Anda di halaman 1dari 2

Beban

Friday, 05/06/2009 16:30 WIB | email | print | share

Dua orang sahabat berkendaraan sepeda motor yang berbeda pergi menuju suatu tempat yang sama.
Walau berangkat secara bersamaan, tapi keduanya tidak berjalan beriringan. Pengendara pertama
memacu begitu cepat motornya, sementara yang kedua melaju dengan kecepatan normal.

Sesekali, pengendara kedua melambatkan kendaraannya hanya untuk memuaskan ketakjubannya


dengan keindahan taman-taman di tepian jalan. Saat itu, ia seolah sedang menumpang sebuah mobil.
Hampir tak satu pun pemandangan menarik yang luput dari pengamatannya.

“Aduh lelahnya!” ucap si pengendara pertama ketika pengendara kedua tiba di tempat tujuan.

“Kamu lelah karena menungguku?” tanya si pengendara pertama menyadari kalau ia datang sangat
telat.

“Bukan. Aku lelah karena perjalanan yang begitu jauh,” sahut si pengendara pertama memastikan
jawabannya.

“Sahabatku,” ucap si pengendara pertama. “Kamu lelah bukan karena perjalanan yang jauh. Kamu
lelah karena menganggap perjalanan ini sebagai beban,” tambah si pengendara pertama lebih dalam.
**

Melakoni hidup kadang seperti sedang berkendaraan menuju suatu tempat yang teramat jauh. Untuk
sebuah logika normal, perjalanan itu pun harus secepat mungkin ditempuh untuk kemudian tiba di
tempat tujuan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
Padahal, dinamika hidup ini tidak linier seperti garis lurus yang mempunyai simpul-simpul berjajar
memenuhi titik-titik persinggahan. Karena jika seperti itu, kita akan abai dengan sisi kehidupan lain
yang terpampang di tepian jalan.

Ada yang mudah terlihat, tapi tidak sedikit yang butuh pengamatan penuh ketelitian. Ada yang bisa
dilihat dengan mata kepala kita, tapi juga tidak sedikit yang hanya bisa dicermati dengan ketajaman
mata hati kita.

Lalui jalan hidup ini. Cermati dan maknai dinamika sekelilingnya sebagai daya dorong menuju tempat
tujuan. Dan agar perjalanan ini tidak sekadar beban.

Anda mungkin juga menyukai