Table of Contents
I. ANALISA ISI/CONTENT ANALYSIS............................................................................................2
Pengertian Dasar.............................................................................................................................2
Syarat-Syarat Analisa Isi................................................................................................................2
Desain Analisis Isi..........................................................................................................................3
Tahapan Proses Penelitian Analisis Isi............................................................................................3
Dasar-dasar Perencanaa Penelitian Analisis Isi (Research Design)................................................4
II. ANALISA BINGKAI/FRAME ANALYSIS..................................................................................4
Pengertian Dasar.............................................................................................................................4
Metodologi Framing.......................................................................................................................5
1. Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki..........................................................................5
2. Model William A. Gamson dan Andre Modigliani....................................................................7
3. Model Robert Entman................................................................................................................7
III. ANALISA WACANA KRITIS/CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS............................................7
Pengertian Dasar.............................................................................................................................7
Perbedaan Analisa Wacana dengan Analisa Isi...............................................................................8
Wacana dan Kekuasaan..................................................................................................................8
Metodologi Analisa Wacana...........................................................................................................8
IV. ANALISA PRIMING.....................................................................................................................9
V. AGENDA SETTING THEORY (Analisa Ekonomi-Politik Media)...............................................9
Gagasan Awal Hipotesa Agenda Setting........................................................................................9
Konsep Pembentukan Agenda......................................................................................................10
Dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1978), Dan Nimmo
berpendapat bahwa tujuan komunikasi politik adalah pembentukan pendapat umum. Dalam usaha
membentuk opini publik ini, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama,
menggunakan simbol-simbol politik (language of politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan
pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda-setting function).
Meskipun media massa hanya bersifat melaporkan, tapi telah menjadi sifat dari pembicaraan politik
untuk selalu memperhitungkan simbol (kata) politik. Dalam konteks ini, sekalipun melakukan kutipan
langsung (direct quotation) atau menjadikan seorang komunikator politik sebagai sumber berita,
media massa tetap terlibat – langsung atau tak langsung – dengan pilihan simbol yang digunakan
sumber tersebut.
Demikian pula dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik, atas nama kaidah
jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, coba ”disederhanakan” melalui mekanisme
pembingkaian fakta-fakta kedalam bentuk berita yang layak terbit atau layak tayang. Agar memiliki
makna, ada fakta yang ditonjolkan, ada pula yang disembunyikan, bahkan dihilangkan sampai
terbentuk satu urutan cerita yang dapat difahami. Dalam proses framing inilah sejumlah kepentingan
kemudian saling mempengaruhi.
Terakhir, adalah pada penyediaan ruang atau waktu bagi sebuah peristiwa politik (fungsi agenda-
setting). Dikarenakan hanya selama media massa memberikan ruangnya, maka suatu peristiwa akan
memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan, semakin besar pula
perhatian yang diberi khalayak pembaca. Lagi-lagi, dalam proses pemberian ruang ini sejumlah
kepentingan mempengaruhinya.
Dari sini, dapat kita asumsikan jika media tidak pernah netral. Karenanya dibutuhkan sejumlah usaha
untuk mendekonstruksi isi/berita suatu media, apakah dalam bentuknya yang tampak (manifest),
konteks, maupun makna simboliknya, sehingga ditemukan “pesan” sesungguhnya. Untuk memnuhi
kebutuhan ini, metodologi yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), analisis kerangka
(frame analysis), analisa wacana kritis (critical discourse analysis), dan analisa pengaturan agenda
(agenda-setting analysis).
Bernad Berelson (1952) menulis definisi terkenalnya yang paling banyak dikutip: “Analisa isi adalah
teknik riset untuk memaparkan isi yang dinyatakan /dimanifestasikan secara objektif, sistematik, dan
kuantitatif“
Kajian isi media disebut obyektif jika ketentuan-ketentuan dalam instrumen yang digunakan
dirumuskan dengan kriteria yang dapat menghindari multi interpretasi, sehingga pengkaji berbeda
dengan menjalankan instrumen yang sama atas obyek yang sama akan memperoleh data dan
kesimpulan yang sama, dengan derajat eror yang rendah. Sementara pengertian sistematik merupakan
seleksi dan analisis data didasarkan pada langkah-langkah yang terencana dan tidak bias. Sedangkan
unsur kuantitatif yang menjadi ciri kajian analisis isi terlihat dari hasilnya yang diwujudkan dalam
angka, dapat berupa distribusi frekuensi, tabel kontingensi, koefisien korelasi, atau lainnya.
Secara konvensional analisis isi atas media pers/jurnalisme bertolak dari kecenderungan antara lain:
Sifat fakta / opini atau empiris (factuality).
Keseimbangan (balance).
Liputan dua pihak (fairness).
Tidak berpihak (impartiality).
Ketiga jenis penelitian berikut dapat memuat satu atau lebih unsur “pertanyaan teoretik” Lasswell
tersebut.
(1) Bersifat deskriptif, yaitu deskripsi isi-isi komunikasi. Dalam praktiknya, hal ini mudah dilakukan
dengan cara melakukan perbandingan. Perbandingan tersebut dapat meliputi hal-hal berikut ini.
a. Perbandingan pesan (message) dokumen yang sama pada waktu yang berbeda. Dalam hal ini
analisis dapat membuat kesimpulan mengenai kecenderungan isi komunikasi.
b. Perbandingan pesan (message) dari sumber yang sama/tunggal dalam situasi-situasi yang
berbeda. Dalam hal ini, studi tentang pengaruh situasi terhadap isi komunikasi.
c. Perbandingan pesan (message) dari sumber yang sama terhadap penerima yang berbeda. Dalam
hal ini, studi tentang pengaruh ciri-ciri audience terhadap isi dan gaya komunikasi.
d. Analisis antar-message, yaitu perbandingan isi komunikasi pada waktu, situasi atau audience
yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang hubungan dua variabel dalam satu atau sekumpulan
dokumen (sering disebut kontingensi/contingency).
e. Pengujian hipotesis mengenai perbandingan message dari dua sumber yang berbeda, yaitu
perbedaan antar komunikator.
(2) Penelitian mengenai penyebab message yang berupa pengaruh dua message yang dihasilkan dua
sumber (A dan B) terhadap variabel perilaku sehingga menimbulkan nilai, sikap, motif, dan
masalah pada sumber B.
(3) Penelitian mengenai efek message A terhadap penerima B. Pertanyaan yang diajukan adalah
apakah efek atau akibat dari proses komunikasi yang telah berlangsung terhadap penerima (with
what effect)?
Secara sederhana, analisis kerangka mencoba untuk membangun sebuah komunikasi—bahasa, visual,
dan pelaku—dan menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan
mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa-bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan
diartikan sehingga dapat diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis.
Analisis framing merupakan metode analisis teks sebagaimana analisis isi kuantitatif, namun keduanya
mempunya perbedaan karakteristik. Dalam analisis isi kuantitatif yang ditekankan adalah isi dari suatu
pesan/teks komunikasi. Sementara pusat perhatian analisis framing adalah pembentukan pesan/makna
dari teks. Framing melihat bagaimana teks/pesan dikonstruksi oleh wartawan dan media serta
bagaimana menyajikannya kepada khalayak.
Pada bagian bagaimana peristiwa dimaknai, wartawan sebagai individu akan melihat peristiwa dan
isu dalam perspektif tertentu yang dipengaruhi oleh pengalaman dan keyakinan pribadi serta nilai
budaya yang dianut. Perspektif inilah yang menentukan bagaimana sebuah peristiwa dikonstruksi
dalam bingkai tertentu. Konsep yang digunakan individu dalam memandang suatu realitas berasal dari
skema kognitifnya:
Simplifikasi: pola pikir yang diterapkan individu/wartawan dalam memahami sesuatu untuk
menyederhanakan realitas dunia yang sangat kompleks.
Klasifikasi: pengkategorian yang diigunakan oleh individu untuk membuat realitas dunia tampak
bermakna dan mudah dimengerti.
Generalisasi: membentuk dan melekatkan karakteristik yang sama dalam entitas/elemen yang
sama.
Asosiasi: menghubungkan realitas-realitas dunia yang saling berkaitan.
Framing dapat kita lihat pada issue sengketa nuklir Iran, dimana dua media cetak memberikan
pandangan yang cukup berbeda mengenai hal ini. Harian Kompas yang dikenal dengan visi
humanisme-nya mengupas isu nuklir Iran dari sisi negara Barat dan memandang Iran sebagai pemicu
masalah dengan mengetengahkan judul-judul berita “Iran Tangguhkan Pembicaraan Dengan Rusia”,
serta “Usulan Rusia Diwacanakan Lagi” dengan sub-judul “Efektivitas Sanksi PBB atas Iran
Diragukan”. Sementara itu, Harian Republika yang dikenal dengan Pers Islami-nya berkaitan dengan
dasar pendirian media ini oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), memilih untuk
menempatkan diri di posisi kaum muslim dengan menganggap Iran sebagai pihak yang tertindas,
menyajikan berita-berita dengan judul “AS Dikabarkan Akan Serang Iran” dan “Terkait Isu Nuklir
Iran: Rusia Siap Abstain”.
Metodologi Framing
Terdapat beberapa varian analisis framing. Cara menganalisis analisis wacana dengan framing adalalh
memenuhi setiap komponen framing dengan fakta (bagian naskah) yang terdapat dalam suatu naskah.
Dari definisi yang diberikan Foucault, jelas bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan,
hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Distribusi wacana ketengah masyarakat pada era
post-moderen ini, dilaksanakan secara strategis melalui media, baik itu media cetak maupun
elektronik.
Raman Selden memberikan penjelasan tentang pemikiran Foucault: “Terbukti sudah bahwa kekuasaan
atau dominasi tertentu ditegakkan dan dilaksanakan melalui wacana, dan sebuah kekuasaan jelas
memiliki pengaruh”. Suatu dominasi atau hegemoni tertentu menggunakan wacana sebagai “elemen
taktis” untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat, ini semua terkait dengan pembangunan sebuah
dominasi dan pelestarian kekuasaan.
Dalam konsepnya, Foucault tidak memandang wacana sebagai serangkaian kata atau preposisi dalam
teks, tetapi memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana secara sistematis
dalam ide, opini, konsep dan pandangan hidup di bentuk dalam konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Salah satu konsep radikal Foucault adalah tentang
hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Tesis yang disampaikanya adalah bahwa ilmu-ilmu
kemanusiaan merupakan perpaduan yang tidak terpisahkan dari pengetahuan dan kekuasaan.
Para peneliti menemukan suatu bukti priming dalam eksperimen mereka, dimana para subjek
penelitian diminta untuk mengevaluasi kinerja Presiden Carter dalam tiga bidang spesifik –
pertahanan, polusi, dan inflasi. Dari penelitian diketahui jika responden mengevaluasi Presiden Carter
dari segi topik-topik yang telah mereka lihat ditekankan dalam berita akhir-akhir ini.
Iyengar dan Simon (1993) menyelidiki priming dalam liputan berita Perang Teluk 1991. Terlihat jika
selama krisis Teluk, opini kinerja kebijakan luar negeri Bush lebih kuat berhubungan dengan evaluasi
Bush secara keseluruhan ketimbang kinerja ekonominya. Berbeda dengan fase sebelum krisis, opini
kinerja ekonominya lebih penting daripada opini kebijakan luar negeri.
Penemuan-penemuan dalam riset mendukung dampak penentuan agenda. Untuk kategori utama,
korelasi antara penekanan issu oleh media dan persepsi pemilih bahwa issue itu penting adalah sebesar
0,967. Untuk kategori “ringan” sebesar 0,979. Hal ini menunjukkan hubungan yang sangat kuat
antara penekanan yang diberikan pada issue-issue kampanye yang berbeda oleh media massa dan
penilaian pemilih mengenai keutamaan dan pentingnya bermacam-macam topik kampanye.
Penelitian Funkhouser menunjukkan hubungan antara opini publik degan isi media, dan hubungan
antara isi media dengan realitas. Dalam penelitiannya, hubungan pertama (opini publik – media)
menunjukkan kesesuaian yang kuat antara tingkat pentingnya/importansi issue menurut publik dengan
jumlah liputan yang diberikan untuk issue tersebut oleh media. Sementara untuk hubungan kedua (isi
media – realitas) kelihatan seakan-akan liputan media tidak begiu sesuai dengan realitas issue.
Penelitian Funkhounser pula menunjukkan bahwa media berita tidak memberikan gambaran yang
akurat mengenai apa yang sedang terjadi.
Antara 1968 – 1989 pula, jajak pendapat menunjukkan publik yang semakin prihatin dengan masalah
narkoba Amerika. Selama periode yang sama, persentase orang yang melaporkan penggunaan obat
secara ilegal terus menurun. Apakah yang menyebabkan persepsi publik yang jelas keliru tersebut?
Selama periode itu pula, pemerintah Federal US mencanangkan “perang melawan narkoba”. Jumlah
berita dalam surat kabar yang berkenaan dengan narkoba meningkat dratis saat itu, terutaman
menjelang akhir periode.
Teori ini dijelaskan melalui pengecekan korelasi antara tingkat pemberitaan media atas suatu berita
dibandingkan dengan sejauhmana rakyat berfikir bahwa berita itu penting. Dalam kata lain
mengecek keselarasan antara stressing/titik berat pemberitaan suatu media dengan kebutuhan rakyat
akan informasi tersebut. Untuk membedakan keduanya, agenda-media adalah pengesetan issue yang
dialamatkan oleh sumber-sumber media, sementara agenda-publik adalah issue-issue yang publik
anggap penting untuk diketahui.
Praktik pemantauan media dapat dilakukan dengan mengamati dan menganalisis produk media, baik
media cetak maupun media elektronik (radio dan televisi) dengan berfokus pada aspek-aspek antara
lain:
Kepentingan kekuasaan politik.
Kepentingan kekuasaan ekonomi.
Kepentingan kekuasaan budaya/komunalisme.
Kepentingan media massa.
Kolusi antara media massa dan kekuasaan (politik, ekonomi, budaya/komunalisme)
Bentuk agenda-setting ini dapat kita lihat jelas pada peristiwa meninggalnya mantan presiden Soeharto
lalu. Dimana banyak sekali liputan yang menonjolkan pencitraan positif menggiring publik untuk
melupakan dosa-dosa yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Bandung bahkan menyebut tindakan yang dilakukan media massa sebagai “parade sirkus
penghapusan dosa-dosa Soeharto”. Pastinya terkait dengan masih besarnya porsi kepemilikan media
oleh keluarga cendana.
Konsep Pembentukan Agenda
Peneliti Gladys Engel Lang dan Kurt Lang (1983) meneliti hubungan antara pers dan opini publik
selama krisis Watergate dan menemukan bahwa gagasan asli penentuan agenda perlu untuk diperluas
guna menjelaskan babak yang rumit dalam sejarah Amerika tsb. Mereka menganjurkan agar konsep
penentuan agenda diperluas menjadi konsep pembentukan agenda (agenda building), sebagai sebuah
proses kolektif media – pemerintah – publik saling mempengaruhi satu sama lain dalam menentukan
issue-issue apa yang dianggap penting. Keduanya merinci proses pembentukan agenda tsb kedalam
enam langkah:
(1) Pers menyoroti beberapa kejadian atau aktivitas dan membuat kejadian atau aktivitas tersebut
menjadi menonjol.
(2) Jenis-jenis issue yang berbeda membutuhkan jumlah dan jenis liputan berita yang berbeda untuk
mendapatkan perhatian. Watergate adalah issue ambang batas tinggi, oleh karenanya ia
membutuhkan liputan yang komprehensif untuk mendapatkan perhatian publik.
(3) Peristiwa-peristiwa dan aktivitas dalam fokus perhatian harus “dibingkai”, atau diberi makna
hingga dapat difahami. Watergate semula dibingkai sebagai issue partisan dalam kampanye
pemilihan yang membuatnya sulit untuk dilihat dalam kerangka yang berbeda, yaitu sebagai
sebuah gejala korupsi politik yang tersebar luas.
(4) Bahasa yang dipergunakan dapat mempengaruhi persepsi akan pentingnya sebuah issue.
Referensi awal menggambarkan issue sebagai “joke” selama berbulan-bulan, cenderung
merendahkannya. Tapi penggantian dengan referensi dengan istilah skandal meningkatkan nilai
penting issue.
(5) Media menghubungkan aktifitas atau kejadian yang telah menjadi fokus perhatian dengan
simbol-simbol sekunder yang lokasinya pada lanskap politik mudah diketahui. Orang memerlukan
dasar untuk berpihak pada suatu issue. Dalam kasus Watergate, mereka dibantu untuk melakukan
keberpihakan dengan simbol-simbol sekunder semisal “keharusan menyampaikan fakta” dan
“kepercayaan pada pemerintah”.
(6) Pembentukan agenda dipercepat ketika individu-individu terkenal dan dapat dipercaya mulai
berbicara tentang sebuah issue. Misalnya, ketika Hakim John Sirca berkata bahwa ada kebenaran
yang disembunyikan kepada publik dalam kasus Watergate. Pernyataan ini berdampak pada
orang-orang terkenal lainnya, yang membuat mereka lebih bersedia untuk buka mulut.