Anda di halaman 1dari 20

A.

Tinjauan Teoritis Demam Typoid

1. Pengertian

“Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna
dengan gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan
gangguan kesadaran“. (Mansjoer, 2000: 432).

“Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,
pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum. Disebabkan
salmonella thypi, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran”. (Soegijanto, 2002: 1).

“Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di selaput lendir
usus, dan jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu jaringan di seluruh
tubuh”. (Tambayong, 2000: 143).

“Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi
salmonella typhi”. ( Ovedoff, 2002: 514).

2. Etiologi

Menurut Lewis, Et al (2000: 192) “Penyakit demam typoid disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi”.

Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari demam typoid
adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid disebabkan oleh organisme
yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis bioseratife para typhi B,
salmonella enteretidis bioseratife C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama
salmonella paratyphi A, salmonella schottmueller dan salmonella hirscfeldii.
Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang penyebab dari
demam typoid adalah bakteri Salmonella typhi.

3. Patofisiologi

Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah berada di


dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak
peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan
nekrosis setempat kuman lewat pembuluh darah limfe masuk ke darah (bakterimia
primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di
tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit
berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke
darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman
masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman
tersebut di keluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimia
nya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga
bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam typoid. (Suriadi,
2001: 281).

Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya yang


merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjut zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulasi di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.

4. Tanda dan Gejala

Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda dan gejala
demam typoid adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan muntah.

Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
peningkatan suhu badan.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif, lidah typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen
koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Mansjoer,
1999: 422).

Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya lebih ringan
daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian
menyusul gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:

a. Demam

Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten dan
suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap
hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.

b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan
limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.

c. Gangguan Kesadaran

Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi
supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan
pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan, pada punggung dan anggota
gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil
dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-kadang
ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.

d. Relaps

Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan tetapi
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi
karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik
oleh obat maupun oleh zat anti.

5. Komplikasi

Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat terjadi pada
usus halus, umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal diantaranya adalah:

a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat
disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma. Pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.

c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus
halus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.

Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis


(bakterimia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain, terjadi karena
infeksi sekunder yaitu Bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul
akibat masukan makanan yang kurang dan respirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
6. Pemeriksaan Penunjang

Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang diperiksa adalah:

a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).

b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.

c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.

d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.

e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A) meningkat
selama minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang negatif semua bisa
mungkin terjadi pada tes widal).

Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif memastikan demam
typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan
uji titer widal empat lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam typoid.

Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan Laboratorium melalui:

1. Pemeriksaan leukosit

Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit ini tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya
demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan
pengobatan.

3. Biakan darah

Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan demam typoid.
4. Uji widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pasien
demam typoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella typhi dan juga
para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid.

Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai > 1/200
atau peningkatan > 4 kali antara masa akut dan konvalensens mengarah kepada
demam typoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya
reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
menemukan kuman salmonella typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah
klien. (Mansjoer, 2000: 433).

Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi (aglutinin),
yaitu:

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman).

c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal

Faktor yang berhubungan dengan klien:

a. Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah
setelah klien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau
ke-6.
b. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam
typoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia,
leukemia dan karsinoma lanjut.

c. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti mikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.

d. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat


menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.

e. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa
atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-
lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

f. Infeksi klien dengan klinis/ subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan ini
dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang
rendah.

g. Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap


salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typoid pada
seseorang yang pernah tertular salmonella dimasa lalu.

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Copstead, et al (2000: 170) “Pilihan pengobatan mengatasi kuman


Salmonella typhi yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan
alternatif lain yaitu trimetroprin, sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol”.
“Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian, yaitu:

1. Perawatan

Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.

2. Diet

Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar
dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu di istirahatkan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan
lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam typoid.

3. Obat

Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:

a. Kloramfenikol, dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg,
diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis
diturunkan menjadi 4 kali 250 mg selama 5 hari kemudian.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol.
Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada
kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-
rata 5-6 hari.

c. Ampicilin dan Amoxilin, efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan


kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah klien demam typoid dengan
leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan, digunakan sampai 7 hari bebas
demam.
d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol), efektifitas nya
kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet
sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.

e. Sepalosporin generasi ketiga, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa


sepalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif
untuk demam typoid.

f. Fluorokinolon

Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang
optimal belum diketahui dengan pasti.

Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoid juga diberikan obat-
obat simtomatik antara lain:

a. Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena
tidak berguna.

b. Kortikosteroid

Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam
pengobatan selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien
menjadi baik, suhu badan cepat turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak
boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal
dan relaps”. (Sjaifoellah, 1996: 440).

8. Prognosis

“Prognosis demam typoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7
%”. (Sjaifoellah, 1996: 441).
Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 236), umunya prognosis demam typoid pada
anak baik, asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat adalah
6%. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti:

a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris continue.

b. Kesadaran sangat menurun (supor, koma atau delirium).

c. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis perforasi.

B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Demam Typoid

1. Pengkajian Keperawatan Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:

a. Aktivitas dan Istirahat.

Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas, pembatasan


aktivitas/ kerja sehubungan dengan proses penyakit.

b. Sirkulasi

Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi relatif,
hipotensi termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk, kering, lidah
kotor.

c. Integritas Ego

Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak ada
harapan.

Tanda: Menolak, perhatian menyempit.

d. Eliminasi

Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada
konstipasi/adanya peristaltik.

e. Makanan/cairan

Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.

Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk,
membran mukosa pucat.

f. Hygiene

Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.

g. Nyeri/ kenyamanan

Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.

Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.

h. Keamanan

Gejala: Peningkatan suhu tubuh 38C- 40 C, penglihatan kabur, gangguan mental
delirium/ psikosis.

i. Interaksi Sosial

Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan kondisi


yang di alami.

j. Penyuluhan/ Pembelajaran

Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2001-2002) yaitu:

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat ditempat tidur/


tirah baring.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang,


mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat
diare.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan


prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak
adekuat.

3. Perencanaan Keperawatan

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

Intervensi:

1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.


Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses
inflamasi.

2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam
melaksanakan upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada
daerah frontal, lipat paha dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dengan perbanyak minum.

Rasional: Membantu mengurangi demam.

3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3
jam.

Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.

4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.

Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih


lanjut.

6) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.

Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.

5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.

Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi
basil salmonella typhi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/


tirah baring.

Intervensi:

1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa makanan,


minuman, ganti baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut, genetalia dan kuku.
Rasional: Pemberian bantuan pada klien dapat menghindari timbulnya komplikasi
yang berhubungan dengan pergerakan yang melanggar program tirah baring.

2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.

Rasional: Partisipasi keluarga sangat penting untuk mempermudah proses


keperawatan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan mempercepat


proses penyembuhan

Rasional: Istirahat menurunkan mobilitas usus juga menurunkan laju metabolisme


dan infeksi.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang,


mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

Intervensi:

1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.

Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan


berat ringannya kekurangan cairan.

2) Monitor tanda-tanda vital

Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.

3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.

Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.

4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.

Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.


5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.

Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat
diare.

Intervensi:

1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat


menentukan intervensi yang sesuai dan efektif.

2) Monitor adanya penurunan berat badan.

Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500
gr/minggu.

3) Monitor lingkungan selama makan.

Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif
untuk makan.

4) Monitor mual dan muntah.

Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.

5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.

Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk


mempercepat proses penyembuhan.

6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.


Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.

7) Berikan makanan yang terpilih.

Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.

8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.

Intervensi:

1) Monitor tanda dan gejala diare.

Rasional: Untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan.

2) Identifikasi faktor penyebab diare.

Rasional: Mengetahui penyebab diare sehingga dapat menentukan intervensi


selanjutnya.

3) Observasi turgor kulit secara rutin.

Rasional: Turgor kulit jelek dapat menggambarkan keadaan klien.

4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.

Rasional: Untuk membantu dalam proses penyembuhan.

5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi
kalori jika memungkinkan.
Rasional: Makanan rendah serat dan tinggi protein dapat membantu mengatasi
diare.

6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.

Rasional: Untuk melanjutkan intervensi dan pemberian obat berikutnya.

7) Evaluasi intake makanan yang masuk.

Rasional: Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien.

8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.

Rasional: Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

Intervensi:

1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.

Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran


penyakit/ terjadi komplikasi.

2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.

Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor yang


memperberat (seperti stress, tidak toleran terhadap makanan) atau
mengidentifikasi terjadinya komplikasi, serta membantu dalam membuat diagnosis
dan kebutuhan terapi.

3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.

Rasional: Untuk menghilang nyeri.


4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.

Rasional: Analgetik dapat membantu menurunkan nyeri.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan


prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak
adekuat.

Intervensi:

1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.

Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.

2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.

Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab,
tanda dan gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.

3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.

Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.

4. Evaluasi

Evaluasi adalah usaha untuk menilai keefektifan asuhan keperawatan yang telah
diberikan kepada klien dengan demam typoid.

Hasil evaluasi yang diharapkan adalah:

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

Evaluasi:

1) Suhu tubuh dalam batas normal (36,6-37,5 C).

2) Klien tidak demam lagi.

3) Klien tidak gelisah.


4) Turgor kulit baik.

5) Kesadaran compos mentis.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/


tirah baring.

Evaluasi:

1) Kebutuhan mandi, makan, minum, eleminasi, ganti pakaian, kebersihan mulut,


rambut, kuku dan genetalia terpenuhi.

2) Klien berpartisipasi dalam tirah baring.

3) Klien mobilisasi secara bertahap.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang,


mual, muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

Evaluasi:

1) Masukan dan haluaran cairan seimbang.

2) Turgor kulit baik, membran mukosa lembab.

3) Tanda-tanda vital dalam batas normal.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat
diare.

Evaluasi:

1) Klien dapat menghabiskan makanan yang disediakan.

2) Klien tidak lagi mual, dan muntah.

3) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai saran
dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada usus halus.

Evaluasi:
1) Tidak mengalami diare.

2) Turgor kulit baik.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

Evaluasi:

1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.

2) Tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat secara adekuat.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan


prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak
adekuat.

Evaluasi:

Keluarga klien mengerti tentang penyakit anaknya.

Anda mungkin juga menyukai