Anda di halaman 1dari 2

Jangan memaksakan diri jadi dewasa

Ketika kita melihat orang lain lebih baik dari kita, biasanya kita membandingkan diri kita dengannya. Apa
yang kurang, apa yang lebih. Bagus kalau kita jadi tahu kekurangan diri dan mengupgrade diri di sisi itu,
dengan bersemangat! Sebaliknya, kalau jadi rendah diri, karena ada banyak kekurangan diri yg ternyata
dimiliki orang lain, itu yg salah. Bahkan merasa, ‘belum juga tumbuh dewasa’ (padahal usia sudah
kepala berapa ).

Setiap orang dewasa dengan caranya sendiri. Ada yg cepat jadi dewasa. Ada yg lambat. Setiap orang
tumbuh dewasa dengan cara yg berbeda. Karena setiap orang itu special, unik. Setiap orang berbeda,
pasti berbeda.

Setiap orang lahir dari orang tua yg berbeda. Ada yg tinggal di kota, ada yg di desa. Ada yg bersekolah,
ada yg tidak bersekolah. Bahkan yg tinggal di kota yg sama atau bersekolah di sekolah yang sama pasti
ada yg berbeda. Berbeda jalur pulang, berbeda geng bermain, berbeda peringkat kelas, berbeda ekskul,
berbeda usia, berbeda penghasilan orang tua. Setiap orang bertemu dengan hal yg berbeda bahkan
setiap detiknya. Mungkin di suatu hari dua orang bisa berkumpul bersama, makan bersama, berpakaian
dgn warna sama (karena janjian sebelumnya pake dresscode yg sama) dan lain-lain dan lain lain, tapi
setelah itu, sebelum itu, bahkan saat itupun satu orang bisa merasakan, melihat, mendengar, berpikir
hal yg berbeda. Tak mungkin ada manusia yg sama persis. Bahkan saudara kembar identik sekalipun.
Karena itu, tak ada manusia yg dewasa bersama-sama. Maka, tingkat kedewasaan setiap orang pasti
berbeda, satu dgn lainnya.

Tapi kita memang harus dewasa. Memang harus. Mendewasakan diri itu harus. Mendewasakan diri itu
keharusan bagi setiap orang yang memilih untuk jadi dewasa. Kita sebenarnya tidak tumbuh dewasa dgn
sendirinya. Sejatinya, kita menumbuhkankan diri untuk dewasa. Kita memilih untuk jadi dewasa.

Mendewasakan diri, artinya menumbuhkan kedewasaan pada diri sendiri. Bukan pada diri orang lain,
betul kan ya? Maka kurang tepat rasanya kalau kita membandingkan kedewasaan diri kita dengan orang
lain. Yang tepat adalah membandingkan diri kita di saat ini dengan diri kita di saat yang lalu. Apakah ada
perubahan? Lebih baik atau sama saja atau lebih buruk? Kalau lebih baik, berikan pujian pada diri dan
bertambah semangat untuk meningkatkannya lagi. Kalau sama saja, evaluasi hal-hal yg bisa memompa
semangat untuk meningkat di masa depan, tetap semangat! Kalau lebih buruk, kasihani diri (cintai diri) –
evaluasi lebih dalam, apa yg salah – sembuhkan diri, motivasi diri untuk bangkit lagi – tekad untuk lebih
baik ladi d masa datang.

Sampai kapan harus seperti itu? Sampai kita sudah dewasa. Kapan kita sudah dewasa? Hm, ketika kita
sudah bisa melakukan hal2 di atas, dan bersabar untuk tetap melakukannya, itu satu tahap menuju
kedewasaan. Mungkin, ketika pengetahuan kita tentang hidup ini telah sempurna, maka kita bisa
disebut dewasa. Yang jadi pertanyaan adalah: kapan pengetahuan kita ttg hidup dikatakan sempurna?

Jawabannya, sepertinya, tidak akan pernah. Pengetahuan manusia tentang hidup ini tidak akan pernah
sempurna. Kata Anis Mata,”hidup adalah lukisan yang tak pernah selesai”. Setiap saat bermunculan hal-
hal baru di dunia. Bayi-bayi lahir, teknologi baru ditemukan, ilmu-ilmu berkembang, teori lama
menggantikan teori baru, dan lain-lain dan lain-lain. Semuanya adalah fakta-fakta baru yang akan
merekonstruksi pengetahuan kita sebelumnya. “Kebijaksanaan terbentuk dari akumulasi informasi
(fakta) yang membentuk pengetahuan kita tentang hidup. Karena sifatnya yang akumulatif, maka
kesadaran hidup kita tidak akan pernah bisa terbentuk seketika. Karena tidka terbentuk seketika, maka
sikap hidup kita juga berubah dari waktu ke waktu,” begitu menurut Anis Mata.
Karena pengetahuan kita tentang hidup tidak akan pernah sempurna, maka proses pembelajaran tidak
boleh selesai. Kita memang tidak boleh memaksakan diri jadi dewasa, tapi kita harus terus belajar untuk
mendewasakan diri.

(dipersembahkan untuk diri sendiri)

Anda mungkin juga menyukai