung. Kemudian dipilih 9 s/d
15 nama yang mendapatkan perolehan suara terbanyak sebagai anggota BKM.
Para anggota BKM tersebut kemudian memilih siapa diantara mereka yang
akan menjadi koordinator, wakil, sekretaris, dsb sesuai dengan kemampuan
masing-masing.

Pada dasarnya pemilihan harus dilakukan di tingkat dimana warga saling kenal
misalnya tingkat RT untuk memilih utusan RT dan kemudian kumpulan utusan
RT di tingkat kelurahan/desa memilih anggota BKM dari antara para utusan
tersebut. Bila kelurahan/desa yang bersangkutan cukup luas artinya terdiri dari
RT yang banyak sekali, lebih dari 75 RT maka pemilihan dapat dilakukan
berjenjang. Dipilih utusan RT, kemudian dari kumpulan utusan RT di tingkat
RW/Dusun dipilih lagi utusan RW/Dusun untuk kemudian utusan RW/Dusun ini
ke kelurahan/desa untuk memilih anggota BKM. Jumlah utusan RT atau
RW/Dusun dapat ditetapkan sebelumnya sesuai kesepakatan warga. Yang
penting pemilihan atau penjaringan orang-orang baik harus dilakukan di tingkat
dimana antar warga saling mengenal. Tidak adanya pencalonan
memungkinkan anggota masyarakat memilih tanpa paksaan siapapun yang
mereka anggap bisa mewakili sifat-sifat baik kemanusiaan tersebut, sesuai
pengalaman interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin
adanya kampanye; karena yang dipilih adalah orang yang perbuatan sehari-
harinya saat ini sesuai dengan kriteria tersebut di atas, bukan perkataan (janji)
tentang masa depan yang belum pasti. Jadi konsepnya adalah
membandingkan dan mengkonfirmasikan perbuatan/perilaku sehari-hari orang
yang akan dipilih dan bukan perkataan (janji).

b) KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)

KSM adalah kelompok masyarakat pemanfaat langsung dari proyek P2KP ini
yang langsung menikmati hasil dari program penanggulangan kemiskinan yang
direncanakan secara partisipatif oleh masyarakat kelurahan dibawah koordinasi
BKM.
Pembangunan KSM ini sengaja didorong sebagai kelompok basis dimana antar
anggotanya dapat saling bantu, saling memperkuat dan saling belajar untuk
bersama-sama keluar dari belenggu kemiskinan. Kesatuan dalam KSM ini
didasari oleh ikatan pemersatu (common bound), antara lain kesamaan
kepentingan dan kebutuhan, kesamaan kegiatan, kesamaan domisili dll, yang
mengarah pada upaya mendorong tumbuh berkembangnya modal sosial.
Pengertian kelompok dalam konteks P2KP adalah kelompok masyarakat yang
“sudah ada” (existing groups) dan atau kelompok-kelompok yang “dibangun
baru” dalam rangka pelaksanaan P2KP, yang dapat memenuhi syarat-syarat
sebagai kelompok/lembaga masyarakat sebagaimana ditetapkan P2KP.
Diharapkan melalui pendekatan kelompok ini :
♣ Warga masyarakat dapat lebih dinamis dan lebih nyata dalam
mengembangkan praktek nilai-nilai kemanusiaan, misalnya; kejujuran,
keikhlasan, dapat dipercaya, pengorbanan, kebersamaan, kesatuan, gotong
royong, solidaritas antar sesama, dan lainnya;
♣ Proses pemberdayaan (empowerment) berjalan lebih efektif dan
efisien;
♣ Terjadi konsolidasi kekuatan bersama baik antar yang lemah
maupun antar yang kuat dan lemah di dalam suatu kelompok masyarakat
(konsep sapu lidi);
♣ Kelompok dapat berfungsi untuk melembagakan solidaritas dan
kesatuan sosial, menumbuhkan keswadayaan, wadah proses belajar/
interaksi antar anggota, menyepakati aturan bersama, dan fungsi lainnya.

c) Relawan
Pengertian relawan-relawan dalam P2KP ini mengandung makna yang cukup
luas, mencakup: (1) para relawan yang terlibat mendalam secara khusus dalam
satu atau beberapa tahapan kegiatan P2KP sebagai pendamping masyarakat
dan pengawal nilai, misalnya Refleksi Kemiskinan, Pemetaan Swadaya, FGD
Kepemimpinan, FGD Kelembagaan dan Pengelolaan Urusan Publik,
Pembentukan BKM, Perencanaan Partisipatif dan pembentukan KSM, (2) Para
relawan yang terpilih untuk duduk dalam struktur yang dibangun masyarakat
untuk melaksanakan P2KP, misalnya Anggota BKM, Pengurus KSM, berbagai
panitia yang terkait dgn pelaksanaan P2KP, dll serta (3) Para relawan yang
mengikuti secara intensif seluruh proses pelaksanaan P2KP sebagai
pendamping masyarakat dan pengawal nilai. Secara umum para relawan ini
memberikan kontribusi nyata bagi kelancaran dan keberlanjutan P2KP sebagai
program dari, oleh dan untuk masyarakat.
Para relawan tersebut masuk dalam proses pelaksanaan P2KP melalui
beberapa jalur sebagai berikut :
♣ Untuk relawan pendamping masyarakat melalui jalur
pendaftaran ke ketua RT masing-masing.
♣ Untuk relawan yang berkedudukan sebagai anggota BKM,
pengurus KSM atau panitia-panitia yang terkait dengan pelaksanaan P2KP
akan dipilih sesuai tata tertib yang disepakati masyarakat dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang dikandung P2KP.
Agar relawan-relawan masyarakat tersebut mampu menjadi motor penggerak
dan pendamping masyarakat dalam melaksanakan tahapan kegiatan P2KP
sesuai ketentuan, maka dalam kerja, mereka akan mendapat pendampingan
intensif dari Tim Fasilitator yang ditugasi di wilayah masing-masing.
Anatomi Kemiskinan
Oleh : Parwoto

Pemahaman Kemiskinan

Latar Belakang
Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih
bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi
dan politik bangsa yang bersangkutan. Dimana masyarakat menjadi miskin oleh
sebab adanya kebijakan ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan mereka,
sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadaikan ke sumber dayasumber
daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
Akibatnya mereka terpaksa hidup di bawah standar yang tidak dapat lagi dinilai
manusiawi, baik dari aspek ekonomi, aspek pemenuhan kebutuhan fisik, aspek
sosial, dan secara politikpun mereka tidak memiliki sarana untuk ikut dalam
pengambilan keputusan penting yang menyangkut hidup mereka. Proses ini
berlangsung timbal balik saling terkait dan saling mengunci dan akhirnya secara
akumulatif memperlemah masyarakat miskin.
Situasi ini bila tidak segera ditanggulangi akan memperparah kondisi masyarakat
miskin yang ditandai dengan lemahnya etos kerja, rendahnya daya perlawanan
terhadap berbagai persoalan hidup yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk
yang terpaksa mereka lakukan dalam rangka jalan pintas mempertahankan hidup
mereka yang bila berlarut akan melahirkan budaya kemiskinan yang sulit
diberantas.
Di sisi lain upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan
hanya untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui berbagai
program ekonomi, seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb.
Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat
miskin tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan
mendasar yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidak-
mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh
rendahnya penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis
adalah dengan meningkatkan penghasilan. Peningkatan penghasilan disini seolah-
olah menjadi obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal akar
kemiskinan justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan
seseorang erat kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi
lebih merupakan akibat dari suatu situasi yang terjadi oleh sebab kebijakan politik
yang tidak adil yang diterapkan sehingga menyebabkan sebagian masyarakat
tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup
mereka secara layak.
Pengertian Kemiskinan
Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang
menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang
tidak saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat
dengan sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa yang khas per
lokasi. Pola kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya,
lokasi dan negara juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan
yang dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
Dimensi 1: Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan
muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.
Dimensi 2: Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan
(powerlessness), tidak mampu
berpendapat (voicelessness), ketergantungan (dependency), rasa malu
(shame), rasa
hina (humiliation)
Dimensi 3: Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
Dimensi 4: Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk
menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain:
• kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan
kerja, hunian, perhiasan, dsb
• kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan,
pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalangan orang
untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang sering
ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival, begitu juga
rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan seseorang.
• aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem
kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab
pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial
seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari berbagai krisis seperti
musibah, keuangan, dll
• aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan
musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja
lapangan.

Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
a) Aset fisik (Physical Capital). Pada dasarnya masyarakat miskin memang
praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup
mereka seperti antara lain tanah yang memadai, rumah/tempat tinggal yang layak,
perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik
lainnya
b) Aset kemanusiaan (Human Capital). Pada dasarnya masyarakat miskin juga
tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat
menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan,
tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain seperti etos kerja yang
ulet, jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb
c) Aset sosial (Social Capital). Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari
pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus
membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social
security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui
kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat
oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.
d) Aset lingkungan (Environmental Asset). Pada umumnya masyarakat miskin
di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki sumber-sumber
lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman,
lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara para petani dan nelayan sangat
tergantung kepada aset lingkungan dalam bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih
luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara
tersebut.
Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat
berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini

• Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis


kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana
kebutuhan minimum masih dapat dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis
kemiskinan tersebut.
• • Kemiskinan relatif, yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok
penghasilan dalam masyarakat. Dari pola waktunya kemiskinan juga sering
dibedakan sebagai berikut:
• Kemiskinan menaun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau
sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis atau
terisolasi
• Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola
siklus ekonomi secara keseluruhan
• Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi
secara khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau
petani tanaman pangan
• Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi
oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.

Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut pandangan yang berbeda
dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi semua pihak sepakat
bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering kali sulit
untuk dipahami dari satu sudut pandang saja.
Secara umum kemiskinan sering kali diartikan sebagai keterbelakangan,
ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan
hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak/manusiawi.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup beberapa
dimensi sebagai berikut:
Dimensi politik
Tinjauan dari aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam
bentuk rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam
pengambilan keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut hidupnya,
tidak dimilikinya sarana-sarana yang memadai termasuk kelembagaan untuk
terlibat secara langsung dalam proses politik. Akibatnya kaum miskin tidak memiliki
akses ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkannya untuk
menyelenggarakan hidupnya secara layak. Termasuk dalam hal ini adalah sumber
daya financial dan sumberdaya alam. Oleh sebab tidak dimilikinya pranata sosial
yang menjamin partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan
keputusan maka sering kali masyarakat miskin dianggap tidak memiliki kekuatan
politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah, malah sering kali
masyarakat miskin seringkali secara juridis tidak diakui sebagai warga negara.
Kemiskinan politik sering kali disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
Dimensi ekonomi
Tinjauan kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan
seseorang untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan memberikan
penghasilan yang layak untuk menunjang hidupnya secara berkesinambungan
yang terlihat dari rendahnya gizi makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat
pendidikan yang rendah, pakaian yang tidak layak, dsb.
Pandangan ini banyak digunakan oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis
kemiskinan.
Berbagai lembaga memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan
antara lain sebagai berikut :

a). Prof Sayogyo menggambarkan tingkat penghasilan dengan mengukur


pengeluaran setara beras per tahun untuk kategori :
• miskin di perkotaan 480 kg dan di perdesaan 320 kg
• miskin sekali di perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
• paling miskin di perkotaan 270 kg dan perdesaan 180 kg

b). BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk memenuhi
kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori per kapita
per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan pada tahun
1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di
perdesaan.
Dimensi Aset
Tinjauan kemiskinan dari dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan
seseorang yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingat penguasaan seseorang
terhadap hal-hal yang mampu menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya (basic human needs) seperti kapital manusia (pengetahuan,
pendidikan, kesehatan, dsb), kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan
kerja, sarana produksi, kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb),
kapital sosial (jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb)
Dimensi budaya dan psikologi
Dari dimensi budaya, kemiskinan diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya
budaya kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun individu.
Di tingkat komunitas dicirikan dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin
dalam lembagalembaga formal masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan
singkatnya masa kanak-kanak, longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di
tingkat individu terlihat seperti antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri,
kurang mau berpikir jangka panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering
dihadapinya, fatalisme, apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb
Semua dimensi tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya
dimensi ekonomi bagi masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan
masyarakat kaya karena kebanyakan masyarakat miskin dan masyarakat yang
sedikit di atas garis kemiskinan memiliki mata pencaharian yang sangat labil
sehingga guncangan sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka terpuruk.
Kesimpulan
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan arti kemiskinan
dikaitkan dengan pembangunan masyarakat perkotaan sebagai berikut.
a) Ada kelompok/lapisan masyarakat yang tidak mampu menyelenggarakan
hidupnya secara layak dan tidak berdaya menghadapi tantangan
pembangunan yang terjadi dengan ciri-ciri sebagai berikut:
• Rendahnya kepemilikan aset fisik atau praktis tidak memiliki benda-benda
fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara rumah/tempat
tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan produksi dan
harta benda fisik lainnya
• Rendahnya kwalitas sumberdaya manusia atau tidak memiliki kwalitas
sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup
mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, kemampuan memproduksi
tenaga kerja (labor power), dsb belum lagi oleh sebab terinternalisasinya budaya
kemiskinan yang menghancurkan kwalitas manusia secara keseluruhan, seperti
antara lain rendahnya etos kerja, fatalisme, apatis, hancurnya jiwa kewirausahaan
dan kepemimpinan, boros, cari gampang, dsb

• Tersingkir dari pranata sosial formal yang ada utamanya pranata


sosial yang mampu memberikan jaminan sosial, sehingga masyarakat
miskin harus membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan
jaminan sosial (security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup
mereka (survival) melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni,
yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib
sepenangungan, dsb.
• Tersingkir dari sumberdaya alam seperti pada umumnya
masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah tidak
memiliki akses ke sumberdaya alam sebagai modal hidup mereka
seperti tanah, air baku, ternak/binatang liar, sumberdaya lingkungan
seperti udara bersih, tanaman, ruang hijau, pohon-pohon, dsb. Termasuk
ketergantungan terhadap musim dan iklim tanpa daya untuk
menangulanginya.
• Tidak memiliki akses ke pelayanan dasar yang dibutuhkan, seperti
air minum, sanitasi, drainasi, kesehatan, pendidikan, penerangan,
energi, transportasi, jalan akses, dsb
• Tidak memiliki akses ke sumberdaya modal seperti kredit dari
perbankan.
• Tidak memiliki akses ke proses pengambil keputusan penting yang
menyangkut hidup mereka oleh sebab tidak tersedianya pranata yang
memberi peluang masyarakat miskin menyuarakan aspirasinya.
• Memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari segi mata
pencaharian sehingga dengan mudah oleh guncangan sedikit saja
(kecelakaan, sakit, krisis, kemarau panjang, bencana alam, dsb) dapat
masuk ke kategori kelompok yang lebih rendah/lebih miskin.

b) Hal tersebut di atas berarti:


• Ada segregasi sosial dalam masyarakat
• Ada ketidak adilan dalam distribusi peluang pembangunan dan sumberdaya
pembangunan
• Tidak berjalannya fungsi pengendalian pembangunan (matinya
ketataprajaan /governance)
• Tidak berfungsinya sistem perwakilan dalam proses pengambilan keputusan
dan manajemen pembangunan

c) Akar penyebab kemiskinan


Meskipun kemiskinan banyak dibicarakan dan identifikasi dan dirumuskan
tetapi ternyata hanya terbatas pada gejala-gejalanya saja (rumusan
kemiskinan). Diskusi mengenai akar permasalahan atau penyebab kemiskinan
hampir selalu dihindari atau malah sering ditabukan karena akar utama
penyebab kemiskinan adalah justeru tidak adanya keadilan di masyarakat dan
ketidak-adilan ini jelas adalah akibat dari:
• ketidak mampuan para pengambil keputusan untuk menegakkan keadilan
• menipisnya kepedulian dan meningkatnya keserakahan di masyarakat
• Semuanya ini menunjukkan adanya gejala serius dari lunturnya nilai-nilai luhur
dari para pelaku pembangunan (pengambil keputusan dan masyarakat) sehingga
sebagai manusia kita tak berdaya untuk menjadi pelaku moral (melemahnya moral
capability).
Situasi ini tentu saja menjadi tanggung jawab kita bersama; pemerintah sebagai
pengawal dan penegak keadilan dan kita semua sebagai masyarakat warga yang
saling mengasihi. Mampukah pemerintah menciptakan kebijakan yang adil yang
mampu meredistribusi aset nasional secara adil dan melakukan koreksi terhadap
ketimpangan sosial yang ada ? Sedihnya berbagai upaya penangulangan atau
pemberantasan kemiskinan adalah justeru melestarikan ketidak adilan tersebut
dengan menolong korban-korban ketidak adilan tersebut agar mampu bertahan
sebagai korban dan tidak mencoba menyelesaikan akar persoalannya. Sedih
tetapi nyata.

Anda mungkin juga menyukai