Anda di halaman 1dari 7

Feb 23, '07 5:48 PM

Mendidik Anak agar Sholih dan Cerdas -reposted-


for everyone
Tiga hari belakangan ini ada permasalahan yang cukup intensif saya pikirkan: bagaimana merumuskan parameter kesuksesan pada
anak? Dengan semakin besarnya anak-anak, rupanya diperlukan perumusan ulang jawaban atas pertanyaan tadi.

Untuk merefresh masalah pendidikan anak dan inisialisasi jawaban, saya membaca ulang kumpulan pemikiran yang sempat saya
tuliskan di bawah ini. Saya ingin berbagi dengan sahabat sekalian dengan memposting ulang, dengan tambahan pada bagian
kecerdasan relijius. Semoga juga bermanfaat bagi sahabat sekalian. Juga saya akan sangat berbahagia jika ada feed-back dari sahabat
semua ...

Salam,
Adi JM.
@Chiba-Japan

Anugerah dan Amanah1)

Anak merupakan anugerah termahal bagi orang tua. Banyak orang tua yang mengharapkannya tapi tak kunjung diberi,
sementara banyak juga orang tua yang dengan mudah memperolehnya. Tapi, jangan pula merasa bangga dengan
hadirnya anak, jika kita tak mampu membekalinya dengan pendidikan yang benar sesuai ajaran Islam. Karena, selain
anugerah, anak juga merupakan amanah “berat” yang dititipkan Allah kepada orang tuanya, terlebih lagi di tengah-
tengah merosotnya nilai-nilai etika, moral dan gencarnya serangan permisifisme (budaya serba boleh) melalui media
elektoronik, tanggungjawab orang tua menjadi kian berat

Anak memang anugerah, bahkan di dalam al-Qur’an dikatakan sebagai perhiasan hidup, “Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia…” (QS. al-Kahfi : 46). Bayangkan, jika hidup kita tanpa perhiasan, semuanya akan terasa
suram. Untuk itu kita patut bersyukur atas nikmat Allah yang dititipkannya melalui anak-anak kita. Rasa syukur itu
dapat kita wujudkan dengan mengasuh dan mendidik mereka berlandaskan fitrah dan kasih sayang.

Selain sebagai anugerah, anak diberikan kepada orang tuanya sebagai amanah ”berat” untuk dipelihara, dididik dan
dibina agar berkualitas dan tangguh. Seperti diperintahkan dalam al-Qur’an, “Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar” (QS. an-Nisaa’ : 9).

Setiap orang tua harus menyadari amanah ini. Karena orang tualah yang bertanggungjawab terhadap pendidikan
anak-anaknya. Jika orang tua tak memiliki kemampuan untuk mendidik, tanggungjawabnya memang dapat dibagi
kepada guru di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Namun peran sentral harus tetap pada orang tua.
Caranya, orang tua dapat memilih guru atau sekolah untuk anak-anaknya dengan kriteria yang tepat. Misalnya, guru
atau sekolah yang dipilih harus mampu membina anak-anak dengan berbagai disiplin ilmu atas dasar akidah, akhlak,
dan ajaran Islam.

Untuk Cerdas Relijius: Konsep 3T2)

"Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintai ahli baitnya, dan membaca al-Qur’an” (HR.
ath-Thabrani). Tiga hal yang diperintahkan Nabi untuk diajarkan kepada anak-anak kita terkait dengan puncak dan
asas berbagai kecerdasan pada anak kita. Bisa jadi sebagian orang menyebut kecerdasan ini dengan kecerdasan
spiritual atau kecerdasan relijius.

Teladani Nabi saw,

Memberikan teladan adalah metoda paling jitu dalam pendidikan anak. Karenanya memperkenalkan pribadi
Nabi Muhammad saw sejak dini akan menjadi fondasi penting pembangunan akhlaq Islam pada anak-anak.
Jadikanlah sosok Nabi itu hidup dalam benak mereka dan sangat mereka cintai. Tak ada pribadi yang lebih
indah budi pekertinya daripada Nabi Muhammad. Dan engkau (Muhammad) sungguh berakhlaq mulia (QS. al
Kalam:4).
Dengan menghadirkan pribadi Nabi dalam keseharian anak-anak, mereka akan lebih mudah melaksanakan
akhlaq Islami, sebab ada sosok yang menjadi panutan di hadapan mereka. Menghadirkan sosok Nabi misalnya
dapat dilakukan dengan mengisahkan betapa beliau pribadi yang penyayang kepada sesama manusia, betapa
beliau amat penyantun (hilm), betapa beliau pemberani dalam membela kebenaran, betapa beliau taat kepada
Allah dengan tekun beribadah dll.

Teladani Keluarga Nabi,

Keluarga Nabi adalah istri dan anak-anak beliau dan juga menantu beliau yang shalih. Tidak diragukan
merekalah orang-orang terdekat dengan Nabi. Mereka pulalah orang-orang yang paling mencintai Nabi dan
berusaha melanjutkan perjuangan Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam.

Kisah tentang mereka pun akan menjadi inspirasi sangat berharga bagi anak-anak kita dalam meneladani
Nabi. Mungkin kita mesti banyak menggali bagaimana Nabi ikut serta mendidik Hasan dan Husein, cucu
beliau, yang bahkan kerap beliau anggap sebagai anak-anaknya sendiri. Tentu saja, kita pun mesti menggali
kisah bagaimana Nabi dan Sayyidatinaa Khadijah mendidik putri-putri mereka di masa kecilnya, yang bisa
kita fahami dari petikan kisah Fatimah az Zahra ra, putri beliau. Pada masa kecilnya Fatimah menyaksikan
bagaimana ayahandanya gigih menda’wahkan Islam dan tidak sedikit mendapatkan tentangan keras dari
orang-orang.

Tentu juga kita dapat banyak belajar dari bagaimana Nabi mengasuh dan mendidik cucu beliau Hasan dan
Husein -yang beliau anggap sebagai anak-anak sendiri-, di mana pada saat yang sama beliau memimpin umat
Islam membangun masyarakat Islam di jazirah Arab.

Tilawah Quran,

Tilawah ini sangat penting artinya dalam pendidikan. Tilawah menjadi salah satu tugas Nabi dalam mendidik
manusia (QS. Ali Imran:164). Tilawah artinya membaca. Untuk kalangan yang tidak berbahasa Arab, tentu
saja tilawah yang benar mesti disertai usaha untuk mengetahui apa arti bacaan al Quran.

Untuk itu, dalam kaitan pendidikan anak, kita mesti mengusahakan agar anak kita mengetahui paling tidak
makna-makna penting dari ajaran Islam sejak dini. Misalnya sejak kecil kita telah menanamkan aqidah yang
benar; Memperkenalkan siapakan Allah dan bahwa Dia Pencipta segala sesuatu yang ada. Anak pun sejak dini
diperkenalkan dengan ibadah shalat. Bahkan Nabi memberikan patokan usia 7 tahun sebagai usia di mana
orang tua serius memperhatikan shalat anaknya dan ketika mencapai usia 10 tahun sudah boleh memberikan
hukuman apabila si anak lalai dalam menunaikan sholatnya.

Allah swt secara khusus mengangkat dialog Luqman al-hakim dengan anaknya pada surat Luqman. Nasihat
Luqman ini merupakan model dialog yang amat kaya dengan pesan spiritual. Di dalamnya terdapat pesan orang
tua kepada anaknya untuk:

1. Senantiasa bersyukur, berterima kasih kepada Allah atas segala karuniaNya;


2. Tidak mempersekutukan Allah dengan siapapun: ikhlas dalam beribadah;
3. Menghayati kasih sayang orang tua dan berterima kasih kepada mereka;
4. Mengingat akan adanya hari di mana perbuatan sekecil apapun akan mendapat ganjaran dari Allah, Yang
Mahalembut dan Maha Melihat;
5. Menegakkan sholat dan menyuruh manusia berlaku benar dan mencegah mereka dari berbuat jahat (=
konsep menegakkan kebenaran dalam diri dan menyeru orang lain);
6. Menghindari sikap sombong, perilaku angkuh dan berbangga-banggaan, karena hal ini tidak disukai Allah;
7. Bersikap sederhana dalam berjalan dan lemah lembut dalam bertutur kata (dua sikap sehari-hari yang
menjadi cerminan keseluruhan karakter diri).

Jadi, perintah mengajarkan "tilawah" ini dapat kita maknai sebagai pengajaran nilai ajaran Islam sejak dini
kepada anak-anak ini. Wa Allahu a'lam bish shawwab.

Tujuh Sisi Kecerdasan2) 3)


Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya (Ali bin Abi Thalib ra). Adalah Dr. Howard Gardner (1983) yang
mencetuskan 7 jenis kecerdasan dalam menjelaskan cakupan potensi manusia secara lebar –idenya dikenal dengan
pengembangan multiple intelligence-. Thesisnya memberikan pencerahan pada dunia pendidikan yang sebelumnya
lebih banyak memberikan fokus perhatian pada sisi language and mathematical intelligence. Lebih dari itu ide Dr.
Howard juga menyadarkan orang akan keterbatasan pengukuran kecerdasan hanya berbasis IQ.

Untuk para pendidik ide multiple intelligence ini menjadi inspirasi dalam pengkayaan kurikulum pendidikan sekolah,
terutama dalam memperkaya metode penyampaikan materi pelajaran dengan memanfaatkan ke-tujuh potensi
kecerdasan manusia ini. Dr. Thomas Armstrong adalah salah seorang yang cukup serius mengembangkan ide multiple
intelligence ini.

i. Cerdas Berbahasa,

Adalah kemampuan anak dalam mengutarakan maksud atau berkomunikasi tertentu secara tapat dan runtut.
Pada anak-anak, ini diawali dengan kemampuan verbal. Semakin meningkat usia anak kemampuan komunikasi
dalam bentuk tulisan akan meningkat. Orang tua mesti telaten membimbing agar cerdas dalam berbahasa.

Anak dengan kecerdasan lebih dalam berbahasa akan nampak pada kesukaannya dengan mengarang,
membaca, berdiskusi hingga berpidato di depan umum.

ii. Cerdas Berlogika dan Berhitung,

Adalah kemampuan anak dalam menalar sesuatu. Pada anak-anak ini misalnya dimulai dengan mengurutkan
atau mengklasifikasikan sesuatu. Kemudian anak mulai mengenal banyak, sedikit dan mengenal jumlah.
Termasuk dalam masalah logika juga, si anak mulai mengenal baik dan buruk dengan lebih tajam [hal ini
menjadi salah satu kecerdasan relijius]. Hubungan sebab-akibat juga menjadi bagian kecerdasan ini.

Anak dengan kecerdasan lebih dalam berhitung akan nampak pada kesukaannya dalam permainan strategi
(misalnya catur), mainan puzzle logika (misalnya Rubik’s Cube) serta memiliki ketepatan dan kecepatan dalam
menyelesaikan soal-soal matematika.

iii. Cerdas Berimajinasi Ruang (Spasial),

Adalah kemampuan anak untuk menggambarkan ruang tiga dimensi dalam benaknya. Keterampilan anak
bermain lego (mainan 3 dimensi) atau kesukaan anak dengan acara-acara bermanfaat di televisi menjadi awal
pengembangan keerdasan ini.

Kesenangan menggambar atau bentuk visualisasi pada media komputer menjadi salah satu ciri kecerdasan
spasial.

iv. Cerdas Bernada dan Berirama (Musik),

Adalah kemampuan anak untuk mengenal harmoni nada dan ketukan (ritme) lagu. Anak dengan potensi
musikal ini nampak sangat senang dengan lagu atau musik dan dengan cepat dapat mengikuti lagu-lagu yang
baru.

Jika kecerdasan ini diterus dilatih daya olah vokal anak akan meningkat dan bila diperkenalkan dengan alat
musik, maka kemampuan motoriknya akan cepat menyesuaikan diri dan mengekspresikan kecerdasan dalam
produk musik.

v. Cerdas Bergerak (Mengatur Tubuh),

Adalah kemampuan anak untuk menggerakan tubuhnya dengan serasi. Anak-anak dengan kecerdasan ini
nampak pada kegemarannya dengan olah raga, misalnya bela diri, berenang, bulutangkis atau sepak bola.
Permainan-permainan di taman kanak-kanak banyak diciptakan untuk membuat badan terlatih dengan
gerakan-gerakan yang sulit.
Untuk mengembangkan potensi kecerdasan mengatur tubuh hendaknya anak kita cukup diberi kesempatan
berada di ruang luas dan diberi berbagai alat olah raga yang mendukung. Kemampuan drama juga
membutuhkan kecerdasan kelenturan tubuh, sebab gerakan, ucapan dan emosi jiwa mesti diatur secara
harmonis.

vi. Cerdas Berinteraksi Sosial (Interpersonal),

Kecerdasan ini nampak pada anak pada saat berinteraksi dengan kawan-kawannya. Bagi orang beriman,
kemampuan bersosial sangat erat dengan kecerdasan relijius, sebab agama mengajarkan untuk berbuat baik
dan saling menolong dengan sesama manusia. Sifat mudah diterima dan bahkan disenangi teman-teman
menjadi salah satu parameter awal untuk mengukur kecerdasan ini.

Sesungguhnya anak akan melihat bagaimana orang tua mereka bersikap terhadap masyarakatnya. Anak yang
penyantun dan dermawan akan sangat mungkin muncul dari keluarga yang penyantun dan dermawan. Anak
yang ramah dan mudah bergaul akan sangat mungkin lahir di keluarga yang juga ramah dan mudah bergaul di
masyarakatnya.

Untuk membangun kecerdasan sosial anak sudah dibiasakan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial sejak kecil.
Mereka juga mesti sering diajak berdiskusi dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

vii. Cerdas Berkontemplasi dan Membaca Diri (Intrapersonal),

Adalah kecerdasan seorang anak dalam memahami kondisi jiwanya. Kecerdasan jenis ini mungkin termasuk
yang sulit diukur pada anak. Akan tetapi kecerdasan membaca diri membuat seorang anak lebih tenang dalam
menghadapi masalah. Rasa self confidence-nya terbangun dengan baik.

Perhatikanlah ketika anak kita sedang menghadapi masalah. Seorang anak umumnya akan meledak emosinya.
Apakah dengan menangis atau dengan marah-marah. Kondisi seperti sebetulnya kondisi di mana anak confuse
dengan gejolak emosinya. Sebagai orang tua kita harus membimbing anak pada saat-saat seperti itu. Caranya
dengan menenangkan gejolak emosinya, memintanya mengutarakan permasalahan yang tengah dihadapi dan
kemudian membantunya memecahkan masalah itu lewat dialog.

Selesai. Wal hamdu liLlaahi.

***

1) Bagian ini secara utuh dikutip dari tulisan Ummu Nabila, "Anak, Antara Anugerah dan Amanah" pada situs
http://surau.org [saya tidak bisa menemukan lagi link URL-nya, karena sudah berubah].

2) Salah satu bagian dari materi pada acara Keluarga Ceria, Forum Silaturahmi Muslimah (FAHIMA), Tokyo, 11
September 2004.

Catatan tambahan (28 Februari 2007)

Alhamdulillah sekarang sudah banyak buku-buku kisah Nabi Muhammad saw untuk anak-anak. Kita bisa mulai menceritakan kisah-
kisah ini kepada anak-anak. Di antara buku tentang pribadi beliau saw yang buat saya sangat mencerahkan adalah Ar-Rasul yang
ditulis Ustadz Said Hawwa.

Saya pernah membaca tulisan Ustadz Abul Hasan Ali An-Nadwi dari India, bahwa di anak benua India anak-anak muslim wajib
belajar sirah Nabi Muhammad saw. Ustadz An-Nadwi sendiri menulis sebuah buku sirah Nabi berkualitas. Diantara keunikan
tulisannya adalah mengungapkan sirah tanpa banyak "intervensi" pendapatnya. Ia meyakini sirah Nabi itu, tanpa diberi komentar
apapun, mengandung kekuatan untuk membangun kepribadian terpuji pada pembacanya.

Ustadz An-Nadwi ini juga menulis buku "Apa Kerugian Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam". Ustadz Sayid Qutb pada pengantar
buku ini menuliskan bahwa buku ini adalah salah satu buku sejarah terbaik tentang Islam yang pernah beliau baca. Sebetulnya saya
ingin menyampaikan juga, ajaran Rasulullah agar anak-anak sejak dini dididik agar "cinta Nabimu dan keluarganya" adalah isyarat
agar diajarkan sejarah sejak dini kepada anak-anak. Pengajaran sejarah yang tepat inilah yang akan menghubungkan seorang anak
dengan perjalanan peradaban mulia di masa lalu. Ini akan menjadi inspirasi berharga baginya dalam menghadapi hari ini dan
membangun masa depan.

Ada lagi kisah yang saya ingat dari penuturan Ustadzah Zainab al-Ghazali. Ia menyebutkan betapa masa kanak-kanaknya sangat
intensif dengan pengenalan akan kehidupan Nabi saw. Demikian seringnya kisah Nabi ini ia dengar, sehingga ketika ia kanak-kanak
merasa akan bertemu dengan Nabi kalau sedang jalan-jalan ke pasar atau ke tempat-tempat lain ...

Adapun diantara buku sirah para sahabat Nabi terbaik adalah tulisan Ustadz Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, yang seperti Ustadz
an-Nadwi juga berasal dari anak benua India. Bukunya berjudul Hayatus-Sahabah (Kehidupan Para Sahabat Nabi Muhammad saw).

Semoga kita para orang tua gemar mengkaji buku-buku sirah dan sejarah, sehingga membekali kita mendidik anak-anak kita.

Demikian tambahan dari saya. WaLlaahu a'lamu bish shawwab.

3) Thomas Amstrong, Multiple Intelligences. Pada situs ini ditambahkan pula kecerdasan ke-8, yaitu Cerdas
Bersama Alam, yaitu menemukan berbagai hukum alam (lebih tepatnya hukum Allah yang diberlakukan pada alam)
dengan observasi secara langsung di alam.

Berikut ini kutipan menarik dari Thomas Amstrong untuk menggambarkan bentuk pengajaran dengan mengeksplorasi
keseluruhan jenis kecerdasan:

For example, if you’re teaching or learning about the law of supply and demand in economics, you might read
about it (linguistic), study mathematical formulas that express it (logical-mathematical), examine a graphic
chart that illustrates the principle (spatial), observe the law in the natural world (naturalist) or in the human
world of commerce (interpersonal); examine the law in terms of your own body [e.g. when you supply your
body with lots of food, the hunger demand goes down; when there's very little supply, your stomach's demand
for food goes way up and you get hungry] (bodily-kinesthetic and intrapersonal); and/or write a song (or find an
existing song) that demonstrates the law.

Pendidikan Anak
Mendidik Anak Untuk
Mandiri
Anne Kartawijaya dan Kay Kuswanto

emandirian anak harus dibina sejak anak masih bayi. Jikalau kemandirian anak diusahakan setelah
anak besar, kemandirian itu akan menjadi tidak utuh. Ada orang tua yang menempatkan anaknya di
tempat kos agar anak bisa hidup mandiri. Memang betul anak itu harus terpaksa mengejakan segala
sesuatu sendiri, akan tetapi keadaan jiwanya tidaklah sehat. Dia mungkin akan merasa terbuang.
Mendidik anak mandiri bukanlah dengan cara meninggalkan anak itu sendiri atau bersama dengan
pengasuh lain. Kunci kemandirian anak sebenarnya ada di tangan orang tua. Disiplin yang konsisten
dan kehadiran orang tua untuk mendukung dan menadampingi kegiatan anak akan menolong anak
untuk mengerjakan segala sesuatu sendiri pada masa yang akan datang. Prinsip-prinsip disiplin yang
terus menerus ditanamkan pada anak akan menajdi bagian dalam dirinya. Dengan demikian
kemandirian yang dimiliki adalah kemandirian yang utuh.

Beberapa hal yang dapat membentuk kemandirian anak , antara lain adalah,

Pertama: Rasa Percaya Diri.


Rasa percaya diri terbentuk ketika anak diberikan kepercayaan untuk melakukan suatu hal yang ia
mampu kerjakan sendiri. Rasa percaya diri dapat dibentuk sejak anak masih bayi.

Misalnya dalam hal makan. Ketika bayi sudah mulai bisa memegang dan mengenggam, biarkan
anak memegang botol atau training cup sendiri, kita hanya membantu mengarahkannya sampai dia
bisa betul-betul memegang sendiri. Demikian juga ketika makan dengan sendok, kita dapat
memberikannya sendok yang lainuntuk dimainkannya selagi kita menyuapinya makan. Kalau bayi
sudah bisa menggunakan jari-jarinya untuk memegang makanan biarkan dia memungut makanan
yang pada meja makannya. Ketika bayi mulai makn biskuit dan buah biasakan bayi makan di atas
keretanya. Setelah bayi mulai bisa duduk, baisakan bayi duduk di kursi makan khsusnya. Dengan
demikian bayi dibiasakan untuk disiplin dalam hal makan. Setelah bayi sudah mulai bisa mengambil
makanan dengan sendok, biarkan ia makan sendiri sekalipun akan berantakan sekali. Jangan takut
rumah kotor karena itu memang resiko yang harus dihadapi sementara ini. Plastik besar yang
diletakkan di bawah meja makandapat menolong anda dalam membersihkan makanan yang
berjatuhan.

Hal terbesar yang dapat menghambat rasa percaya diri anak adalah kekuatiran dan ketakutan orang
tua. Perasaan takut dan kuatir pada orang tua ini dapat mmbuat orang tua cenderung untuk selalu
menangani pekerjaan yang sebenarnya dapat dilakukan anak sendiri.

Sebagai contoh seorang anak SMP disalah menagerti oleh gurunya di sekolah. Kesalahmengertian
ini membuat dia dihukum karena dianggap sebagai pengacau. Orang tua anak ini yakin sekali bahwa
kesalahan terletak pada ketidakbijaksanaan sang guru. Dan mereka bisa saja langsung menghadap
sang guru untuk membahas masalah ini, akan tetapi orang tua anak ini memberikan kepercayaan
kepada anaknya untuk menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu. Dan apabila ternyata gagal,
barulah orang tuanya akan turun tangan.

Kedua: Kebiasaan .
Salah satu peranan orang tua dalam kehidupan sehari-hari adalah membentuk kebiasaan. Jikalau
anak sudah terbiasa dimanja dan selalu dilayani, ia akan menjadi anak yang selalu tergantung
kepada orang lain. Salah satu contoh kebiasaan anak yang harus dibentuk sejak bayi adalah dalam
hal kebiasaan tidur. Pada usia 5-6 bulan,bayi sudah harus dibiasakan tidur pada waktunya di atas
tempat tidur.Kalau bukan dalam perjalanan, bayi tidak boleh dibiasakan tidur digendongan. Ketika
sudah waktunya tidur, naikkan bayi ke atas tempat tidur, nyalakan musik dan temani bayi anda
sampai dia tidur. Kalau sudah terbiasa sejak bayi, setelah besar sudah tidak terlalu sulit lagi.

Dr, Benjamin Spock menganjurkan untuk membiasakan bayi ke dalam tempat tidurnya sendiri setiap
kali sehabis makan.Kebiasaan bermain-main sehabis makan harus diubah sejak kecil. Pada waktu
bayi mencapai usia 6 bulan, sebaiknya bayi dibiasakan tidur di kamar dan di temapt tidurnya sendiri
tanpa ditemani (Jika tempat dan letak ruangan memungkinkan). Setelah lewat usia 9 bulan,
kebiasaan ini akan sulit sekali terbentuk. 1)

Ketiga: Disiplin.
Kemandirinan berkaitan erat sekali dengan disiplin. Sebelum seorang anak dapat mendisiplinkan
dirinya sendiri, ia terlebih dahulu harus didisiplin oleh orang tuanya. Syarat utrama dalam hal ini
adalah pengawasan dan bimbingan yang konsisten dan konsekuen dari orang tua. Jikalau anda
bekerja, anda harus yakin betul bahwa pengasuh anak anda konsisten dan terampil dalam
memberlakukan disiplin belajar yang anda terapkan untuk anak anda. Tanpa syarat ini disiplin belajar
yang anda terapkan tidaklah mungkin menajdi bagian dalam diri anak anda. Memberikan kursus
belajar tambahan bukanlah untuk mendidik anak mandiri di dalam hal belajar. Disiplin belajar harus
dimulai dari rumah, sebelum anak bisa menemukan sistem belajarnya sendiri di masa sekolah
lanjutan nanti.

Ketika anak-anak berada di SD, anda hanya perlu menemani anak belajar. Tentukan jam belajar
yang rutin setiap hari. Pastikan anak anda mengerjakan PR sebelum ia bermain. Anda dapat
mengerjakan hal lain di dekat meja belajar anak anda. Jangan juga terklalu kaku dengan jam belajar
ini. Kadang-kadang ada hal lain yang sangat penting untuk dilakukan pada jam belajar, anda dapat
menukarnya dengan jam lain, tapi harus dilakukan di bawah pengawasan anda.

Sudah barang tentu, setiap anak mempunyai kemampuan belajar yang berbeda. Ada anak-anak
tertentu yang perlu mendapat bimbingan yang lebih intensif dai orang tua. Ibu Lina Lukito dosen STT
Bandung, selalu menanyakan bahan-bahan ulangan kepada anaknya. Menurut Ibu Lukito, pada saat
anak mencapai kelas tiga SD, ia harus mulai dilatih sedikit demi sedikit untuk mempersiapkan
ulangannya sendiri. Kita harus mulai mebimbingnya untuk menerima konsekuensi hasil belajarnya.
Jikalau ini tidak dilakukan, anak akan terus merasa tidak siap dalam ulangan bila kita tidak
menanyakannya lebih dulu. Pada saat di sekolah lanjutan, hal ini akan menjadi sulit.

Ibu Alice Tong (Istri Dr, stephen Tong, pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia) didalam
kesibukannya mendampingi suami, tetap mengawasi pelajaran anak-anaknya. Beliau menerapkan
pendidikan yang ketat kepada anak-anaknya. Beliau tidak banyak memberikan omelan kepada anak,
akan tetapi memberikan konsekuensi hukuman yang pantas bila diperlukan. Beliau tidak segan-
segan meminta guru sekolah untuk menghukum anaknya apabila anak-anaknya mendapatkan nilai
rendah karena lalai belajar. Prinsip beliau adalah :"Anak harus dididik mencapai hasil sesuai dengan
kemampuannya." Didalam latihan atau tes di rumah, jikalau salah satu soal saja, beliau akan minta
anak-anaknya untuk belajar lagi.

Selain bekerja sama dengan guru sekolah, kerjasama dengan suami merupakan hal yang penting
bagi Ibu Tong. Suami dan istri harus mempunyai prinsip yang sama dalam mendidik anak belajar.
Anak-anak kadang mencari lobang dari salah satu pihak untuk mendapoatkan kelonggaran disiplin.
Jika suami dan istri tidak sehati, anak sulit sekali dididik untuk disiplin. Didalam latihan piano atau
biola, beliau juga menerapkan disiplin yang sama. Setiap hari tiap anak harus latihan minimal satu
kali, kecuali sedang sakit atau menghadapai banyak ulangan, anak-anak harus latihan sekalipun
pada malam hari.

Bepergian ke luar negeri untuk pelayanan bukan halangan untuk tetap menagawasi anak belajar.
Beliau selalu interlokal untuk menanyakan tanggung jawab tiap anak dalam hal belajar.

Dengan disiplin yang ketat di masa kecil, setelah besar anak-anak beliau sudah memiliki tuntutan
untuk belajr sendiri. Tuntutan diri untuk mencapai hasil sesuai dengan kemampuannya kini menjadi
milik anak-anak itu sendiri.

Kemandirian yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orang tua akan menghasilkan
kemandirian yang utuh. Sistem disiplin hidup akan meanjdi bagian dalam diri anak yang akan dibawa
terus sampai mereka dewasa. Sebelum seseorang memiliki disiplin didalam masyarakat. Ia harus
memulainya dari rumah. Disiplin dari rumah harus sedini mungkin.

Terima kasih kepada Ibu Kay Kuswanto, Ibu Alice Tong, dan Ibu Lina Lukito yang telah memberikan
masukan berharga untuk artikel ini.

1) Dr. Benjamin Spock, Merawat Bayi dan Mendidik Anak, (Jakarta: Penerbit Pustaka Rakyat. 1963,
hal. 88-89)

Anda mungkin juga menyukai