Anda di halaman 1dari 5

Amnesti Marta Sari/ Ilmu Komunikasi/ (09/ 281860/ SP/ 23327)

Membangun Lewat Humanisasi Pendidikan


Sabtu, 8 Januari 2011 | 20:56 WIB
Oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro

KOMPAS.com - Persoalan yang dihadapi bangsa ini dari hari ke hari makin banyak tanpa ada
titik terang penyelesaiannya. Semua lini kehidupan mengalami persoalan dan cobaan yang tak
habis-habisnya, bahkan makin parah.
Sektor keuangan, pendidikan, transportasi, olahraga, politik, tata kelola, kehakiman, hukum,
peraturan perundangan, perindustrian, kejaksaan, kepolisian, perbankan, dan banyak sektor
lain telah didera persoalan yang sangat mendasar: terjadi penyalahgunaan atau kesalahan
fungsi dan kewenangan. Akibatnya, semua kebijakan yang ditempuh tak propublik, tetapi justru
menyulitkan dan membebani serta menyengsarakan warga.
Mari kita perhatikan sekitar kita. Makin banyak orang yang jatuh miskin atau makin miskin.
Dalam percaturan dunia, negara kita semakin tak diperhitungkan di antara negara-negara yang
kompetitif. Kita masih diperhitungkan hanya karena memiliki jumlah penduduk besar dan
sumber daya alam berlimpah.
Kenyataannya, jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang melimpah belum
dapat memberi nilai tambah serta jaminan bagi kemajuan dan pertumbuhan Indonesia. Ada
alasan yang sangat mendasar mengapa semua ini terjadi di Indonesia: karakter bangsa yang
lemah. Tak kukuh mempertahankan prinsip kebenaran yang hakiki. Jangan-jangan nilai
kebenaran yang hakiki sekalipun tak dimiliki bangsa ini. Padahal, bangsa yang maju adalah
bangsa berkarakter dengan masyarakat berkarakter kuat.
Karakter dan kepribadian yang kuat ditunjukkan melalui sikap tertib aturan, mandiri, dan
mendahulukan kepentingan khalayak. Saat ini pemahaman tentang kebenaran ternyata
diartikan dengan sangat sempit dan kerdil: kebanyakan dibawa ke ranah hukum atau
pengadilan untuk diputuskan benar-tidaknya.
Dalam proses mencari kebenaran ini pun terjadi masalah besar: karakter pihak yang terlibat
lemah. Keputusan pengadilan sangat bergantung pada kualitas, moralitas, dan karakter para
hakim. Kenyataannya, banyak putusan yang tak masuk akal, tak konsisten, dan jauh dari
kebenaran yang hakiki.
Berkarakter lemah
Di samping itu, peraturan perundangan yang digunakan sebagai rujukan juga tak
mencerminkan kebenaran yang hakiki karena disusun oleh orang yang juga berkarakter lemah.
Akibatnya, peraturan perundangan kita cenderung tak propublik, malah mempersulit
masyarakat. Lengkaplah sudah kesengsaraan warga karena tak satu lini pun yang
prokepentingan publik.
Beruntunglah Indonesia. Rakyatnya tahan banting dan sangat sabar, bahkan cenderung pasrah
sehingga stabilitas nasional sangat baik dan tak ada gejolak sosial yang signifikan, apalagi
revolusi sosial. Siapa pun tak ingin terjadi revolusi sosial karena dampaknya akan sangat buruk
bagi bangsa ini.
Meski demikian, keadaan seperti ini tak dapat dibiarkan terus-menerus. Kesabaran warga
makin lama akan makin habis. Mereka manusia biasa meski relatif lebih sabar dan tawakal.
Kalau kehidupan mereka sampai terjepit, mereka akan bertindak tak rasional lagi.
Mereka yang terjepit posisi kehidupannya tak punya pilihan lain, kecuali bertindak brutal
melawan hukum. Kalau tetap diam bersabar, akhirnya mereka juga akan mati oleh kondisi yang
terjepit. Kalau melawan hukum, mereka juga akan ditangkap dan dipenjara. Itulah buah
simalakama bagi penduduk sangat miskin yang jumlahnya besar sekali di negara ini.
Hal yang diinginkan dan diperlukan oleh bangsa ini adalah reformasi sosial ketika kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa harus ditata ulang atau direformasi total dengan
mengedepankan kebenaran yang hakiki. Ini dibarengi dengan keberanian bersikap kukuh
terhadap prinsip kebenaran hakiki.
Harus dibentuk
Ini berarti karakter warga harus dibentuk seperti itu sehingga pada akhirnya terbentuk karakter
bangsa yang kuat. Pembentukan karakter harus dilakukan melalui pendidikan, baik formal
maupun informal. Namun, pendidikan kita harus dibenahi sebelum nanti mampu membangun
karakter bangsa.
Saat ini kita masih menghadapi masalah dengan pendidikan kita yang tak humanis: tak
menyentuh kepada manusianya, tak menyentuh kepada siswa, guru, dan tenaga kependidikan
lainnya.
Sebagai contoh, adanya ujian nasional yang jelas-jelas menjauhkan pendidikan dari manusia
pelaku-peserta pendidikan. Seolah terjadi dua kubu yang berhadapan, pemerintah-diknas-
Badan Standar Nasional Pendidikan dengan sekolah-guru-murid. Padahal, seharusnya kedua
kubu itu menyatu dalam pendidikan. Itu sebabnya sampai saat ini pendidikan kita belum bisa
mencapai tingkat mutu yang tinggi.
Terlalu jauh kebijakan konsep pendidikan dengan pelaku-peserta pendidikan. Akibatnya, setiap
pihak berjalan sendiri sesuai dengan keyakinan masing-masing, yang ternyata menyimpang
dari makna dan hakikat pendidikan. Dengan pendidikan yang humanis, pembangunan karakter
bangsa dapat dirintis secara berkelanjutan.
Untuk keberhasilan ini masih diperlukan satu unsur penting lain: kepemimpinan yang
berkarakter dan menjunjung tinggi kebenaran yang hakiki. Masyarakat kita paternalistis.
Sebenarnya tak sulit membimbing mereka. Artinya, kalau dibimbing ke arah yang salah, mereka
juga akan ikut salah.
Satryo Soemantri Brodjonegoro Guru Besar ITB dan Penasihat Akademik Binus
University, Jakarta

Sumber: http://kompas.com/Membangun%20Lewat%20Humanisasi%20Pendidikan
Sistem Fiduciary Masih Terkandung dalam Kolom Media di Indonesia
(Ulasan terhadap Artikel Kompas.com Edisi Sabtu, 08 Januari 2011)

Sistem fiduciary dalam konteks pembahasan kali ini mengacu pada subsistem dalam masyarakat
yang menangani fungsi pemeliharaan pola (latensi), dengan cara menyebarkan kultur berupa
nilai dan norma kepada aktor, sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut. Contoh
konkret dari sistem ini berupa lembaga-lembaga edukatif seperti keluarga, sekolah, ataupun
media. Dibandingkan dengan sekolah maupun keluarga, media dianggap lebih efektif dalam
menjalankan fungsi fiduciary-nya. Hal ini dikarenakan ia mampu menjangkau wilayah yang luas
serta menempatkan sebuah tema ke tengah masyarakat, kemudian mengkonstruksi pemikiran
mereka sesuai dengan apa yang diinginkan oleh media.

Tentu, hal ini akan bermuatan positif apabila digunakan sebagaimana mestinya. Jika kita kaitkan
wacana ini dengan kondisi Indonesia sekarang, di mana sedang terjadi berbagai polemik
berkepanjangan yang tak terselesaikan, kehadiran fiduciary merupakan sesuatu yang diidam-
idamkan. Masyarakat sedang membutuhkan bimbingan guna menuju persatuan di tengah iklim
bangsa yang plural. Membutuhkan media yang mampu ‘mengembalikan’ kembali ingatan
mereka kepada nilai dan norma luhur bangsa, sehingga carut marut yang ada dapat terselesaikan
dengan segera.

Meskipun segala sektor di negara ini terkena imbas kapitalisasi, termasuk instansi media, namun
tak membuat perhatian mereka hanya terfokus pada keuntungan semata. Rupanya, masih banyak
media yang tetap mempertahankan sistem fiduciary dalam muatannya, salah satunya Kompas.
Hal ini dapat dibuktikan melalui salah satu artikel yang terdapat pada Kompas.com dan juga
Kompas cetak edisi Sabtu, 08 Januari 2011.

Artikel yang ditulis oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro, seorang Guru Besar Institut Teknologi
Bandung tersebut, terkategorikan sebagai opini, bukan news. Tulisan berjudul Membangung
Lewat Humanisasi Pendidikan ini mencoba menunjukkan kepada pembaca bahwa segala
persoalan yang sedang melanda Indonesia merupakan imbas dari lemahnya karakter bangsa.
Untuk itu, ia mempersuasi khalayak agar tertib pada aturan, mandiri, serta mendahulukan
kepentingan khalayak, guna tercapainya pembentukan kharakter dan kepribadian bangsa yang
kuat. Dari situ dapat kita lihat adanya proses penyebaran kultur positif sehingga pembaca
tergugah untuk menginternalisasikan kultur itu. Selanjutnya, artikel mengaitkan sistem
pendidikan di Indonesia dengan problematika bangsa. Sistem pendidikan yang tidak humanis,
dalam artian tidak menyentuh para pelaku di dalamnya, mampu menjadikan mereka berjalan
menyimpang dari makna dan hakikat pendidikan. Maka, harus dilakukan pembenahan
terhadapnya, karena sistem pendidikan yang berkualitas, baik formal maupun informal, akan
mempengaruhi pembentukan kharakter yang bermutu. Pada akhir tulisan, seakan mencoba untuk
kembali menggugah nurani pembaca, penulis mengingatkan akan pentingnya kepemimpinan
yang berkharakter dan jujur.

Dari pemaparan singkat di atas, dapat terlihat bahwa tetap tersedianya kolom bagi sistem
fiduciary untuk hadir ke tengah masyarakat melalui media, mampu menuntun dan kembali
mengembalikan masyarakat pada nilai dan norma luhur bangsa ini. Sehingga, meskipun paham-
paham asing menginvasi dan bermacam permasalahan timbul dari dalam negeri, segenap
komponen bangsa dapat bersatu menghadapi, kukuh dalam mempertahankan jati diri serta
martabat bangsa.

REFERENSI:

WEB:

http://kompas.com/Membangun%20Lewat%20Humanisasi%20Pendidikan. Tanggal 08 Januari


2011.

Anda mungkin juga menyukai