Anda di halaman 1dari 9

Studi Klinis

Eye (2008) 22, 13–17; doi:10.1038/sj.eye.6702463; published online 2 June 2006


Endophthalmitis Jamur Pasca Trauma—Penelitian
Prospektif
A Gupta1, R Srinivasan1, S Kaliaperumal1 and I Saha1
1
Department of Ophthalmology, Jawaharlal Institute of Postgraduate Medical Education and
Research, Pondicherry, India
Correspondence: A Gupta, Department of Ophthalmology, Jawaharlal Institute of Postgraduate
Medical Education and Research, Pondicherry 605 006, India. Tel: +91 984 3351818; Fax: +91
413 2272067. E-mail: arvind_ophthal@yahoo.co.in
Received 10 September 2005; Accepted 30 April 2006; Published online 2 June 2006.

Abstrak
Tujuan
Untuk mempelajari kejadian, presentasi klinis, dan respon anti-antijamur pada kasus endophthalmitis
jamur setelah trauma terbuka.

Metode
Ini merupakan penelitian prospektif pada delapan kasus endophthalmitis jamur pasca-trauma dari 110
pasien yang disajikan pada kami dengan cedera terbuka antara Agustus 2003 hingga Januari 2005.
Pasien dengan panophthalmitis dieviserasi dan kemudian diberi amfoterisin B intravitreal. Vitrectomy
pars plana dengan miconazole intravitreal diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap amfoterisin
intravitreal.

Hasil
Dua pasien dengan panophthalmitis pada saat presentasi dan telah dieviserasi. Enam organisme yang
berbeda telah diisolasi dari kultur spesimen intraokular dari delapan pasien. Hasil/jumlah dari aspirasi
vitreous adalah 87,5% dan 66,6% adalah aspirasi cairan. Aspergillus sp. dan Fusarium sp. ditemukan
dalam 62,5% kasus. Konsentrasi hambat minumum amfoterisin B dan miconazole adalah kurang dari 3
mg / ml untuk semua organisme kecuali pada Paecilomyces lilacinus dan Fusarium solani. Secara total,
37,5% dari pasien memiliki ketajaman visual akhir 20/400 atau lebih baik.

Kesimpulan
Endophthalmitis jamur merupakan komplikasi yang relatif jarang pada trauma terbuka. Hasil visual akhir
setelah endophthalmitis jamur adalah suram. Aspergillus fumigates ditemukan sebagai organisme yang
paling mematikan. Semua organisme yang ditemukan, peka terhadap amfoterisin B, kecuali P. lilacinus,
yang sensitif terhadap miconazole. Injeksi berulang intravitreal mungkin diperlukan untuk
mengendalikan infeksi. Virulensi dari organisme dan tempat cedera adalah penentu utama dari hasil
visual akhir.
Kata kunci:
trauma terbuka, endophthalmitis jamur, sensitivitas amfoterisin, miconazole intravitreal, konsentrasi
hambat minimum

Pengantar
endophthalmitis jamur eksogen merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada trauma terbuka. 1
Biasanya ada periode laten beberapa minggu sampai beberapa bulan pada endophthalmitis jamur
dibandingkan dengan endophthalmitis bakteri, yang biasanya terjadi dalam hitungan hari. Jamur
Endophthalmitis cenderung lebih terlokalisasi, sering terbatas pada COA, pupil, atau vitreous anterior,
dan tidak terkait dengan keluhan-keluhan mata. 2,3
Terapi optimal untuk endophthalmitis jamur eksogen belum disusun dengan baik, khususnya berkaitan
dengan pemilihan, rute pemberian, dan dosis agen anti-jamur. prognosis visual umumnya jelek pada
pasien .4

Pasien dan metode


Studi kami melibatkan pasien-pasien endophthalmitis jamur pasca trauma terbuka yang disampaikan
kepada kami antara Agustus 2003 hingga Januari 2005. Pasien dengan usia lebih dari 15 tahun dilibatkan
dalam penelitian. Endophthalmitis jamur didefinisikan sebagai kultur jamur positif dari spesimen yang
diperoleh baik dari COA atau vitreous.

Ukuran dan posisi laserasi itu dicatat dalam semua kasus dan perbaikan darurat laserasi corneoscleral
telah dilakukan. Laserasi kornea itu dijahit menggunakan jahitan nilon 10-0, sedangkan laserasi scleral
itu dijahit dengan jahitan nilon 8-0. Iris diambil pada kasus-kasus terkait dengan prolaps iris; namun,
koroid diposisikan kembali pada kasus-kasus laserasi scleral posterior dengan prolaps choroidal. Aspirasi
cairan (0,1 ml) dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologis pada kasus-kasus yang melibatkan cedera COA
atau jika ada eksudat di COA saja. Prolaps vitreous dipotong dengan dorongan ke arah luka dengan
spons selulosa dan dikirim untuk evaluasi mikrobiologi dalam kasus-kasus dengan cedera segmen
posterior. Namun, untuk mendapatkan sampel vitreous setelah endophthalmitis yang berkembang,
Jarum 21 G dipasang pada spuit tuberkulin digunakan untuk memasuki vitreous secara transconjunctival
4 mm dari limbus. Jarum itu diarahkan ke rongga mid-vitreous dan 0,2 ml vitreous ditarik secara
bertahap. Vitrector digunakan untuk mendapatkan sampel, jika vitreous tidak bisa disedot dengan
jarum.

Kultur dianggap positif ketika ada pertumbuhan organisme yang sama pada dua atau lebih media padat
di lokasi inokulasi atau ketika organisme tumbuh pada satu kultur dan juga dicatat pada pulasan
bernoda (Gram, Giemsa, atau perak Gomori methenamine). 5 Uji sensitivitas anti jamur dilakukan dengan
metode pengenceran kaldu yang disimpan beku, diisolasikan dari semua pasien. Spesimen beku yang
dicairkan dan ditaruh pada agar Sabouraud's. Setelah 48 jam perkembangan, hifa dan spora jamur
disuspensikan dalam saline steril dan disesuaikan dengan konsentrasi akhir yaitu 10 5 unit pembentuk
koloni. Tabung berisi pengenceran serial anti jamur diinokulasi dengan jamur dan diinkubasi selama 48
jam Tabung kemudian diperiksa untuk pertumbuhan dan kemudian menetapkan konsentrasi hambat
minimum (KHM).6

Antibiotik intraocular diberikan sesuai dengan protokol berikut:


• Vancomycin (1000 µM) dan amikasin (400 µM) pada saat perbaikan awal laserasi corneoscleral, jika
mata memiliki bukti klinis infeksi seperti hypopyon atau eksudat di daerah pupil atau vitreous.
• intravitreal amfoterisin (5 µM) jika tanda-tanda klinis infeksi berlangsung selama lebih dari 48 jam dan
pewarnaan atau kultur menunjukkan bukti pertumbuhan jamur.
• Pengulangan intravitreal amfoterisin (5 µM) diberikan setelah 72 jam dari injeksi sebelumnya jika
tanda-tanda klinis infeksi bertahan.
• Pars Plana vitrectomy bersama dengan 40 miconazole µM (atau sesuai dengan pola kepekaan
organisme) pada akhir prosedur, jika tanda-tanda infeksi bertahan setelah 72 jam dari injeksi kedua
amfoterisin intravitreal.
• Intracameral amfoterisin (5 µM) diberikan jika tanda-tanda klinis infeksi COA seperti hypopyon atau
ada eksudat atau jika aspirasi cairan positif ada filamen jamur.
• Kultur diperoleh sebelum prosedur masing-masing.

Secara sistemik, semua pasien menerima dosis flukonazol 800 mg/oral, dibagi dalam dua dosis selama 3
hari diikuti oleh 400 mg dibagi dalam dua dosis selama 3 minggu setelah pemeriksaan dasar fungsi hati. 7
Secara topikal, obat tetes mata natamycin 5% diteteskan setiap dua jam. Suntikan amfoterisin
subconjunctival pada hari alternatif lain yang diberikan jika eksudat COA tetap bertahan. Respon
terhadap pengobatan tersebut dipantau secara klinis dan dengan ultrasound B-scan.

Hasil
Data klinis
Dari 110 pasien dengan trauma terbuka yang disampaikan kepada kami selama masa studi, delapan
pasien kemudian timbul endophthalmitis jamur. Ukuran, luasnya laserasi, dan prolaps uveal terkait
ditunjukkan dalam Tabel 1. Selang waktu sebelum presentasi bervariasi antara 3 sampai 22 hari setelah
trauma. Tujuh mata memiliki bukti klinis infeksi, seperti hypopyon, atau eksudat di daerah pupil atau
vitreous. Satu pasien (Kasus 7) tidak menunjukkan bukti klinis infeksi, tetapi endophthalmitis
berkembang setelah 8 hari pengobatan awal.

Tabel 1 - Tanda klinis dari pasien.

Selang
waktu Objek Tajam Penyebab
Kasus Usia / Hasil akhir
sebelum penyebab visual saat Tempat dan ukuran luka penurunan
no. J.kelamin visual
presentasi trauma presentasi penglihatan
(hari)
1 68/M 14 Serangan PL negative Laserasi skleral 1.5 mm, 4 mm Dieviserasi  
dg tinju dibelakang limbus dengan
prolapse choroidal pada arah
Selang
waktu Objek Tajam Penyebab
Kasus Usia / Hasil akhir
sebelum penyebab visual saat Tempat dan ukuran luka penurunan
no. J.kelamin visual
presentasi trauma presentasi penglihatan
(hari)
jam 11.
Laserasi skleral 4 mm
2 35/M 22 Batu PL negative circumferensial pada limbus, Dieviserasi  
5 mm posterosuperior limbus
Corneal
lacerasi corneoscleral 6 mm
astigmatism,
perpendicular pada limbus
3 16/M 5 Benda besi PL positive 20/200 oedem macula
dengan iris prolapse pada jam
persisten and
1
Jejas luka
lacerasi corneoscleral 10 mm
Glaukoma
dari arah jam 8 sampai
Tanduk FC pada 2ft berkembang
4 48/M 16 PL positive melintasi axis visual dengan
Kerbau (1meter) dengan oedem
prolaps iris dan meluas 3 mm
cornea persisten
kedalam sklera
Laserasi skleral
circumferensial hingga limbus
dari jam 9 sampai 1 dan
5 60/M 3 Duri PL positive Phthisical Ablasi retina
kemudian 3mm perpendicular
hingga limbus dengan prolaps
uvea.
Laserasi coneoskleral 7mm
Astigmatisme
perpendicular hingga limbus
cornea dan
dari tengah kornea hingga
6 39/M 16 Balok besi HMCF 20/100 membran
limbus dan 2mm dibelakang
epiretinal diatas
pada arah jam 6 dengan
makula
prlaps iris
Laserasi coneoskleral 7mm
FC pada 1 perpendicular hingga limbus
7 42/M 12 Kulit kayu Phthisical Ablasi retina
meter (2ft) pada arah jam 2 dengan
prolaps uveal
Membrane
Laserasi skleral radial 5mm
Tanduk epiretinal diatas
8 18/M 3 PL positive dimulai pada 7mm dibelakang 20/400
Kerbau macula dan atrofi
limnis dengan prolaps uveal
optic
 PL: perception of light (persepsi sinar); HMCF: hand movement close to face (pergerakan tangan didekat muka);
FC: finger counting (hitung jari).

Dua pasien panophthalmitis pada saat presentasi dan dieviserasi ,pasien tersebut tidak memiliki harapan
mendapatkan kembali pelnglihatannya. Evaluasi mikroba isi intraokular dari pasien mengungkapkan
Aspergillus fumigatus sebagai organisme penyebab.
Lima dari enam mata sisanya diberikan vankomisin intravitreal (1000 µM) dan amikasin (400 µM) sesuai
dengan protokol, karena mereka memiliki bukti infeksi pada saat presentasi. kultur jamur selanjutnya
yang positif menunjukkan mereka mempunyai endophthalmitis jamur. Keenam pasien menerima
amfoterisin intravitreal dimana empat pasien harus diberi mengulangi amfoterisin intravitreal (Tabel 2).
Dua dari empat pasien dilakukan vitrectomy pars Plana dengan miconazole intravitreal karena pasien ini
tidak merespon intravitreal amfoterisin secara memadai. Empat mata diberikan amfoterisin
intracameral sesuai dengan protokol. Pengulangan amfoterisin intracameral tidak diperlukan.
Subconjunctival amfoterisin atau miconazole diberikan pada pasien dengan eksudat COA persisten.
Pasien ditindaklanjuti selama minimal 6 bulan (kisaran 6-9 bulan).

Tabel 2 – Pengulangan Kultur.

Kultur Cairan sewaktu masa


Kasus
Kultur Vitreus penyembuhan dari trauma
no.
terbuka
Sewaktu awal Sewaktu injeksi Sewaktu injeksi
  penyembuhan dari trauma intravitreal intravitreal Kedua (jika  
terbuka pertama diperlukan)
1 Aspergillus fumigatus NA NA NA
2 Aspergillus fumigatus NA NA NA
3 Candida parapsilosis Sama NA Negative
4 Fusarium solani Sama Sama Sama
5 Fusarium solani Sama Sama Sama
6 Negative Aspergillus flavus NA Aspergillus flavus
7 Paecilomyces lilacinus Sama Sama Negative
8 Acremonium curvulum Sama Sama Sama
  Catatan : Kasus 1 dan 2 dieviserasi NA: not applicable(tidak dilakukan).

Data Kultur
Enam organisme yang berbeda diperoleh dari delapan pasien (Tabel 3). Kultur dari COA dilakukan dalam
enam kasus (dua mata dengan panophthalmitis tidak dilibatkan), sedangkan kultur aspirasi vitreous
dilakukan dalam semua kasus. Empat dari enam aspirasi COA dan tujuh dari delapan aspirasi vitreous,
positif untuk kultur jamur. Satu mata memiliki kultur aspirasi COA positif tetapi kultur aspirasi vitreus
negatif. Pada pasien dengan masing-masing vitreous dan cairan menunjukkan pertumbuhan jamur,
organisme yang diperoleh sama. kultur berulang vitreous diperoleh dalam kasus di mana pengulangan
injeksi intravitreal diberikan. Organisme penyebab jamur yang ditemukan Aspergillus fumigatus dan
Fusarium solani dalam masing-masing kasus, sedangkan Candida parapsilosis, Aspergillus flavus,
Paecilomyces lilacinus, dan Acremonium curvulum terdapat dalam satu kasus masing-masing. Hifa jamur
tercatat dalam diagnostik pewarnaan hanya tiga (37,5%) dari delapan pasien.
Tabel 3 - Penatalaksanaan

Kasus Injeksi Injeksi


Injeksi intravitrealanti jamur
no. Subkonjungtiva intracamera
Pertam Kedu Setelah vitrektomi pars
     
a a plana
3 AMP NA NA NA NA
4 AMP AMP NA AMP AMP
5 AMP AMP NA AMP AMP
6 AMP NA NA AMP AMP
7 AMP AMP MIC MIC NA
8 AMP AMP MIC AMP AMP
Kasus 1 dan 2 dieviserasi.
Kasus 7 dan 8 menjalani vitrektomi pars plana.
 NA: not applicable (tidak dilakukan); AMP: amphotericin B; MIC: miconazole.

Sensitivitas dari organisme untuk agen anti-jamur yang berbeda diperoleh (Tabel 4). MIC isolat yang
berbeda dari organisme yang sama (Aspergillus fumigatus dan F. solani) berbeda dengan P. lilacinus
memiliki MIC sangat tinggi (20,0 mg / ml) untuk amfoterisin B.

Tabel 4 - Sensitivitas Anti-jamur


 
Nomor
Organismse Konsentrasi Hambat Minimum ( g/ml)
Kasus
Amphotericin Miconazol Ketoconazol
   
B e e
Aspergillus fumigatus 2 1.50 0.78 2.00
    2.00 1.50 NA
Aspergillus flavus 1 0.310 1.50 1.50
Candida parapsilosis 1 2.50 0.75 1.50
Fusarium solani 2 0.62 12.50 25.00
    1.50 25.00 25.00
Acremonium
1 2.50 0.19 1.50
curvulum
Paecilomyces lilacinus 1 20.00 0.78 1.50
 NA: not available (tidak ada).

Diskusi
Cedera dengan materi sayuran, batu, atau partikel lumpur meningkatkan risiko infeksi jamur. Keluhan
pada 50% pasien kami adalah lebih banyak tentang penglihatan yang kurang dan kemerahan daripada
rasa sakit seperti yang dijelaskan oleh Theodore. 8 Namun, dua pasien mengalami sakit mata sebagai
keluhan utama mereka. Dua kasus malah terjadi perkembangan endophthalmitis dalam waktu 1 minggu
setelah trauma bukan minguan hingga bulanan seperti umumnya. 10 Tanda klinis yang biasa terdapat
pada endophthalmitis jamur adalah infiltrat lokal di COA, ruang pupil, atau vitreous anterior. 2, 8
Meskipun empat pasien memiliki tanda yang serupa, dua pasien mengalami radang intraokular difus
menyerupai endophthalmitis bakteri. Variabilitas dalam presentasi endophthalmitis jamur ini
menekankan perlunya pertimbangan etiologi jamur bahkan jika temuan klinis menunjukkan etiologi
bakteri, dan dengan demikian kultur spesimen intraokular untuk kedua bakteri dan jamur harus
dilaksanakan, terlepas dari tanda-tanda klinis presentasi.

aspirasi cairan yang negatif dalam dua kasus meskipun kultur vitreous positif, mungkin disebabkan oleh
sampling yang tidak benar atau inokulum infektif rendah dalam COA. Ada satu kasus dengan kultur
aspirasi COA positif tetapi kultur vitreous negatif. Ini telah dilaporkan dalam studi sebelumnya juga. 9 Hal
ini mungkin disebabkan penetrasi jamur yang kurang dalam rongga vitreous, tidak seperti bakteria. 3
Oleh karena itu, aspirasi COA harus selalu dilakukan bersama dengan aspirasi vitreous untuk
keberhasilan pemeriksaan mikrobiologis.

Hanya dalam kasus-kasus dengan bukti awal endophthalmitis setelah trauma atau peradangan difus
intraocular yang parah, penggunaan vankomisin intravitreal dan aminoglikosida spektrum luas seperti
amikasin selama perbaikan awal diperbolehkan. 10, 11 Di sisi lain, penggunaan rutin amfoterisin intravitreal
tidak dibenarkan untuk infeksi jamur yang relatif jarang.

organisme jamur yang lebih mematikan daripada bakteri, tetapi tingkat virulensi berbeda-beda antar
jamur. Tidak seperti penelitian lain, kedua kasus Aspergillus fumigatus dalam seri ini berkembang
panophthalmitis.1 F. solani dihubungkan dengan hasil visual yang buruk karena menyebabkan kerusakan
mata yang luas dengan membebaskan enzyme proteolitik. 12 Hal ini menjadi sulit untuk memberantas
organisme setelah menyebar ke cavum vitreus. 13 Sebaliknya, organisme berbentuk benang yang berbeda
dengan morfologi yang sama, Acremonium curvulum memiliki hasil yang relatif lebih baik. Infeksi P.
lilacinus telah disebutkan menggunakan kortikosteroid topikal, yang juga terlihat di kasus kami. 14
Dengan demikian, perawatan harus dilakukan sebelum memulai terapi steroid dalam kasus-kasus
dengan trauma terbuka terutama jika diduga ada infeksi. Hasil visual secara relatif lebih baik pada mata
dengan infeksi karena C. parapsilosis dan Aspergillus flavus. hasil serupa telah dicatat dalam penelitian
lain juga.1 Hal ini mungkin disebabkan oleh kepekaan isolat terhadap amfoterisin intravitreal dan
fluconazole sistemik. 15, 16

MIC isolat yang berbeda biasanya berbeda dikarenakan perbedaan dalam pengkodean gen untuk
kepekaan protein conferring terhadap antijamur. Pola sensitivitas dalam Aspergillus fumigatus berbeda
sesuai dengan pola gen sitokrom b sequences. 17 lembaga Simultan agen anti-mikroba multipel dapat
mengakibatkan overekspresi dari beberapa protein, yang dapat mengurangi sensitivitas isolat terhadap
antijamur dan dengan demikian MIC berbeda. 18 Agen anti-jamur dengan MIC lebih dari 3 µg / ml
terhadap isolat tertentu tidak mungkin efektif pada in vivo.19 Dalam seri kasus kami, semua organisme
selain P. lilacinus memiliki amfoterisin B MIC kurang dari 3 µg / ml. Dengan demikian, miconazole
intraokular (40 µg) harus dipertimbangkan untuk endophthalmitis yang disebabkan oleh P. lilacinus (MIC
untuk miconazole: 0,78 µg / ml), atau dalam kasus dengan kegagalan dengan amphotericin. 20
Enam dari delapan pasien dalam seri kami memiliki hasil visual buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan
tingkat keparahan cedera (air mata scleral posterior mengakibatkan ablasi retina) dan virulensi dari
organisme jamur. Secara keseluruhan, hasil visual secara keseluruhan dalam kasus endophthalmitis
jamur pasca-trauma adalah suram. Kita bisa menyelamatkan beberapa penglihatan , empat dari delapan
mata. Infeksi jamur yang terkait dengan trauma dengan bahan organik (tongkat, batu, kulit kayu, dll)
sulit untuk mengobati. Respon untuk saat ini agen anti-jamur yang tersedia adalah lambat dan
suboptimal. Diagnosis dini (dengan indeks kecurigaan yang tinggi) dan pengobatan yang tepat dapat
meningkatkan hasil visual.

Referensi
1. Pflugfelder SC, Flynn HW, Zwickey TA, Forster RK, Tsiligianni A, Culbertson WW et
al. Exogenous fungal endophthalmitis. Ophthalmology 1988; 95: 19–30.
2. Fine BS, Zimmerman LE. Exogenous intraocular fungal infections with particular
reference to complication of intraocular surgery. Am J Ophthalmol 1959; 48: 151–165. 
3. Theodore FH. Mycotic endophthalmitis after cataract surgery. Int ophthalmol 1961; 4:
861–881.
4. Hanish SJ, Perlmutter JC, Boucher C, Bohigian G, Grand MG. Exogenous aspergillus
endophthalmitis. Ann Ophthalmol 1984; 16: 417–419. 
5. Rebell GC, Forster RK. Fungi of keratomycosis. In: Lennette EH, Belows A, Hausler Jr
WJ, Truant JP (eds). Manual of Clinical Microbiology, 3rd edn. American Society of
Microbiology: Washington, DC, 1980, pp 553–561.
6. Smith S, Espirel-Ingroff A. Susceptibility testing with antifungals. In: Lennette EH,
Belows A, Hausler Jr WJ, Truant JP (eds). Manual of Clinical Microbiology, 3rd edn.
American Society of Microbiology: Washington, DC, 1980, pp 647–653.
7. O'Day DM, Foulds G, Williams TE, Robinson RD, Allen RH, Head WH. Ocular uptake
of fluconazole following oral administration. Arch Ophthalmol 1990; 108: 1006–1008.
8. Theodore FH. Etiology and diagnosis of fungal post-operative endophthalmitis.
Ophthalmology 1978; 85: 327–340. 
9. Koul S, Philipson A, Arvidson S. Role of aqueous and vitreous cultures in diagnosing
infectious endophthalmitis in rabbits. Acta Ophthalmol 1990; 68: 466–469. 
10. Pflugfelder SC, Hernandez E, Fleisler SJ, Alvarez J, Pflugfelder ME, Forster RK.
Intravitreal vancomycin. Retinal toxicity, clearance and interaction with gentamicin. Arch
Ophthalmol 1987; 105: 831–837. 
11. Doft BH, Barza M. Ceftazidime or amikacin: choice of intravitreal antimicrobials in the
treatment of post operative endophthalmitis. Arch Ophthalmol 1994; 112: 17–18. 
12. Jones DB. Pathogenesis of bacterial and fungal keratitis. Trans Ophthalmol Soc UK
1978; 98: 367–371. 
13. Jones BR, Jones DB, Lim AS, Bron AJ, Morgan G, Clayton YM. Cornea and intra-ocular
infection due Fusarium solani. Trans Ophthalmol Soc UK 1970; 89: 757–779. 
14. Kozarsky AM, Stulting R, Waring GO, Cornell FM, Wilson LA, Cavanagh HD.
Penetrating keratoplasty for exogenous Paecilomyces keratitis followed by postoperative
endophthalmitis. Am J Ophthalmol 1984; 98: 552–557. 
15. Laatikainen L, Touminen M, von Dickhoff K. Treatment of endogenous fungal
endophthalmitis with systemic fluconazole with or without vitrectomy [letter]. Am J
Ophthalmol 1992; 113: 205–207. 
16. Borne MJ, Elliott JH, O' Day DM. Ocular fluconazole treatment of Candida parapsilosis
endophthalmitis after failed intravitreal amphotericin B [letter]. Arch Ophthalmol 1993;
111: 1326–1327. 
17. Balajee SA, Weaver M, Imhof A, Gribskov J, Marr KA. Aspergillus fumigatus variant
with decreased susceptibility to multiple antifungals. Antimicrob Agents Chemother
2004; 48: 1197–1203. 
18. Henry KW, Cruz MC, Katiyar SK, Edlind TD. Antagonism of azole activity against
Candida albicans following induction of multidrug resistance genes by selected
antimicrobial agents. Antimicrob Agents Chemother 1999; 43: 1968–1974.
19. Editorial board. Fungal endophthalmitis caused by Paecilomyces lilacinus after
intraocular lens implantation. Am J Ophthalmol 1977; 83: 130–131.
20. Tolentino FI, Foster CS, Lahav M, Liu LH, Rabin AR. Toxicity of intravitreous
miconazole. Arch Ophthalmol 1982; 100: 1504–1509. 

Anda mungkin juga menyukai