Anda di halaman 1dari 3

Kajian teori/konseptual maupun pengalaman empiris beberapa negara maju maupun

berkembang menunjukkan bahwa sebagai aset yang makin penting dalam perspektif jangka
panjang, kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai sifat
kecenderungan berakumulasi progresif (dalam pengertian meningkat secara tidak linier),
dinamis, dan kompleks. Bahwa iptek merupakan elemen yang makin penting dalam
kehidupan manusia (dan masyarakat) telah mulai disadari. Namun patut diakui bahwa hal ini
belum sepenuhnya diikuti komitmen dan konsistensi dalam mengaktualisasikannya.

Dalam konteks negara/daerah atau perusahaan, dilihat dari sumbernya, kemampuan tersebut
bisa berasal dari “sumber luar” (imported technology), dan dari “sumber dalam/internal”
(indigenous technology). Pesatnya kemajuan iptek di negara-negara maju membuat upaya
untuk berorientasi pada pemanfaatan, penguasaan dan pengembangan teknologi yang berasal
dari luar menjadi agenda yang memperoleh tekanan, jika bukan perhatian utama (prioritas).
Tambahan lagi bantuan atau kemudahan negara donor dan/atau penyedia teknologi yang
disediakan. Proses ini membuat meningkatnya upaya impor teknologi di satu sisi dan
hilangnya atau makin rendahnya perhatian pada indigenous technology pada sisi lain menjadi
godaan yang sulit dihindarkan.

Perkembangan dan dinamika kemajuan iptek dan berbagai perubahan di era global memang
cenderung membuat batasan “teknologi luar dan teknologi dari sumber internal” ini makin
kabur. Impor teknologi akan saling mempengaruhi dalam meningkatkan kemampuan internal.
Namun, kelalaian(ignorance) atau kurangnya perhatian yang berlarut atas kemampuan sendiri
menimbulkan persoalan (yang telah dirasakan dan menjadi potensi persoalan masa depan)
yang jika terus diabaikan, tampaknya makin membesar. Beberapa isu indikatif antara lain
misalnya :

a.
Perkembangan aktivitas ekonomi dalam bentuk Foreign Direct
Investment/FDI ternyata tidak banyak berperan efektif sebagai wahana alih teknologi.
Kehadiran industri tersebut (misalnya di kawasan-kawasan industri) tak banyak berperan
mendorong kapasitas dunia usaha setempat atau masyarakat sekitar dalam menyerap dan
mengembangkan teknologi.1 Pengembangan kemampuan teknologi dari masyarakat
setempat setidaknya belum menjadi perhatian pembuat kebijakan.2 Sementara di lain
pihak, dari aspek sosio kultural, indigenous technology merupakan aset yang penting tidak
saja bagi aktivitas ekonomi produktif dan peningkatan kapasitas masyarakat yang biasanya
adaptif dengan lingkungan setempatnya, tetapi juga bagi perkembangan modal sosial.
Dimensi local specificity dari heterogenitas multiaspek dalam masyarakat (dan lokasi) yang
komplementer atas universalitas teknologi kini sebenarnya makin diakui justru lebih
menentukan keunggulan daya saing dan kemandirian. “Pengabaian” terhadap indigenous
technology berkontribusi terhadap rendahnya kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan,
penguasaan dan pengembangan teknologi serta dalam pemanfaatan potensi spesifik lokal.
b.
Indigenous technology sebagai potensi sumber daya dan kapabilitas internal (indigenous)
yang masih terabaikan telah mulai dikembangkan oleh sementara pihak yang mampu
melihat peluang dan memanfaatkannya untuk keuntungan ekonomis. Hanya saja tak ada
“keuntungan” apapun yang diperoleh kelompok masyarakat “pemilik” indigenous
technology tersebut.

c.
Ketergantungan pada impor, dalam bentuk yang lebih substansial dari sekedar impor
produk (dalam bentuk barang dan jasa). Kini ketergantungan sepihak atas
kemampuan/kompetensi kepada pihak asing (luar negeri) makin terasa.

d.
Perkembangan era global yang cenderung melahirkan kaidah/kesepakatan tatakrama baru
pergaulan dunia yang diatur oleh pihak yang relatif lebih maju dan cenderung merugikan
pihak-pihak yang tertinggal. Isu perdagangan bebas dan HKI/Hak Kekayaan Intelektual
(beserta beberapa isu lainnya) tampak lebih merupakan instrumen kekuasaan bagi negara
maju untuk terus mendominasi, ketimbang memberdayakan bagi negara berkembang yang
memiliki posisi tawar makin rendah. Dalam segala keterbatasan dan ketidakberdayaannya,
negara berkembang menjadifollower dan cenderung bergerak dalam ruang yang makin
terbatas serta makin tak berdaya, kesenjangan antara negara maju dengan yang tertinggal
berpotensi makin melebar

Jika indigenous technology disadari sebagai hal yang sangat penting, tentu perhatian pada
pemanfaatan dan pengembangan indigenous technology harus makin besar. Bagaimana?
Tentu implikasinya terutama dalam konteks kebijakan dan strateginya merupakan salah satu
agenda kritis pembangunan (yang tak selalu harus sepenuhnya dibebankan kepada
pemerintah).

Tulisan singkat ini memuat dua hal pokok. Pertama, diawali dengan menawarkan
pengertian (dan batasan) tentang “apa” yang sebenarnya dimaksud dengan
indigenous technology, bahasan tentang beberapa isu utama mengapa perhatian

terhadap hal ini sangat penting bagi Indonesia diangkat. Hal tersebut selanjutnya menjadi
pangkal tolak bagi hal kedua, yaitu merumuskan agenda tentang upaya yang sebaiknya
segera dilakukan sebagai wacana dalam upaya mengembangkan, mendayagunakan, dan
melindungi teknologi masyarakat.
Secara umum, Bisnis Waralaba, Bussiness Oppotunity (BO) dan Lisensi memiliki kesamaan
arti sebagai sebuah konsep kemitraan dalam bisnis. Artinya, ada dua pihak, yaitu pemberi hak
dan penerimanya yang sama-sama meraih benefit dari kerja sama kemitraan saling percaya
tersebut. Tiga model konsep bisnis ini juga memiliki kesamaan dari sisi tingkat resiko bagi
peminat investasi, yaitu meminimalisir faktor kegagalan yang sebelumnya sudah diambil alih
oleh pemberi hak melalui pembuktian bisnis atau merek dalam rentang waktu tertentu di
tahap awal.

Pada tiga model bisnis tersebut juga memiliki kesamaan dari sisi support, dimana pemberi
hak memiliki keharusan untuk men-support penerima hak agar bisa menjalankan bisnis
hingga sukses.

Namun demikian, ada perbedaan antara Waralaba, Bussiness Opportunity (BO) dan
Lisensi yang sangat prinsipil dari masing-masing konsep. Tapi, sekarang ini agak sulit untuk
kita tahu mana yang waralaba, mana yang lisensi dan mana yang sebenarnya BO. Menurut
Utomo Njoto, pakar Franchising, ada 6 (enam) hal untuk bisa membedakan ketiganya :
Pertama, dari aspek merek; waralaba dan lisensi itu menggunakan merek milik franchisor
atau lisensor. Tapi kalau BO tidak harus menggunakan merek milik yang jual BO.

Kedua, fokusnya. Waralaba fokusnya pada sistem bisnis. Lisensi lebih fokus pada hak
kekayaan intelektual (HKI). Sedangkan BO seharusnya bicara tentang paket usaha (start up
package) seperti ada mesin-mesin, bahan baku supply-nya, dan seseorang diajar untuk
memulai sebuah bisnis tetapi mereknya boleh merek sendiri. Jadi lebih sederhana sebenarnya.

Di waralaba harus ada sistem support, ada pra operasional, pra launching, ada supervise
launching dan ada pasca launching.

Ketiga, marketing communication. Nah di waralaba ada unsur yang terpusat. Full advertising
fund dan national level sepending yang berasal dari franchisor. Tapi kalau Lisensi dan BO
tidak harus terpusat. Malah sebetulnya mereka tidak berhak mengambil full advertising.

Keempat, terkait dokumen HKI. Di Indonesia waralaba itu boleh dalam bentuk surat
permohonan pendaftaran merek. Seharusnya dan sebetulnya sudah menjadi sertifikat, tapi
karena di Indonesia prosesnya panjang maka boleh dalam bentuk surat permohonan
pendaftaran merek. Sedangkan untuk lisensi merek itu harus sertifikat merek.

Kelima, terkait regulasi. Di waralaba ada PP dan Permendag yang mana mengatur harus ada
pendaftaran STPW  (Surat Tanda Pendaftaran  Waralaba) penerima dan pemberi waralaba. Di
lisensi itu ada UU No. 15 mengenai merek dan lisensinya ada di pasal 43 sampai 49 yang
isinya dalam hal lisensi harus ada pencatatan perjanjian lisensi.

Keenam, masalah sanksi. Di waralaba ada peringatan tertulis tiga kali dan denda paling
banyak Rp 100 juta. Sedangkan di lisensi merek tidak terlalu ketat saat ini karena
Departemen Hukum dan HAM sedang merumuskan PPnya. Di BO peraturannya belum jelas.

Anda mungkin juga menyukai