Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MEMBUANGNYA!!
By: France
Dalam beberapa kesempatan, hati saya terusik saat membaca beberapa situs religi
yang ternyata di dalamnya berisi artikel-artikel yang menyudutkan agama lain dan
berbagai komentar dan perdebatan yang dihiasi kata-kata makian di sana-sini. Intinya
mereka yang berada pada kelompok agama yang sama, bersatu padu untuk
mendukung isi artikel sambil melontarkan makian pada agama lain, sedangkan dari
kubu agama lain tak tinggal diam, mereka juga balas mengolok-olok isi dan agama
yang diusung oleh artikel-artikel tersebut. Perang urat syaraf tak berhenti pada
makian, bahkan kata-kata kotor dan sumpah serapah saling ditembakkan bagai rudal-
rudal perang. Bahasa yang digunakan jauh dari kesantunan, sangat provokatif, dan
Lucunya, mereka sebenarnya adalah komunitas dunia maya yang tidak saling
mengenal secara nyata. Ibarat orang yang numpang lewat langsung ikut berperang,
tanpa kenal secara personal siapa lawan dan siapa kawan. Asal statusnya seagama,
berarti kawan tapi kalau beda agama berarti lawan. Agama dibela mati-matian, walau
harus menghujat dan memaki orang lain. Saya pernah mencoba melerai debat kusir
agama dan mengajak semua pengunjung milis untuk bersikap lebih toleran. Tapi
malah saya ikut-ikutan dihujat dan dikatakan “kafir” alias tidak beragama, najis dan
Akhir-akhir ini bukan hanya situs-situs internet para fundamentalis yang kian
bertebaran, tetapi di alam nyata atribut agama juga kian mewarnai setiap jengkal tanah
negeri ini. Hal ini tidak akan menjadi masalah bila atribut hanyalah sekedar atribut.
Tetapi yang terjadi dewasa ini adalah sakralisasi atas berbagai atribut-atribut agama
Agama menjadi pabrik dogma yang kian membelenggu masyarakat dengan aturan-
Sejauh ini saya merasakan ada dua raksasa religi yaitu Islam dan Kristen yang paling
gemar membangun kekaisaran dogma. Memang kaum Kristen tampak jauh lebih
golongan Islam di Indonesia tampak lebih keras dalam menjalankan syariah dan
kekhilafaannya. Sebut saja ormas-ormas Islam garis keras seperti FPI, HTI dan MMI,
mereka memiliki paham yang sangat radikal dan cenderung “memaksakan” dogma
secara komunal. Islam dan Kristen, dua kubu agama yang sejatinya masih serumpun
ini terus bergerilya mengibarkan bendera dogma dalam masyarakat, tetapi toh hal itu
juga tidak mampu menjawab berbagai permasalahan sosial dan kebangsaan di tanah
air. Korupsi masih juga merajalela, politikus dan pejabat masih juga busuk, aparat
hukum masih saja bisa dibeli. Dogma hanya mencetak masyarakat munafik yang tidak
adanya korelasi antara ketaatan pemeluk agama dengan perbaikan kualitas integritas
Selamat datang di negara busuk, karena di sini semuanya “bisa dibeli”. Di sini orang-
Mengapa demikian? Karena pemahaman spiritual masyarakat kita sudah salah kaprah
dan kacau balau. Para rohaniawan lebih suka mengajar dogma daripada falsafah.
Lebih suka mengibarkan atribut daripada meleburkan diri dalam asimilasi budaya.
Lebih suka berbicara dalam bahasa agama daripada bahasa keteladanan hidup. Lebih
fungsional.
Predikat orang sholeh mestinya lebih layak diperuntukkan bagi pejuang kemanusiaan
daripada pejuang dogma, karena sejatinya ibadah adalah memberi manfaat bagi
sesama manusia. Memakai jilbab, memelihara jenggot, memakai kalung salib maupun
jubah keagamaan tidak akan memberi dampak langsung pada perbaikan hidup
masyarakat. Ada banyak hal-hal sederhana yang lebih berarti yang seharusnya
dilakukan daripada sibuk mengurus dogma agama. Saya jarang mendengar kutbah
rohaniawan yang membahas tentang etika merokok, etika berlalu lintas, dampak
sampah plastik, gerakan menanam pohon, dukung pulau komodo, atau hal sepele
seperti cara membuat kripik tempe. Hal-hal ini lebih nyata dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat dan tentunya akan lebih bermanfaat untuk dibahas daripada sibuk
Lebih parah lagi, agama yang menonjolkan dogmatika hanya akan menghasilkan
parsialisasi luar biasa secara komunal. Masyarakat yang dicekoki dogma dan atribut
aliran. Pemahaman menjadi dangkal dan cara pandang terhadap orang lain hanya
bersifat atributik. Kalau Arab berarti Islam, kalau Amerika dan Eropa berarti
Kristen. Salah Kaprah!! Liat saja buku Kahlil Gibran yang banyak dijual di toko buku
Islam tapi gak pernah ada di toko buku Kristen. Padahal Gibran adalah seorang
Kristen Ortodoks. Di Surabaya saat ini muncul kelompok yang manamakan diri
jemaat Kristen Ortodoks Syriah, pendetanya pakai sorban, bicara dalam bahasa Arab
dan melakukan sholat, tetapi ajarannya Kristen bercorak Timur Tengah. Belum-belum
mereka sudah dituduh oleh kubu Islam sebagai bentuk kristenisasi, sedangkan kubu
Kristen Eropa-an menyebut ini bentuk penyesatan. Saya geli juga mendengar berita
ini, lha wong Kristen ortodoks itu sudah ada jauh sebelum kristen Eropa dan Islam.
Dampak yang lebih kejam adalah raksasa-raksasa religi yang dogmatik telah
mengkebiri dan menzalimi budaya lokal warisan leluhur bangsa. Sebut saja salah satu
warisan budaya lokal yaitu Kejawen. Dewasa ini citra Kejawen semakin disudutkan
dan diasosiasikan sebagai bentuk klenik dan perdukunan, padahal serat-serat Jawa
umumnya berisi wejangan hidup yang jauh dari kesan okultisme. Bahkan budaya
nyekar, nabur bunga, ruwatan keris selalu diidentikkan dengan kemusrikan, padahal
budaya tersebut adalah identitas bangsa yang nilai falsafahnya tinggi. Apalagi
peran antagonis (penjahat, dukun, tokoh ilmu hitam) yang identik dengan busana jawa
dan atribut keris, udeng, dan akar bahar, sedangkan tokoh putih berpakaian jubah
menjadi bangsa yang jaya, bermoral, dan berkedaulatan, walaupun tanpa dogma-
dogma dari Arab atau dari Eropa. Tapi sebaliknya Nusantara kian terpecah dan
Karena di Jaman Majapahit masyarakat tidak dipasung dogma, sangat plural dan
toleran, berbeda dengan Kerajaan Demak di bawah instruksi Sunan Giri Kedaton yang
sangat radikal pada dogma syariah. (Berseberangan dengan Sunan Kalijaga yang
Sejarah telah membuktikan bahwa agama yang memaksakan dogma secara komunal
akan menghasilkan degradasi falsafah agama itu sendiri. Peristiwa hitam Perang Salib
Sederet kisah konflik berdarah bermotif agama khususnya Islam-Kristen juga terjadi
di tanah air:
1. Runtuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1966 menandai isu
2. Pada awal tahun 1990-an terjadi ketegangan terbuka antara pemeluk Islam dan
pemeluk Nasrani. Terjadi unjuk rasa dan perusakan terhadap gereja-gereja maupun
di Situbondo tahun 1992 menandai konflik terbuka di Era kekuasaan Orde Baru.
3. Pada era reformasi terjadi peledakan Masjid Istiqlal dan disusul dengan
mushola, dan beberapa rumah serta pertokoan milik warga muslim rusak.
Kristen.
6. Kasus Poso (1998 – 2001) merupakan potret buram hubungan Islam dan
Kristen di Indonesia yang mengakibatkan 504 orang meninggal, 313 orang terluka,
dan sebanyak 7022 rumah terbakar, 1378 rumah rusak berat dan 690 rumah rusak
ringan, 31 tempat ibadah rusak, sebuah Pesantren rusak, dan berbagai fasilitas
lainnya.
hubungan Islam dan Kristen di Indonesia yang memakan korban yang banyak, serta
internasional.
Belum lagi peristiwa perpecahan di lingkungan internal komunitas seagama dengan
Protestan dengan Katolik. Lalu muncul lagi perpecahan dalam lingkungan gereja
dengan munculnya aliran Pentakosta dan Kharismatik. Hal ini menunjukkan bahwa
agama yang dogmatis akan selalu membawa perpecahan secara komunal yang tiada
henti-hentinya.
Jadi agama model apa ini yang sudah dianut oleh masyarakat kita? Agama yang
sejatinya dianut untuk memberikan tatanan hidup masyarakat yang lebih baik,
manusia. Bukankah lebih baik agama ini dibuang saja jauh-jauh dari kehidupan
masyarakat kita??
Ide ini tentu dianggap gila oleh banyak orang para penganut agama, apalagi mereka
yang fundamentalis. Tetapi sebenarnya siapa yang lebih gila? Bukankah kebodohan
yang sangat gila bila sesuatu yang jelas-jelas membawa masalah dan petaka terus
Saya mungkin akan menjelaskan ide ini dengan lebih tepat melalui sebuah analogi
dan hakiki. Kebutuhan terhadap pencarian kebenaran dan figur Ketuhanan dalam
gelas kehidupan manusia. Hal ini pun sudah ada sejak berabad-abad peradaban kuno
manusia. Anggaplah kehidupan spiritual ini adalah sebuah piramida. Pada titik
kerucut tertinggi adalah kondisi spiritualitas manusia yang kian filosofis, dimana tiada
batas lagi antara manusia dengan Pencipta-Nya, yang ada adalah tuntunan hati nurani
yang terrefleksi pada sikap hidup yang terbebas dari belenggu dogmatika. Sikap hidup
dan cara pandang yang universal, tiada keraguan, utuh, karena sejatinya Tuhan adalah
pusat kosmos dari alam semesta. Orang-orang ini mungkin masih terikat pada “embel-
embel” status agama tertentu, tetapi sesungguhnya mata batin mereka memiliki cara
pandang yang jauh lebih luas daripada dogma agama yang dianutnya. Mereka melihat
sebagai kosmos yang merupakan refleksi dari kuasa Tuhan itu sendiri. Mereka dengan
berani mencari falsafah dari setiap dogma, bukan mencari dogma itu sendiri.
Kehidupan mereka berjalan semakin dekat pada kualitas ilahi, karena sekali lagi
bahwa Tuhan adalah pusat kosmos alam semesta yang universal, utuh dan teratur,
Tuhanku", maka zat Tuhan itu sebenarnya bukanlah Tuhan yang sejati, karena
sejatinyta Tuhan menaungi dan mengisi segala sesuatu secara universal. Tuhan yang
"Wahdatul Wujud". (Saya jadi teringat konsep Syeh Siti Jenar tentang "Manunggaling
Kawula Gusthi").
Sebaliknya di titik piramida bawah adalah kehidupan manusia yang kian dogmatis,
hidup dalam peraturan yang kian bertambah-tambah. Agama menjadi makin banyak,
terpecah-pecah, makin banyak aliran, terpecah-pecah terus dan terus, dogma, ritual,
tata cara ibadah, atribut-atribut baru, terus dan terus tiada habisnya dan makin
makin jauhlah dari kehidupan spiritual yang hakiki. Inilah agama yang dogmatis,
agama yang mati, agama yang mendekatkan kita pada dogma tapi menjauhkan kita
dari Tuhan itu sendiri. Agama yang melahirkan para fundamentalis yang intoleran,
kaku, beringas, dan memaksa. Agama yang destruktif bagi nilai-nilai kemanusiaan,
fundamentalis bagi diri sendiri, tetapi menjadi pluralis bagi orang lain. Artinya dogma
kehidupan spiritual yang individual pula. Sedangkan dalam sebuah interaksi sosial,
nilai filosofisnya. Bila paradigma ini dimiliki oleh para penganut agama di Indonesia,
keyakinan saya bangsa ini akan menjadi jauh lebih tenteram untuk kita tinggali.