Anda di halaman 1dari 10

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

PENDEKATAN TRADISI BERARSITEKTUR DI INDONESIA

Ir.NURINAYAT VINKY RAHMAN MT.

Fakultas Teknik
Program Studi Arsitektur
Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
Ketika arsitektur tradisional dikembangkan, mulai dipertanyakan apakah
penerapan konsepsi arsitektur Tradisional sekarang ini sudah berada pada
puncaknya?. Saat ini mulai dirasakan rumusan-rumusan yang bahkan pada beberapa
daerah sudah di-’Perda’-kan, dipedomani dalam pemberian Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB), sangat membatasi kreativitas dan bahkan sepertinya arsitektur tradisional
hanya akan berhenti sampai di situ saja. Tidak ada jawaban yang pasti atas
pertanyaan ini sebab antara pihak penanya maupun pengambil keputusan yang
secara tegas ingin menerapkan konsep tersebut, ada pada keyakinan yang sama
yaitu jika sekarang sudah ada di 'puncak' maka berikutnya hanya akan menuruni
lembahnya saja kecuali mau mencari puncak yang lain lagi.
Hal semacam ini terjadi pada pencarian Arsitektur Indonesia. Sangat benar
pendapat yang mengatakan bahwa orang senang mencari tapi takut menemukan
apa yang dicarinya sebab begitu ditemukan sejarah akan berhenti. Atau dalam
pengertian lain orang takut menganggap suatu keadaan adalah 'puncak' sebab
dibalik puncak hanyalah lembah, lereng atau jurang. Tetapi bukankah sebagai
penjelajah, musafir, petualang menemukan atau menaklukkan satu puncak dan
bergerak mencari puncak yang lainnya adalah suatu tantangan yang
menggairahkan?. Dan bukankah juga kata Indonesia dalam konteks kebudayaan dan
arsitektur selalu dikaitkan dengan pembentukan oleh 'puncak-puncak'?. Menurut
hemat penulis 'puncak-puncak' harus selalu dirumuskan, ditentukan per definisi,
sebab sejarah tidak mencatat kegamangan, tindakan-tindakan tidak sadar dan tak
berpola. Sejarah hanya mencatat sesuatu karena terkenal baik (famous) atau
terkenal buruk (notorius] catatan lain hanya memperjelas hubungan di antara
keduanya.

Pengaruh Arsitektur Barat (Modern, Post-Modern dan Dekonstruksi)

Dengan pertumbuhan dan ekspansi kebudayaan luar terhadap segala aspek


kehidupan masyarakat seiring dengan pesatnya teknologi informasi, akhimya mau
tidak mau, suka tidak suka, ‘arsitektur tradisional’ pun akhirnya tidak terlepas dari
pengaruh 'konsep arsitektur asing' (baca : Barat), baik langgam arsitektur modern
ataupun pada era 90-an ini mulai dengan arsitektur Post-Modernnya.
Berbeda nasibnya dengan Arsitektur Modern, aliran Arsitektur Post-Modern
yang melanda lebih dapat diterima. setIdaknya oleh kalangan perancang di
Indonesia, walaupun dengan sedikit malu-malu. Hal Ini lebih disebabkan oleh 'kode
ganda' (double-coding) aliran Post-Modern ini, Kode ganda yang dimaksud adalah
setengahnya modern, setengahnya lagi konvensional, bisa bahasa tradisional
ataupun bahasa regional dalam bangunan. Kode ganda ini sepertinya membuka
peluang seluas-luasnya untuk bereksperimen dan berkreasi tanpa takut dituduh 'a-
histons’, tidak mencerminkan arsitektur tradisional, tidak menampakkan citra
kedaerahan.

N Vinky Rahman 1
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

Memang tidak keenam pilar utama pendukung arsitektur Post-Modern yang


coba diterapkan tetapi dalam perkembangannya (sampai saat ini) sudah terlihat
kecenderungan centang perenang penerapannya. Hal ini dalam pengamatan penulis
disebabkan oleh penerapan Post-Modern arsitektur hanyalah pada kulit luarnya saja,
Pada idiom-idiom yang segera dapat ditangkap oleh mata. Sehingga kebingungan
khas mengenai arsitektur modernkah ini?, arsitektur post-modern? ataukah
arsiteklur klasik?, kembali hadir di depan mata. Padahal jika hanya mengambil segi
penampilan saja dapat terjebak pada penerapan bentuk -bentuk terburuk dari
bahasa estetika arsitektur Post-Modern. Sementara 'isi' dan kedalaman maknanya
tidak tertangkap sama sekali.
Bahasa estetika Post-Modernisme bukanlah khas dimiliki oleh arsitektur saja
tetapi juga oleh karya sastra dan seni lainnya. dalam telaah lebih lanjut pumpunan
pembahasan hanyalah pada bidang arsitektur. Bahasa estetika yang dimaksud
adalah:
! 'Pinjaman' (Pastiche) : adalah karya arsitektur yang disusun dari elemen-elemen
yang dipinjam dari berbagai arsitek di masa lain
! 'Plesetan' (Parody): adalah sebuah komposisi dalam arsitektur dimana
kecenderungan pemikiran dan ungkapan yang khas dan seorang arsitek pada suatu
karya arsitektur diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atau
absurd.
! 'Pemalsuan' (Kistch]: sering didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu {pseudo-
art) yang murahan dan tanpa rasa. Kistch dikatakan selera rendah disebabkan
lemahnya 'ukuran’ atau 'kriteria' estetikanya meskipun kriteria tersebut berbeda dari
jaman ke jaman. Strategi Kistch adalah mensimulasi, mengkopi elemen-elemen gaya
dari seni tinggi atau obyek sehari-hari untuk kepentingannya sendiri yang
produksinya didasarkan pada semangat me'massa'kan atau 'mendemitosisasi' seni
tinggi.
! 'Keartifisialan' (Camp): adalah satu model estetisme- bukan dalam pengertian
keindahan tetapi dalam pengertian keartifisialan dan ciri 'penggayaan' (stylization).
Camp menekan pada dekorasi, tekstur permukaan sensual dan gaya dengan
mengorbankan isi. Camp anti antagonisme seksual maskulin feminin. Camp adalah
androgyne, tanpa identitas seks.
! 'Kekacauan' (Schizoprenia) : Jacgues Lacan, seorang ahli psikoanalisis,
mendefinisikan Schizoprenia sebagai terputusnya rantal signifikasi, yaitu rangkaian
sintagmatis penanda (signifier) yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau
makna. Berdasarkan teori psikoanalisis Lacan, jika kita tidak mampu membedakan
antara kalimat (tensis) masa lalu (past), masa kini {present) dan masa datang
{future) 'akibat gangguan pertandaan' maka kita juga tidak dapat membedakan
masa lalu, masa kini dan masa depan dalam kehidupan psikis kita. Kekacauan
pertandaan, selain pada kalimat. Terdapat juga pada gambar, teks, obyek termasuk
karya arsitektur.

Begitu jugakah gambaran arsitektur di Indonesia pada umumnya?. Dalam


dugaan penulis, gejala-gejala ke arah itu sudah tampak. Di Jakarta sudah ada 'joglo
terbesar di dunia', comot sana ambil sini, tempel sana, tempel sini sebagai gejala
eklektisme radikal sudah merajalela. Mengapa ini bisa terjadi?, mungkinkah karena
terdapat kecenderungan menangkap gaya dan bukan mengungkap makna ?

Tradisi Berarsitektur di Indonesia


Jika permasalahan di atas sudah disadari keberadaannya, bagaimanakah
upaya kita untuk mengatasinya sebagai suatu pendekatan tradisi berarstektur di

N Vinky Rahman 2
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

Indonesia?. Sebelum membehas hal tersebut marilah kita kenali dulu 'jagat ilmu
arsitektur dalam hubungannya dengan ilmu-limu lain.
Teori arsitektur adalan teori untuk menuju kepada pemahaman akan
arsitektur yang lebih baik (lengkap dan komprehensif). Teori-teori arsitektur
mengacu pada : indrawi/fenomenologi, general semantic, struktural/linguistik,
adaptasi dan analogi-analogi. Sedangkan dalam ilmu murni, terdapat prinsip-prinsip
yaitu : tanpa keinginan atau kepentingan pribadi (dis-interestedness), dengan cara
yang sama dapat dibuktikan atau diulangi lagi proses dan hasilnya
(reproducible/repeatable), berdasarkan informasi dan analisa yang dilakukan dan
dapat memprediksi keadaan di masa depan (prediction). jika diikuti pengembangan
budaya dari Dwi-Budaya (two cultures) yaitu : keilmuan (scientific), humaniora
(scholarty'), menjadi Tri-Budaya (three cultures] yaitu : keilmuan atau sains
(scientific, numeracy). kepujanggaan atau ltmu-llmu humaniora (scholarty, literacy).
Desain atau karya dan kriya {design : modelling). di masa depan terdapat
kecenderungan desain akan menjadi teori yang semakin 'berdiri sendiri' dengan
metode, strategi dan tekniknya sendiri waiaupun selama ini yang dilakukan adalah
pemagangan dan peminjaman bahasa sains dan humaniora. Jika disajikan dalam
bentuk tabel hubungan antara sains, humaniora dan desain akan tampak sebagai
berikut :

Segi Budaya Fenomena Metode Nilai-Nilai


Sains Lingkungan Alami Eksperimen Objektifitas
Klasifikasi Rasionalitas
Analisis Netralitas
- Kebenaran
Humaniora Pengalaman Analogi Subjektifitas
Manusia Metafora Imajinasi
Kritk Komitmen
Penilaian - Keadilan
Desain Lingkungan Binaan Modeling Kemudahan
Pemolaan Ingenuity
Sintesis Empathy
- Kecocokan /
Adaptif
Sumber ; Modifikasi Yuswadi Saliya. 1996.

Jadi upaya-upaya untuk menjadikan teori dalam tradisi berarsitektur yang


sangat aplikatif menjadi memenuhi prinsip- prinsip teori dalam pengertian llmu
murni, sungguh merupakan upaya melelahkan (untuk tidak mengatakan sia-sia),
karena penerapan dan prinsip-prinsipnya memang berbeda. Pendekatan satu teori
dengan teori yang lain mungkin dilakukan, pertanyaannya kemudian apakah perlu
suatu pendekatan teori dibuat seragam padahal pada penerapannya juga sangat
beragam?. Manakah yang lebih 'penting' (important) dan 'genting' (urgent) membuat
suatu teori yang 'tampak ilmiah' dengan mengacu pada teori keilmuan, ataukah
menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan 'cara-cara ilmiah' walaupun
metode yang dipergunakan tidak dilatarbelakangi oleh teori yang tampak ilmlah?.
Bukankah keadaan ideal yang dibayangkan di masa depan adalah ketajaman analisa
ala Einstein dan kearifan berfikir ala Mahatma Gandhi...

N Vinky Rahman 3
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

a Praktek Teori

Tradisi berarsitektur yang menganggap praktek dulu baru teori adalah


Arsitektur TradIsional/Vernakular dan Arsitektur Modern. Hanya saja sirat teori
Arsitektur Tradisional vernakular adalah kategorikal sedangkan modern adalah
analitik. Secara umum babakan sejarah arsitektur di dunia terdiri dari arsitektur
klasik, arsitektur Modern, arsitektur Post- Modern, Dekonstruksi dan lain-lain (‘dan
lain-lain’ pada kalimat ini memang benar-benar ditujukan pada upaya
pembabakan sejarah dan periodesasinya yang sangat beragam. Jadi yang
dikutip di sini hanya salah satu dari padanya). Jika ketiga babakan tradisi desain
dalam berarsitektur tersebut dilihat melalui wacana, prinsip dan model yang dipakai
dapat dilihat pada tabel berikut:

WACANA / TEKS PRINSIP MODEL SEMIOTIK


Klasik Bentuk mengikuti arti (Form Follow Penanda / makna
Modernisme Meaning) ideologis
Post- Bentuk mengikuti fungsi (Form Follow Penanda fungsi
Modernisme Function) Penanda makna/ironis
Bentuk mengikuti kesenangan (Form
Follow Fun)

Di Indonesia pembabakan yang sama juga terjadi, hanya mengalami sedikit


modifikasi pada tahap awal pembabakan yang dikenal sebagai masa arsitektur
Tradisional/\/emakuler. Cara berfikir tradisional dan regional memiliki perbedaan
sebagai berikut :
! Tradisionalisme : pandangan yang menganggap bahwa karya arsitektur ltu
haruslah bercermin pada nilai-nilai luhur tadisi yang sudah terbukti dan teruji
kesesuaiannya. Beberapa arsitektur tradisional di Nusantara dapat memenuhi
kriteria ini.
! Regionalisme : regionalisme sendiri berarti 'membumikan' desain sesuai dengan
daerah dimana desain tersebut dilakukan. Sebagai ilustrasi untuk menjelaskan
keadaan tersebut adalah desain tiap anjungan di Taman Mini Indonesia Indah
(TMII). Anjungan Propinsi Sumatera Utara misalnya, barangkali dibangun
dengan berpedoman pada konsep konsep arsitektur tradisional salah satu daerah
di Sumatera Utara, tetapi karena keberadaannya di daerah khusus Ibukota
Jakarta Raya, dia bukanlah arsitektur regional. Anjungan yang tradisional dan
sekaligus regional adalah anjungan DKI dengan tipe rumah Betawinya.

Satu babak setelah tahap arsitektur Tradisional/Vemakular, adalah timbulnya


arsitektur Modern. Pada jaman arsitektur modern ini, berkembang berbagai aliran
atau paham pendukungnya seperti : Rasionalisme Struktural (Structural
Rasionalism). Arsitektur Futuristik (Futurist Architecture), Rasionalis Klasikisme
(Classical Rationalism), Ekspresionisme (Expressionism), Plastisisme Baru (Neo
Platicism), Romantisisme Nasional (National Romantism), Vernakular (Vernacular),
Gaya/ Langgam Internasional (International Style), Brutalisme Baru (New
Brutalism), Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) dan lain-lain.
Walaupun tiap aliran atau paham yang berkembang pada masa arsitektur
modern ini memiliki ciri khas masing-masing dengan pumpunan yang berbeda-beda
tetapi era modernisme ditandai suatu kesamaan yang mendasar adalah bahwa
segala sesuatu masalah dan konsep berarsitektur harus dinyatakan dengan jelas,
tegas dan mengacu pada suatu fungsi atau kebutuhan tertentu.

N Vinky Rahman 4
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

b Teori Praktek
Yang termasuk tradisi berasitektur teori dulu kemudian praktek adalah
arsitektur Post-Modern. Terdapat perbedaan pendapat para pengamat sejarah
arsitektur terhadap kelahiran Post-Modernisme dalam arsitektur. Ada yang
menganggap kelahirannya merupakan era baru setelah era Modernisme tidak dapat
berkembang lagi. Pendapat yang lain mengatakan Post-modernisme semata-mata
lahir akibat ketidakpuasan terhadap Modernisme. Jadi dalam filosofi merancang,
kedua aliran ini berbeda tetapi sampai sekarang kedua-duanya maslh berkembang
dengan pengikutnya masing-masing. Terhadap pilihan manakah diantara kedua
pendapat tersebut yang benar biarlah sejarah yang membuktikannya, yang
terpenting perbedaan mendasar dari dua fatsafah dalam merancang tersebut sudah
cukup jelas menandai perbedaan masa Modern dan Post-Modern.
Sebagaimana pada aliran Modernisme, pada aliran Post-Modernisme pun
berkembang aliran-aliran atau paham-paham pendukung atau pembentuknya.
Paham/aliran pendukung Post-Modern Arsitektur antara lain Historisme (Historism),
Revivalls Langsung (Straight Revivalism), Vernakular Baru (Neo-Vernacular),
Kontekstual (Contextual), Metafora dan Metafisik (Methapore and Metaphysics) dan
Eklektisme Radikal (Radical Eklectisme). Berbagai aliran tersebut menandai prinsip
dalam merancang yang berbeda-beda. Sebagai pembentuk aliran Post-Modernisme
terdapat persamaan prinsip dari semuanya yaitu adanya 'kode ganda' (double-
coding). Selain bahasa estetika, Post-Modern arsitektur juga mempunyai kode-kode.
Kode berarti seperangkat aturan atau konvensi dengan cara mana tanda-tanda
dikombinasikan untuk memungkinkan pesan dikomunikasikan dari satu orang ke
orang yang Iain. Ada 5 kelompok kode yang didefinsikan Roland Earthes dalam
bukunya S/Z yaitu :
! Kode hermeneutik, kode ini terdiri dari unit-unit yang fungsinya adalah untuk
mengartikulasikan dengan berbagai cara pertanyaan, teka-teki dan
tanggapan (respons) serta jawaban.
! Kode semantik, adalah kode konotasi materialitas dari 'penanda' (signifier)
sendiri sudah langsung membawa pengamat pada makna konotasi
! Kode simbolik adalah kode antitesis, ambiguitas, penentangan dua unsur dan
scihzoprenia. dimana satu kata penanda (signifier) membawa kemungkinan
banyak sekali substitusi, variasi, yang membawa kita bergerak dari satu
makna ke makna yang lainnya.
! Kode proairetik, adalah kode cerita (narasi atau anti narasi) disebut juga kode
aksi. Aksi itu sendiri terdiri dari satu rentetan kerja.
! Kode kebudayaan, kode ini terbentuk dari suara-suara kolektif dan anonim
yang bersumber dari pengalaman tradisional manusia.

jika kode, makna dan ekspresi dalam arsitektur post-modern disajikan dalam tabel
akan terlihat hubungan sebagai berikut :

N Vinky Rahman 5
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

KODE MAKNA EKSPRESI


Hermeneutik - efek profokatif - teka-teki - parodi -
dekonstruksi
Semantik - makna konotatif - tingkat penanda - pasthice - kistch
- camp
Simbolik - partikel makna - terputusnya - schizoprenia -
rantai penanda dekonstruksi
- kemustahilan makna
Proairatik - efek narasi dan anti narasi - - pasthice - kistch
rentetan aksi - camp
Kebudayaan - makna mitologis - makna ideologis - pasthice
- parody

Setelah babak post-modernisme ini sejarah mencatat satu aliran penting lagi
yaitu Dekonstruksi {Deconstruction), yang dipelopori oleh Jacgues Derrida seorang
filsuf Perancis (lahir 1936). Dekonstruksi merupakan penyangkalan terhadap tradisi
filsafat Barat, penyangkalan terhadap klaim akan 'kebenaran universal', akan adanya
'makna yang absolut’, juga merupakan penyangkalan terhadap cara berfikir
struktural dalam linguistik, yang dikembangkan oleh Saussure. Jadi secara ringkas
arsitektur modern diharapkan dapat melepaskan diri dari tradisi berarsitektur secara
klasik. Post-modernisme melepaskan diri dari tradisi berarsitektur hanya klasik. dan
hanya modern tetapi memadukan keduanya. Sedangkan dekonstruksi melepaskan
diri dari semua tradisi berarsitektur tersebut.

c Teori, Transformasi dan Praktek

Mengacu pada pemahaman teori arsitektur dl atas maka tradisi berarsitektur


adalah dari praktek melahirkan teori dan dari teori menjadi landasan untuk praktek.
Di Indonesia kedua tradisi beraksitektur tersebut, dalam hemat penulis, tidak dapat
memberikan pemecahan yang optimal terhadap permasalahan-permasalahan
perencanaan dan perancangan sebagaimana yang banyak dikaji dalam contoh kasus
di atas. Di antara teori dulu kemudian praktek dan praktek dulu baru teori, masih
ada 'alih ragam' (tranformasi) yang perlu dilakukan secara kritis dan hati-hati. Jika
tidak maka sesungguhnya yang terjadi adalah penundaan timbulnya masalah yang
berarti juga tertundanya penyelesaian masalah dan pada saat mengambil keputusan
banyak terjadi potong kompas sana sini. Sehingga pembahasan berikutnya
diarahkan pada kajian pentingnya alih ragam (transformasi) diantara teori dan
praktek dalam melakukan pendekatan tradisi berarsitektur di Indonesia.

Siasat dan Kiat-kiat


Berdasarkan latar belakang dan fenomena arsitektural yang terjadi maka
tradisi berarsitektur di Indonesia seyogyanya diarahkan pada upaya-upaya
mengatasi permasalahan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
! Mengapa penerapan suatu aliran atau paham arsitektur yang berkembang, sering
hanya pada kulit luarnya saja sehingga pada saat ditemukan persamaan gaya,
bentuk dan penampilan bangunan sertng ditemukan kesulitan untuk
mengidentifikasikan dan mengkategorikan karya tersebut. Contoh kasus yang
nyata pada bagian ini adalah munculnya karya-karya Corfau 'melintasi ruang dan
waktu’. Beberapa pengamat mengelompokkannya menjadi karya modern, karya
yang sama juga oleh pengamat yang berbeda dimasukkan sabagai bentuk Post-
Modern.

N Vinky Rahman 6
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

! Apa upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari pendekatan terhadap


perumusan suatu teori arsitektur semakin jauh. Disamping akibat secara
struktural kutub teori llmu arsitektur berbeda dengan kutub teori llmu mumi dan
teori ilmu humaniora, adalah juga karena para pihak yang peduli dan telah
mendalaminya terjebak pada sikap interprestasi yang terlalu subyektif dan
'arogan' (pada saat muncul istilah Post-Modern secara bersamaan muncul juga
Istilah Late Modern atau New Modernism) serta sikap 'kenall pagar dan loncati'
artinya batasan dan pengertian suatu aliran dikenall untuk kemudian pada ujung-
ujungnya melahirkan batasan. pengertian atau bahkan aliran./paharn yang baru
sama sekali. Pada tingkat kreativitas proses ini tentu menarik dan sah-sah saja
tetapi bukankah bangunan kita tidak akan pernah berdiri kalau semua berlomba-
lomban membuat pondasi ?'
! Bagaimana cara menerapkan aliran-aliran. paham-paham arsitektur tersebut
secara bijak ke dalam karya arsitektur khususnya arsitektur di Indonesia?. Kursi,
sebagai benda mungkin sama tapi cara duduk di atasnya dapat berbeda bukan?,
atau dalam teori wujud budaya Koentjaraningrat, jika arsitektur dianggap sebagai
benda budaya (artifact), bukankah dia seyogyanya juga berbeda karena dibentuk
oleh suatu kompleks aktivitas (activities) dan kompleks gagasan (ideas} yang
berbeda?.

Nilai Dasar Falsafah


Nilai dasar atau falsafah adalah konsep-konsep yang secara filosofls
mendasari suatu rancangan. Menjadi konsep awal, pedoman selama proses dan
cerminan tujuan akhir seluruh kegiatan perancangan. Pada arsitektur tradisional Bali
misalnya, nilai dasar ini banyak ditemui pada konsep-konsep filosofis (Philosopical
Concepts), yang mendasari seluruh proses perancangan arsitektur tersebut,
walaupun sebenarnya tidak khas milik arsitektur. Konsepnya bermula dari filosofi
ajaran Agama Hindu yang menjadi dasar kehidupan masyarakat pemakainya yaitu
masyarakat Bali. Konsep tersebut tidak dapat langsung diterapkan tanpa nilai
instrumental ataupun nilai praksis yang jelas.
Pada aliran Post-Modern, arsitektur juga terdapat nilai dasar semacam ini
yang disebut Ideologi Post-Modernisme. Ideologi sendiri adalah sistem representasi
dan proses produksi makna dan ide-ide secara umum. Menurut pemikiran Marxisme,
beroperasinya ideologi dalam masyarakat kapitalisme didasarkan pada relasi kelas-
kelas dalam masyarakat yaitu kelas 'pengkonsep' atau penguasa (super structure)
dan kelas pelaksana atau pekerja (base), dimana kelas yang pertama mendominasi
kelas yang kedua, melalul legitimasi 'kekuasaan'. Di dalam Post-Modernisme terjadi
perubahan mendasar dari pola beroperasinya 'kekuasaan' (power). Apa yang terjadi
adalah pembalikan distribusi kekuasaan, dari tangan pusat kekuasaan ke tangan
para pelaksana yang membentuk fragmentasi kekuasaan yang berkembang dari
berbagal kelompok sosial ditingkat peripheral (produser, perusahaan multinasional,
industri, informasi, industrl hiburan dan sebagalnya). Oleh sebab ltu sistem
presentasi dan produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh
kelompok-kelompok tersebut yang legitimasi 'kekuasaannya' dimotori oleh sistem
komunikasi massa khususnya media promosi seperti iklan.
Pencarian nilai dasar ini tidak dimaksudkan untuk membuat arsitek menjadi
filsuf, hanya untuk menemukan kesimpulan yang logis (logical conclusions) dan
alasan yang sebenarnya (original arguments) sebagaimana yang diinginkan Derrida
dengan Dekonstruksinya. Targetnya tidak hanya filsuf seperti Plato, Aristotales,
Descrates, Leibnitz, Rousseau, Kant, Hegel, Nietzche, Husseri, Heidegger. Freud,
Saussure. Levinas. Merleau-Ponty dan Bataille tetapi juga ahli linguistik seperti

N Vinky Rahman 7
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

Sausurre dan Hjemsiev, strukturalis seperti Levi-Strauss. sejarawan seperti Foucault,


dan untuk beberapa hal, psikiater seperti Freud dan Lacan.
Jadi nilai dasar dapat menambah ke banyak hal, dapat juga menjadi
kesimpulan dari banyak hal. Sebab tidak dipahaminya nilai dasar atau filosofis dari
suatu aliran arsitektur inilah yang menyebabkan yang kemudian ditangkap adalah
ciri-ciri fisik dan kebendaan saja atau apa yang dapat dicerap (diapresiasi) oleh
indra. Padahal, ketika dari bentuk sudah tidak dapat dibedakan satu jenis paham
dengan paham yang lainnya, dari kaidah dan konsep yang diterapkan tampaknya
sama saja, maka pembeda yang paling hakiki dari tiap paham adalah pada ideologi
filosofisnya ini.

Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang didapat melalui penjabaran nilai dasar
tersebut ke dalam bentuk setingkat 'konstitusi' ataupun "institusi', yang secara
jelas menjadi pedoman penerapan nilai dasar tersebut menjadi nilai praksis. Sebagai
ilustrasi, nilai instrumental dalam arsitektur tradisional Bali (salah satunya) ada pada
sastra Asta Kosala Kosali, sastra-sastra yang lain adalah lontar Janantaka, Asta
Bumi, Kramaning Undagi dan lain-iain. Kendati pustaka ini dapat dipedomani sebagai
'buku suci' Arsitektur Tradisional Bali (ATB), tetapi aturan-aturan yang dimuatnya
masih sangat umum dan menuntut interprestasi lebih lanjut. Sastra-sastra inilah
yang kemudian menjadi cikal bakal Perda tentang Bangun Bangunan dan Lingkungan
Khusus untuk daerah Bali.
Membuat suatu aliran atau paham mempunyai nilai instrumental bukanlah
pekerjaan yang mudah. 'Konstitusionalisasi' sebagai sebuah proses pemberian dasar-
dasar hukum, kaidah-kaidah dalam keseluruhan proses perencanaan dan
perancangan menuntut kearifan yang lebih untuk menghasilkan produk yang dapat
mengakomodasi dan mereduksi berbagai kepentingan secara proporsional.
Perumusan 'konstitusi' itu sendiri akan mengalami banyak kendala, disamping
karena sangat memerdekakan cara berfikIr dalam menafsirkan konsepsi yang ada.
rumusan yang dihasilkan pun akan mengalami dilema. Jika dibuat terlalu tegas dan
pasti, takut dituduh memasung kreativltas. Sebaliknya jika penuh kata-kata
bersayap dan banyak makna, dituduh sebagai tidak jelas dan tidak tegas. Tetapi
bukankah justru di sini letak tantangannya ?
Sedangkan proses Institusionalisasi sebagai upaya untuk melembagakan dan
memberi tanggung jawab seluruh proses perencanaan dan perancangan juga
menuntut kejelian yang lebih. Formasi orang-orang di dalamnya harus jelas
mencerminkan berbagai kepentingan yang dipertaruhkan dalam proses pekerjaan
ini. Keanekaragaman latar belakang, keahlian atau profesi, misi dan visi barangkali
merupakan dasar pertimbangan yang lebih tepat dalam proses pelembagaan ini.

Nilai Praksis
Pada tingkat ini, nilai-nilai turunan dari nilai dasar tersebut sudah dapat
diterapkan ke daiam proses perancangan dalam prakteknya. Pada visi tradisi nilai ini
tercermin pada adanya prinsip-prinsip praktis (practical principles). Pada arsitektur
post-modern nilai praksis ini terlihat pada idiom-idiom yang dtpergunakan untuk
memperjelas 'kode ganda' (double coding) yang ada, yaitu setengah arsitektur
modern, setengahnya lagi konvensional yang dapat terdiri dari arsitektur tradisional
maupun regional.
Hal-hal lain yang perlu dipahami dalam pemilihan suatu tradisi berarsitektur
di Indonesia adalah karakter bangsa kita yaitu :

N Vinky Rahman 8
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

! Neo Phyt, sering diungkapkan sebagal 'penyakit gila baru', jadi asal barang baru,
konsep baru segera dicobakan tanpa suatu telaah yang hati-hati dan proporsional.
Sehingga kemudian timbullah kerancuan budaya. Seperti di KFC juga dijual nasi
atau dalam ilustrasinya Michael Sorkin seperti Mikey Mouse memakai piyama dan
kimono, berbudaya tetapi membingungkan (confuse).
! Sebagian lagi, seperti istilah Peursen, sangat 'romantis' yaitu masyarakat yang
tergila-gila pada kejayaan, keindahan dan kenangan masa lampau, segala hal
harus punya kaitan dengan tradisi dan keindahan masa lalu tersebut. Kelompok ini
menolak beberapa gaya modern sebagai 'tidak ada kaitannya dengan sejarah' (a-
historis). Pada kelompok ini juga, seperti yang ditengarai oleh Robi Sularto
sebagai ciri masyarakat Timur, adalah bentuk- bentuk yang muncul dari proses
perancangannya adalah tiruan yang kreatif (creative copies) sementara pada
belahan Barat bentuk-bentuk rancangannya sangat mementingkan kekuatan
{strength) dan bentuk yang sama sekall baru (new form).
! Mempunyal karakter seperti yang disebutkan di atas bukan berarti mempunyai
karakter 'dua-duanya' (both of) sebagaimana yang dianggap menjadi karakter
orang jepang, yaitu disamping modern juga memegang tradisi sangat kuat.
Disamping membangun pencakar langit juga secara seksama merawat kuil dan
bangunan tradisinya. Karakter masyarakat kita adalah sebagian sangat suka
tradisi sebagian lagi sangat 'gila pembaharuan'.
! Karakter penting lainnya adalah masyarakat kita dalam menerima pengaruh
budaya asing tidak serta merta mengambilnya begitu saja. Selalu melewati suatu
'penyaring' (filter) pada tahap mana diskusi dan proses alih ragam dilakukan.
Persinggungan ipoleksosbudhankam punya 'penyaring yang maha penyaring' yaitu
Pancasila.

Akankah semua karakter tersebut menjadi potensi yang dapat dikembangkan?,


semuanya terserah kepada kita untuk dapat menyikapinya...

Penutup
Belajar banyak dari kelebihan dan kekurangan tradisi berarsitektur yang
pernah ada, akhimya dapat ditarik beberapa kesimpulan sementara sebagai berikut
:
! Pendekatan tradisi berarsitektur di Indonesia lebih optimal jika diarahkan pada
praktek, tranformasi, teori, atau pun teori, tranformasi. praktek , daripada
sekadar praktek, teorl atau teori. praktek. Sebab sejarah mencatat
persinggungan budaya asing dengan budaya lokal di Indonesia hanya mengenal
kata kunci asimilasi dan akulturasi. Adaptasi dan bukan adopsi.
! Teori transformasi dan praktek tersebut dapat dianalogikan dengan pencarian
terhadap nilai dasar falsafah, nilai instrumental maupun nilai praksis.
! Pencarian nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis dalam tiap proses
perencanaan dan perancangan perlu senantlasa dilakukan karena pola pikir,
misalnya Mitologis, Ontologis dan Fungsional dan konsep-konsep lain dalam
‘jagat arsitektur', tidak lagi kita terima secara satu per satu dan bertahap tetapi
secara serempak dan bolak balik (resiprokal). Pencarian hakekat atau nilai
dasar, membebaskan kita dari pengulangan kesalahan ‘menangkap rupa dan
gaya tanpa mengungkap makna'. Menata space kehilangan place...
! 'Institusionalisasi' dan 'konstitusionalisasi' dalam tradisi berarsitektur di
Indonesia tetap diperlukan karena masyarakat (arsitektur) kita masih
berkarakter paternalistik, perlu banyak pedoman, panduan dan tuntunan.

N Vinky Rahman 9
©2003 Digitized by USU digital library
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

Di atas kertas mungkin hal ini mudah, tidaklah demikian halnya di lapangan.
Tetapi bukankah kemampuan untuk memecahkan masalah dl lapangan inilah, yang
menjadi unggulan bidang ilmu desain dibandingkan bidang ilmu sains dan
humaniora?.

DAFTAR PUSTAKA

! Framton. K (1994) Modern Architecture a Critical History Thames and Hudson Ltd
London
! Glusberg, J (1991) Deconstruction a Student Guide. Academy Edition. New York
! Jencks, M (1987) The Language of Post-Modern Archiecture. Academy Group.
London
! Koentjaraningrat ( 1979) Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. jakarta
! Mangunwijaya.Y.B (1988) Wastu Citra. PT.Gramedia jakarta
! Peursen. CA (1993) Strateg Kebudayaan, Kanisius Yogyakarts
! Piliang, VA ( 1993) Post-Modernisme. Institut Teknologi Bandung
! Sastrowardoyo, RS (1374) Arsitektur Tradisional Bali dan Permasalahannya.
BIC/PITB Ditjen Cipta Karya Departemen PU

N Vinky Rahman 10
©2003 Digitized by USU digital library

Anda mungkin juga menyukai